Arif melangkah semakin jauh ke dalam hutan Misahan. Udara semakin berat, dan keheningan yang melingkupi seolah menelan setiap suara langkahnya.
Pepohonan menjulang tinggi, dedaunannya menutupi langit, membuat siang hari tampak seperti senja. Setiap langkah membawa rasa dingin yang menusuk tulang, tetapi Arif tidak berhenti.
“Semua ini hanya rintangan,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, rintangan pertama segera muncul. Ketika ia melangkah lebih dalam, suara desisan pelan terdengar dari sekelilingnya. Arif berhenti, matanya berusaha menembus kegelapan.
Tiba-tiba, seekor ular besar meluncur dari salah satu cabang pohon dan mendarat di depannya. Tubuhnya hitam berkilau dengan sisik yang memantulkan cahaya samar, dan matanya merah menyala, menatap Arif dengan penuh kebencian.
“Manusia,” desis ular itu dengan suara yang tidak wajar. “Kau tidak seharus
Arif melangkah lebih jauh setelah melewati gerbang yang dijaga oleh Duras. Udara terasa semakin berat, dan aroma busuk menyengat menyeruak, membuatnya harus menutup hidung dengan kain. Jalan setapak yang ia lalui tampak seperti lingkaran tak berujung, dan pohon-pohon di sekelilingnya terlihat seperti sosok yang bergerak. Ia mulai merasa dirinya tidak benar-benar maju.“Aku sudah melewati pohon ini sebelumnya,” gumamnya, menatap sebuah pohon besar dengan cabang yang berbentuk aneh.Arif merobek sepotong kain dari bajunya dan mengikatnya di salah satu cabang pohon itu sebagai tanda. Lalu ia melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, tetapi setelah berjalan beberapa menit, ia kembali melihat pohon yang sama dengan tanda kainnya.“Sialan!” teriak Arif frustrasi. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya meskipun udara di sekitarnya begitu dingin. “Kalian mencoba menyesatkanku, ya?”
Setelah melewati cahaya samar di kejauhan, Arif merasa dirinya melangkah ke dunia yang sepenuhnya berbeda. Udara yang sebelumnya dingin dan berat kini berubah menjadi hangat, tetapi kehangatan itu tidak memberikan rasa nyaman, lebih mirip seperti panas yang mengendap, menekan, dan membuatnya sulit bernapas.Di hadapannya terbentang sebuah kota yang tampak seperti versi lain dari dunia nyata, tetapi aneh dan menyesatkan. Bangunan-bangunan tinggi menjulang, dipenuhi lampu neon yang berkedip-kedip dengan warna mencolok.Jalan-jalannya dipenuhi dengan papan reklame elektronik yang menampilkan gambar-gambar bergerak, tetapi tidak ada tulisan yang bisa dimengerti. Semua terlihat seperti kota besar modern, tetapi atmosfernya tidak benar.Tidak ada suara kendaraan atau keramaian. Tidak ada tawa atau obrolan orang-orang. Suasananya sunyi, begitu sunyi sehingga suara napasnya sendiri terdengar bergema.Arif berjalan perlaha
Akhirnya, Arif melihat cahaya terang di ujung jalan, seperti pintu keluar dari dunia aneh ini. Dengan napas tersengal-sengal, ia melompat ke arah cahaya tersebut. Begitu ia melewati batasnya, semua suara hilang dan dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap total. Ia jatuh tersungkur di tanah yang dingin, tubuhnya gemetar hebat.Ketika ia membuka matanya, Arif sudah kembali di tepi hutan desa. Udara malam terasa segar, tetapi ia tahu, pengalaman yang baru saja ia alami bukan sekadar mimpi. "Apa pun itu," pikirnya, "tempat itu bukan untuk manusia."Arif melangkah pelan, mencoba memahami apa yang ia lihat. Orang-orang berjalan dengan langkah teratur, tanpa suara, dan wajah mereka tidak menunjukkan emosi. Semuanya tampak seperti bayangan yang bergerak di bawah cahaya lampu neon yang terlalu terang. Namun, yang paling mengerikan adalah wajah mereka.Arif memperhatikan salah satu dari mereka dengan saksama dan nyaris tidak bis
Abdul memukul lantai dengan tongkatnya, dan ruangan itu tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya terang. Suara-suara di luar terdengar seperti mundur, tetapi bayangan hitam itu masih bertahan, melongok melalui jendela dengan mata merah menyala."Mereka adalah perwujudan ketakutanmu," kata Abdul. "Hanya kau yang bisa menghancurkannya. Tapi pertama-tama, kau harus percaya pada dirimu sendiri."Arif merasa tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap Abdul, berharap ada jawaban yang lebih jelas. Tetapi Abdul hanya menatapnya kembali dengan tenang, seolah-olah ia tahu bahwa Arif harus menemukan kekuatannya sendiri untuk keluar dari tempat ini.“Kamu sudah berapa lama di sini?” tanya Abdul tiba-tiba.Arif mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Sepertinya baru sekitar satu jam,” jawabnya ragu.Mata Abdul membesar, dan ekspresinya berubah drastis. “Satu jam?” tanyanya
“Jika waktumu telah tiba, kau pasti akan kembali.”Arif melanjutkan perjalanannya, mencoba menenangkan pikirannya. Tetapi ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap langkahnya. Dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa keris yang ia tinggalkan tadi mungkin akan menjadi bagian dari takdirnya suatu hari nanti.Abdul berdiri lagi di hadapannya, membuat Arif terkejut. Pria itu mengambil tongkatnya dan mengetuk tanah tiga kali. Sebuah pintu kecil di dinding terbuka, memperlihatkan jalan setapak yang suram."Ikuti jalan ini," katanya. "Tapi dengarkan baik-baik. Apa pun yang kau lihat atau dengar, jangan berhenti. Jangan menoleh. Jangan tergoda oleh apa pun yang ada di sepanjang jalan."Arif menelan ludah. "Apa yang ada di sepanjang jalan itu?""Hal-hal yang akan membuatmu ragu," jawab Abdul. "Hal-hal yang akan memanfaatkan ketakutan dan kerinduanmu. Tetapi kau harus tetap fokus
Bayangan itu kini mendekati pintu, dan suara ketukannya berubah menjadi hentakan keras. Bam! Bam! Bam! Arif mundur, merapat ke dinding. Suara desisan ular bercampur dengan erangan yang dalam, seolah makhluk itu sedang memanggil sesuatu dari dunia lain. Abdul, dengan tatapan tegas, menghampiri pintu dan mengangkat tongkatnya.’Bagaimana Abdul berada di sini lagi?’ tanya Arif dalam hati kebingungan."Ini saatmu," katanya sambil menatap Arif. "Hadapi mereka atau terjebak selamanya di sini."Arif menggeleng. "Aku tidak bisa! Mereka akan membunuhku!"Abdul mendekat, meletakkan tangannya di bahu Arif. "Kau tidak akan mati, kecuali kau membiarkan dirimu kalah."Pintu itu akhirnya hancur, dan bayangan hitam itu masuk dengan gerakan melingkar seperti asap. Di dalamnya, Arif bisa melihat wajah-wajah yang dikenalnya: sosok ayahnya yang dulu sering dia kecewakan, seorang teman lama
Arif berdiri di depan pintu ruang bawah tanah yang sudah lama terkunci, merasa cemas meskipun dirinya tidak tahu apa yang harus ia hadapi.” Mungkin di sana jawabannya.” Ia menatap pintu kayu yang telah lama dilupakan, seolah pintu itu menyimpan rahasia gelap dari masa lalunya."Kenapa aku harus kembali ke sini?" gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. "Apa yang sebenarnya harus aku temui di sini?"Dia memandang sekeliling rumah yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Seperti ada yang hilang. "Apakah aku benar-benar sendirian di sini?" tanya Arif, suaranya terdengar lebih seperti sebuah kebingungan yang perlahan berubah menjadi kegelisahan.Dia berjalan menyusuri lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah, perlahan-lahan, matanya menangkap bayang-bayang yang bergerak di sudut pandang. Namun ketika dia menoleh, tak ada siapa pun.
Ia melangkah keluar dari rumah, pintu yang entah bagaimana tidak lagi terasa nyata. Tanpa disadari, ia sudah berada di tepi hutan yang gelap, tempat di mana ia pertama kali berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dan iblis-iblis yang menunggu setiap kesalahan langkahnya. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada yang mengintainya dari balik pohon-pohon besar yang menutupi langit."Aku harus masuk," bisik Arif kepada dirinya sendiri, menggenggam kefris di tangannya dengan erat. Rasanya benda itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. "Ini harus berakhir di sini."Namun, di balik ketegangan itu, Arif merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang sedang bertarung dengan alam. Ada kehadiran lain yang mengawasi setiap gerak-geriknya.Langkah Arif semakin dalam memasuki hutan, dan suasana semakin mencekam. Semakin ia berjalan, udara terasa semakin dingin, dan tanah ya
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Fajar menyingsing perlahan, membawa warna jingga keemasan yang mulai menyelimuti langit.Di rumah Ustadz Harman, aroma embun pagi bercampur dengan harumnya tanah basah setelah hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, mengisi keheningan yang terasa lebih damai dari sebelumnya.Di dalam rumah, Lila duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke luar.Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada Arif.Mereka telah memastikan pintu yang terbuka akhirnya tertutup.Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, rumah ini terasa tenang.Tetapi…Kenapa hatinya masih terasa berat?Di sampingnya, Jatinegara sedang tertidur di atas pangkuannya. Napasnya pelan, tubuhnya kecil dan hangat, wajahnya tenang—seolah-olah tidak pernah mengalami semua kengerian yang terjadi sebelumnya.Namun, Lila tahu semuanya telah meninggalkan jejak dala
Malam kembali turun dengan perlahan.Angin bertiup lebih dingin, menyelusup melalui celah-celah rumah kayu Ustadz Harman. Tirai jendela bergetar pelan, menimbulkan suara berdesir yang terdengar seperti bisikan samar.Di ruang tamu, Lila duduk dengan punggung tegak, tangannya erat menggenggam jemari Jatinegara yang mungil.Dimas berdiri di sudut ruangan, memeriksa keris yang telah menjadi pelindung mereka sejak peristiwa di Kandang Bubrah.Di seberang meja, Ustadz Harman merapikan beberapa peralatan yang akan mereka gunakan untuk ritual malam ini.Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Jatinegara yang tampak paling tenang.Anak itu duduk di samping ibunya, kakinya bergoyang pelan, sesekali menatap ke arah jendela.Seolah-olah dia tahu bahwa seseorang sedang menunggunya di luar sana.Lila menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Ustadz Harman. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?"Ustadz Harman menatapnya denga
"Lila…"Suara itu terdengar dekat sekali, seperti ada yang berbisik tepat di belakangnya.Sejenak, tubuh Lila tidak bisa bergerak.Napasnya tercekat di tenggorokan.Jantungnya berdetak begitu keras, seolah bisa terdengar di seisi ruangan.Dimas berdiri di depannya, menggenggam keris erat-erat, matanya liar mencari sumber suara.Ustadz Harman terus membaca doa, meskipun suaranya kini terdengar lebih tegang.Di dalam kegelapan itu…Ada sesuatu yang bergerak.Langkah kaki itu tidak lagi samar-samar.Kini lebih nyata, lebih dekat—dan suara napas berat menyusul di belakangnya.Sesuatu berdiri di sana.Lila bisa merasakannya.Tetapi dia tidak berani menoleh.Jatinegara terdiam, tetapi senyumnya masih ada.Seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.Lalu, dia berbisik—"Ayah… kenapa kau masih d
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.
CETAK!Dimas menusukkan kerisnya ke dada Arif.Darah tidak mengalir.Sebaliknya, tubuh Arif mulai retak, seperti kaca yang pecah.Lila menahan napas, tubuhnya membeku.Jatinegara menutup matanya erat, melingkarkan tangannya di leher ibunya, gemetar ketakutan.Tapi Arif—atau sesuatu yang telah mengambil tubuhnya—hanya tersenyum lebih lebar."Kalian benar-benar berpikir… ini akan menghentikanku?"Dimas mencoba menarik kerisnya kembali, tetapi tangan Arif mencengkeram pergelangannya.Dimas tersentak.Genggaman itu dingin… seperti tangan mayat yang sudah lama membusuk.Mata Arif menatapnya dalam-dalam."Ini… baru saja dimulai."Lalu—BAM!Dimas terpental ke belakang, tubuhnya menghantam tanah keras.Lila menjerit, "DIMAS!"Tapi sebelum dia bisa bergerak, sesuatu yang mengerikan terjadi.Jasad Arif mulai ban
Mobil melaju kencang di jalanan sepi menuju Kandang Bubrah.Tidak ada yang berbicara.Hanya suara deru mesin dan napas mereka yang berat.Lila duduk di kursi belakang, memeluk Jatinegara erat, seolah-olah jika dia melepaskannya, anak itu akan menghilang.Jatinegara tidak menangis.Tidak bicara.Dia hanya duduk diam, menatap ke luar jendela dengan mata kosong.Seolah-olah dia sudah tahu apa yang menunggunya di sana.Dimas menekan pedal gas lebih dalam. "Kita hampir sampai."Ustadz Harman terus membaca doa dengan suara rendah.Angin di luar semakin kencang.Langit tidak lagi berwarna hitam biasa—tetapi merah gelap, seperti api yang terpendam di balik awan tebal.Semakin dekat mereka ke lokasi, udara semakin terasa berat, seolah-olah tempat itu tahu bahwa mereka akan datang.Dan ketika akhirnya mereka tiba—Lila merasakan darahnya berhenti mengalir.***Kandang Bubrah masih a