Ketika Arif kembali ke rumah, Lila menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Arif, kau ke mana tadi?” tanyanya. “Kau terlihat sangat gelisah belakangan ini.”
“Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawab Arif singkat, mencoba menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Namun, Lila tidak menyerah. “Arif, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Tolong, apa pun itu, katakan padaku. Aku ingin membantumu.”
Arif menatap istrinya, merasa bersalah karena harus menyembunyikan kebenaran darinya. Namun, ia tahu bahwa mengungkapkan semuanya hanya akan membuat situasi semakin rumit.
“Lila, semuanya akan baik-baik saja,” katanya akhirnya, mencoba menenangkan istrinya. “Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal.”
Lila terdiam, meskipun wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tid
Setelah pembicaraan itu, Lila pergi tidur, tetapi Arif tetap duduk di ruang tengah. Ia memikirkan kata-kata Wina tentang Gibran dan danyang desa.Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa Wina memiliki agenda tersembunyi. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Gibran mungkin memang ditakdirkan untuk menikahi Wina dan melahirkan keturunan yang akan menjadi bagian dari tradisi danyang.“Kalau benar ini tentang keturunan...” gumam Arif, “apa artinya Gibran harus menyerahkan hidupnya?”Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa bersalah karena telah menyeret Gibran ke dalam kekacauan ini. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Jika ia ingin melindungi dirinya dan keluarganya, ia harus menyelesaikan tugas ini.“Belum selesai masalah satu, datang masalah ini lagi. Aku pikir ritual pertama itu sudah selesai, ternyata m
Ketika mereka mulai mendekati batas desa menuju hutan Misahan, Arif menghentikan langkahnya. Ia menatap Rendi dengan serius, lalu mengeluarkan sebuah lilin dari tas kecilnya.“Rendi, dengarkan aku baik-baik,” kata Arif sambil menyerahkan lilin itu. “Ini bukan perjalanan biasa. Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga lilin ini tetap menyala. Jangan sampai padam, apa pun yang kau lihat atau dengar.”Rendi mengerutkan kening, bingung dengan permintaan itu. “Kenapa, Pak? Apa yang sebenarnya kita cari di sini?”Arif menghela napas panjang. Ia tahu bahwa menjelaskan semuanya hanya akan menambah ketakutan Rendi, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria muda itu tidak tahu apa-apa. “Kita akan mencari barang-barang yang penting untuk desa ini, tetapi perjalanan ini tidak hanya tentang fisik. Kau mungkin akan melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Jangan coba-coba untuk mengikutiku l
Arif melangkah semakin jauh ke dalam hutan Misahan. Udara semakin berat, dan keheningan yang melingkupi seolah menelan setiap suara langkahnya.Pepohonan menjulang tinggi, dedaunannya menutupi langit, membuat siang hari tampak seperti senja. Setiap langkah membawa rasa dingin yang menusuk tulang, tetapi Arif tidak berhenti.“Semua ini hanya rintangan,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, rintangan pertama segera muncul. Ketika ia melangkah lebih dalam, suara desisan pelan terdengar dari sekelilingnya. Arif berhenti, matanya berusaha menembus kegelapan.Tiba-tiba, seekor ular besar meluncur dari salah satu cabang pohon dan mendarat di depannya. Tubuhnya hitam berkilau dengan sisik yang memantulkan cahaya samar, dan matanya merah menyala, menatap Arif dengan penuh kebencian.“Manusia,” desis ular itu dengan suara yang tidak wajar. “Kau tidak seharus
Arif melangkah lebih jauh setelah melewati gerbang yang dijaga oleh Duras. Udara terasa semakin berat, dan aroma busuk menyengat menyeruak, membuatnya harus menutup hidung dengan kain. Jalan setapak yang ia lalui tampak seperti lingkaran tak berujung, dan pohon-pohon di sekelilingnya terlihat seperti sosok yang bergerak. Ia mulai merasa dirinya tidak benar-benar maju.“Aku sudah melewati pohon ini sebelumnya,” gumamnya, menatap sebuah pohon besar dengan cabang yang berbentuk aneh.Arif merobek sepotong kain dari bajunya dan mengikatnya di salah satu cabang pohon itu sebagai tanda. Lalu ia melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, tetapi setelah berjalan beberapa menit, ia kembali melihat pohon yang sama dengan tanda kainnya.“Sialan!” teriak Arif frustrasi. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya meskipun udara di sekitarnya begitu dingin. “Kalian mencoba menyesatkanku, ya?”
Setelah melewati cahaya samar di kejauhan, Arif merasa dirinya melangkah ke dunia yang sepenuhnya berbeda. Udara yang sebelumnya dingin dan berat kini berubah menjadi hangat, tetapi kehangatan itu tidak memberikan rasa nyaman, lebih mirip seperti panas yang mengendap, menekan, dan membuatnya sulit bernapas.Di hadapannya terbentang sebuah kota yang tampak seperti versi lain dari dunia nyata, tetapi aneh dan menyesatkan. Bangunan-bangunan tinggi menjulang, dipenuhi lampu neon yang berkedip-kedip dengan warna mencolok.Jalan-jalannya dipenuhi dengan papan reklame elektronik yang menampilkan gambar-gambar bergerak, tetapi tidak ada tulisan yang bisa dimengerti. Semua terlihat seperti kota besar modern, tetapi atmosfernya tidak benar.Tidak ada suara kendaraan atau keramaian. Tidak ada tawa atau obrolan orang-orang. Suasananya sunyi, begitu sunyi sehingga suara napasnya sendiri terdengar bergema.Arif berjalan perlaha
Akhirnya, Arif melihat cahaya terang di ujung jalan, seperti pintu keluar dari dunia aneh ini. Dengan napas tersengal-sengal, ia melompat ke arah cahaya tersebut. Begitu ia melewati batasnya, semua suara hilang dan dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap total. Ia jatuh tersungkur di tanah yang dingin, tubuhnya gemetar hebat.Ketika ia membuka matanya, Arif sudah kembali di tepi hutan desa. Udara malam terasa segar, tetapi ia tahu, pengalaman yang baru saja ia alami bukan sekadar mimpi. "Apa pun itu," pikirnya, "tempat itu bukan untuk manusia."Arif melangkah pelan, mencoba memahami apa yang ia lihat. Orang-orang berjalan dengan langkah teratur, tanpa suara, dan wajah mereka tidak menunjukkan emosi. Semuanya tampak seperti bayangan yang bergerak di bawah cahaya lampu neon yang terlalu terang. Namun, yang paling mengerikan adalah wajah mereka.Arif memperhatikan salah satu dari mereka dengan saksama dan nyaris tidak bis
Abdul memukul lantai dengan tongkatnya, dan ruangan itu tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya terang. Suara-suara di luar terdengar seperti mundur, tetapi bayangan hitam itu masih bertahan, melongok melalui jendela dengan mata merah menyala."Mereka adalah perwujudan ketakutanmu," kata Abdul. "Hanya kau yang bisa menghancurkannya. Tapi pertama-tama, kau harus percaya pada dirimu sendiri."Arif merasa tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap Abdul, berharap ada jawaban yang lebih jelas. Tetapi Abdul hanya menatapnya kembali dengan tenang, seolah-olah ia tahu bahwa Arif harus menemukan kekuatannya sendiri untuk keluar dari tempat ini.“Kamu sudah berapa lama di sini?” tanya Abdul tiba-tiba.Arif mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Sepertinya baru sekitar satu jam,” jawabnya ragu.Mata Abdul membesar, dan ekspresinya berubah drastis. “Satu jam?” tanyanya
“Jika waktumu telah tiba, kau pasti akan kembali.”Arif melanjutkan perjalanannya, mencoba menenangkan pikirannya. Tetapi ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap langkahnya. Dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa keris yang ia tinggalkan tadi mungkin akan menjadi bagian dari takdirnya suatu hari nanti.Abdul berdiri lagi di hadapannya, membuat Arif terkejut. Pria itu mengambil tongkatnya dan mengetuk tanah tiga kali. Sebuah pintu kecil di dinding terbuka, memperlihatkan jalan setapak yang suram."Ikuti jalan ini," katanya. "Tapi dengarkan baik-baik. Apa pun yang kau lihat atau dengar, jangan berhenti. Jangan menoleh. Jangan tergoda oleh apa pun yang ada di sepanjang jalan."Arif menelan ludah. "Apa yang ada di sepanjang jalan itu?""Hal-hal yang akan membuatmu ragu," jawab Abdul. "Hal-hal yang akan memanfaatkan ketakutan dan kerinduanmu. Tetapi kau harus tetap fokus
”Mbah Niah...,” ucap Lila lirih.Gadis itu tersenyum tipis, tatapannya tajam menembus jiwa mereka.“Kalian akhirnya sampai di sini,” katanya dengan suara yang jauh lebih tua dari wujudnya.Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka baru saja menyelesaikan satu konflik.Namun, yang lebih besar kini menanti di depan mereka.Lila berdiri mematung di tengah pasar hutan Srengege, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, Mbah Niah duduk dengan anggun di balik meja kayu tua yang dipenuhi benda-benda aneh—botol kaca berisi cairan pekat, tulang-tulang kecil yang terikat benang merah, serta kertas-kertas kuno yang ditulis dengan aksara yang tak bisa ia pahami.Wujud Mbah Niah yang menyerupai gadis berusia 17 tahun tampak begitu tenang. Rambut hitam panjangnya menjuntai indah, kulitnya putih bersih tanpa cela, tapi matanya, matanya tidak seha
Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b
“Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”
Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di
“Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal
Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”
Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b
Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m
Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.