Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 100. Malam yang Menjawab Pertanyaan

Share

100. Malam yang Menjawab Pertanyaan

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-12-26 17:06:10

Wina tidak bisa tidur malam itu. Mimpi tentang sosok di hutan yang misterius terus membayang di pikirannya, seolah-olah memanggilnya untuk mencari jawaban. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya bunga tidur, namun hatinya berkata lain. Ada sesuatu yang nyata dalam mimpi itu, sesuatu yang terasa lebih dari sekadar khayalan.

Wina duduk di beranda rumah, memeluk lutut sambil memandangi langit malam yang cerah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dari hujan sore tadi. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar mengiringi pikirannya yang berkecamuk.

“Kalau memang ini semua adalah tugas yang harus aku jalani, kenapa semuanya terasa seperti teka-teki?” Wina berbicara kepada dirinya sendiri, mencoba mencari keberanian di tengah kebingungannya.

Suara langkah kaki lembut terdengar mendekat. Bu Narti muncul dari balik pintu dengan selendang melingkar di bahunya. Wajahnya tampak khawatir, namun ada ketenangan d

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   101. Wina bertemu salah satu Danyang.

    Pria tua itu tersenyum tipis. “Aku adalah bagian dari keseimbangan yang harus kau jaga, Wina. Apa yang terjadi padamu bukan kebetulan. Kau dipilih karena kekuatan yang ada dalam dirimu.”“Kekuatan?” Wina mengulang, merasa bingung.“Ya,” jawabnya. “Kau adalah penjaga baru desa ini, seperti yang lain sebelum dirimu. Namun, kau memiliki sesuatu yang istimewa, kemampuan untuk menghubungkan dunia ini dengan dunia kami.”Wina terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. “Tapi aku tidak mengerti. Kenapa aku? Aku hanya seorang gadis biasa.”“Tidak ada yang biasa tentang dirimu, Wina,” katanya dengan tegas. “Kau memiliki keberanian dan hati yang tulus, sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Itu sebabnya kau dipilih.”Wina menelan ludah, perasaan takut dan bingung bercampur jadi satu. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”“Kau akan tahu pada waktunya,” kata sosok itu.

    Last Updated : 2024-12-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah   102. Permintaan Rahasia Wina

    Malam itu, suasana desa terasa tenang, tetapi hati Arif tidak. Ia duduk di ruang tengah rumahnya, memandangi lampu minyak yang bergoyang lembut oleh angin malam.‘Apa bernar yang di katakan mbah Mijan?’ Pikiran tentang kejadian di balai desa masih menghantui pikirannya, terutama tentang Wina yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian.“Tapi jika itu benar, apa yang nanti akan aku ketahui sendiri. Tentang Wina sudah terungkap di tempat ritual desa. Tapi yang akan aku ketahui, belum juga aku dapatkan,” gumamnya lirih. Arif menatap kosong ke depan, setidaknya dia kurang memikirkan pesugihan kandang bubrah , fokusnya tertuju pada masalah desa.Namun, ketenangan itu segera terusik oleh suara ketukan pelan di pintu. Arif berdiri, sedikit waspada. Ketika dia membuka pintu, dia mendapati Wina berdiri di sana. Wajah gadis itu terlihat serius, dan matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan.“Wina? A

    Last Updated : 2024-12-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah   103. Di Ambang Keputusan

    Arif duduk di beranda rumahnya, memandangi langit pagi yang mulai memudar menjadi abu-abu. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu menghilangkan rasa gelisah yang menguasai pikirannya. Ia terus memikirkan ancaman Wina dan konsekuensi dari keputusannya.“Mas Arif !” panggil Lila.“Hem, ya,” jawabnya singkat.Lila mengelengkan kepala, dia tidak habis pikir dengan suaminya . Lila meletakkan minuman di atas meja. “ Ini minumnya,” ujarnya lalu pergi.Arif hanya tersenyum dan mengangguk, dia kembali ke fokusnya sebelumnya. Tuntutan Wina terasa seperti jebakan yang memaksa Arif untuk semakin terikat pada misteri yang ia coba hindari. Namun, ancaman itu tidak memberinya pilihan.“Apa aku benar-benar harus melakukannya?” gumam Arif, menatap cangkir teh di tangannya. “Atau... apa aku harus melawan?”

    Last Updated : 2024-12-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah   104. Rahasia yang Terungkap

    Ketika Arif kembali ke rumah, Lila menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Arif, kau ke mana tadi?” tanyanya. “Kau terlihat sangat gelisah belakangan ini.”“Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawab Arif singkat, mencoba menghindari pertanyaan lebih lanjut.Namun, Lila tidak menyerah. “Arif, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Tolong, apa pun itu, katakan padaku. Aku ingin membantumu.”Arif menatap istrinya, merasa bersalah karena harus menyembunyikan kebenaran darinya. Namun, ia tahu bahwa mengungkapkan semuanya hanya akan membuat situasi semakin rumit.“Lila, semuanya akan baik-baik saja,” katanya akhirnya, mencoba menenangkan istrinya. “Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal.”Lila terdiam, meskipun wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tid

    Last Updated : 2024-12-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah   105. Keyakinan yang Mulai Goyah

    Setelah pembicaraan itu, Lila pergi tidur, tetapi Arif tetap duduk di ruang tengah. Ia memikirkan kata-kata Wina tentang Gibran dan danyang desa.Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa Wina memiliki agenda tersembunyi. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Gibran mungkin memang ditakdirkan untuk menikahi Wina dan melahirkan keturunan yang akan menjadi bagian dari tradisi danyang.“Kalau benar ini tentang keturunan...” gumam Arif, “apa artinya Gibran harus menyerahkan hidupnya?”Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa bersalah karena telah menyeret Gibran ke dalam kekacauan ini. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Jika ia ingin melindungi dirinya dan keluarganya, ia harus menyelesaikan tugas ini.“Belum selesai masalah satu, datang masalah ini lagi. Aku pikir ritual pertama itu sudah selesai, ternyata m

    Last Updated : 2024-12-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   106. Pesan Penting

    Ketika mereka mulai mendekati batas desa menuju hutan Misahan, Arif menghentikan langkahnya. Ia menatap Rendi dengan serius, lalu mengeluarkan sebuah lilin dari tas kecilnya.“Rendi, dengarkan aku baik-baik,” kata Arif sambil menyerahkan lilin itu. “Ini bukan perjalanan biasa. Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga lilin ini tetap menyala. Jangan sampai padam, apa pun yang kau lihat atau dengar.”Rendi mengerutkan kening, bingung dengan permintaan itu. “Kenapa, Pak? Apa yang sebenarnya kita cari di sini?”Arif menghela napas panjang. Ia tahu bahwa menjelaskan semuanya hanya akan menambah ketakutan Rendi, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria muda itu tidak tahu apa-apa. “Kita akan mencari barang-barang yang penting untuk desa ini, tetapi perjalanan ini tidak hanya tentang fisik. Kau mungkin akan melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Jangan coba-coba untuk mengikutiku l

    Last Updated : 2024-12-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah    107. Rintangan di Jalan Gelap

    Arif melangkah semakin jauh ke dalam hutan Misahan. Udara semakin berat, dan keheningan yang melingkupi seolah menelan setiap suara langkahnya.Pepohonan menjulang tinggi, dedaunannya menutupi langit, membuat siang hari tampak seperti senja. Setiap langkah membawa rasa dingin yang menusuk tulang, tetapi Arif tidak berhenti.“Semua ini hanya rintangan,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, rintangan pertama segera muncul. Ketika ia melangkah lebih dalam, suara desisan pelan terdengar dari sekelilingnya. Arif berhenti, matanya berusaha menembus kegelapan.Tiba-tiba, seekor ular besar meluncur dari salah satu cabang pohon dan mendarat di depannya. Tubuhnya hitam berkilau dengan sisik yang memantulkan cahaya samar, dan matanya merah menyala, menatap Arif dengan penuh kebencian.“Manusia,” desis ular itu dengan suara yang tidak wajar. “Kau tidak seharus

    Last Updated : 2024-12-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   108. Jalan yang Menyesatkan

    Arif melangkah lebih jauh setelah melewati gerbang yang dijaga oleh Duras. Udara terasa semakin berat, dan aroma busuk menyengat menyeruak, membuatnya harus menutup hidung dengan kain. Jalan setapak yang ia lalui tampak seperti lingkaran tak berujung, dan pohon-pohon di sekelilingnya terlihat seperti sosok yang bergerak. Ia mulai merasa dirinya tidak benar-benar maju.“Aku sudah melewati pohon ini sebelumnya,” gumamnya, menatap sebuah pohon besar dengan cabang yang berbentuk aneh.Arif merobek sepotong kain dari bajunya dan mengikatnya di salah satu cabang pohon itu sebagai tanda. Lalu ia melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, tetapi setelah berjalan beberapa menit, ia kembali melihat pohon yang sama dengan tanda kainnya.“Sialan!” teriak Arif frustrasi. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya meskipun udara di sekitarnya begitu dingin. “Kalian mencoba menyesatkanku, ya?”

    Last Updated : 2024-12-29

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah    174. Lila! Sadar! Kau Sedang Diperdaya!

    ”Mbah Niah...,” ucap Lila lirih.Gadis itu tersenyum tipis, tatapannya tajam menembus jiwa mereka.“Kalian akhirnya sampai di sini,” katanya dengan suara yang jauh lebih tua dari wujudnya.Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka baru saja menyelesaikan satu konflik.Namun, yang lebih besar kini menanti di depan mereka.Lila berdiri mematung di tengah pasar hutan Srengege, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, Mbah Niah duduk dengan anggun di balik meja kayu tua yang dipenuhi benda-benda aneh—botol kaca berisi cairan pekat, tulang-tulang kecil yang terikat benang merah, serta kertas-kertas kuno yang ditulis dengan aksara yang tak bisa ia pahami.Wujud Mbah Niah yang menyerupai gadis berusia 17 tahun tampak begitu tenang. Rambut hitam panjangnya menjuntai indah, kulitnya putih bersih tanpa cela, tapi matanya, matanya tidak seha

  • Pesugihan Kandang Bubrah   173. Suara Makhluk itu Terdengar Mengerikan  

    Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   172. Menunggu Sampai Malam Jumat Kliwon

    “Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”

  • Pesugihan Kandang Bubrah    171. Dimas Berdiri di Sana, Tetapi Tubuhnya Terasa Salah.    

    Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di

  • Pesugihan Kandang Bubrah   170. Wina! Kau baik-baik saja?  

    “Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal

  • Pesugihan Kandang Bubrah    169. Hutan Srengege.  

    Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”

  • Pesugihan Kandang Bubrah   169. Kalian Baik-Baik Saja?

    Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b

  • Pesugihan Kandang Bubrah    167. Jejak di Balik Asap

    Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m

  • Pesugihan Kandang Bubrah   166.  Isyarat Sang Penjaga

    Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status