Delotta melepas sendok dan mendorong piring pancake itu menjauh. Dua buah Crombolini masih utuh. Meski tampilannya menggiurkan Delotta sudah tidak berselera lagi. "Buat apa Om membawaku ke sini kalau ujung-ujungnya mau ngucapin salam perpisahan?" "It's not true.""Not true? Om udah rencanain ini kan? Dari awal Om memang nggak pernah menginginkan aku. Tidak hanya kali ini, Om selalu melihat hubungan kita ini semu. Nggak heran kalau aku nggak pernah ada dalam masa depan Om," tandas Delotta dengan tatapan menghunus. Daniel menggeleng pelan, wajahnya tampak pias. "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. I want you so much.""Om tau nggak, dua hari lagi acara itu digelar. Dan Om mau memulangkan aku?" Delotta tertawa miris. "Aku pikir cinta Om begitu besar, ternyata..." Dia menggeleng lemah. "Sejak awal memang aku yang mencintai sendirian di sini," lanjutnya lemah. Daniel mencoba meraih tangan Delotta. Namun gadis itu segera menepisnya. "Please, listen me. Maksud aku bukan gitu, Otta. Ak
Sudut mata Delotta berair menahan perih. Air itu lantas meleleh melewati pelipisnya saat Daniel mendorong keras di bawah sana. Kuku-kukunya menancap ke punggung Daniel, saat pria itu mengentak cukup dalam. Ini mengejutkan bagi Delotta. Dia seperti terkena godaman palu besar di kepala. Nyerinya sampai ke tulang-tulang saat dirinya dipaksa menerima milik Daniel. Ralat, bukan dipaksa, tapi dengan rela hati dia menyerahkan semua. Sebenarnya Delotta paham resiko sakit yang bakal dia lalui, tapi itu hanya proses. Untuk seterusnya tidak akan ada lagi rasa sakit. Itu yang sering Tya dengungkan. Wajah Daniel berubah panik saat melihat air mata gadis itu jatuh. "I hurt you?" tanya Daniel seraya mengusap bulir air yang meleleh dari sudut mata Delotta.Delotta menggeleng. Napasnya masih tercekat, dia harus menyesuaikan keberadaan Daniel di dalamnya. Tidak mudah, tapi dia yakin bisa melewati ini. Paham yang gadisnya rasakan, Daniel memberikan sentuhan-sentuhan lembut untuk membuat Delotta rile
"Fifteen minutes.""Ten minutes."Daniel mendesah. Dia kembali mengenakan kaus lalu beringsut ke meja kerjanya di sudut kamar. "Please, put on your clothes, Baby," ujarnya seraya menyalakan laptop. Delotta yang masih berada di tempat tidur hanya mencebikkan bibir. Alih-alih menuruti permintaan Daniel, gadis itu merengek. "Sakit, Om. Aku nggak bisa bergerak."Dari balik laptop Daniel mengintip. "Really? Kamu sudah melewati satu hari." "Lalu?" "Aku pikir sakit itu udah berkurang." Daniel menunjukkan wajah polos. Dia sama sekali tidak memiliki pengalaman menghadapi perempuan yang baru saja melepas keperawanan. "Gimana mau berkurang? Bahkan pagi ini Om minta lagi."Wajah cemberut Delotta membuat Daniel terkekeh. "Oke. Kamu tenang dulu. Aku selesaikan teleconference ini sebentar.""Ten minutes." "Oke." Sepuluh menit yang dijanjikan berubah jadi lima belas menit, dua puluh menit, hingga tiga puluh menit. Dan ketika Daniel lagi-lagi meminta tambahan waktu lima menit, Delotta berkacak
Bunyi bel yang terus ditekan membuat Daniel dan Delotta menghentikan tawa. Keduanya diam dan saling pandang. Selain Sandra dan supirnya, tidak ada yang tahu tentang keberadaan Daniel serta rumah yang sekarang dia tempati. "Nggak mungkin orang iseng, kan?" tanya Delotta heran. Bel masih saja terus berbunyi. "Biar aku buka dulu. Kamu di sini saja, oke?" Delotta mengangguk dan membiarkan Daniel melepas pelukannya. Menyambar sebuah kaos, Daniel lantas keluar dari kamar seraya mengenakan kaos tersebut. Dia menuruni anak tangga. Lalu berbelok menuju ruang tamu. Sebenarnya dia penasaran dengan tamu yang tak tahu etika itu. Dirinya tidak tuli sampai harus mendengar bel berulang kali. Tidak, sepertinya bel itu memang sengaja ditekan berulang dengan tujuan tidak baik. Daniel bersumpah akan memberi pelajaran pada siapa pun yang melakukan itu. Wajah kerasnya mengendur ketika dia membuka pintu dan menemukan tatapan Ricko tepat menghujamnya. Daniel agak terkejut melihat Ricko ada di rumahnya.
Tepuk tangan meriah tidak membangunkan Delotta. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, meskipun dia baru saja menyematkan cincin di jari manis Dave malam ini. Di saat tamu yang hadir terlihat bersuka cita, Delotta malah terlihat muram. Tiap kali Dave membawanya untuk menyapa para tamu dia cuma bisa tersenyum tipis. Satu tarikan bibir yang tidak lebih dari satu detik. "Thanks udah ngasih aku kesempatan," ucap Dave saat mereka kembali ke kursinya. "Papa yang kasih kesempatan bukan aku," tukas Delotta tak perlu repot-repot menyembunyikan kekesalannya. Dave menarik napas panjang. Berusaha memaklumi dan menerima reaksi Delotta. Ini memang keputusan besar yang dia sepakati bersama Ricko. Bagi Dave ini adalah kesempatan emas agar bisa meluluhkan hati Delotta lagi, meskipun jalannya harus dibenci dulu oleh gadis itu. Hubungannya dengan Delotta sebenarnya sudah membaik, tapi kembali memburuk ketika Dave menerima tawaran Ricko untuk mengikat gadis itu dalam tali pertunangan. "Mau nggak mau
Dua bulan kemudian._____________Daniel sedang menekuri sebuah berkas ketika Sandra datang membawa makan siangnya. Pria yang mengenakan kacamata baca itu sama sekali tidak menoleh, seolah larut dengan pekerjaan. "Mpek-mpek kapal selam," ucap Sandra seraya meletakkan nampan kecil berisi dua mpek-mpek kapal selam dengan kuah terpisah. Dia melakukan itu bukan tanpa alasan. Sudah beberapa hari ini Daniel kehilangan gairah makan. Semua menu yang wanita itu siapkan selalu menyisakan banyak. Jadi, siang ini wanita itu sengaja menyiapkan menu favorit sang bos. Dengan ujung mata Daniel meliriknya sekilas. Biasanya pria itu akan antusias dengan menu satu itu, tapi hari ini dia tampak biasa saja. "Mau saya potongin, Pak?" tanya Sandra. Dan tanpa menunggu jawaban Daniel, Sandra dengan gesit melakukan tugas itu. Dia memotong mpek-mpek itu dan menyajikannya di sebuah mangkuk, lengkap dengan guyuran kuah asam di atasnya. "Ini mpek-mpek langganan saya. Rasanya mantul, Pak," ujar Sandra, tersenyum
Delotta melempar tubuh besar Daniel ke atas ranjang tidur. Setelah susah payah meladeni kesintingan orang mabuk, dia berhasil membawa Daniel ke apartemen lelaki itu. Napas Delotta sampai terengah-engah karena harus menahan bobot pria sebesar Daniel. Beruntung ketika keluar dari kelab bartender itu menolongnya sampai ke mobil, lalu security apartemen juga membantunya membawa Daniel sampai masuk lift."Nih orang makan apa sih, berat banget," keluh Delotta seraya membuka sepatu Daniel. Dilihat dari pakaian, dia bisa menebak kalau pria itu belum sempat pulang dan langsung ke kelab. Entah apa yang membuat Daniel sefrustrasi itu sampai mabuk parah begini. Delotta tidak mau GR pria itu begini gara-gara dirinya. Kalau pun ada fase patah hati mungkin bisa Daniel lewatkan dengan mudah. Pria itu bisa mencari wanita baru yang menarik, lalu semua beres. Tidak seperti dirinya yang susah sekali melupakan pria itu. Padahal nyaris dua bulan mereka tidak pernah berkomunikasi atau pun bertemu. Mungkin
Delotta memejamkan mata. Sedikit meringis meningkahi rasa sakit yang hadir. Ini bukan pertama kali. Namun, rasanya sama seperti kemarin. Bawah tubuhnya terasa sangat mengganjal, penuh, dan juga sesak. Sementara pria di atasnya bergeming dengan wajah memerah, membiarkan Delotta menyesuaikan dirinya yang ada di dalam perempuan itu. "I hurt you?" tanya Daniel dengan bola mata bergerak-gerak mengamati wajah gadis di bawahnya. "Nggak." Senyum Daniel terbit. Dia kembali mendekat dan menyasar bibir tipis Delotta. Dari bibir ciumannya turun ke rahang, leher, lalu berhenti di puncak dada perempuan itu. Lagi dia menyapukan lidahnya di sana, membuat tubuh Delotta kembali meremang. Telapak tangan Daniel yang kasar juga bergerak mengusap lembut paha Delotta, memberi sentuhan yang menyenangkan agar gadis itu tetap rileks. Perlahan ketika Delotta terlihat tenang, Daniel mulai bergerak. Dia tersenyum melihat wajah Delotta yang dipenuhi kabut gairah. Ketika Delotta menggigit bibir atau meremas ses