Sudah dikatakan bukan bahwa kepolosan Devan sirna semenjak malam di club itu. Untuk masalah kissing, jangan ditanya, ia sangat piwai.Kiara sendiri pun tak habis pikir, ketika bersama Devan, kenapa ia tidak bisa berfikir jernih. Selalu saja ia ikuti permainan pria itu. Ah, selama itu tak melangkah jauh mungkin tidak apa-apa. Lagipula mereka sudah menikah, pasangan suami istri yang jika melakukan hal lebih juga tidak masalah.Namun, bukan itu yang ditakutan Kiara. Dia takut terlena dan berakhir jatuh cinta pada pemuda itu. Bisa saja, Devan masih terbayang pada wanita itu. Ia takut jatuh cinta hanya untuk membuatnya terpuruk lagi. Memang Devan seringkali bersikap membingungkan. Tarik ulur seolah mereka pasangan suami istri. Jika itu hanya ditunjukkan pada orang tuanya atau karyawannya mungkin itu wajar. Tapi, yah seperti inilah. Di saat mereka berduapun Devan sering bertindak layaknya pasangan yang saling mencintai.Seperti saat ini, sepanjang kantor, Devan berjalan dengan memeluk ping
Senja datang lebih gelap dari biasanya. Awan hitam bergumul diatas sana. Sepertinya keberatan beban hingga ingin menumpahkan isinya.Di pemberhentian bis, Nadia mengetuk-etuk kakinya ke lantai. Tangannya tersampir di perutnya menyangga sebelah tangannya yang sedang memegang ponsel."Lo dimana sih, Di," gerutunya.Ia mendongak menatap langit yang mendung dan sepertinya akan hujan deras. Sedangkan hari ini Nadia tak membawa kendaraan sendiri. Tadi berangkatnya saja dia menaiki bis.Halte sepi, hanya ada dirinya seorang. Ia menoleh ke sekitar kalau kalau ada taxi. Setidaknya tak ada bis pun tak masalah jika ada taksi. Kenapa tak memakai grab, seperti yang sedang tren saat ini? Entahlah, Nadia belum berani.Ia menekan tombol panggil berkali-kali. Hanya ada dering tanpa diangkat, membuatnya kesal."Apa jangan-jangan dia selingkuh, atau bosan?" batinnya negatif, apalagi teringat percakapannya dengan Dibda tadi siang."Ck! Apa sih, Nad. Mungk
Taki menyambar kunci mobilnya serta memakai jaket dan tergesa keluar. Ia hidupkan mobilnya dan melaju membelah jalanan yang licin.Sampai di sebuah tempat di pinggir sungai yang lumayan sepi dia pinggirkan mobilnya dan berlari ke jempatan kecil yang terbentang.Gerimis masih turun rintik-rintik tak mengurungkan niatnya. Gelap malam di tempat yang minim pencahayaan juga tak menyurutkan langkahnya.Tiba di jembatan, ia hentikan langkahnya dengan nafas yang ngos-ngosan. Di tengah jembatan sana seseorang memakai jaket dan berdiri menghadap sungai. Ia menoleh saat menyadari kedatangan Taki."Hai Ki, apa kabar," sapanya dengan senyum hambar dan putus asa.-Disinilah kini keduanya. Warung remang-remang yang tidak jauh dari lokasi jembatan tersebut. Keduanya saling diam. Taki memandangi pemuda dihadapannya dengan tatapan prihatin. Wajah yang frustasi dan juga putus asa."Gue lihat lo kemarin di pernikahan Devan," ujar Taki membuka percakapan.Pemuda itu mendongak dan tersenyum tipis. Ia ten
"Lo mau kemana, Ki?""Gue kebelet. Jangan terlalu mabuk. Bisa-bisa kita terciduk entar."Dodi mengacungkan jempolnya dengan isyarat 'itu perkara gampang'.Kedua remaja berusia enam belas itu menelusup diam-diam ke sebuah bar. Duduk santai dan berlagak seperti orang dewasa lainnya. Tubuh yang bongsor membuat mereka dikenali seperti remaja berumur.Usia mereka memang rentan terhadap kenakalan remaja dan rasa penasaran. Hanya berdua, karena memang saat itu Dodi belum mengenal Yoga maupun Niko, apalagi Devan yang notabene anak tertutup.Dodi dan Taki bersahabat sejak SMP. Namun ketika SMA, mereka memilih sekolah yang berbeda. Namun letaknya tak jauh sih.Dodi menikmati iringan musik beat yang menghentak. Suguhan kemolekan tubuh wanita yang diumbar tanpa malu membuatnya betah memandang. Ia sesap segelas minuman keras dengan ringisan, karena rasanya yang aneh dan baru pertama kali mencoba.Saat ia sedang asyik menikmati pemandangan gratis, tiba-tiba seorang pria dewasa dengan otot bisepnya
"Ada lagi yang perlu saya tanda tangani?""Sudah semua pak.""Baiklah. Berarti sudah selesai ya. Huft, akhirnya."Dwvan menarik napas lega. Sedari tadi bibirnya tak mengulas senyum. Membuat Satrio merasa heran sendiri. Tak biasanya Devan bersikap seperti ini. Biasanya hanya memasang wajah datar. Apakah mereka, em maksudnya Kiara dan Devan sudah semakin dekat? Juga hari ini Kiara tak masuk kantor. Pikiran itu membuat Satrio mengepalkan tangannya."Ya sudah. Saya harus pergi sekarang. Nanti kalau ada apa-apa hubungi saya.""Baik pak."Satrio undur diri dan keluar dari ruangan Devan. Sedangkan Devan mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu."Kau dimana?""Masih nunggu Rara.""Jangan pergi dulu. Nanti aku susul.""Loh, bukannya kau ada rapat hari ini?""Sudah selesai. Tunggu jangan kemana-mana.""Oke."Devan menyisipkan ponselnya ke saku celana, meraih jasnya yang tersampir. Menyambar kunci mobil dan bergegas keluar. Ia putar mobilnya dan melaju meninggalkan kantor.Tadi pagi-pagi seka
"Rara hati-hati sayang, jangan lari-lari," teriak Kiara saat Rara berlarian menuju sebuah perosotan. Ya, bukan tempat mewah yang mereka kunjungi, tapi tempat umum yang dikunjunjungi orang-orang lain. Sebuah taman kota yang juga menyediakan akses bermain untuk anak-anak. Perosotan, ayunan, jungkat jungkit dan permainan lainnya yang tersedia untuk umum. Mereka sengaja memilih tempat ini karena untuk mengajarkan Rara untuk tak terlalu hidup dengan kemewahan.Kiara dan Devan duduk di salah satu kursi taman dengan mengawasi Rara yang asyik bermain. Seorang lelaki kecil menghampiri Rara dan mengajaknya bermain. Karena bukan hari minggu, taman tidak terlalu ramai dengan anak-anak. Tapi pengunjungnya masih lumayanlah."Ini pertama kalinya aku melihat tawa Rara selepas itu," gumam Devan sembari melihat ke arah Rara.Kiara ikut memandang Rara, tawa gembira anak itu membuat bibirnya perlahan ikut tersenyum. Jika melihat Rara, terkadang ia ingat juga masa kecilnya. Rara mirip dengan dirinya di s
Kiara terkantuk-kantuk. Kombinasi Ac dan karena tadi malam dia tidak bisa tidur kini membuatnya harus mati-matian menahan kantuknya."Aish, mata gue lengket banget sih!"Ia kembali membuka lebar-lebar matanya. Melotot memandangi display laptopnya. Ia gerak-gerakkan jemarinya dan mengetik kembali.Pluk!Sebuah tangan kekar meletakkan segelas kopi susu panas dengan asap yang masih mengepul di mejanya. Aroma kopi menyeruak, membuat sarafnya seakan kembali sadar.Kiara menatap segelas kopi itu lalu mendongak. Tersenyum tipis."Makasih, Sat."Satrio mengangguk. Mengintip pekerjaan Kiara."Laporan?" tanyanya.Kiara mengangguk."Iya. Malah tadi malam gue gak bisa tidur. Ya ginilah jadinya. Jam kerja malah ngantuk," sesalnya.Satrio mengernyit, melirik lancang leher gadis itu dan turun di area yang sedikit terbuka karena kancing atas Kiara yang dibiarkan terbuka. Tak ada bekas apa-apa."Kenapa Sat?" tanya Kiara yang masih fokus mengetik. Ia hanya heran saja kenapa Satrio masih di tempatnya. D
"Kenapa diam saja? Makanannya tak enak?"Kiara menggeleng. Mereka sedang makan siang bersama. Beberapa karyawan mencuri pandang kearah mereka dengan tatapan iri dan tak percaya. Maklum saja, siapa sih yang tak mau dengan Devan. Meski galak, tapi ganteng dan tajir. Beruntungnya Kiara yang hanya beberapa hari mampu meluluhkan hati boss mereka."Makan yang banyak. Jangan takut gendut." Devan meletakkan daging di piring Kiara. Gadis itu tersenyum tipis.Ia kembali melahap makanannya. Pikirannya melayang ke tadi malam. Saat sedang beres-beres kamar Rara, ia menemukan benda yang sama persis dengan yang ia pakaikan pada bayinya saat itu. Hal itu juga yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia kepikiran tentu saja. Apa mungkin Rara putrinya? Dan pria ini...Kiara memandangi Devan tanpa sadar."Berhenti menatapku seperti itu, kau ingin cepat-cepat jatuh dalam pesonaku, hmm?"Kiara mendengkus. Ia membuang muka. Menggeleng pelan. Tak mungkin Rara putrinya. Lagipula saat itu dia kan meletakka