Tawa lebar gadis berambut pendek di depannya membuat Delotta cemberut. Seolah-olah apa yang Delotta ceritakan adalah sebuah lawakan.
"Untung lo nggak diseret keluar kayak kambing," ujar Tya, di sela tawanya.Tya Anggesta, gadis berambut pendek dengan tone kulit kecoklatan itu teman akrab Delotta sekaligus teman satu kuliahnya. Mereka lulus bersama, tapi Tya lebih beruntung karena sudah mendapat pekerjaan.
"Malu tau. Tapi suer, dia ganteng banget."
"Tapi tua."
"Ish! Matang, bukan tua. Lo nggak liat aja sih."
"Jadi, setelah liat dia selera cowok lo berubah?" Tya bersedekap tangan dan mengangkat kedua alisnya.
"Ya, enggak juga, sih." Ada nada ragu dari ucapan gadis 22 tahun itu. Pria tampan itu memang sudah tua, ah bukan. Matang. Ngomong-ngomong soal tua papanya jauh lebih tua. Delotta belum sempat tahu namanya, karena begitu berhasil keluar dari kamar super mewah itu, dia langsung izin ke papanya untuk pulang bersama Pak Budi, supir di keluarganya.
Ranjang berderit ketika Delotta melempar diri di kasur. Bunyinya cukup berisik seperti ada yang patah. Kalau ranjang tidurnya di rumah, anti bunyi-bunyian begini.
Baru beberapa saat rebah, sebuah tabokan yang tidak lumayan keras, tapi sakit mampir di kepalanya. Delotta refleks mengusap kepala.
Tya, yang masih mengenakan pakaian kantor melotot dan berkacak pinggang.
"Lo mau bikin ancur ranjang tidur gue? Kalau tidur biasa aja dong," omelnya sambil menunjuk muka Delotta.
Bibir dengan warna nude milik Delotta mencebik. Masih mengusap kepala, gadis cantik itu bangkit. "Kalau lo udah dapat gaji pertama, selain traktir gue, lo juga perlu ganti nih ranjang deh. Ranjang tua masih dipake aja."
"Iya. Abis itu gue makan nasi sama garam doang nunggu gajian berikutnya," sahut Tya nyolot lantas beranjak duduk di depan cermin rias.
"Ih, nggak gitu juga kali." Delotta beringsut, menjulurkan kaki ke lantai. "Oh iya, gue besok udah mulai magang loh. Tebak di mana?" Dia tersenyum penuh misteri.
Dahi Tya mengernyit. Lalu ujung matanya melirik Delotta—yang beberapa kali mengirim CV, tapi belum ada panggilan. Tya heran, ayah Delotta pemilik sebuah perusahaan besar. Namun, sahabatnya itu sama sekali tidak mau masuk ke perusahaan itu, meskipun di anak cabangnya. Delotta lebih memilih memasukkan lamaran ke perusahaan lain yang tidak tersenggol saham sang papa seperti Tya.
"Sido Mancur Grup? TransKV grup? Atau Miyora?"
Delotta menggeleng keras. "Bukan, tapi Jagland Blue Corp!"
Mata Tya mengerjap. Gadis berambut pendek itu lantas tersenyum lebar. "Akhirnya CV lo ada yang goal juga! Congrats, babe." Dia merentangkan tangan dan Delotta sontak tenggelam ke pelukannya.
"Gue bisa buktiin ke papa, kalau gue bisa usaha sendiri."
"Good Job, Ta. Gue ikut seneng."
"Here we go! Kita bakal jadi wanita karier yang kece badai!" seru Delotta girang. Kedua sahabat itu lantas melompat-lompat persis anak kecil.
***
Mata Delotta menyipit saat memandang gedung menjulang di hadapannya. Beberapa saat lalu Ricko men-drop dia di depan gedung milik Jagland Blue Corp. Setelah melewati rangkaian tes tertulis dan wawancara, akhirnya gadis yang punya nama panggilan Otta itu bisa memasuki dunia kerja.
Delotta menarik napas panjang sebelum melangkahkan kaki. Selain hari pertamanya kerja, dia juga akan melakukan penandatanganan kontrak kerja. Jadi, ketika masuk gedung dan bergabung dengan karyawan lain dalam satu lift, Delotta langsung menuju kantor HRD berada.
Miss Lily sudah menunggu saat dia sampai di lantai lima. Setelah menyapa sekadarnya, wanita itu membawa Delotta ke ruang kerjanya.
"Kontrak pertama magang kamu 6 bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut kinerja kamu bagus. Tidak menutup kemungkinan akan ada pembaharuan kontrak lagi," terang Lily, sambil mempersiapkan berkas yang akan Delotta tanda tangani. "Nah, Delotta. Kamu bisa baca dulu perjanjian kontrak ini. Kalau ada yang belum paham bisa kamu tanyakan."
Dengan senyum lebar, Delotta menerima dokumen itu. Kertas berwarna putih dengan beberapa rangkap itu menyita perhatian Delotta selama beberapa waktu. Matanya dengan jeli membaca satu per satu poin yang ada di setiap pasal. Hingga ketika sampai pada nominal gaji, dia cukup tercengang. Untuk karyawan magang, gajinya cukup besar. Dari nominal itu Delotta sudah bisa membayangkan apa saja yang akan dia beli nanti.
"Jadi, ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Lily mengingat Delotta sejak tadi belum buka suara.
"Nggak ada, Miss. Semua sudah jelas dan gampang dipahami."
"Good. Kamu bisa tanda tangan sekarang."
Dengan senang hati, gadis berambut cokelat itu membubuhkan tandatangan segera.
"Kamu akan bekerja di lantai 40. Berada di bawah kepemimpinan Pak Daniel langsung."
Daniel Jagland. Tiba-tiba Delotta merasa deg-degan mendengarnya. Itu sama saja kinerjanya akan diawasi direktur. Sepertinya tidak ada yang lebih mengerikan lagi dari ini.
Seakan tahu apa yang Delotta pikirkan, Miss Lily tertawa. "Kamu nggak usah tegang gitu. Pak Daniel orangnya baik. He's friendly. Ramah sama semua bawahannya."
Delotta meringis, dalam hati mengaminkan ucapan Miss Lily.
Setelah urusan tanda tangan kontrak beres, Delotta langsung diantar ke lantai 40. Di sana dia diterima salah satu staf wanita yang mengenalkan diri sebagai sekretaris Daniel, wanita dengan tinggi 165 senti itu sangat cantik. Lebih cantik karena make up sih. Delotta cukup tahu apa-apa yang dipakai wanita bernama Sandra itu.
"Ini meja kerja kamu." Sandra menunjukkan sebuah ruang kerja mini yang sisi-sisinya dibatasi sebuah penghalang pendek. Ada sekitar 10 staf ada di sana. Hanya Sandra yang terpisah dari ruang staf itu. Meja kerjanya ada di ruang sebelah, tepatnya di lobi ruang direktur.
"Gaes!" Sandra meminta perhatian para staf yang tampak sibuk di depan PC. "Ini ada anak magang baru namanya Delotta. Tolong, kalian bantu dia."
Beberapa tampak mengangguk. Ada yang hanya menyeringai dan juga mengangkat ibu jarinya saja.
"Delotta, Pak Daniel sudah nunggu kamu di ruangannya. Beliau bilang, ingin bertemu kamu. Tolong, jaga sikap, ya, di sana nanti," ucap Sandra tersenyum.
Delotta hanya mengangguk saja, dan ketika sekretaris itu membawanya ke ruang sebelah Delotta mengikuti.
Ruang direktur memiliki dua pintu ganda yang cukup besar. Lebih dari itu lobinya juga lumayan luas. Meja kerja Sandra ada di salah satu sudut lobi, sudah seperti front desk. Bedanya dia memiliki akses yang berkaitan dengan direktur.
Sandra mempersilakan Delotta masuk ke ruangan itu. Setelahnya dia menutup pintu lagi, meninggalkan Delotta di ruangan super mewah itu.
Sambil mengawasi ruangan yang lebih mirip apartemen minus tempat tidur itu, Delotta melangkah pelan. Suara seseorang yang tampaknya tengah menelepon terdengar.
Suaranya berat dan dalam, sesekali terselip tawa renyah. Dari suaranya, Delotta bisa menebak kalau direkturnya tidak terlalu renta. Paling tidak, mungkin seperti papanya.
Gadis dengan tinggi 160 senti itu menyipit ketika tatapnya menangkap bagian belakang tubuh seorang pria dengan kemeja slim fit disambung pantalon yang terlihat licin. Pria itu menghadap dinding kaca besar. Sebelah tangannya tenggelam di saku celana, dan lainnya memegangi ponsel di telinga.
"Selamat pagi, Pak," sapa Delotta, ragu, takut mengganggu.
Beberapa detik lamanya tidak ada jawaban, tapi pria itu mengakhiri panggilan. Baru setelah itu berbalik.
"Selamat pagi," sahut pria itu datar. Tatapnya bertemu langsung dengan mata Delotta yang perlahan pupilnya membesar.
Bagaimana tidak? Daniel Jagland adalah pria yang pernah dia lihat di kamar mewah saat tersesat di pesta teman papanya tempo hari.
Beku. Selama beberapa saat Delotta membeku di tempat. Antara terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Namun, kontras dengan Delotta yang tercengang, pria itu malah tersenyum. "Delotta Armisen. Welcome to Jagland Blue Corp, semoga kamu betah bekerja di sini. Silakan duduk," sambut Daniel penuh dengan kehangatan.Untuk ukuran petinggi perusahaan, Delotta akui pria itu terlalu ramah. Padahal posisi Delotta saat ini sebagai karyawan biasa. Gadis muda itu menelan saliva, meskipun terlihat ramah dia tetap terintimidasi oleh tatapan mata biru bak telaga itu. "Te-terima kasih, Pak." Deg-degannya beberapa saat lalu beralasan sekarang. Bahkan saat ini jantungnya makin berdegup kencang. "Sebelumnya saya minta maaf untuk kejadian waktu itu. Saya benar-benar minta maaf." Gara-gara itu kepanikan Delotta serta merta melanda. Siapa yang menyangka jika orang itu ternyata bosnya?"Oh, no problem. Itu udah berlalu kan? Saya harap kamu bisa bekerja di sini dengan nyaman. Kalau ada sesuat
Tidak ada yang lebih tepat lagi selain Ricko, papanya untuk Delotta tanyai mengenai Daniel Jagland. Jadi ketika mendengar sang papa sudah pulang ke rumah, gadis 22 tahun itu langsung menghambur ke ruang kerja Ricko di lantai bawah. Saat suara besar sang papa menyahuti ketukan pintu, Delotta menyelinap masuk ke ruang tersebut. Dia tersenyum manis melihat Ricko duduk di kursi sambil membolak-balik sebuah berkas. Tanpa menoleh pria 47 tahun itu bersuara. "Ada apa, Sayang? Tumben kamu langsung menemui papa ke sini." Delotta mendekat dengan dua tangan yang saling bertaut di belakang punggung. Tangan itu terlepas saat dia sampai di dekat meja Ricko. "Papa, udah tiga hari aku kerja di Jagland Blue Corp. Papa tau kan?" tanya Delotta. Saat dirinya mulai bekerja Ricko memang tidak ada di rumah. Pria itu sedang melakukan perjalanan bisnis ke Sidney. "Tau. Daniel memperlakukanmu dengan baik kan?" Delotta mengangguk, meskipun Ricko tidak memperhatikan. "Apa benar saat aku masih kecil
"Kamu ingat boneka Barbie yang kakinya patah terus kamu nangis kencang?" Mata Delotta mengerjap mendengar pertanyaan papanya. Dia sangat ingat dengan kejadian itu. Gadis itu melirik pria di sampingnya yang tersenyum simpul, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Saat ini dirinya dan Daniel serta Ricko tengah makan siang di restoran yang dekat dengan gedung kantor Ricko. "Tentu aku ingat papa. Bahkan aku minta sama papa buat mengoperasi Anna." Anna adalah nama barbie kesayangan Delotta. "Siapa yang memberimu boneka itu?" tanya Ricko sambil mencacah olahan daging pada piringnya. "Papa, kan?" Ada nada keraguan dari ucapannya sendiri. Apalagi saat sang papa malah melirik Daniel. "Bukan papa. Coba kamu ingat lagi." Kening Delotta berkerut, berusaha mengingat. Kalau bukan Ricko mungkin pamannya atau ... sontak matanya membola ketika teringat seseorang yang memberi boneka cantik itu. Dia tidak percaya, tapi—buru-buru Delotta menoleh dan menatap Daniel yang tampak sibuk mengunyah maka
"Yakin dia seusia bokap lo?"Setelah melihat dan bertemu Daniel Jagland, Tya meragukan ucapan Delotta. Beberapa menit lalu Tya memaksa untuk dikenalkan dengan Daniel saat tersadar dari rasa terkesimanya.Tya menarik tangan Delotta mendekati Daniel yang tampak sendirian di depan Bulgari Store. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mendorong bahu Delotta sampai Daniel sadar dengan kehadiran mereka. "Otta? Kamu di sini?" tanya Daniel dengan tatapan takjub juga terkejut. Delotta meringis, ingin rasanya dia menjitak kepala Tya yang membuatnya malu dan norak seperti ini. "I-iya, Om. Jalan-jalan sama teman." Sebuah cubitan kecil di pinggangnya membuatnya kaget. Delotta melirik sebal Tya di sebelahnya yang memberinya kode lewat mata. Nyebelin banget. "Om, kenalin ini teman Otta. Namanya Tya." Delotta baru saja mengenalkan sahabatnya itu, tapi dengan tidak sabar Tya merangsek maju seraya nengulurkan tangan. "Halo, Om. Kenalin, aku teman Otta. Seneng deh bisa ketemu Om di sini," ujar Tya de
"Mengundang Daniel makan malam?"Dahi Ricko berkerut dalam ketika Delotta mengusulkan ide itu. "Dalam rangka apa?" "Dalam rangka dia sudah memberikan putrimu ini pekerjaan dan juga atas kebaikannya saat mengajariku bekerja." Mungkin terdengar mengada-ngada, tapi keinginan mengundang makan malam Daniel begitu kuat. Siapa tahu setelah ini Daniel akan mengajaknya makan malam berdua. Pikiran Delotta sudah melayang ke mana-mana. "Papa rasa itu nggak perlu." Ricko tidak terlalu menghiraukan dan kembali fokus ke kegiatannya membaca koran pagi. Menyebabkan bibir Delotta maju seketika. "Ih, papa mah pelit." "Kok gitu?""Bilang aja papa nggak mau kasih makan orang lain." Ricko menarik napas lalu menatap anaknya yang merajuk. "Orang lainnya itu siapa? Daniel loh ini, Otta. Ngapain kita repot-repot ngasih makan dia? Di rumahnya, dia sudah berkelimpahan makanan." Muka Delotta makin masam mendengar itu. "Aku tau, Pa. Tapi makan malam ini tujuannya buat berterima kasih sama dia." "Kamu lupa
Dua asisten rumah tangga melongo melihat Delotta masuk ke dapur. Majikan kecil itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada satu jinjing plastik yang berisi bahan-bahan untuk membuat mpek-mpek di tangannya."Non Otta mau masak?" tanya Sari asisten rumah tangga yang berusia sekitar 40-an ketika Delotta meletakkan kantong plastik ke meja dapur."Yes, aku mau bikin mpek-mpek," sahut Delotta tersenyum lebar. Lalu membongkar isi belanjanya. Gadis itu tidak tahu jika dua asistennya saling pandang dan bingung. Mereka sangat tahu nona mudanya tidak pernah menyambangi dapur. Jangankan pegang kompor, pegang wajan saja tidak pernah. "Ini nyalainnya gimana, Bi?" Delotta melihat ada empat tombol di kompor tanam empat tungku. Sari mengerjap dan langsung membantu gadis itu menyalakan kompor. "Biar bibi aja yang masakin sama Ina, Non." Delotta buru-buru mengacungkan tangan. "Nggak boleh. Aku mau belajar bikin sendiri." "Nggak bahaya ta?" timpal Ina yang usianya lebih muda dari Sari. "Ish, Ina kam
Hingar bingar musik langsung tertangkap telinga Delotta ketika dia dan Tya memasuki salah satu kelab malam ibukota yang terletak di lantai lima sebuah mal. Kelab yang baru dibuka beberapa minggu lalu ini lumayan luas dengan interior dan lighting yang menawan. Sebuah bar besar melingkar di tengah-tengah kelab. Ditembak dengan lampu berwarna dari berbagai arah membuat gelas dan botol minuman yang berjejer di rak-rak seolah memantulkan cahaya itu lagi ke segala penjuru. "Tempatnya lumayan juga. Musik DJ-nya juga enak," komentar Delotta. Kepalanya tanpa sadar sudah mengikuti irama musik saja. Dia berhasil mengantongi izin dari Ricko dengan sedikit membual. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kalinya bagi Delotta. Jika dulu ada alasan mengerjakan tugas kelompok. Sekarang dia harus memberi alasan lain. "Kampret, sejak kapan gue nangis kalau putus cinta?" umpat Tya ketika Delotta memberitahu alasan yang dia ajukan ke papanya. "Ahelah. Kalau nggak gitu gue nggak bakal dapat izin."
Ini sial atau keberuntungan? Delotta memastikan penglihatannya tidak salah. Bahkan dia sampai harus mengucek mata. Papanya bilang Daniel ada di Singapura, jadi pria yang saat ini memeluk pinggangnya siapa? Jelmaan Daniel? Efek alkohol sepertinya mulai bekerja. Sampai-sampai orang lain Delotta melihatnya sebagai Daniel. "Otta kamu ke sini sama siapa?" Suara itu kembali menyentak Delotta. Dia berusaha berdiri dengan benar, juga berusaha mengembalikan fokusnya. "Kenapa aku lihat Om Daniel?" gumam Delotta sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. "Hei, Otta cukup. Papamu tau kamu di sini?" Sontak Delotta mendongak dan terkejut. Jika sudah menyebut sang papa itu artinya pria itu benar-benar Daniel. "Dia sama saya, Pak." Tony baru bersuara setelah agak bingung dengan situasi itu. "Kamu yang bikin dia mabuk juga?" tanya Daniel lagi dengan nada tak suka yang teramat kental. Tony buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya. "Bukan, Pak. Otta sendiri yang mau minum." "Lalu bagaimana kalian b