Esoknya, pukul 08:45 dikantor. Kiara memandangi ruangan Devan tanpa sadar. Bayangan kejadian tadi malam saat ia memeluk Devan kini terasa jelas, dan ternyata rasanya memalukan. Sedari tadi bahkan Kiara tak berani memandang Devan Merekapun hanya saling diam dalam perjalanan ke kantor."Apa yang gue lakuin tadi malem. Kia bodoh!" keluhnya sembari memukul-mukul kepalanya ke meja. Ayu dan Nadia saling berpandangan lalu mengangkat bahunya. Kiara terlihat aneh sedari tadi pagi. Satrio, pria itu tak ketinggalan mengamati ekspresi Kiara. Ada yang janggal."Bagaimana aku harus bersikap saat ke ruangannya nanti? Aish! Kenapa memalukan sekali!" rutuknya lagi."Ra, pak Devan minta di belikan siomay sama kamu," ujar Satrio. Kiara sontak mendongak."Gu-gue?" tunjuknya pada diri sendiri. Satrio mengangguk."Lah, dia kira gue Office Girl apa. Nyebelin banget sih," gerutunya seraya beranjak."Aku temenin."Kiara hanya tersenyum.Mereka melangkah dalam diam. Tentu saja karena Kiara masih kepikiran tadi
Setelah rutinitas hari ini yang melelahkan, akhirnya tiba jam pulang. Para karyawan bersiap-siap memberesi barang-barangnya masing-masing. Tak terkecuali Kiara. Ia telah selesai dengan urusannya. Sudut matanya sempat melihat ruangan Devan. Bahkan sedari tadi pria itu tak keluar dari ruangannya. Apa mungkin ada pekerjaan yang mendesak yang membuatnya harus lembur? Ataukah perusahaan sedang berada di tingkat ketidak stabilan?Entahlah, dia hanya karyawan.Kiara melangkah keluar, dengan pikiran berkecamuk. Tiba di pinggir jalan, Kiara hanya diam terpaku. Ia belum bisa memutuskan harus naik apa untuk pulang. Kalaupun taksi, dia juga tak faham dengan alamat rumah Adam.Ia menimang-nimang ponselnya, antara menghubungi Devan atau nekat pulang."Tin! Ttin!"Suara klakson mengagetkannya."Belum pulang, Ra?" "Eh, belum Sat."Satrio menghentikan motor besarnya disamping Kiara. Ikut mengawasi jalanan yang ramai karena jam pulang kerja.
Pagi ini entah kenapa Rara rewel. Tak biasanya anak kecil itu minta diantarkan ke sekolahnya. Nina juga hingga jam segini belum juga datang."Sayang, mama sama papa kan harus ke kantor.""Gak mau, pokoknya Rara maunya diantar sama mama dan papa!" Kiara menoleh ke arah Devan. Pria itu malah menyantap sarapannya dengan santai. Ya, mereka sedang sarapan bersama. Dan tiba-tiba saja Rara tadi melontarkan keinginannya yang membuat Kiara tersentak. Bagaimanapun juga dia belum resmi jadi mama Rara, apa tidak jadi bahan omongan nanti disana.Nina baru saja datang, ia terlambat karena sesuatu hal. Dan ketika ia mendengar permintaan Rara bergegas menghampiri gadis kecil itu, berusaha membujuknya. Karena sesuai dengan kontrak kerjanya dengan Devan, bahwa ia harus sigap menjaga Rara dan mengurusi apapun kebutuhan Rara tanpa mengganggu pekerjaannya.Dan ia rasa saat ini permintaan Rara mengganggu pekerjaan Devan."Rara sayang, sama kakak aja ya?
Devan berdiri dengan bersandar pada mobilnya. Bibirnya mengulas senyum melihat interaksi manis Kiara dan Rara. Anak itu kembali ceria. Kebahagiaan terpancar di wajah polos tersebut, membuatnya merasa bersalah.Pagi tadi Rara sempat ngambek, bahkan mengabaikan kedatangan dirinya. Melihat Rara seperti itu membuatnya sakit. "Ih, papa kok senyum-senyum sendiri sih. Entar kesambet lo," Kiara menoleh, mendapati Devan yang salah tingkah."Itu tandanya papa sayang sama Rara, tuh buktinya papa senyum bahagia.""Hehe, papa iih. Mentang-mentang sekarang ada calon mama jadi sering senyum-senyum sendiri."Devan menggaruk tengkuknya, bisa-bisanya dia di ledek putrinya sendiri. Kiara tertawa kecil."Tuhkan. Papa mukanya merah. Eh, mama juga," Rara tertawa. Dasar anak kecil, tidak tahu apa secuil perkataannya membuat grogi manusia dewasa."Udah, buruan masuk. Nanti telat lo.""Emuach. Rara sayang calon mama," ucapnya sembari mencium pip
Cafe Magic Shop, cafe yang unik karena terletak di atap gedung X. Pengunjung bisa dengan leluasa menikmati keindahan kota Jakarta dari sini. Tanpa atap, hanya payung lebar yang menaunginya. Namun tak masalah, angin disini berhembus segar. Sebenarnya lebih indah lagi saat berkunjung malam hari, keindahan kota Jakarta terlihat lebih aestetik.Kiara tak hentinya tersenyum, ia kembali bertemu sahabatnya semasa kecil. Anak orang kaya namun bersahaja, mereka berpisah karena usaha orang tuanya yang berkembang pesat, menjadikan sahabatnya itu juga ikut pindah sekolah."Lama gak ketemu, tiba-tiba udah mau nikah aja lo, Ra," ujar pria itu sembari tersenyum kecil.Kiara tersenyum terpaksa."Siapa pria beruntung itu?" tanya sahabatnya lagi."Gue gak bisa kasih tahu sekarang, Ki.""Kenapa? Apa pernikahan kalian di rahasiakan?" tanya Taki, pemuda keturunan Jepang yang ternyata sahabat kecil Kiara.Kiara menggeleng pelan. Mengalihkan pandangan ke ara
Hari pernikahan tinggal besok. Gaun pengantin pun sudah mereka ambil tadi sore. Ibu dan ayah Kiara pun sudah dijemput dan menginap disini. Undangan untuk orang-orang penting sudah di sebar dari tiga hari yang lalu.Sedangkan untuk karyawan mereka mendapat undangan tak resmi. Tapi, tentu saja tak mungkin kan jika tidak datang di acara paling sakral boss mereka. Meski dalam hati mereka sangat penasaran pada wanita yang berhasil meluluhkan boss dingin itu.Ayu uring-uringan mendengar kabar tersebut, membuat yang lain hanya bisa menutup telinga. Diam-diam Kiara merasa tak enak hati. Apalagi kalau sampai besok Ayu mengetahui bahwa dirinyalah mempelai wanitanya. Ia hanya bisa menggigit bibir seolah-olah tak tahu.Malam kian larut, tapi gadis itu tak mampu memejamkan matanya. Ia gelisah, teringat ucapan Vina tempo hari. Ia juga canggung karena Devan mendiamkannya sekembalinya dari fitting gaun itu. Ia makin merasa bersalah. Meski ia tahu pernikahan mereka hanya pura-p
Satrio kewalahan menenangkan Ayu yang menangis histeris. Akhirnya dia diamkan saja dan fokus menyetir, meski sebenarnya fikirannya mengatakan tidak. Dia masih tak menyangka bahwa Kiara lah mempelai wanita presdir mereka. Ia tahu sebrengsek apa Devan dahulu. Maksudnya, dalam rabaan prasangkanya."Lo tega, Ra. Gue yang ngincer pak Devan, kenapa lo yang nikah. Huhu," Ayu meluapkan kemarahannya dengan memukul-mukul tasnya. Entah sudah berapa lembar tisu yang berserakan di bawah kursinya. Satrio hanya meliriknya selintas, ia juga merasakan nyeri. Tapi ia masih bisa menutupinya."Hentikan, Yu! Lo ngotori mobil gue," ujar Satrio. Lama-lama kesal juga. Mobilnya jadi tempat pembuangan tisu bekas ingus."Lo gak tahu apa gue lagi patah hati! Peka kenapa? Dasar cowok!" Teriak Ayu kesal. Satrio menutup sebelah telinganya. Bisa tuli lama-lama dia."Mau gimana lagi, orang pak Devan gak mau sama elo.""Kok elo jahat sih Sat. Gue ini lagi sedih. Hibur dong, bukan malah
Setengah jam lebih, dan Kiara baru selesai mandi. Ia sudah memakai baju tidurnya. Beruntung sekali dirinya yang menyediakan pakaian untuknya sendiri. "Kau sudah selesai?"Kiara mengangguk. Devan bangkit dari duduknya, melewati Kiara tanpa sedikitpun memandang gadis itu dan langsung beranjak ke kamar mandi dengan membawa handuk saja.Kiara memandang pria itu dengan aneh, tapi ia hanya menggendikkan bahu. Beringsut menghidupkan ponselnya yang dimatikan sejak tadi malam. Bunyi notifikasi pesan masuk beruntun. Salah satunya pesan spam Satrio. Ia meringis membayangkan reaksi rekan-rekannya saat mengetahui dirinyalah mempelai sang presdir. Mungkin besok dia menjadi perkedel.Ia buka notifikasi dari Taki."Selamat atas pernikahan Lo, Ra. Sory gue tadi gak bisa lama-lama. Tapi gue udah ngeliat suami lo, dan dia sangat tampan. Lo beruntung. Sekali lagi selamat. Doain gue cepet nyusul ya. Hehe."Tanpa sadar bibir Kiara mengulas senyum lebar. Manis, dari dulu Taki