Bayangan itu kini mendekati pintu, dan suara ketukannya berubah menjadi hentakan keras. Bam! Bam! Bam! Arif mundur, merapat ke dinding. Suara desisan ular bercampur dengan erangan yang dalam, seolah makhluk itu sedang memanggil sesuatu dari dunia lain. Abdul, dengan tatapan tegas, menghampiri pintu dan mengangkat tongkatnya.
’Bagaimana Abdul berada di sini lagi?’ tanya Arif dalam hati kebingungan.
"Ini saatmu," katanya sambil menatap Arif. "Hadapi mereka atau terjebak selamanya di sini."
Arif menggeleng. "Aku tidak bisa! Mereka akan membunuhku!"
Abdul mendekat, meletakkan tangannya di bahu Arif. "Kau tidak akan mati, kecuali kau membiarkan dirimu kalah."
Pintu itu akhirnya hancur, dan bayangan hitam itu masuk dengan gerakan melingkar seperti asap. Di dalamnya, Arif bisa melihat wajah-wajah yang dikenalnya: sosok ayahnya yang dulu sering dia kecewakan, seorang teman lama
Arif berdiri di depan pintu ruang bawah tanah yang sudah lama terkunci, merasa cemas meskipun dirinya tidak tahu apa yang harus ia hadapi.” Mungkin di sana jawabannya.” Ia menatap pintu kayu yang telah lama dilupakan, seolah pintu itu menyimpan rahasia gelap dari masa lalunya."Kenapa aku harus kembali ke sini?" gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. "Apa yang sebenarnya harus aku temui di sini?"Dia memandang sekeliling rumah yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Seperti ada yang hilang. "Apakah aku benar-benar sendirian di sini?" tanya Arif, suaranya terdengar lebih seperti sebuah kebingungan yang perlahan berubah menjadi kegelisahan.Dia berjalan menyusuri lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah, perlahan-lahan, matanya menangkap bayang-bayang yang bergerak di sudut pandang. Namun ketika dia menoleh, tak ada siapa pun.
Ia melangkah keluar dari rumah, pintu yang entah bagaimana tidak lagi terasa nyata. Tanpa disadari, ia sudah berada di tepi hutan yang gelap, tempat di mana ia pertama kali berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dan iblis-iblis yang menunggu setiap kesalahan langkahnya. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada yang mengintainya dari balik pohon-pohon besar yang menutupi langit."Aku harus masuk," bisik Arif kepada dirinya sendiri, menggenggam kefris di tangannya dengan erat. Rasanya benda itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. "Ini harus berakhir di sini."Namun, di balik ketegangan itu, Arif merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang sedang bertarung dengan alam. Ada kehadiran lain yang mengawasi setiap gerak-geriknya.Langkah Arif semakin dalam memasuki hutan, dan suasana semakin mencekam. Semakin ia berjalan, udara terasa semakin dingin, dan tanah ya
Arif melangkah mantap, meskipun rasa cemas merayapi setiap inci tubuhnya. Ia tahu, hutan ini bukan hanya sekadar hutan biasa. Ini adalah tempat yang terperangkap di antara dimensi, sebuah dunia yang penuh dengan makhluk-makhluk jahat dan kekuatan kegelapan. Dan kini, ia harus menghadapi mereka, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.Makhluk-makhluk itu sudah mulai mendekat, seolah merasakan kehadirannya. Iblis jin dengan mata merah menyala itu mengamati setiap gerakan Arif dengan penuh perhatian, sementara bayangan gelap lainnya berkelebat di antara pohon-pohon besar yang menjulang tinggi.Semua ini terasa seperti sebuah ujian, ujian yang jauh lebih besar dari apa yang ia hadapi sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang baru, yang memberinya kekuatan untuk melawan rasa takut yang terus membayangi. Arif memandang kefris yang kini ada di tangannya, benda itu berkilau lembut meskip
Di luar sana, Arif terus bertarung melawan iblis jin dan makhluk-makhluk yang semakin banyak muncul dari kegelapan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia tahu bahwa kekuatan kefris tidak akan cukup jika ia tidak bertarung dengan penuh keberanian. Ia harus mengalahkan mereka satu per satu, sampai akhirnya ia bisa keluar dari hutan ini.Jin itu kembali menyerang, kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Namun, Arif sudah siap. Ia memusatkan seluruh tenaganya pada keris, melepaskan gelombang cahaya biru yang menyilaukan. Jin itu terlempar kembali, dan kali ini, Arif bisa melihat tubuhnya mulai memudar, seolah-olah kekuatannya mulai terkuras habis.Namun, sebelum Arif bisa merayakan kemenangannya, makhluk-makhluk lain mulai muncul dari balik pohon. Mereka berjumlah lebih banyak dari sebelumnya makhluk-makhluk yang tidak bisa dikenali, dengan tubuh gelap dan wajah mengerikan. Mereka semua menatap Arif dengan mata merah menyala, siap un
Ritual dimulai dengan nyanyian mantra yang dalam, suara Bu Narti mengalun rendah namun penuh kekuatan. Arif dan Rendy mengamati dengan penuh perhatian, khawatir sekaligus terpesona oleh kekuatan yang mulai terasa mengalir di udara.Beberapa menit berlalu, dan suasana mulai berubah. Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Wina membuka matanya, dan di dalam pandangannya, sebuah bayangan besar mulai muncul dari dalam tanah, membentuk sosok yang tinggi dan misterius, Danyang Misahan, penjaga hutan yang telah lama tidur.Danyang berdiri tegak di hadapan mereka, tubuhnya yang transparan memancarkan cahaya yang aneh. Wajahnya yang seram kini dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan, seolah dia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memberi berkat. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak, karena mereka tahu bahwa kehadiran Danyang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."Danyang," kata Bu Narti, sua
Arif tersenyum dengan penuh pengertian, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. "Takdir memang sering kali terasa penuh misteri. Mungkin itu berarti suatu hari nanti, seseorang dari keluargamu akan menjadi penjaga bukan hanya hutan ini, tetapi juga dunia yang lebih besar, sebuah dunia yang lebih luas dan penuh dengan tantangan."Wina menarik napas dalam, seakan menelan kata-kata Arif dengan penuh makna. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arif. Tapi aku ingin menjalani hidupku dengan damai. Gibran... aku ingin menikah dengannya. Aku ingin kami berdua memiliki kehidupan yang sederhana, tanpa bayang-bayang ini."Arif menatapnya dengan penuh empati. "Dan kamu akan mendapatkan itu, Wina. Tapi jangan lupakan bahwa takdir ini bukanlah kutukan. Itu adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar. Apa pun yang terjadi, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapinya."Di belakang mereka,
Arif Mahoni duduk di ruang tengah rumahnya yang remang. Di sudut lampu ruangan itu hanya memancarkan cahaya lemah, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Rumah besar itu terasa kosong, dingin dan sunyi. Bekas-bekas renovasi yang belum selesai, dinding tanpa cat, lantai yang sebagian masih berupa tanah, menjadi pengingat akan kontraknya dengan kegelapan.“Kenapa ini harus terjadi padaku?” gumamnya sambil menatap foto keluarganya yang kini terasa lebih seperti bayangan masa lalu. Di sana, terlihat dirinya bersama nenek Bunyu, ibunya Sungkai, dan keponakannya, Afifah Mahoni. Afifah adalah anak dari adik bungsunya yang telah lama meninggal.Arif menggenggam bingkai foto itu erat, tangannya gemetar. Dia merasa seperti monster. Semua anggota keluarganya telah menjadi tumbal ritual pesugihan kandang bubrah.”Maafkan aku,” gumamnya lirih dalam kesendirian.Neneknya, ibunya, bahkan ayahnya. Setiap pengorbanan meninggalkan luka di hatinya, yang kini menganga semakin lebar. Tapi kali ini b
Arif kembali ke rumah dengan langkah gontai. Hari itu terasa panjang, dan lelah tidak hanya menyerang fisiknya tetapi juga batinnya. Rumah tua tempat tinggalnya berdiri angkuh di tengah malam yang kelam, dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang seperti penjaga bisu. Langit malam dipenuhi bintang, tetapi keindahannya tidak mampu menenangkan hati Arif yang resah.Arif menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rumah itu terasa sepi sejak kepergian Orang Tuanya, dan kini hanya, Afifah, yang tinggalsatu-satunya yang masih memilik garis keturunan dengannya. Meski begitu, rasa hampa selalu menghantuinya.Ketika jam dinding berdentang dua kali, Arif mencoba memejamkan mata, tetapi suasana rumah membuatnya sulit tidur. Gelap menyelimuti setiap sudut, hanya ditemani oleh sinar bulan yang mengintip melalui celah-celah tirai jendela. Saat itulah ia mendengar suara pertama, ketukan.“Tok… tok… tok…”Arif membuka matanya perlahan. Keningnya berkerut. Siapa yang mengetuk pintu pada tengah malam?
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Fajar menyingsing perlahan, membawa warna jingga keemasan yang mulai menyelimuti langit.Di rumah Ustadz Harman, aroma embun pagi bercampur dengan harumnya tanah basah setelah hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, mengisi keheningan yang terasa lebih damai dari sebelumnya.Di dalam rumah, Lila duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke luar.Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada Arif.Mereka telah memastikan pintu yang terbuka akhirnya tertutup.Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, rumah ini terasa tenang.Tetapi…Kenapa hatinya masih terasa berat?Di sampingnya, Jatinegara sedang tertidur di atas pangkuannya. Napasnya pelan, tubuhnya kecil dan hangat, wajahnya tenang—seolah-olah tidak pernah mengalami semua kengerian yang terjadi sebelumnya.Namun, Lila tahu semuanya telah meninggalkan jejak dala
Malam kembali turun dengan perlahan.Angin bertiup lebih dingin, menyelusup melalui celah-celah rumah kayu Ustadz Harman. Tirai jendela bergetar pelan, menimbulkan suara berdesir yang terdengar seperti bisikan samar.Di ruang tamu, Lila duduk dengan punggung tegak, tangannya erat menggenggam jemari Jatinegara yang mungil.Dimas berdiri di sudut ruangan, memeriksa keris yang telah menjadi pelindung mereka sejak peristiwa di Kandang Bubrah.Di seberang meja, Ustadz Harman merapikan beberapa peralatan yang akan mereka gunakan untuk ritual malam ini.Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Jatinegara yang tampak paling tenang.Anak itu duduk di samping ibunya, kakinya bergoyang pelan, sesekali menatap ke arah jendela.Seolah-olah dia tahu bahwa seseorang sedang menunggunya di luar sana.Lila menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Ustadz Harman. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?"Ustadz Harman menatapnya denga
"Lila…"Suara itu terdengar dekat sekali, seperti ada yang berbisik tepat di belakangnya.Sejenak, tubuh Lila tidak bisa bergerak.Napasnya tercekat di tenggorokan.Jantungnya berdetak begitu keras, seolah bisa terdengar di seisi ruangan.Dimas berdiri di depannya, menggenggam keris erat-erat, matanya liar mencari sumber suara.Ustadz Harman terus membaca doa, meskipun suaranya kini terdengar lebih tegang.Di dalam kegelapan itu…Ada sesuatu yang bergerak.Langkah kaki itu tidak lagi samar-samar.Kini lebih nyata, lebih dekat—dan suara napas berat menyusul di belakangnya.Sesuatu berdiri di sana.Lila bisa merasakannya.Tetapi dia tidak berani menoleh.Jatinegara terdiam, tetapi senyumnya masih ada.Seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.Lalu, dia berbisik—"Ayah… kenapa kau masih d
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.
CETAK!Dimas menusukkan kerisnya ke dada Arif.Darah tidak mengalir.Sebaliknya, tubuh Arif mulai retak, seperti kaca yang pecah.Lila menahan napas, tubuhnya membeku.Jatinegara menutup matanya erat, melingkarkan tangannya di leher ibunya, gemetar ketakutan.Tapi Arif—atau sesuatu yang telah mengambil tubuhnya—hanya tersenyum lebih lebar."Kalian benar-benar berpikir… ini akan menghentikanku?"Dimas mencoba menarik kerisnya kembali, tetapi tangan Arif mencengkeram pergelangannya.Dimas tersentak.Genggaman itu dingin… seperti tangan mayat yang sudah lama membusuk.Mata Arif menatapnya dalam-dalam."Ini… baru saja dimulai."Lalu—BAM!Dimas terpental ke belakang, tubuhnya menghantam tanah keras.Lila menjerit, "DIMAS!"Tapi sebelum dia bisa bergerak, sesuatu yang mengerikan terjadi.Jasad Arif mulai ban
Mobil melaju kencang di jalanan sepi menuju Kandang Bubrah.Tidak ada yang berbicara.Hanya suara deru mesin dan napas mereka yang berat.Lila duduk di kursi belakang, memeluk Jatinegara erat, seolah-olah jika dia melepaskannya, anak itu akan menghilang.Jatinegara tidak menangis.Tidak bicara.Dia hanya duduk diam, menatap ke luar jendela dengan mata kosong.Seolah-olah dia sudah tahu apa yang menunggunya di sana.Dimas menekan pedal gas lebih dalam. "Kita hampir sampai."Ustadz Harman terus membaca doa dengan suara rendah.Angin di luar semakin kencang.Langit tidak lagi berwarna hitam biasa—tetapi merah gelap, seperti api yang terpendam di balik awan tebal.Semakin dekat mereka ke lokasi, udara semakin terasa berat, seolah-olah tempat itu tahu bahwa mereka akan datang.Dan ketika akhirnya mereka tiba—Lila merasakan darahnya berhenti mengalir.***Kandang Bubrah masih a