Hari itu, suasana di desa terasa berbeda. Ritual bersih desa, yang diadakan setiap tahun, selalu menjadi momen penting bagi warga. Balai desa yang biasanya sepi kini dipenuhi dengan penduduk yang datang membawa persembahan sederhana: nasi tumpeng, buah-buahan, bunga, dan kain putih.
Asap dupa melayang di udara, menciptakan aroma khas yang bercampur dengan udara pagi. Suara doa-doa yang dipanjatkan oleh tokoh adat dan Bu Narti, dukun desa yang dihormati, memenuhi ruang dengan getaran spiritual yang mendalam.
Ritual ini diyakini sebagai cara untuk menenangkan danyang desa, penjaga gaib yang dipercaya melindungi mereka. Namun, tahun ini, ritual tersebut terasa lebih mendesak, terutama setelah serangkaian kejadian aneh yang membuat semua orang gelisah.
Di antara kerumunan, Wina hadir dengan sikap yang tak seperti biasanya. Wajahnya tampak tenang, tanpa ekspresi, seolah-olah perasaan khawatir yang biasanya menghantuinya telah
Namun, sebelum ada yang bisa menghentikannya, Wina tiba-tiba berjalan menuju altar. Langkahnya perlahan tetapi pasti, seperti ada kekuatan yang membimbingnya. Bu Narti yang sedang memimpin doa berhenti sejenak, menatap Wina dengan ekspresi bingung.“Wina, apa yang kau lakukan?” tanya Bu Narti, suaranya tegas tetapi tidak marah.Wina tidak menjawab. Dia mengangkat tangannya ke arah dupa yang menyala dan tiba-tiba nyala api di altar, menjadi lebih besar. Semua warga terkejut, beberapa mundur dengan ketakutan. Asap tebal membentuk bayangan-bayangan yang bergerak di udara, menciptakan suasana mencekam.Kemudian, suara Wina terdengar. Namun, itu bukan suara lembutnya yang biasa. Suaranya terdengar lebih dalam, lebih berat, seperti suara yang datang dari entitas lain.“Aku adalah pelindung desa ini,” katanya, suaranya menggema di seluruh balai desa. “Aku telah lama berada di s
Kata-kata Bu Narti memang berhasil membuat Wina sedikit tenang. Namun, di dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Perjalanan ke depan tidak akan mudah. Kini, dia harus menyeimbangkan dirinya antara menjalani kehidupan sebagai gadis desa biasa dengan beban ekspektasi yang semakin besar dari warga desa.Mereka kini melihatnya sebagai sosok pelindung, seseorang yang diberkahi kekuatan gaib untuk menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia yang tak kasat mata.Wina sering merasa canggung dengan perhatian yang tiba-tiba mengarah padanya. Setiap kali ia melangkah keluar rumah, ada saja warga yang menyapa dengan hormat, bahkan meminta berkat darinya. Ada yang datang dengan membawa bayi mereka, memintanya untuk mendoakan kesehatan si kecil.Ada juga yang membawa air dalam kendi, berharap Wina bersedia "memberkatinya" agar bisa digunakan sebagai obat. Meskipun Wina selalu mencoba menolak dengan halus, tatapa
Wina tidak bisa tidur malam itu. Mimpi tentang sosok di hutan yang misterius terus membayang di pikirannya, seolah-olah memanggilnya untuk mencari jawaban. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya bunga tidur, namun hatinya berkata lain. Ada sesuatu yang nyata dalam mimpi itu, sesuatu yang terasa lebih dari sekadar khayalan.Wina duduk di beranda rumah, memeluk lutut sambil memandangi langit malam yang cerah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dari hujan sore tadi. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar mengiringi pikirannya yang berkecamuk.“Kalau memang ini semua adalah tugas yang harus aku jalani, kenapa semuanya terasa seperti teka-teki?” Wina berbicara kepada dirinya sendiri, mencoba mencari keberanian di tengah kebingungannya.Suara langkah kaki lembut terdengar mendekat. Bu Narti muncul dari balik pintu dengan selendang melingkar di bahunya. Wajahnya tampak khawatir, namun ada ketenangan d
Pria tua itu tersenyum tipis. “Aku adalah bagian dari keseimbangan yang harus kau jaga, Wina. Apa yang terjadi padamu bukan kebetulan. Kau dipilih karena kekuatan yang ada dalam dirimu.”“Kekuatan?” Wina mengulang, merasa bingung.“Ya,” jawabnya. “Kau adalah penjaga baru desa ini, seperti yang lain sebelum dirimu. Namun, kau memiliki sesuatu yang istimewa, kemampuan untuk menghubungkan dunia ini dengan dunia kami.”Wina terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. “Tapi aku tidak mengerti. Kenapa aku? Aku hanya seorang gadis biasa.”“Tidak ada yang biasa tentang dirimu, Wina,” katanya dengan tegas. “Kau memiliki keberanian dan hati yang tulus, sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Itu sebabnya kau dipilih.”Wina menelan ludah, perasaan takut dan bingung bercampur jadi satu. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”“Kau akan tahu pada waktunya,” kata sosok itu.
Malam itu, suasana desa terasa tenang, tetapi hati Arif tidak. Ia duduk di ruang tengah rumahnya, memandangi lampu minyak yang bergoyang lembut oleh angin malam.‘Apa bernar yang di katakan mbah Mijan?’ Pikiran tentang kejadian di balai desa masih menghantui pikirannya, terutama tentang Wina yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian.“Tapi jika itu benar, apa yang nanti akan aku ketahui sendiri. Tentang Wina sudah terungkap di tempat ritual desa. Tapi yang akan aku ketahui, belum juga aku dapatkan,” gumamnya lirih. Arif menatap kosong ke depan, setidaknya dia kurang memikirkan pesugihan kandang bubrah , fokusnya tertuju pada masalah desa.Namun, ketenangan itu segera terusik oleh suara ketukan pelan di pintu. Arif berdiri, sedikit waspada. Ketika dia membuka pintu, dia mendapati Wina berdiri di sana. Wajah gadis itu terlihat serius, dan matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan.“Wina? A
Arif duduk di beranda rumahnya, memandangi langit pagi yang mulai memudar menjadi abu-abu. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu menghilangkan rasa gelisah yang menguasai pikirannya. Ia terus memikirkan ancaman Wina dan konsekuensi dari keputusannya.“Mas Arif !” panggil Lila.“Hem, ya,” jawabnya singkat.Lila mengelengkan kepala, dia tidak habis pikir dengan suaminya . Lila meletakkan minuman di atas meja. “ Ini minumnya,” ujarnya lalu pergi.Arif hanya tersenyum dan mengangguk, dia kembali ke fokusnya sebelumnya. Tuntutan Wina terasa seperti jebakan yang memaksa Arif untuk semakin terikat pada misteri yang ia coba hindari. Namun, ancaman itu tidak memberinya pilihan.“Apa aku benar-benar harus melakukannya?” gumam Arif, menatap cangkir teh di tangannya. “Atau... apa aku harus melawan?”
Ketika Arif kembali ke rumah, Lila menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Arif, kau ke mana tadi?” tanyanya. “Kau terlihat sangat gelisah belakangan ini.”“Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawab Arif singkat, mencoba menghindari pertanyaan lebih lanjut.Namun, Lila tidak menyerah. “Arif, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Tolong, apa pun itu, katakan padaku. Aku ingin membantumu.”Arif menatap istrinya, merasa bersalah karena harus menyembunyikan kebenaran darinya. Namun, ia tahu bahwa mengungkapkan semuanya hanya akan membuat situasi semakin rumit.“Lila, semuanya akan baik-baik saja,” katanya akhirnya, mencoba menenangkan istrinya. “Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal.”Lila terdiam, meskipun wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tid
Setelah pembicaraan itu, Lila pergi tidur, tetapi Arif tetap duduk di ruang tengah. Ia memikirkan kata-kata Wina tentang Gibran dan danyang desa.Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa Wina memiliki agenda tersembunyi. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Gibran mungkin memang ditakdirkan untuk menikahi Wina dan melahirkan keturunan yang akan menjadi bagian dari tradisi danyang.“Kalau benar ini tentang keturunan...” gumam Arif, “apa artinya Gibran harus menyerahkan hidupnya?”Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa bersalah karena telah menyeret Gibran ke dalam kekacauan ini. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Jika ia ingin melindungi dirinya dan keluarganya, ia harus menyelesaikan tugas ini.“Belum selesai masalah satu, datang masalah ini lagi. Aku pikir ritual pertama itu sudah selesai, ternyata m
Arif menutup matanya, berusaha mengusir suara-suara itu, namun semakin keras ia mencoba menenangkan pikirannya, semakin besar kekuatan yang menariknya ke dalam dunia gaib. Ia merasakan tangan roh-roh itu menyentuhnya, menariknya lebih dalam ke dalam dunia yang tidak nyata, dunia yang hanya dipenuhi dengan kegelapan dan keputusasaan."Arif..." bisik suara lain, lebih lembut dan penuh penyesalan. Itu adalah suara Lila, wajahnya muncul dalam benak Arif, tampak cemas dan penuh dengan cinta. "Kau masih bisa kembali, Arif. Jangan biarkan dirimu tenggelam sepenuhnya. Kami butuh kau. Anak kita butuh kau."Namun, suara itu segera lenyap, digantikan dengan jeritan roh-roh yang mengelilinginya, yang semakin kuat dan semakin nyata. Arif terperangkap, antara dunia yang nyata dan dunia yang penuh dengan bayangan gelap. Ia merasa terpisah dari dirinya sendiri, tubuhnya terasa berat dan tak lagi sepenuhnya miliknya. Ia semakin terjebak dalam dunia yang penu
Di dalam hatinya, Lila merasa terombang-ambing antara cinta dan amarah. Ia ingin menyelamatkan Arif, suami yang dulu ia cintai, namun ia juga tak bisa menahan rasa sakit dan kecewa atas keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini. Ia mulai bertanya-tanya apakah segala sesuatu yang mereka jalani, semua kebahagiaan mereka hanyalah ilusi yang dibangun di atas dosa dan pengorbanan.Lila duduk di samping Arif yang terbaring lemah, matanya menatap suaminya dengan penuh kecemasan."Arif..." suara Lila terhenti, terisak pelan. "Apa yang sudah kita lakukan? Kenapa kita harus terjerumus sejauh ini? Kenapa kamu memilih jalan ini?"Arif tidak menjawab. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin lemah. Hanya ada keheningan yang semakin menebal di antara mereka. Lila merasa seolah berada di persimpangan jalan yang gelap dan tak ada arah. Setiap pilihan yang ia pikirkan terasa salah. Namun, ia tidak bisa mundur sekarang.
Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Dengan hati yang hancur, ia merasakan keputusan yang harus diambil oleh suaminya.Di luar, warga desa mulai mendekati rumah Mahoni. Mereka sudah hampir mencapai gerbang, dan suara mereka semakin mendekat. Lila berlari keluar, menatap mereka dengan tatapan penuh kebingungan dan kesedihan."Mereka datang," kata Lila, suaranya serak. "Arif... mereka datang."Arif menatap Lila dengan tatapan terakhir yang penuh dengan pengorbanan. "Lila... ini waktunya. Aku siap. Jagalah Jatinegara."Dengan langkah berat, Lila mengangguk, mengucapkan selamat tinggal pada Arif dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ia akan kehilangan pria yang pernah ia cintai, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari kutukan yang telah menghancurkan mereka.Arif, dalam pengor
Ketegangan di rumah Arif semakin memuncak. Warga desa yang marah telah memasuki halaman rumah dengan penuh amarah, memaksa Lila untuk segera mengambil keputusan.Setiap langkah mereka terasa seperti petir yang mengguncang dunia yang sudah hancur di sekelilingnya. Suara teriakan semakin keras, semakin mendekat ke pintu rumah, dan Lila merasa terjebak antara rasa takut dan kebingungan yang tak terungkapkan.Arif terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, tubuhnya ringkih. Hidungnya mencium bau darah yang samar-samar, dan napasnya semakin terengah. Namun, meskipun tubuhnya tak lagi kuat, matanya yang penuh penyesalan masih tampak terang dengan perasaan yang dalam. Kini, dia tahu bahwa dia harus memilih jalan yang tak bisa kembali.Lila mendekat, duduk di sisi tempat tidur Arif. "Arif," suara Lila bergetar. "Kita... kita bisa melarikan diri. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Kita bisa… kita bisa pergi jauh dari
Setelah beberapa waktu berdiskusi, mereka sepakat untuk bertindak. Dengan penuh semangat, mereka bergerak menuju rumah Mahoni, dengan langkah-langkah cepat dan penuh tekad.”Kalau tidak bergerak sekarang, Arif bisa kabur,” ujar salah satu warga memprovokasi.”Betul! Betul! ” Serentak sorakan lantang tu menyeruak ke udara memenuhi desa Misahan.Namun, perjalanan itu tak berlangsung tanpa halangan. Mereka tahu bahwa jika mereka menyerang rumah Mahoni, mereka harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Tetapi rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan lebih besar dari ketakutan apapun.Sementara itu, di rumah Mahoni, Lila sedang berusaha menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap. Dia merasa terjebak antara rasa cinta dan kebencian, antara keinginan untuk membangun kembali hidupnya dan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Namun, hari itu, saat ia sedang duduk sendiri di ruang tamu, terdengar suara langkah-langkah yang mendekat. Ia mendengar bisikan yang semakin keras dari luar,
Arif terdiam. Ia tidak bisa melihat mata Lila, hanya menatap kosong ke dinding. "Aku... aku sengaja melakukan inseminasi dengan donor. Agar kau tetap bisa punya keturunan. Aku takut, Lila, kalau anak-anak kita adalah keturunan Mahoni, mereka akan menjadi tumbal ritual ini. Sebab itu Jatinegara aman saat ini, tidak ada setetespun darah Mahoni dalam tubuhnya," kata Arif, suara penuh keraguan.Lila terperanjat, hatinya seperti dipenuhi oleh amarah yang membakar. "Jadi, kau melakukan semua itu demi kekuatan dan kekayaan, Arif? Semua yang kita jalani selama ini, semua kebahagiaan kita, hanyalah kebohongan?!" Lila merasa tubuhnya semakin lemas. Semua yang ia percayai selama ini ternyata sebuah ilusi.Arif menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu lagi, Lila. Aku sudah terjebak dalam ini. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa hidup lebih baik... Aku hanya ingin kau bahagia," ucap Arif dengan suara tercekat.Lila merasa hatiny
Lila duduk di sudut ruang tamu, matanya kosong menatap jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berat, menambah beban kecemasan yang sudah lama menggerogoti hatinya.’Kenapa begini, kamu janji waktu dulu akan terus bersamaku. Kenapa begini, Arif . Aku mohon kamu bisa,’ harap Lila di dalam hati.Di depannya, Arif terbaring lemah di atas sofa. Tubuhnya tampak semakin kurus, wajahnya pucat, seolah-olah hidupnya tergantung pada seutas benang. Penyakit yang menggerogoti tubuh Arif memperburuk keadaannya, membuatnya lebih mudah terperangkap dalam dunia gaib yang semakin menguasainya. Suaminya yang dulu penuh semangat kini hanya tampak seperti bayangan.Lila memandang Arif dengan hati yang penuh keraguan dan rasa sakit. Ia tahu suaminya bukanlah orang yang sama lagi. Arif berbicara tanpa arah, matanya kosong, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri seperti berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat Lila."Arif," Lila memanggil, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padamu? Ap
125Arif duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya yang dulu gagah kini terlihat rapuh, wajahnya pucat, penuh keriput, dan jauh dari semangat hidup. Tangannya menggenggam bingkai foto Afifah, keponakannya yang telah tiada. Setiap malam, wajah Afifah menghantuinya, seperti menuntut jawaban atas semua keputusan kelamnya di masa lalu."Afifah... maafkan Om," bisiknya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Lila melangkah mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu suaminya semakin larut dalam rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana cara menolongnya."Arif, kamu harus makan. Tubuhmu makin lemah," ucapnya lembut, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam.Arif hanya menggeleng pelan. "Untuk apa makan, Lila? Hidupku sudah selesai sejak Afifah pergi."Lila terdiam, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa duka yang mengikat suaminya.Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di tengah keheningan,
Beberapa hari setelah itu, Wina datang sendirian ke rumah Arif. Ia menemui pria itu di ruang tamu, yang kini berantakan. Foto-foto keluarga berserakan di lantai, dan bau pengap memenuhi ruangan. Wina duduk di depan Arif, mencoba menatapnya dengan penuh simpati.“Kak Arif,” katanya pelan, “Aku tahu ini berat. Tapi desas-desus di desa sudah tidak terkendali. Mereka terus menyalahkan Danyang, dan banyak yang percaya bahwa ini semua karena pesugihanmu.”Arif mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, dan wajahnya penuh kelelahan. “Apa pun yang mereka katakan… mereka benar,” katanya akhirnya, suaranya serak.Wina terkejut. “Apa maksud Kakak? Walau aku tau hal ini sejak lama. Tapi, seharusnya kakak jangan bicara seperti itu.” Protesnya dengan hati-hati.“Aku sudah melakukan dosa besar, Wina. Dosa yang tidak akan pernah bisa aku tebus.” Arif menunduk lagi, tangannya menggenggam erat lututnya. “Afifah… dia adalah tumbal terakhir. Semua ini salahku.”Wina menggeleng pelan, mencoba memproses