Mbah Mijan mengernyitkan dahinya. "Aku baru sadar, Arif. Semua ini berkaitan dengan rencana pernikahan Gibran. Wanita yang akan dia nikahi, gadis itu… dia bukan sembarangan. Dia adalah gadis perawan yang tidak boleh dinikahi oleh sembarang orang. Dia adalah milik Danyang Desa. Mungkin kamu tidak tahu, tapi pernikahan itu tidak bisa terjadi begitu saja."
Arif terdiam, mulutnya terasa kering. "Apa maksudnya, Mbah? Gibran… dia akan menikahi gadis itu, kan? Apa yang salah dengan itu?"
Mbah Mijan mengangkat tangannya, memberikan tanda agar Arif diam. "Kamu harus mengerti, Arif. Danyang Desa tidak bisa begitu saja menyerahkan gadis itu untuk dinikahi. Gadis itu adalah titipan, bukan hanya dari keluarga, tetapi dari kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang mengikat desa Misahan. Buakn untuk menikah, jika dia dinikahi oleh orang, terutama oleh Gibran, itu bisa memicu kemarahan yang tak terbayangkan dari Danyang Desa."
Pagi-pagi sekali, Arif menuju lokasi pembangunan gudang yang terletak di tepi hutan. Suasana di sekitar tempat itu terasa aneh. Udara di sana lebih dingin daripada biasanya dan meski matahari sudah mulai meninggi, bayangan-bayangan pepohonan di sekitar hutan tampak lebih gelap, seperti enggan untuk diterangi.“Pak Arif?” suara seseorang memanggilnya dari belakang. Arif berbalik dan melihat Pak Karsa, mandor proyek pembangunan gudang itu.“Pak Karya, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Arif tanpa basa-basi.Pak Karya menggaruk-garuk kepala, raut wajahnya tampak gugup. "Jujur saja, Pak Arif, sejak proyek ini dimulai, kami sudah merasa ada yang tidak beres. Beberapa pekerja mengaku melihat bayangan besar di malam hari. Ada juga yang mendengar suara aneh dari arah hutan. Tapi kami pikir itu hanya cerita untuk menakut-nakuti saja.""Kenapa kalian tetap melanjutkan proyek in
Namun, di tengah ritual yang khusyuk itu, pikiran Arif tiba-tiba terganggu oleh ingatan tentang Gibran dan Wina. Rencana yang telah dia susun untuk menjebak Gibran dengan Wina ternyata gagal total.’Kalau aku melanjutkan ini, semua akan berantakan ? Tapi kalau aku berhenti sekarang , Aku yang akan mati,’ batinnya panik. Tapi Arif meneruskan ritual itu, dia tidak akan tahu apa yang akan terjadi sebelum menyelesaikannya.Pada awalnya, segala sesuatunya berjalan dengan mulus. Gibran benar-benar tergila-gila pada Wina, bahkan sudah mulai berbicara tentang rencana pernikahan mereka. Arif merasa yakin bahwa jika Gibran menikahi Wina, dia akan mendapatkan kekuatan dan pengaruh yang lebih besar dalam desa.Dengan begitu, Arif bisa mengendalikan situasi dan memastikan Wina menjadi bagian dari rencananya. Namun, seperti sebuah sandiwara yang mendekati klimaksnya, semuanya mulai berantakan.
Arif menghela napas panjang, lalu mengajak Gibran duduk. “Dengarkan aku, Gibran. Ini bukan salahku. Wina adalah gadis milik Danyang desa Misahan.”Gibran mengernyit, jelas tidak mengerti. “Apa maksudmu, Arif? Danyang? Apa hubungannya Wina dengan itu?”Arif menatapnya dengan serius. “Wina bukan gadis biasa. Dia adalah milik Danyang yang menjaga desa Misahan. Jika kau terus memaksakan pernikahan dengan Wina, itu berarti kau menentang kehendak Danyang. Dan akibatnya, desa ini akan terus mengalami teror.”Wajah Gibran memucat. “Kau bercanda, kan? Kau benar-benar percaya dengan hal-hal semacam itu?”Tangan Gibran mengepal tidak terima, semua yang di katakan Arif tidak masuk di akal sama sekali. "Bagaimana bisa, dia manusia biasa. Wina menapak tanah, bahkan dia makan - makanan yang sama seperti kita. Dimana letak dia milik Danyang Arif? Kamu bercandanya kelewatan," p
Desas-desus yang semakin menyebar di desa membuat Gibran semakin gelisah. Nama Wina kini menjadi perbincangan di setiap sudut pasar, warung, bahkan balai desa. Di tengah aktivitas harian mereka, warga tidak bisa berhenti membicarakan tentang gadis itu, apalagi setelah serangkaian peristiwa aneh yang terjadi belakangan ini."Siapa sangka, Wina itu bisa jadi sumber semua kekacauan ini," kata Pak Joko, seorang pedagang tua yang sering duduk di warung kopi. "Aku dengar, malam-malam ada suara tawa yang aneh, datangnya dari arah rumahnya. Sudah banyak yang mendengar, tapi siapa yang berani bicara?""Iya, aku juga dengar! Suara tawa itu bahkan sampai bikin bulu kudukku berdiri," timpal Bu Sari, pemilik warung nasi. "Katanya, itu bukan suara manusia biasa, bisa jadi suara roh halus. Mereka bilang Wina dilindungi oleh danyang desa Misahan, jadi kita tidak bisa sembarangan."Di balik desas-desus itu, beberapa warga lainnya mulai m
Sore itu, Gibran berdiri di depan pintu rumah Wina. Tangannya mengetuk dengan keras, membuat daun pintu bergetar. Tidak lama kemudian, Wina membuka pintu dengan wajah cemas. Matanya menunjukkan kelelahan, seolah-olah dia sudah terlalu sering mendengar gosip dan tuduhan dari warga desa.“Gibran? Kenapa kau di sini lagi?” tanyanya dengan suara pelan.Gibran melangkah masuk tanpa menunggu undangan. “Kita perlu bicara, Wina. Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Aku ingin tahu kenapa kau membatalkan rencana pernikahan kita.”Wina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku sudah bilang, Gibran. Aku merasa ada yang salah. Aku tidak bisa menjelaskan, tapi ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman.”“Apa ini tentang danyang desa?” potong Gibran, nadanya penuh frustrasi. “Kau percaya dengan semua omong kosong itu? Wina, ini h
Hari itu, suasana di desa terasa berbeda. Ritual bersih desa, yang diadakan setiap tahun, selalu menjadi momen penting bagi warga. Balai desa yang biasanya sepi kini dipenuhi dengan penduduk yang datang membawa persembahan sederhana: nasi tumpeng, buah-buahan, bunga, dan kain putih.Asap dupa melayang di udara, menciptakan aroma khas yang bercampur dengan udara pagi. Suara doa-doa yang dipanjatkan oleh tokoh adat dan Bu Narti, dukun desa yang dihormati, memenuhi ruang dengan getaran spiritual yang mendalam.Ritual ini diyakini sebagai cara untuk menenangkan danyang desa, penjaga gaib yang dipercaya melindungi mereka. Namun, tahun ini, ritual tersebut terasa lebih mendesak, terutama setelah serangkaian kejadian aneh yang membuat semua orang gelisah.Di antara kerumunan, Wina hadir dengan sikap yang tak seperti biasanya. Wajahnya tampak tenang, tanpa ekspresi, seolah-olah perasaan khawatir yang biasanya menghantuinya telah
Namun, sebelum ada yang bisa menghentikannya, Wina tiba-tiba berjalan menuju altar. Langkahnya perlahan tetapi pasti, seperti ada kekuatan yang membimbingnya. Bu Narti yang sedang memimpin doa berhenti sejenak, menatap Wina dengan ekspresi bingung.“Wina, apa yang kau lakukan?” tanya Bu Narti, suaranya tegas tetapi tidak marah.Wina tidak menjawab. Dia mengangkat tangannya ke arah dupa yang menyala dan tiba-tiba nyala api di altar, menjadi lebih besar. Semua warga terkejut, beberapa mundur dengan ketakutan. Asap tebal membentuk bayangan-bayangan yang bergerak di udara, menciptakan suasana mencekam.Kemudian, suara Wina terdengar. Namun, itu bukan suara lembutnya yang biasa. Suaranya terdengar lebih dalam, lebih berat, seperti suara yang datang dari entitas lain.“Aku adalah pelindung desa ini,” katanya, suaranya menggema di seluruh balai desa. “Aku telah lama berada di s
Kata-kata Bu Narti memang berhasil membuat Wina sedikit tenang. Namun, di dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Perjalanan ke depan tidak akan mudah. Kini, dia harus menyeimbangkan dirinya antara menjalani kehidupan sebagai gadis desa biasa dengan beban ekspektasi yang semakin besar dari warga desa.Mereka kini melihatnya sebagai sosok pelindung, seseorang yang diberkahi kekuatan gaib untuk menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia yang tak kasat mata.Wina sering merasa canggung dengan perhatian yang tiba-tiba mengarah padanya. Setiap kali ia melangkah keluar rumah, ada saja warga yang menyapa dengan hormat, bahkan meminta berkat darinya. Ada yang datang dengan membawa bayi mereka, memintanya untuk mendoakan kesehatan si kecil.Ada juga yang membawa air dalam kendi, berharap Wina bersedia "memberkatinya" agar bisa digunakan sebagai obat. Meskipun Wina selalu mencoba menolak dengan halus, tatapa
Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b
“Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”
Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di
“Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal
Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”
Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b
Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m
Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.
Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r