"Lo mau kemana, Ki?""Gue kebelet. Jangan terlalu mabuk. Bisa-bisa kita terciduk entar."Dodi mengacungkan jempolnya dengan isyarat 'itu perkara gampang'.Kedua remaja berusia enam belas itu menelusup diam-diam ke sebuah bar. Duduk santai dan berlagak seperti orang dewasa lainnya. Tubuh yang bongsor membuat mereka dikenali seperti remaja berumur.Usia mereka memang rentan terhadap kenakalan remaja dan rasa penasaran. Hanya berdua, karena memang saat itu Dodi belum mengenal Yoga maupun Niko, apalagi Devan yang notabene anak tertutup.Dodi dan Taki bersahabat sejak SMP. Namun ketika SMA, mereka memilih sekolah yang berbeda. Namun letaknya tak jauh sih.Dodi menikmati iringan musik beat yang menghentak. Suguhan kemolekan tubuh wanita yang diumbar tanpa malu membuatnya betah memandang. Ia sesap segelas minuman keras dengan ringisan, karena rasanya yang aneh dan baru pertama kali mencoba.Saat ia sedang asyik menikmati pemandangan gratis, tiba-tiba seorang pria dewasa dengan otot bisepnya
"Ada lagi yang perlu saya tanda tangani?""Sudah semua pak.""Baiklah. Berarti sudah selesai ya. Huft, akhirnya."Dwvan menarik napas lega. Sedari tadi bibirnya tak mengulas senyum. Membuat Satrio merasa heran sendiri. Tak biasanya Devan bersikap seperti ini. Biasanya hanya memasang wajah datar. Apakah mereka, em maksudnya Kiara dan Devan sudah semakin dekat? Juga hari ini Kiara tak masuk kantor. Pikiran itu membuat Satrio mengepalkan tangannya."Ya sudah. Saya harus pergi sekarang. Nanti kalau ada apa-apa hubungi saya.""Baik pak."Satrio undur diri dan keluar dari ruangan Devan. Sedangkan Devan mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu."Kau dimana?""Masih nunggu Rara.""Jangan pergi dulu. Nanti aku susul.""Loh, bukannya kau ada rapat hari ini?""Sudah selesai. Tunggu jangan kemana-mana.""Oke."Devan menyisipkan ponselnya ke saku celana, meraih jasnya yang tersampir. Menyambar kunci mobil dan bergegas keluar. Ia putar mobilnya dan melaju meninggalkan kantor.Tadi pagi-pagi seka
"Rara hati-hati sayang, jangan lari-lari," teriak Kiara saat Rara berlarian menuju sebuah perosotan. Ya, bukan tempat mewah yang mereka kunjungi, tapi tempat umum yang dikunjunjungi orang-orang lain. Sebuah taman kota yang juga menyediakan akses bermain untuk anak-anak. Perosotan, ayunan, jungkat jungkit dan permainan lainnya yang tersedia untuk umum. Mereka sengaja memilih tempat ini karena untuk mengajarkan Rara untuk tak terlalu hidup dengan kemewahan.Kiara dan Devan duduk di salah satu kursi taman dengan mengawasi Rara yang asyik bermain. Seorang lelaki kecil menghampiri Rara dan mengajaknya bermain. Karena bukan hari minggu, taman tidak terlalu ramai dengan anak-anak. Tapi pengunjungnya masih lumayanlah."Ini pertama kalinya aku melihat tawa Rara selepas itu," gumam Devan sembari melihat ke arah Rara.Kiara ikut memandang Rara, tawa gembira anak itu membuat bibirnya perlahan ikut tersenyum. Jika melihat Rara, terkadang ia ingat juga masa kecilnya. Rara mirip dengan dirinya di s
Kiara terkantuk-kantuk. Kombinasi Ac dan karena tadi malam dia tidak bisa tidur kini membuatnya harus mati-matian menahan kantuknya."Aish, mata gue lengket banget sih!"Ia kembali membuka lebar-lebar matanya. Melotot memandangi display laptopnya. Ia gerak-gerakkan jemarinya dan mengetik kembali.Pluk!Sebuah tangan kekar meletakkan segelas kopi susu panas dengan asap yang masih mengepul di mejanya. Aroma kopi menyeruak, membuat sarafnya seakan kembali sadar.Kiara menatap segelas kopi itu lalu mendongak. Tersenyum tipis."Makasih, Sat."Satrio mengangguk. Mengintip pekerjaan Kiara."Laporan?" tanyanya.Kiara mengangguk."Iya. Malah tadi malam gue gak bisa tidur. Ya ginilah jadinya. Jam kerja malah ngantuk," sesalnya.Satrio mengernyit, melirik lancang leher gadis itu dan turun di area yang sedikit terbuka karena kancing atas Kiara yang dibiarkan terbuka. Tak ada bekas apa-apa."Kenapa Sat?" tanya Kiara yang masih fokus mengetik. Ia hanya heran saja kenapa Satrio masih di tempatnya. D
"Kenapa diam saja? Makanannya tak enak?"Kiara menggeleng. Mereka sedang makan siang bersama. Beberapa karyawan mencuri pandang kearah mereka dengan tatapan iri dan tak percaya. Maklum saja, siapa sih yang tak mau dengan Devan. Meski galak, tapi ganteng dan tajir. Beruntungnya Kiara yang hanya beberapa hari mampu meluluhkan hati boss mereka."Makan yang banyak. Jangan takut gendut." Devan meletakkan daging di piring Kiara. Gadis itu tersenyum tipis.Ia kembali melahap makanannya. Pikirannya melayang ke tadi malam. Saat sedang beres-beres kamar Rara, ia menemukan benda yang sama persis dengan yang ia pakaikan pada bayinya saat itu. Hal itu juga yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia kepikiran tentu saja. Apa mungkin Rara putrinya? Dan pria ini...Kiara memandangi Devan tanpa sadar."Berhenti menatapku seperti itu, kau ingin cepat-cepat jatuh dalam pesonaku, hmm?"Kiara mendengkus. Ia membuang muka. Menggeleng pelan. Tak mungkin Rara putrinya. Lagipula saat itu dia kan meletakka
Kiara memandangi sebuah kertas yang entah kenapa ia bawa. Sebuah alamat yang tertulis disana. Ia lempar kertas tersebut dan mengusap rambutnya kasar.Ia telungkupkan wajahnya diantara kedua lututnya. Meratapi nasib yang baru saja menimpanya. Ia terisak dengan sekujur tubuh yang terasa sakit. Pria itu merenggutnya dengan cara kasar.Bayangan kedua orang tuanya, juga tetangganya, teman-temannya datang silih berganti. Apa reaksi mereka jika melihat dirinya yang tak suci lagi. Ayah dan ibunya pasti kecewa. Ia sudah membuat malu keluarga. Bertahun-tahun mereka membiayai hidupnya agar menjadi orang sukses, tapi kejadian tadi membuat segalanya hancur. Masa depannya hancur. Ia tak suci lagi.Ia juga teringat Satrio, bagaimana reaksi kekasihnya tersebut jika mengetahui dirinya sudah ternoda. "Brengsek! Sialan! Siapa lo berani-beraninya merusak kesucianku. Kenapa lo gak mati aja brengsek!" teriaknya histeris.Ia pergi saat pria itu tergeletak lelah dengan aktifitasnya. Ingin rasanya Kiara memb
Semenjak peristiwa itu Kiara cuti kuliah dan pulang ke rumahnya. Ia ingin menenangkan pikirannya. Meski trauma seringkali hadir.Perlahan ia coba untuk menerima. Menebalkan telinga dari omongan tetangga. Mereka mencibir karena peristiwa perkosaan yang ia alami. Kiara hanya menanggapi dengan senyum tipis. Kata siapa wanita selalu benar? Kenyataannya meski dirinya yang menjadi korban perkosaan, tetap saja dirinya yang menjadi bahan hujatan. Dibilang lonte lah, karena memakai pakaian terbukalah, suka menggoda makanya di perkosa. Ya, mereka tak tahu apa-apa tentang kesehariannya di kota. Dirinya yang selalu memakai celana panjang kemanapun ia pergi. Omongan tetangga memang panas, wajar mereka hanya bisa menghujat tanpa memberi solusi.Tak ada kabar dari Satrio. Kiara pun tak mencoba menghubungi. Ia maklum, dengan keadaan seperti ini, mana mungkin ada pria yang mau mendekati dirinya. Ia mencoba merelakan meski sakit.Puncaknya, Kiara telat datang bulan. Dan saat ia tes sendiri, ia hanya b
Devan termenung di pinggir ranjangnya. Momoy. Moon. My ... Ah.Ia usap wajahnya kasar. Kenapa nama itu harus muncul di kehidupannya setelah sekian lama ia coba untuk mengusirnya."Argh!" Ia hempaskan badannya di ranjang. Memejamkan mata meski bayang perempuan itu kembali datang."Tok! Tok!" Pintu di ketuk. Itu pasti Kiara."Masuk," ujarnya dengan tetap pada posisi tersebut.Terdengar pintu di buka. Derap langkah pelan menuju ke arahnya. Devan masih tak beranjak dari posisinya."Ini minumnya.""Taruh di meja," ujarnya datar, masih tak beranjak."Ada lagi?""Hmmm ..." Devan hanya mendehem."Aku keluar," ujar Kiara.Belum juga Kiara melangkah, Devan sudah memanggilnya lagi."Kemarilah," ujarnya.Ia kembali duduk."Duduk," perintahnya. Meski tak mengerti, gadis itu nurut juga. Ia duduk di pinggir ranjang dekat Devan. Memperhatikan wajah murung pria itu."Ada apa? Apa ada masalah?" tanyan