Arif kembali ke rumah dengan langkah gontai. Hari itu terasa panjang, dan lelah tidak hanya menyerang fisiknya tetapi juga batinnya. Rumah tua tempat tinggalnya berdiri angkuh di tengah malam yang kelam, dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang seperti penjaga bisu. Langit malam dipenuhi bintang, tetapi keindahannya tidak mampu menenangkan hati Arif yang resah.Arif menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rumah itu terasa sepi sejak kepergian Orang Tuanya, dan kini hanya, Afifah, yang tinggalsatu-satunya yang masih memilik garis keturunan dengannya. Meski begitu, rasa hampa selalu menghantuinya.Ketika jam dinding berdentang dua kali, Arif mencoba memejamkan mata, tetapi suasana rumah membuatnya sulit tidur. Gelap menyelimuti setiap sudut, hanya ditemani oleh sinar bulan yang mengintip melalui celah-celah tirai jendela. Saat itulah ia mendengar suara pertama, ketukan.“Tok… tok… tok…”Arif membuka matanya perlahan. Keningnya berkerut. Siapa yang mengetuk pintu pada tengah malam?
Keesokan harinya, Arif bangkit dengan tekad baru. Ia tahu bahwa melindungi Afifah adalah prioritas utamanya, meski rasa bersalah dan ketakutan terus menghantui.”Mumpung Lila dan Jatinegara tidak ada di rumah aku haruske rumah ustadz it,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, ia membawa keponakannya ke rumah Ustadz Harman, seorang pemuka agama yang ia percayai sebagai harapan terakhir.Setelah mendengar cerita Arif dengan seksama, Ustadz Harman terdiam cukup lama. Alisnya berkerut, dan wajahnya memancarkan keprihatinan mendalam. “Arif,” katanya akhirnya, “Kau telah bermain dengan sesuatu yang tidak kau pahami. Kontrakmu dengan Mbah Mijan bukanlah hal yang mudah diputus. Apa yang kau lakukan dulu adalah dosa besar.”“Tapi bagaimana dengan Afifah, Ustadz?” balas Arif dengan suara bergetar. “Dia satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku tidak bisa kehilangan dia. Aku rela melakukan apa saja untuk menyelamatkannya. Tapi, rahasiakan ni dari Lila dan Jatinegara.”Ustadz Harman mengangguk pelan. “
Desa mulai bergemuruh dengan desas-desus setelah tubuh Afifah ditemukan di hutan dalam keadaan yang mengenaskan. Penduduk desa berbisik-bisik di sudut-sudut jalan dan di pasar kecil, menciptakan suasana penuh ketegangan."Aku dengar tubuhnya ditemukan di dekat pohon besar yang katanya angker itu," bisik seorang perempuan tua pada temannya, matanya menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar."Ya, dan ada bekas cakar di lengannya. Kau tahu apa artinya, bukan?" balas temannya dengan suara lirih."Danyang! Sudah jelas ini ulah Danyang hutan itu. Kita sudah diperingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan hutan," tambah seorang lelaki paruh baya yang bergabung dalam obrolan itu.Namun, suara seorang pemuda terdengar dengan nada serius. "Tapi... ada yang bilang ini bukan hanya soal Danyang. Kau dengar cerita tentang Arif?""Arif? Maksudmu, Pamannya Afifah?" perempuan tua itu bertanya dengan mata membesar.Pemuda itu mengangguk pelan, lalu menurunkan suaranya. "Ada yang melihat dia b
Beberapa hari setelah itu, Wina datang sendirian ke rumah Arif. Ia menemui pria itu di ruang tamu, yang kini berantakan. Foto-foto keluarga berserakan di lantai, dan bau pengap memenuhi ruangan. Wina duduk di depan Arif, mencoba menatapnya dengan penuh simpati.“Kak Arif,” katanya pelan, “Aku tahu ini berat. Tapi desas-desus di desa sudah tidak terkendali. Mereka terus menyalahkan Danyang, dan banyak yang percaya bahwa ini semua karena pesugihanmu.”Arif mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, dan wajahnya penuh kelelahan. “Apa pun yang mereka katakan… mereka benar,” katanya akhirnya, suaranya serak.Wina terkejut. “Apa maksud Kakak? Walau aku tau hal ini sejak lama. Tapi, seharusnya kakak jangan bicara seperti itu.” Protesnya dengan hati-hati.“Aku sudah melakukan dosa besar, Wina. Dosa yang tidak akan pernah bisa aku tebus.” Arif menunduk lagi, tangannya menggenggam erat lututnya. “Afifah… dia adalah tumbal terakhir. Semua ini salahku.”Wina menggeleng pelan, mencoba memproses
125Arif duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya yang dulu gagah kini terlihat rapuh, wajahnya pucat, penuh keriput, dan jauh dari semangat hidup. Tangannya menggenggam bingkai foto Afifah, keponakannya yang telah tiada. Setiap malam, wajah Afifah menghantuinya, seperti menuntut jawaban atas semua keputusan kelamnya di masa lalu."Afifah... maafkan Om," bisiknya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Lila melangkah mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu suaminya semakin larut dalam rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana cara menolongnya."Arif, kamu harus makan. Tubuhmu makin lemah," ucapnya lembut, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam.Arif hanya menggeleng pelan. "Untuk apa makan, Lila? Hidupku sudah selesai sejak Afifah pergi."Lila terdiam, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa duka yang mengikat suaminya.Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di tengah keheningan,
Lila duduk di sudut ruang tamu, matanya kosong menatap jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berat, menambah beban kecemasan yang sudah lama menggerogoti hatinya.’Kenapa begini, kamu janji waktu dulu akan terus bersamaku. Kenapa begini, Arif . Aku mohon kamu bisa,’ harap Lila di dalam hati.Di depannya, Arif terbaring lemah di atas sofa. Tubuhnya tampak semakin kurus, wajahnya pucat, seolah-olah hidupnya tergantung pada seutas benang. Penyakit yang menggerogoti tubuh Arif memperburuk keadaannya, membuatnya lebih mudah terperangkap dalam dunia gaib yang semakin menguasainya. Suaminya yang dulu penuh semangat kini hanya tampak seperti bayangan.Lila memandang Arif dengan hati yang penuh keraguan dan rasa sakit. Ia tahu suaminya bukanlah orang yang sama lagi. Arif berbicara tanpa arah, matanya kosong, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri seperti berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat Lila."Arif," Lila memanggil, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padamu? Ap
Arif terdiam. Ia tidak bisa melihat mata Lila, hanya menatap kosong ke dinding. "Aku... aku sengaja melakukan inseminasi dengan donor. Agar kau tetap bisa punya keturunan. Aku takut, Lila, kalau anak-anak kita adalah keturunan Mahoni, mereka akan menjadi tumbal ritual ini. Sebab itu Jatinegara aman saat ini, tidak ada setetespun darah Mahoni dalam tubuhnya," kata Arif, suara penuh keraguan.Lila terperanjat, hatinya seperti dipenuhi oleh amarah yang membakar. "Jadi, kau melakukan semua itu demi kekuatan dan kekayaan, Arif? Semua yang kita jalani selama ini, semua kebahagiaan kita, hanyalah kebohongan?!" Lila merasa tubuhnya semakin lemas. Semua yang ia percayai selama ini ternyata sebuah ilusi.Arif menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu lagi, Lila. Aku sudah terjebak dalam ini. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa hidup lebih baik... Aku hanya ingin kau bahagia," ucap Arif dengan suara tercekat.Lila merasa hatiny
Setelah beberapa waktu berdiskusi, mereka sepakat untuk bertindak. Dengan penuh semangat, mereka bergerak menuju rumah Mahoni, dengan langkah-langkah cepat dan penuh tekad.”Kalau tidak bergerak sekarang, Arif bisa kabur,” ujar salah satu warga memprovokasi.”Betul! Betul! ” Serentak sorakan lantang tu menyeruak ke udara memenuhi desa Misahan.Namun, perjalanan itu tak berlangsung tanpa halangan. Mereka tahu bahwa jika mereka menyerang rumah Mahoni, mereka harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Tetapi rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan lebih besar dari ketakutan apapun.Sementara itu, di rumah Mahoni, Lila sedang berusaha menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap. Dia merasa terjebak antara rasa cinta dan kebencian, antara keinginan untuk membangun kembali hidupnya dan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Namun, hari itu, saat ia sedang duduk sendiri di ruang tamu, terdengar suara langkah-langkah yang mendekat. Ia mendengar bisikan yang semakin keras dari luar,
”Mbah Niah...,” ucap Lila lirih.Gadis itu tersenyum tipis, tatapannya tajam menembus jiwa mereka.“Kalian akhirnya sampai di sini,” katanya dengan suara yang jauh lebih tua dari wujudnya.Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka baru saja menyelesaikan satu konflik.Namun, yang lebih besar kini menanti di depan mereka.Lila berdiri mematung di tengah pasar hutan Srengege, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, Mbah Niah duduk dengan anggun di balik meja kayu tua yang dipenuhi benda-benda aneh—botol kaca berisi cairan pekat, tulang-tulang kecil yang terikat benang merah, serta kertas-kertas kuno yang ditulis dengan aksara yang tak bisa ia pahami.Wujud Mbah Niah yang menyerupai gadis berusia 17 tahun tampak begitu tenang. Rambut hitam panjangnya menjuntai indah, kulitnya putih bersih tanpa cela, tapi matanya, matanya tidak seha
Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b
“Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”
Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di
“Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal
Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”
Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b
Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m
Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.