Desas-desus tentang kecelakaan yang menimpa mertua Arif semakin tersebar cepat di pasar. Setiap pelanggan yang datang, baik yang sedang berbelanja atau sekadar bertanya-tanya, tak henti-hentinya bertanya tentang kondisi mertua Arif.
Beberapa dari mereka bahkan penasaran, mengapa korban kecelakaan itu tidak pernah muncul lagi di tengah-tengah mereka. Hanya ada kabar burung yang beredar tentang kejadian tersebut, dan ini membuat banyak orang merasa gelisah.
Di warung kopi yang terletak di pinggir jalan, dua orang pria tengah duduk sambil meminum kopi hangat. Mereka berbicara pelan, namun cukup untuk didengar oleh warga yang duduk tidak jauh dari mereka.
"Jadi, kata orang, Arif itu tahu sesuatu soal kecelakaan itu, ya?" tanya salah seorang pria.
"Entahlah, tapi Aku dengar dari orang-orang, katanya ada yang melihat Arif kemarin malam di dekat kecelakaan itu. Malah ada yang bilang, dia ngeliat sesuatu yan
Malam pertama setelah ritual larung sesaji seharusnya membawa rasa lega bagi warga desa. Namun, kenyataan berkata lain. Ketenangan itu hanya ilusi singkat, sebuah jeda sebelum badai besar menghantam. Ketika senja tiba, dan matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, desa kembali diselimuti ketegangan yang tak terjelaskan. Seperti ada sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang malam, sesuatu yang tak terlihat namun keberadaannya terasa sangat nyata.Warga mulai merasakan keanehan yang sulit dijelaskan. Suara tawa nyaring terdengar dari kejauhan, menggema di udara seperti permainan kejam yang tak seorang pun tahu asalnya. Kegelapan malam terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah menyembunyikan rahasia mengerikan yang siap menerkam. Angin dingin berhembus, membawa aroma busuk yang menusuk hidung, memaksa semua orang berlindung di balik pintu-pintu yang terkunci rapat."Ini belum selesai," pikir seorang warga dalam ketakutan, sambil m
Di pasar yang terletak tak jauh dari rumah Arif, beberapa orang berkumpul di warung kopi yang sederhana. Mereka berbicara pelan, saling bertukar cerita tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi setelah ritual di sungai. Salah satunya adalah Pak Darto, seorang pedagang yang sudah cukup lama tinggal di desa tersebut."Jadi, Arif," Pak Darto memulai percakapan, "Apakah kamu juga dengar suara tawa itu? Suara kuntilanak, kan?"Arif yang sedang sibuk melayani pembeli hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ah, itu hanya bayangan kalian saja. Jangan terlalu percaya pada hal-hal seperti itu," jawabnya dengan suara tenang. "Malam memang terasa sedikit menakutkan, tapi kita harus tetap tenang. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."Namun, kata-kata Arif tak mampu meredakan rasa takut yang telah mencengkeram hati warga. Ketakutan itu semakin dalam, seperti racun yang merayap perlahan. Warga saling berbisik di sudut-sudut r
Bayang-Bayang di Balik Pernikahan.Arif terjaga malam itu, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menyatu dengan rasa cemas yang terus membebani pikirannya."Kenapa semua ini tidak berakhir?" gumamnya lirih, suara yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam.Teror yang mendera desa semakin hari semakin parah, meski ritual larung sesaji telah dilakukan. Seharusnya, ritual itu membawa ketenangan, namun nyatanya hanya menyisakan kekosongan dan ketegangan yang lebih pekat.Arif mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghapus lelah yang terasa tidak hanya di tubuh, tetapi juga di jiwa. Suasana desa yang dulunya damai kini berubah menjadi mencekam. Setiap langkah warga penuh dengan kehati-hatian, setiap bisikan malam membawa rasa takut yang tidak terjelaskan.A
Mbah Mijan mengernyitkan dahinya. "Aku baru sadar, Arif. Semua ini berkaitan dengan rencana pernikahan Gibran. Wanita yang akan dia nikahi, gadis itu… dia bukan sembarangan. Dia adalah gadis perawan yang tidak boleh dinikahi oleh sembarang orang. Dia adalah milik Danyang Desa. Mungkin kamu tidak tahu, tapi pernikahan itu tidak bisa terjadi begitu saja."Arif terdiam, mulutnya terasa kering. "Apa maksudnya, Mbah? Gibran… dia akan menikahi gadis itu, kan? Apa yang salah dengan itu?"Mbah Mijan mengangkat tangannya, memberikan tanda agar Arif diam. "Kamu harus mengerti, Arif. Danyang Desa tidak bisa begitu saja menyerahkan gadis itu untuk dinikahi. Gadis itu adalah titipan, bukan hanya dari keluarga, tetapi dari kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang mengikat desa Misahan. Buakn untuk menikah, jika dia dinikahi oleh orang, terutama oleh Gibran, itu bisa memicu kemarahan yang tak terbayangkan dari Danyang Desa."
Pagi-pagi sekali, Arif menuju lokasi pembangunan gudang yang terletak di tepi hutan. Suasana di sekitar tempat itu terasa aneh. Udara di sana lebih dingin daripada biasanya dan meski matahari sudah mulai meninggi, bayangan-bayangan pepohonan di sekitar hutan tampak lebih gelap, seperti enggan untuk diterangi.“Pak Arif?” suara seseorang memanggilnya dari belakang. Arif berbalik dan melihat Pak Karsa, mandor proyek pembangunan gudang itu.“Pak Karya, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Arif tanpa basa-basi.Pak Karya menggaruk-garuk kepala, raut wajahnya tampak gugup. "Jujur saja, Pak Arif, sejak proyek ini dimulai, kami sudah merasa ada yang tidak beres. Beberapa pekerja mengaku melihat bayangan besar di malam hari. Ada juga yang mendengar suara aneh dari arah hutan. Tapi kami pikir itu hanya cerita untuk menakut-nakuti saja.""Kenapa kalian tetap melanjutkan proyek in
Namun, di tengah ritual yang khusyuk itu, pikiran Arif tiba-tiba terganggu oleh ingatan tentang Gibran dan Wina. Rencana yang telah dia susun untuk menjebak Gibran dengan Wina ternyata gagal total.’Kalau aku melanjutkan ini, semua akan berantakan ? Tapi kalau aku berhenti sekarang , Aku yang akan mati,’ batinnya panik. Tapi Arif meneruskan ritual itu, dia tidak akan tahu apa yang akan terjadi sebelum menyelesaikannya.Pada awalnya, segala sesuatunya berjalan dengan mulus. Gibran benar-benar tergila-gila pada Wina, bahkan sudah mulai berbicara tentang rencana pernikahan mereka. Arif merasa yakin bahwa jika Gibran menikahi Wina, dia akan mendapatkan kekuatan dan pengaruh yang lebih besar dalam desa.Dengan begitu, Arif bisa mengendalikan situasi dan memastikan Wina menjadi bagian dari rencananya. Namun, seperti sebuah sandiwara yang mendekati klimaksnya, semuanya mulai berantakan.
Arif menghela napas panjang, lalu mengajak Gibran duduk. “Dengarkan aku, Gibran. Ini bukan salahku. Wina adalah gadis milik Danyang desa Misahan.”Gibran mengernyit, jelas tidak mengerti. “Apa maksudmu, Arif? Danyang? Apa hubungannya Wina dengan itu?”Arif menatapnya dengan serius. “Wina bukan gadis biasa. Dia adalah milik Danyang yang menjaga desa Misahan. Jika kau terus memaksakan pernikahan dengan Wina, itu berarti kau menentang kehendak Danyang. Dan akibatnya, desa ini akan terus mengalami teror.”Wajah Gibran memucat. “Kau bercanda, kan? Kau benar-benar percaya dengan hal-hal semacam itu?”Tangan Gibran mengepal tidak terima, semua yang di katakan Arif tidak masuk di akal sama sekali. "Bagaimana bisa, dia manusia biasa. Wina menapak tanah, bahkan dia makan - makanan yang sama seperti kita. Dimana letak dia milik Danyang Arif? Kamu bercandanya kelewatan," p
Desas-desus yang semakin menyebar di desa membuat Gibran semakin gelisah. Nama Wina kini menjadi perbincangan di setiap sudut pasar, warung, bahkan balai desa. Di tengah aktivitas harian mereka, warga tidak bisa berhenti membicarakan tentang gadis itu, apalagi setelah serangkaian peristiwa aneh yang terjadi belakangan ini."Siapa sangka, Wina itu bisa jadi sumber semua kekacauan ini," kata Pak Joko, seorang pedagang tua yang sering duduk di warung kopi. "Aku dengar, malam-malam ada suara tawa yang aneh, datangnya dari arah rumahnya. Sudah banyak yang mendengar, tapi siapa yang berani bicara?""Iya, aku juga dengar! Suara tawa itu bahkan sampai bikin bulu kudukku berdiri," timpal Bu Sari, pemilik warung nasi. "Katanya, itu bukan suara manusia biasa, bisa jadi suara roh halus. Mereka bilang Wina dilindungi oleh danyang desa Misahan, jadi kita tidak bisa sembarangan."Di balik desas-desus itu, beberapa warga lainnya mulai m
Arif menggelengkan kepala, tatapannya penuh penyesalan. "Kau harus mengerti, Lila. Ketika kita berada di dunia ini, kita sering kali terikat pada kenangan, pada tempat yang kita anggap aman. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Rumah itu bukan tempat yang aman lagi. Sesuatu yang lebih gelap telah menguasainya."Lila menatap keduanya, seolah mencari petunjuk dalam kata-kata mereka. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa meninggalkan Jatinegara, dan aku tidak bisa membiarkan apa yang terjadi padanya."Dimas menarik napas dalam, menatap Lila dengan penuh keprihatinan. "Lila, kau tidak bisa bertahan di sana lebih lama lagi. Sesuatu yang buruk sudah terjadi, dan kau mungkin tidak bisa menyelamatkan Jatinegara jika kau tetap tinggal. Jika kau ingin melindunginya, kau harus pergi. Mungkin itu satu-satunya cara."Lila terdiam, kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam pikirannya. Ia ingin melawan, namun sesuatu dalam dirinya meresapi kebenaran yang disampaikan oleh
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Di rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu per satu, s
rif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Kau
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu