Di luar sana, Arif terus bertarung melawan iblis jin dan makhluk-makhluk yang semakin banyak muncul dari kegelapan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia tahu bahwa kekuatan kefris tidak akan cukup jika ia tidak bertarung dengan penuh keberanian. Ia harus mengalahkan mereka satu per satu, sampai akhirnya ia bisa keluar dari hutan ini.
Jin itu kembali menyerang, kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Namun, Arif sudah siap. Ia memusatkan seluruh tenaganya pada keris, melepaskan gelombang cahaya biru yang menyilaukan. Jin itu terlempar kembali, dan kali ini, Arif bisa melihat tubuhnya mulai memudar, seolah-olah kekuatannya mulai terkuras habis.
Namun, sebelum Arif bisa merayakan kemenangannya, makhluk-makhluk lain mulai muncul dari balik pohon. Mereka berjumlah lebih banyak dari sebelumnya makhluk-makhluk yang tidak bisa dikenali, dengan tubuh gelap dan wajah mengerikan. Mereka semua menatap Arif dengan mata merah menyala, siap un
Ritual dimulai dengan nyanyian mantra yang dalam, suara Bu Narti mengalun rendah namun penuh kekuatan. Arif dan Rendy mengamati dengan penuh perhatian, khawatir sekaligus terpesona oleh kekuatan yang mulai terasa mengalir di udara.Beberapa menit berlalu, dan suasana mulai berubah. Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Wina membuka matanya, dan di dalam pandangannya, sebuah bayangan besar mulai muncul dari dalam tanah, membentuk sosok yang tinggi dan misterius, Danyang Misahan, penjaga hutan yang telah lama tidur.Danyang berdiri tegak di hadapan mereka, tubuhnya yang transparan memancarkan cahaya yang aneh. Wajahnya yang seram kini dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan, seolah dia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memberi berkat. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak, karena mereka tahu bahwa kehadiran Danyang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."Danyang," kata Bu Narti, sua
Arif tersenyum dengan penuh pengertian, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. "Takdir memang sering kali terasa penuh misteri. Mungkin itu berarti suatu hari nanti, seseorang dari keluargamu akan menjadi penjaga bukan hanya hutan ini, tetapi juga dunia yang lebih besar, sebuah dunia yang lebih luas dan penuh dengan tantangan."Wina menarik napas dalam, seakan menelan kata-kata Arif dengan penuh makna. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arif. Tapi aku ingin menjalani hidupku dengan damai. Gibran... aku ingin menikah dengannya. Aku ingin kami berdua memiliki kehidupan yang sederhana, tanpa bayang-bayang ini."Arif menatapnya dengan penuh empati. "Dan kamu akan mendapatkan itu, Wina. Tapi jangan lupakan bahwa takdir ini bukanlah kutukan. Itu adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar. Apa pun yang terjadi, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapinya."Di belakang mereka,
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini
“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har
Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang
“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.
“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal. Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan. “Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan. Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya. “Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tib
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
Arif tersenyum dengan penuh pengertian, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. "Takdir memang sering kali terasa penuh misteri. Mungkin itu berarti suatu hari nanti, seseorang dari keluargamu akan menjadi penjaga bukan hanya hutan ini, tetapi juga dunia yang lebih besar, sebuah dunia yang lebih luas dan penuh dengan tantangan."Wina menarik napas dalam, seakan menelan kata-kata Arif dengan penuh makna. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arif. Tapi aku ingin menjalani hidupku dengan damai. Gibran... aku ingin menikah dengannya. Aku ingin kami berdua memiliki kehidupan yang sederhana, tanpa bayang-bayang ini."Arif menatapnya dengan penuh empati. "Dan kamu akan mendapatkan itu, Wina. Tapi jangan lupakan bahwa takdir ini bukanlah kutukan. Itu adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar. Apa pun yang terjadi, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapinya."Di belakang mereka,
Ritual dimulai dengan nyanyian mantra yang dalam, suara Bu Narti mengalun rendah namun penuh kekuatan. Arif dan Rendy mengamati dengan penuh perhatian, khawatir sekaligus terpesona oleh kekuatan yang mulai terasa mengalir di udara.Beberapa menit berlalu, dan suasana mulai berubah. Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Wina membuka matanya, dan di dalam pandangannya, sebuah bayangan besar mulai muncul dari dalam tanah, membentuk sosok yang tinggi dan misterius, Danyang Misahan, penjaga hutan yang telah lama tidur.Danyang berdiri tegak di hadapan mereka, tubuhnya yang transparan memancarkan cahaya yang aneh. Wajahnya yang seram kini dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan, seolah dia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memberi berkat. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak, karena mereka tahu bahwa kehadiran Danyang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."Danyang," kata Bu Narti, sua
Di luar sana, Arif terus bertarung melawan iblis jin dan makhluk-makhluk yang semakin banyak muncul dari kegelapan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia tahu bahwa kekuatan kefris tidak akan cukup jika ia tidak bertarung dengan penuh keberanian. Ia harus mengalahkan mereka satu per satu, sampai akhirnya ia bisa keluar dari hutan ini.Jin itu kembali menyerang, kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Namun, Arif sudah siap. Ia memusatkan seluruh tenaganya pada keris, melepaskan gelombang cahaya biru yang menyilaukan. Jin itu terlempar kembali, dan kali ini, Arif bisa melihat tubuhnya mulai memudar, seolah-olah kekuatannya mulai terkuras habis.Namun, sebelum Arif bisa merayakan kemenangannya, makhluk-makhluk lain mulai muncul dari balik pohon. Mereka berjumlah lebih banyak dari sebelumnya makhluk-makhluk yang tidak bisa dikenali, dengan tubuh gelap dan wajah mengerikan. Mereka semua menatap Arif dengan mata merah menyala, siap un
Arif melangkah mantap, meskipun rasa cemas merayapi setiap inci tubuhnya. Ia tahu, hutan ini bukan hanya sekadar hutan biasa. Ini adalah tempat yang terperangkap di antara dimensi, sebuah dunia yang penuh dengan makhluk-makhluk jahat dan kekuatan kegelapan. Dan kini, ia harus menghadapi mereka, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.Makhluk-makhluk itu sudah mulai mendekat, seolah merasakan kehadirannya. Iblis jin dengan mata merah menyala itu mengamati setiap gerakan Arif dengan penuh perhatian, sementara bayangan gelap lainnya berkelebat di antara pohon-pohon besar yang menjulang tinggi.Semua ini terasa seperti sebuah ujian, ujian yang jauh lebih besar dari apa yang ia hadapi sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang baru, yang memberinya kekuatan untuk melawan rasa takut yang terus membayangi. Arif memandang kefris yang kini ada di tangannya, benda itu berkilau lembut meskip
Ia melangkah keluar dari rumah, pintu yang entah bagaimana tidak lagi terasa nyata. Tanpa disadari, ia sudah berada di tepi hutan yang gelap, tempat di mana ia pertama kali berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dan iblis-iblis yang menunggu setiap kesalahan langkahnya. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada yang mengintainya dari balik pohon-pohon besar yang menutupi langit."Aku harus masuk," bisik Arif kepada dirinya sendiri, menggenggam kefris di tangannya dengan erat. Rasanya benda itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. "Ini harus berakhir di sini."Namun, di balik ketegangan itu, Arif merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang sedang bertarung dengan alam. Ada kehadiran lain yang mengawasi setiap gerak-geriknya.Langkah Arif semakin dalam memasuki hutan, dan suasana semakin mencekam. Semakin ia berjalan, udara terasa semakin dingin, dan tanah ya
Arif berdiri di depan pintu ruang bawah tanah yang sudah lama terkunci, merasa cemas meskipun dirinya tidak tahu apa yang harus ia hadapi.” Mungkin di sana jawabannya.” Ia menatap pintu kayu yang telah lama dilupakan, seolah pintu itu menyimpan rahasia gelap dari masa lalunya."Kenapa aku harus kembali ke sini?" gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. "Apa yang sebenarnya harus aku temui di sini?"Dia memandang sekeliling rumah yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Seperti ada yang hilang. "Apakah aku benar-benar sendirian di sini?" tanya Arif, suaranya terdengar lebih seperti sebuah kebingungan yang perlahan berubah menjadi kegelisahan.Dia berjalan menyusuri lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah, perlahan-lahan, matanya menangkap bayang-bayang yang bergerak di sudut pandang. Namun ketika dia menoleh, tak ada siapa pun.
Bayangan itu kini mendekati pintu, dan suara ketukannya berubah menjadi hentakan keras. Bam! Bam! Bam! Arif mundur, merapat ke dinding. Suara desisan ular bercampur dengan erangan yang dalam, seolah makhluk itu sedang memanggil sesuatu dari dunia lain. Abdul, dengan tatapan tegas, menghampiri pintu dan mengangkat tongkatnya.’Bagaimana Abdul berada di sini lagi?’ tanya Arif dalam hati kebingungan."Ini saatmu," katanya sambil menatap Arif. "Hadapi mereka atau terjebak selamanya di sini."Arif menggeleng. "Aku tidak bisa! Mereka akan membunuhku!"Abdul mendekat, meletakkan tangannya di bahu Arif. "Kau tidak akan mati, kecuali kau membiarkan dirimu kalah."Pintu itu akhirnya hancur, dan bayangan hitam itu masuk dengan gerakan melingkar seperti asap. Di dalamnya, Arif bisa melihat wajah-wajah yang dikenalnya: sosok ayahnya yang dulu sering dia kecewakan, seorang teman lama
“Jika waktumu telah tiba, kau pasti akan kembali.”Arif melanjutkan perjalanannya, mencoba menenangkan pikirannya. Tetapi ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap langkahnya. Dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa keris yang ia tinggalkan tadi mungkin akan menjadi bagian dari takdirnya suatu hari nanti.Abdul berdiri lagi di hadapannya, membuat Arif terkejut. Pria itu mengambil tongkatnya dan mengetuk tanah tiga kali. Sebuah pintu kecil di dinding terbuka, memperlihatkan jalan setapak yang suram."Ikuti jalan ini," katanya. "Tapi dengarkan baik-baik. Apa pun yang kau lihat atau dengar, jangan berhenti. Jangan menoleh. Jangan tergoda oleh apa pun yang ada di sepanjang jalan."Arif menelan ludah. "Apa yang ada di sepanjang jalan itu?""Hal-hal yang akan membuatmu ragu," jawab Abdul. "Hal-hal yang akan memanfaatkan ketakutan dan kerinduanmu. Tetapi kau harus tetap fokus
Abdul memukul lantai dengan tongkatnya, dan ruangan itu tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya terang. Suara-suara di luar terdengar seperti mundur, tetapi bayangan hitam itu masih bertahan, melongok melalui jendela dengan mata merah menyala."Mereka adalah perwujudan ketakutanmu," kata Abdul. "Hanya kau yang bisa menghancurkannya. Tapi pertama-tama, kau harus percaya pada dirimu sendiri."Arif merasa tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap Abdul, berharap ada jawaban yang lebih jelas. Tetapi Abdul hanya menatapnya kembali dengan tenang, seolah-olah ia tahu bahwa Arif harus menemukan kekuatannya sendiri untuk keluar dari tempat ini.“Kamu sudah berapa lama di sini?” tanya Abdul tiba-tiba.Arif mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Sepertinya baru sekitar satu jam,” jawabnya ragu.Mata Abdul membesar, dan ekspresinya berubah drastis. “Satu jam?” tanyanya