Pagi itu, Arif menjalani rutinitasnya seperti biasa. Matahari yang baru terbit memancarkan sinarnya yang hangat, menerangi halaman rumahnya yang sederhana tetapi kini terlihat lebih hidup.
Gudang kecil tempat Arif menyimpan stok jengkol sudah dipenuhi pekerjanya yang sibuk memindahkan karung-karung jengkol ke atas truk. Sebagai juragan jengkol, Arif sudah tidak lagi repot turun ke pasar. Tugasnya kini hanya memastikan stok dan penjualan berjalan lancar.
“Pak Arif, ini laporan stok minggu ini,” kata Hasan, salah satu pekerja setianya, sambil menyerahkan buku catatan. Hasan adalah pemuda tangguh yang sudah bekerja dengannya selama tiga tahun terakhir.
Arif mengambil buku itu dan memeriksa isinya dengan seksama. “Bagus, Hasan. Pastikan truk pertama sampai di pasar sebelum jam delapan. Kita tidak ingin pelanggan menunggu terlalu lama.”
Hasan mengangguk. “Siap, Pak. Oh, dan a
Sepanjang hari, Arif mencoba melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Tetapi pikirannya terus dihantui oleh pesan itu. Malamnya, ketika ia berbaring di tempat tidur, suara-suara aneh mulai terdengar. Langkah-langkah berat di luar rumah, suara bisikan di udara dan bau dupa yang tiba-tiba memenuhi kamarnya.“Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi,” bisik Arif pada dirinya sendiri.Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa Kandang Bubrah masih menunggunya. Ritual itu adalah harga yang harus dia bayar dan waktunya semakin dekat.Pagi itu, suasana di rumah Arif terasa lebih sibuk dari biasanya. Pekerja-pekerjanya sibuk menata karung-karung jengkol untuk diangkut ke pasar. Hasan, seperti biasa, mengawasi pekerjaan dengan cekatan, sementara Arif berdiri di teras sambil memantau segala sesuatunya. Meskipun dia tampak tenang, pikirannya terus dihantui oleh pesan yang dia terima kemarin.
Arif duduk di beranda rumahnya, tatapannya menerawang ke arah kebun kecil di depan. Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran yang membebani. Nama Gibran terus muncul dalam benaknya, membuat emosi yang bercampur aduk.Awalnya, Arif merasa kasihan pada sepupunya itu. Bagaimana tidak? Gibran selalu tampak terganggu, terutama sejak sosok almarhum Mira, adiknya, mulai menghantui hidupnya.Namun, rasa kasihan itu tidak bertahan lama. Gibran telah menjadi duri dalam daging, terus-menerus memprovokasi Lila dan mencoba mengorek rahasia hidup Arif.Arif menggertakkan giginya. “Kau benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, Gibran,” gumamnya. Arif menatap tanah di bawah kakinya, mengingat malam ketika dia melakukan ritual untuk mengorbankan Mira. Gadis muda itu, adik Gibran, adalah tumbal yang telah memberi Arif kekayaan dan kejayaan.Sebelumnya, ayah Gibran juga mengalami nasib serupa. Ayahnya yang pernah menghina Arif habis-habisan kini tidak lagi menjadi ancaman. Namun, ternyata darah keluarga i
Hari-hari berikutnya berjalan sesuai rencana Arif. Kedekatan Gibran dan Wina mulai menjadi perbincangan hangat di desa. Wina yang biasanya sombong kini tampak lebih ramah, sementara Gibran terlihat sering menghabiskan waktu di rumah gadis itu. Arif tersenyum puas setiap kali mendengar kabar tersebut. Santet yang dia gunakan telah berhasil mengubah pandangan Gibran, membuatnya tergila-gila pada Wina.Namun, tidak semua orang menyambut kabar ini dengan senang. Lila, yang menyaksikan perubahan Gibran, merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Suatu malam, saat mereka sedang bersiap makan malam, Lila memanggil Arif dengan nada serius.“Arif, aku ingin bicara,” katanya sambil menatap suaminya.Arif yang sedang menuangkan teh berhenti sejenak, lalu meletakkan teko di atas meja. “Ada apa, Lila?” tanyanya dengan nada tenang.Lila duduk di kursi di depannya, wajahnya penuh dengan keraguan.
Arif duduk di ruang tengah bersama Lila, keduanya tampak santai setelah makan malam. Dengan hati-hati, Arif mencoba menyampaikan kabar terbaru tentang Gibran. Wajahnya tenang, tetapi pikirannya penuh perhitungan. Dia tahu bahwa informasi ini harus disampaikan dengan cara yang tepat agar Lila tidak curiga.“Lila, aku ingin memberitahumu sesuatu,” katanya dengan nada lembut.Lila yang sedang merapikan piring di meja menoleh. “Apa itu, Arif?”“Gibran... sepertinya dia benar-benar serius dengan Wina,” jawab Arif sambil tersenyum kecil. “Dia bilang ingin melamar Wina.”Lila terdiam sejenak, matanya membesar mendengar itu. “Melamar Wina?” tanyanya, nyaris tidak percaya. “Kamu serius, Arif?”Arif mengangguk sambil tertawa pelan. “Ya, dia bilang Wina adalah takdirnya. Aku pikir ini kabar baik. Setidaknya dia ak
Lila terduduk lemas di sudut ruangan, wajahnya basah oleh air mata. Isaknya memenuhi udara malam yang mencekam, sementara tubuhnya bergetar tanpa henti. Kejadian di jalan utama tadi masih terbayang jelas di matanya, dan perasaan takut bercampur sedih menyelimuti seluruh dirinya.“Ayah... di mana ayah?” isaknya, sambil menggenggam lututnya erat-erat.Arif berdiri tidak jauh darinya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan istrinya. Namun, sebelum Arif sempat mendekat, sebuah tangan menyentuh bahu Lila.Lila menoleh dengan terkejut dan di hadapannya berdiri Suryanto, ayahnya. Pria itu terlihat pucat, wajahnya seperti kehilangan darah, dan matanya merah seolah-olah ia habis menangis. Namun, ada sesuatu yang lebih menyeramkan, ekspresinya penuh dengan ketakutan.“Ayah!” seru Lila histeris, langsung memeluk pria itu. “Ayah baik-baik saja? Kenapa tadi semua oran
Pagi itu, pasar desa penuh dengan hiruk-pikuk seperti biasanya. Para pedagang sibuk menjajakan dagangan mereka, sementara para pembeli berdesak-desakan memilih barang kebutuhan sehari-hari. Namun, di balik keramaian tersebut, ada bisikan yang tidak biasa.Desas-desus tentang kecelakaan di jalan utama mulai menyebar dari mulut ke mulut, mengubah suasana pasar yang biasanya riuh menjadi penuh dengan rasa takut dan penasaran.“Katanya tubuh pria itu menghilang, ya?” bisik seorang wanita tua kepada temannya.“Iya, hanya darah yang tertinggal. Seram sekali,” jawab temannya sambil melirik sekeliling, seolah-olah takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Dan motor bututnya masih ada di sana. Tapi siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa tubuhnya bisa menghilang begitu saja?”Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus terdengar di sepanjang lorong pasar.
Desas-desus tentang kecelakaan yang menimpa mertua Arif semakin tersebar cepat di pasar. Setiap pelanggan yang datang, baik yang sedang berbelanja atau sekadar bertanya-tanya, tak henti-hentinya bertanya tentang kondisi mertua Arif.Beberapa dari mereka bahkan penasaran, mengapa korban kecelakaan itu tidak pernah muncul lagi di tengah-tengah mereka. Hanya ada kabar burung yang beredar tentang kejadian tersebut, dan ini membuat banyak orang merasa gelisah.Di warung kopi yang terletak di pinggir jalan, dua orang pria tengah duduk sambil meminum kopi hangat. Mereka berbicara pelan, namun cukup untuk didengar oleh warga yang duduk tidak jauh dari mereka."Jadi, kata orang, Arif itu tahu sesuatu soal kecelakaan itu, ya?" tanya salah seorang pria."Entahlah, tapi Aku dengar dari orang-orang, katanya ada yang melihat Arif kemarin malam di dekat kecelakaan itu. Malah ada yang bilang, dia ngeliat sesuatu yan
Malam pertama setelah ritual larung sesaji seharusnya membawa rasa lega bagi warga desa. Namun, kenyataan berkata lain. Ketenangan itu hanya ilusi singkat, sebuah jeda sebelum badai besar menghantam. Ketika senja tiba, dan matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, desa kembali diselimuti ketegangan yang tak terjelaskan. Seperti ada sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang malam, sesuatu yang tak terlihat namun keberadaannya terasa sangat nyata.Warga mulai merasakan keanehan yang sulit dijelaskan. Suara tawa nyaring terdengar dari kejauhan, menggema di udara seperti permainan kejam yang tak seorang pun tahu asalnya. Kegelapan malam terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah menyembunyikan rahasia mengerikan yang siap menerkam. Angin dingin berhembus, membawa aroma busuk yang menusuk hidung, memaksa semua orang berlindung di balik pintu-pintu yang terkunci rapat."Ini belum selesai," pikir seorang warga dalam ketakutan, sambil m
Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t
Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."
Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des
Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.
Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.
Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.
Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah
Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su