Devan berdiri dengan bersandar pada mobilnya. Bibirnya mengulas senyum melihat interaksi manis Kiara dan Rara. Anak itu kembali ceria. Kebahagiaan terpancar di wajah polos tersebut, membuatnya merasa bersalah.
Pagi tadi Rara sempat ngambek, bahkan mengabaikan kedatangan dirinya. Melihat Rara seperti itu membuatnya sakit."Ih, papa kok senyum-senyum sendiri sih. Entar kesambet lo,"Kiara menoleh, mendapati Devan yang salah tingkah."Itu tandanya papa sayang sama Rara, tuh buktinya papa senyum bahagia.""Hehe, papa iih. Mentang-mentang sekarang ada calon mama jadi sering senyum-senyum sendiri."Devan menggaruk tengkuknya, bisa-bisanya dia di ledek putrinya sendiri. Kiara tertawa kecil."Tuhkan. Papa mukanya merah. Eh, mama juga," Rara tertawa. Dasar anak kecil, tidak tahu apa secuil perkataannya membuat grogi manusia dewasa."Udah, buruan masuk. Nanti telat lo.""Emuach. Rara sayang calon mama," ucapnya sembari mencium pipCafe Magic Shop, cafe yang unik karena terletak di atap gedung X. Pengunjung bisa dengan leluasa menikmati keindahan kota Jakarta dari sini. Tanpa atap, hanya payung lebar yang menaunginya. Namun tak masalah, angin disini berhembus segar. Sebenarnya lebih indah lagi saat berkunjung malam hari, keindahan kota Jakarta terlihat lebih aestetik.Kiara tak hentinya tersenyum, ia kembali bertemu sahabatnya semasa kecil. Anak orang kaya namun bersahaja, mereka berpisah karena usaha orang tuanya yang berkembang pesat, menjadikan sahabatnya itu juga ikut pindah sekolah."Lama gak ketemu, tiba-tiba udah mau nikah aja lo, Ra," ujar pria itu sembari tersenyum kecil.Kiara tersenyum terpaksa."Siapa pria beruntung itu?" tanya sahabatnya lagi."Gue gak bisa kasih tahu sekarang, Ki.""Kenapa? Apa pernikahan kalian di rahasiakan?" tanya Taki, pemuda keturunan Jepang yang ternyata sahabat kecil Kiara.Kiara menggeleng pelan. Mengalihkan pandangan ke ara
Hari pernikahan tinggal besok. Gaun pengantin pun sudah mereka ambil tadi sore. Ibu dan ayah Kiara pun sudah dijemput dan menginap disini. Undangan untuk orang-orang penting sudah di sebar dari tiga hari yang lalu.Sedangkan untuk karyawan mereka mendapat undangan tak resmi. Tapi, tentu saja tak mungkin kan jika tidak datang di acara paling sakral boss mereka. Meski dalam hati mereka sangat penasaran pada wanita yang berhasil meluluhkan boss dingin itu.Ayu uring-uringan mendengar kabar tersebut, membuat yang lain hanya bisa menutup telinga. Diam-diam Kiara merasa tak enak hati. Apalagi kalau sampai besok Ayu mengetahui bahwa dirinyalah mempelai wanitanya. Ia hanya bisa menggigit bibir seolah-olah tak tahu.Malam kian larut, tapi gadis itu tak mampu memejamkan matanya. Ia gelisah, teringat ucapan Vina tempo hari. Ia juga canggung karena Devan mendiamkannya sekembalinya dari fitting gaun itu. Ia makin merasa bersalah. Meski ia tahu pernikahan mereka hanya pura-p
Satrio kewalahan menenangkan Ayu yang menangis histeris. Akhirnya dia diamkan saja dan fokus menyetir, meski sebenarnya fikirannya mengatakan tidak. Dia masih tak menyangka bahwa Kiara lah mempelai wanita presdir mereka. Ia tahu sebrengsek apa Devan dahulu. Maksudnya, dalam rabaan prasangkanya."Lo tega, Ra. Gue yang ngincer pak Devan, kenapa lo yang nikah. Huhu," Ayu meluapkan kemarahannya dengan memukul-mukul tasnya. Entah sudah berapa lembar tisu yang berserakan di bawah kursinya. Satrio hanya meliriknya selintas, ia juga merasakan nyeri. Tapi ia masih bisa menutupinya."Hentikan, Yu! Lo ngotori mobil gue," ujar Satrio. Lama-lama kesal juga. Mobilnya jadi tempat pembuangan tisu bekas ingus."Lo gak tahu apa gue lagi patah hati! Peka kenapa? Dasar cowok!" Teriak Ayu kesal. Satrio menutup sebelah telinganya. Bisa tuli lama-lama dia."Mau gimana lagi, orang pak Devan gak mau sama elo.""Kok elo jahat sih Sat. Gue ini lagi sedih. Hibur dong, bukan malah
Setengah jam lebih, dan Kiara baru selesai mandi. Ia sudah memakai baju tidurnya. Beruntung sekali dirinya yang menyediakan pakaian untuknya sendiri. "Kau sudah selesai?"Kiara mengangguk. Devan bangkit dari duduknya, melewati Kiara tanpa sedikitpun memandang gadis itu dan langsung beranjak ke kamar mandi dengan membawa handuk saja.Kiara memandang pria itu dengan aneh, tapi ia hanya menggendikkan bahu. Beringsut menghidupkan ponselnya yang dimatikan sejak tadi malam. Bunyi notifikasi pesan masuk beruntun. Salah satunya pesan spam Satrio. Ia meringis membayangkan reaksi rekan-rekannya saat mengetahui dirinyalah mempelai sang presdir. Mungkin besok dia menjadi perkedel.Ia buka notifikasi dari Taki."Selamat atas pernikahan Lo, Ra. Sory gue tadi gak bisa lama-lama. Tapi gue udah ngeliat suami lo, dan dia sangat tampan. Lo beruntung. Sekali lagi selamat. Doain gue cepet nyusul ya. Hehe."Tanpa sadar bibir Kiara mengulas senyum lebar. Manis, dari dulu Taki
Kantor.Ayu masih merenung dengan mata sembab yang kentara. "Udahlah, Yu, jangan meratap terus menerus. Ikhlasin dong," ujar Nadia."Kiara tega Nad. Tega. Dia kan tahu gue suka sama pak Devan. Tapi, kenapa dia nikung temen sendiri," racaunya dengan tatapan kosong."Yu, Kiara gak nikung. 'Kan pak Devan juga bukan milik lo. Bisa jadi emang dari awal Kiara punya hubungan sama pak Devan. Tapi gak enak bilang sama kita karena lo suka sama pak Devan," jelas Nadia, sedikit tidak masuk akal sih. Sementara ini kan baru beberapa minggu Devan memimpin perusahaan."Tapi tetap saja. Dia tega ... tega ... huaaa!""Stt ... ada pak Devan." Isyarat Satrio. Mereka seketika terdiam.Devan seperti biasa melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun, apalagi membalas sapaan mereka. Kiara sendiri langsung duduk di kursinya. Sembari menetralkan ekspresi wajahnya.Setelah Devan masuk ruangan barulah mereka menyerbu Kiara."Eh, kok udah berangkat aja, Ra. Emang gak capek
Semenjak bertemu dengan wanita bulan tersebut Devan makin sering mengunjungi bar itu. Bahkan ia seringkali datang sendiri tanpa teman-temannya.Indira nama gadis itu. Ralat, gadis yang sudah tak gadis lagi. Indira adalah salah satu wanita penghibur di bar tersebut. Menurutnya ceritanya sendiri, dia mulai bekerja saat kelas dua SMA dan jika dihitung ini merupakan tahun ke lima. Dia di jual oleh orang tuanya sendiri untuk melunasi hutang.Malam itu, Indira menangis dalam pelukan Devan. Membuat pemuda yang belum pernah merasakan namanya jatuh cinta itu luluh sekaligus jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak peduli jika jarak mereka adalah empat tahun lebih, tuaan Indira.Teman-temannya memaklumi Devan yang sedang jatuh cinta, hanya saja kenapa harus dengan wanita yang lebih tua? Seorang pelacur lagi. Tapi Devan abai, menutup telinganya rapat-rapat.Hubungan terlarang itu berlanjut hingga Devan kuliah. Beruntung aktifitas barunya tak membuat nilai-nila
Tak butuh waktu yang lama dengan pesawat terbang, pesawat mendarat di bandara Ngurah Rai pukul sepuluh tepat.Bandara terlihat ramai dengan wajah-wajah asing. Maklum lah, Bali adalah pariwisata wajib bagi para turis. Hal inilah yang membuat Kiara memutuskan untuk menikmati keindahan negeri sendiri sebelum mengunjungi luar negeri.Kalau ada yang indah di dekat sini, kenapa harus yang jauh?Sebuah mobil sedan sudah menunggu mereka diluar bandara. Pak Yus, nama sopir tersebut. Khusus di sewa untuk mengantar sampai ke hotel, dan setelah itu mobilnya mereka sewa untuk keperluan pergi kemana-mana.Kiara tertidur dalam perjalanan ke hotel. Devan melirik gadis itu dari kaca mobil. Ponselnya berdering, ia segera mengangkatnya."Iya, Pa?""Sudah sampai?""Sudah. Baru saja. Ini perjalan ke hotel.""Baiklah. Selamat bersenang-senang.""Tutt! Ttut!"Devan mendengus pelan. Hanya begitu? Papanya memang aneh. Devan memasukkan ponselny
"Yeeay! Mantai!"Devan yang sedang terlelap sontak terbangun karena teriakan Kiara."Ups. Sory. Hehe."Devan mendengus pelan kembali terlelap. Sementara Kiara bergegas turun dari ranjangnya dan mencari pakaian yang cocok untuk ke pantai hari ini.Setelah mendapat pakaian yang diinginkannya, ia melenggang ke kamar mandi.Bruak!Devan tersentak bangun lagi."Aish! Wanita itu!" gerutunya. Ia tidur lagi, namun lagi-lagi konsentrasinya pecah. Suara shower yang berisik dan nyayian sumbang Kiara yang mengganggu telinganya."Ku menangis ....Membayangkan.Betapa kejamnya dirimu melepas diriku ...."Devan menutup telinganya dengan bantal."Dasar cewek! Mandi saja berisik," rutuknya.Setengah jam kemudian Kiara keluar kamar mandi dengan handuk terlilit di rambutnya. Menatap Devan yang masih meringkuk."Katanya mau ke pantai, eh molor mulu," gelengnya."Tuan muda yang terhormat.Bangun. Gant
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu