Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 114. Ternyata yang ku sangka pisau adalah keris.

Share

114. Ternyata yang ku sangka pisau adalah keris.

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-01 17:28:27

Arif berdiri di depan pintu ruang bawah tanah yang sudah lama terkunci, merasa cemas meskipun dirinya tidak tahu apa yang harus ia hadapi.

” Mungkin di sana jawabannya.” Ia menatap pintu kayu yang telah lama dilupakan, seolah pintu itu menyimpan rahasia gelap dari masa lalunya.

"Kenapa aku harus kembali ke sini?" gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. "Apa yang sebenarnya harus aku temui di sini?"

Dia memandang sekeliling rumah yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Seperti ada yang hilang. "Apakah aku benar-benar sendirian di sini?" tanya Arif, suaranya terdengar lebih seperti sebuah kebingungan yang perlahan berubah menjadi kegelisahan.

Dia berjalan menyusuri lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah, perlahan-lahan, matanya menangkap bayang-bayang yang bergerak di sudut pandang. Namun ketika dia menoleh, tak ada siapa pun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah   115. Kembali ke Hutan

    Ia melangkah keluar dari rumah, pintu yang entah bagaimana tidak lagi terasa nyata. Tanpa disadari, ia sudah berada di tepi hutan yang gelap, tempat di mana ia pertama kali berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dan iblis-iblis yang menunggu setiap kesalahan langkahnya. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada yang mengintainya dari balik pohon-pohon besar yang menutupi langit."Aku harus masuk," bisik Arif kepada dirinya sendiri, menggenggam kefris di tangannya dengan erat. Rasanya benda itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. "Ini harus berakhir di sini."Namun, di balik ketegangan itu, Arif merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang sedang bertarung dengan alam. Ada kehadiran lain yang mengawasi setiap gerak-geriknya.Langkah Arif semakin dalam memasuki hutan, dan suasana semakin mencekam. Semakin ia berjalan, udara terasa semakin dingin, dan tanah ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   116. Pertempuran di Hutan dan Api yang Tidak Padam

    Arif melangkah mantap, meskipun rasa cemas merayapi setiap inci tubuhnya. Ia tahu, hutan ini bukan hanya sekadar hutan biasa. Ini adalah tempat yang terperangkap di antara dimensi, sebuah dunia yang penuh dengan makhluk-makhluk jahat dan kekuatan kegelapan. Dan kini, ia harus menghadapi mereka, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.Makhluk-makhluk itu sudah mulai mendekat, seolah merasakan kehadirannya. Iblis jin dengan mata merah menyala itu mengamati setiap gerakan Arif dengan penuh perhatian, sementara bayangan gelap lainnya berkelebat di antara pohon-pohon besar yang menjulang tinggi.Semua ini terasa seperti sebuah ujian, ujian yang jauh lebih besar dari apa yang ia hadapi sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang baru, yang memberinya kekuatan untuk melawan rasa takut yang terus membayangi. Arif memandang kefris yang kini ada di tangannya, benda itu berkilau lembut meskip

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pesugihan Kandang Bubrah   117. Misi Selesai

    Di luar sana, Arif terus bertarung melawan iblis jin dan makhluk-makhluk yang semakin banyak muncul dari kegelapan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia tahu bahwa kekuatan kefris tidak akan cukup jika ia tidak bertarung dengan penuh keberanian. Ia harus mengalahkan mereka satu per satu, sampai akhirnya ia bisa keluar dari hutan ini.Jin itu kembali menyerang, kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Namun, Arif sudah siap. Ia memusatkan seluruh tenaganya pada keris, melepaskan gelombang cahaya biru yang menyilaukan. Jin itu terlempar kembali, dan kali ini, Arif bisa melihat tubuhnya mulai memudar, seolah-olah kekuatannya mulai terkuras habis.Namun, sebelum Arif bisa merayakan kemenangannya, makhluk-makhluk lain mulai muncul dari balik pohon. Mereka berjumlah lebih banyak dari sebelumnya makhluk-makhluk yang tidak bisa dikenali, dengan tubuh gelap dan wajah mengerikan. Mereka semua menatap Arif dengan mata merah menyala, siap un

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Pesugihan Kandang Bubrah   118. Ritual di Hutan Misahan

    Ritual dimulai dengan nyanyian mantra yang dalam, suara Bu Narti mengalun rendah namun penuh kekuatan. Arif dan Rendy mengamati dengan penuh perhatian, khawatir sekaligus terpesona oleh kekuatan yang mulai terasa mengalir di udara.Beberapa menit berlalu, dan suasana mulai berubah. Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Wina membuka matanya, dan di dalam pandangannya, sebuah bayangan besar mulai muncul dari dalam tanah, membentuk sosok yang tinggi dan misterius, Danyang Misahan, penjaga hutan yang telah lama tidur.Danyang berdiri tegak di hadapan mereka, tubuhnya yang transparan memancarkan cahaya yang aneh. Wajahnya yang seram kini dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan, seolah dia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memberi berkat. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak, karena mereka tahu bahwa kehadiran Danyang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."Danyang," kata Bu Narti, sua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Pesugihan Kandang Bubrah   119. Takdir yang Tersurat dan Tersirat

    Arif tersenyum dengan penuh pengertian, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. "Takdir memang sering kali terasa penuh misteri. Mungkin itu berarti suatu hari nanti, seseorang dari keluargamu akan menjadi penjaga bukan hanya hutan ini, tetapi juga dunia yang lebih besar, sebuah dunia yang lebih luas dan penuh dengan tantangan."Wina menarik napas dalam, seakan menelan kata-kata Arif dengan penuh makna. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arif. Tapi aku ingin menjalani hidupku dengan damai. Gibran... aku ingin menikah dengannya. Aku ingin kami berdua memiliki kehidupan yang sederhana, tanpa bayang-bayang ini."Arif menatapnya dengan penuh empati. "Dan kamu akan mendapatkan itu, Wina. Tapi jangan lupakan bahwa takdir ini bukanlah kutukan. Itu adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar. Apa pun yang terjadi, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapinya."Di belakang mereka,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Pesugihan Kandang Bubrah   120. Rasa Bersalah yang Menggerogoti

    Arif Mahoni duduk di ruang tengah rumahnya yang remang. Di sudut lampu ruangan itu hanya memancarkan cahaya lemah, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Rumah besar itu terasa kosong, dingin dan sunyi. Bekas-bekas renovasi yang belum selesai, dinding tanpa cat, lantai yang sebagian masih berupa tanah, menjadi pengingat akan kontraknya dengan kegelapan.“Kenapa ini harus terjadi padaku?” gumamnya sambil menatap foto keluarganya yang kini terasa lebih seperti bayangan masa lalu. Di sana, terlihat dirinya bersama nenek Bunyu, ibunya Sungkai, dan keponakannya, Afifah Mahoni. Afifah adalah anak dari adik bungsunya yang telah lama meninggal.Arif menggenggam bingkai foto itu erat, tangannya gemetar. Dia merasa seperti monster. Semua anggota keluarganya telah menjadi tumbal ritual pesugihan kandang bubrah.”Maafkan aku,” gumamnya lirih dalam kesendirian.Neneknya, ibunya, bahkan ayahnya. Setiap pengorbanan meninggalkan luka di hatinya, yang kini menganga semakin lebar. Tapi kali ini b

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah    121. Teror di Rumah

    Arif kembali ke rumah dengan langkah gontai. Hari itu terasa panjang, dan lelah tidak hanya menyerang fisiknya tetapi juga batinnya. Rumah tua tempat tinggalnya berdiri angkuh di tengah malam yang kelam, dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang seperti penjaga bisu. Langit malam dipenuhi bintang, tetapi keindahannya tidak mampu menenangkan hati Arif yang resah.Arif menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rumah itu terasa sepi sejak kepergian Orang Tuanya, dan kini hanya, Afifah, yang tinggalsatu-satunya yang masih memilik garis keturunan dengannya. Meski begitu, rasa hampa selalu menghantuinya.Ketika jam dinding berdentang dua kali, Arif mencoba memejamkan mata, tetapi suasana rumah membuatnya sulit tidur. Gelap menyelimuti setiap sudut, hanya ditemani oleh sinar bulan yang mengintip melalui celah-celah tirai jendela. Saat itulah ia mendengar suara pertama, ketukan.“Tok… tok… tok…”Arif membuka matanya perlahan. Keningnya berkerut. Siapa yang mengetuk pintu pada tengah malam?

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Pesugihan Kandang Bubrah   122. Akhir yang Tragis

    Keesokan harinya, Arif bangkit dengan tekad baru. Ia tahu bahwa melindungi Afifah adalah prioritas utamanya, meski rasa bersalah dan ketakutan terus menghantui.”Mumpung Lila dan Jatinegara tidak ada di rumah aku haruske rumah ustadz it,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, ia membawa keponakannya ke rumah Ustadz Harman, seorang pemuka agama yang ia percayai sebagai harapan terakhir.Setelah mendengar cerita Arif dengan seksama, Ustadz Harman terdiam cukup lama. Alisnya berkerut, dan wajahnya memancarkan keprihatinan mendalam. “Arif,” katanya akhirnya, “Kau telah bermain dengan sesuatu yang tidak kau pahami. Kontrakmu dengan Mbah Mijan bukanlah hal yang mudah diputus. Apa yang kau lakukan dulu adalah dosa besar.”“Tapi bagaimana dengan Afifah, Ustadz?” balas Arif dengan suara bergetar. “Dia satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku tidak bisa kehilangan dia. Aku rela melakukan apa saja untuk menyelamatkannya. Tapi, rahasiakan ni dari Lila dan Jatinegara.”Ustadz Harman mengangguk pelan. “

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   253.Kenangan yang Terkikis dan Panggilan dari Dalam Tanah

    "Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   252. Dunia di Balik Pohon

    Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek

  • Pesugihan Kandang Bubrah   251. Bayangan di Balik Pohon dan Jejak dari Lubang

    Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem

  • Pesugihan Kandang Bubrah   250.Tanda-Tanda Baru

    Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka

  • Pesugihan Kandang Bubrah    249. Bersama Cahaya

    Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   248. Tak Ada Suara Ketukan

    “Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung

  • Pesugihan Kandang Bubrah   247. Rumah yang Masih Terbelah

    Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   246. Penjaga Celah

    Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi

  • Pesugihan Kandang Bubrah   245. Pagar Tak Terlihat

    Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status