"Kamu ingat boneka Barbie yang kakinya patah terus kamu nangis kencang?"
Mata Delotta mengerjap mendengar pertanyaan papanya. Dia sangat ingat dengan kejadian itu. Gadis itu melirik pria di sampingnya yang tersenyum simpul, seperti tengah menyembunyikan sesuatu.
Saat ini dirinya dan Daniel serta Ricko tengah makan siang di restoran yang dekat dengan gedung kantor Ricko.
"Tentu aku ingat papa. Bahkan aku minta sama papa buat mengoperasi Anna." Anna adalah nama barbie kesayangan Delotta.
"Siapa yang memberimu boneka itu?" tanya Ricko sambil mencacah olahan daging pada piringnya.
"Papa, kan?" Ada nada keraguan dari ucapannya sendiri. Apalagi saat sang papa malah melirik Daniel.
"Bukan papa. Coba kamu ingat lagi."
Kening Delotta berkerut, berusaha mengingat. Kalau bukan Ricko mungkin pamannya atau ... sontak matanya membola ketika teringat seseorang yang memberi boneka cantik itu. Dia tidak percaya, tapi—buru-buru Delotta menoleh dan menatap Daniel yang tampak sibuk mengunyah makanan.
"Apa itu .... " Delotta melirik Daniel sekali lagi.
"Yap. Kamu akhirnya ingat juga," sahut Ricko tersenyum.
Lalu tiba-tiba Delotta mengingat semuanya. Potongan-potongan kejadian saat dia berumur 6 tahun berkelebat tentang pria tampan itu, menciptakan ulasan senyum yang makin lama makin lebar. Dan panggilan Om Ganteng itu benar-benar dia lakukan saat itu. Gadis itu terkekeh mengingat momen konyol itu.
"Saya minta maaf banget karena nggak langsung mengingat Pak Daniel."
"Nggak masalah, Delotta. Kan itu memang udah lama banget," sahut Daniel tersenyum.
"Kamu memanggil dia 'pak'?" tanya Ricko dengan alis terangkat.
"Menurut papa aku harus panggil apa ke bos aku?"
Daniel terkekeh melihat interaksi bapak dan anak itu. "Delotta, kalau kamu mau, kamu bisa panggil aku Om, dan kamu nggak usah terlalu formal bicara padaku."
Delotta nyengir. Akan aneh rasanya kalau tiba-tiba dia panggil dengan sebutan 'aku-kamu' seperti yang pria itu lakukan sekarang.
"Turuti saja apa maunya. Nggak merugikan kamu kan?" timpal Ricko kembali fokus ke piringnya. "Pokoknya aku nitip Delotta di perusahaan kamu. Bimbing dia, dan nggak usah sungkan negur kalau dia bikin kesalahan," lanjutnya yang ditujukan kepada Daniel.
Bibir Delotta manyun mendengar penuturan sang papa. "Aku kan masih baru, Pa. Jadi, wajar kalau bikin kesalahan."
"Delotta anak yang cerdas dan pintar. Pekerjaan yang dia pegang juga nggak terlalu sulit. Aku yakin dia cepat menguasai." Daniel bersuara, lalu menatap lembut perempuan di sampingnya.
Tatapan itu membuat hati Delotta meleleh. Daniel Jagland benar-benar tampan.
"Lagian kalau ada sesuatu yang nggak paham, aku bisa tanya sama Om Daniel, kan?" Delotta mulai mengubah panggilannya.
"Ya tentu saja, pasti aku akan bantu," sahut Daniel mengedipkan sebelah mata. Dan hal itu seketika membuat Delotta blushing.
Ada study yang mengatakan jika anak perempuan kekurangan kasih sayang seorang ayah, maka akan mudah baginya untuk jatuh cinta dengan pria yang lebih tua. Delotta tak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari Ricko, tapi kenapa dia merasakan hal aneh pada dirinya saat berdekatan dengan Daniel.
Tidak akan ada yang tahu kalau Daniel seusia papanya. Parasnya tidak setua umurnya. Siapa pun pasti mengira pria itu berusia 30 tahunan.
Sepanjang makan siang berlangsung, obrolan Daniel dan Ricko terdengar begitu renyah. Delotta jadi makin yakin jika mereka akrab.
"Jadi, Minggu depan umur kamu genap 22 tahun?" tanya Daniel dengan mata berbinar.
"Iya, sih. Tapi aku minta papa buat nggak ngerayain. Aku bukan anak kecil yang ulang tahun harus selalu dirayakan." Delotta bersungut-sungut saat mengatakan itu sambil melirik Ricko.
"Daripada kamu bikin pesta sendiri di luar sama teman-teman kamu lebih baik papa buatkan kamu pesta di rumah. Kamu boleh undang semua teman kamu ke rumah," ujar Ricko makin menegaskan.
"Lihat, Om! Papa selalu memperlakukan aku seperti anak kecil." Bibir Delotta makin maju tak terkendali.
"Ricko, Biarkan dia menentukan sendiri pestanya. Delotta udah dewasa." Daniel membela. "Di Aussy gadis seumuran dia sud—"
"No, I will never allow. Delotta anakku satu-satunya. Dan dia perempuan. Aku nggak akan membebaskan pergaulannya."
Daniel mengangkat tangan. "Sepertinya kamu harus menurut apa kata papamu, Baby."
"Ya, kalian para orang tua memang menyebalkan," cibir Delotta menggerak-gerakkan bola mata dengan kesal. Tindakannya membuat dua pria seumuran itu tertawa.
***
"Daniel Jagland. Gue jadi penasaran setampan apa dia. Ada pict-nya?"Tya merespons setelah Delotta menceritakan panjang lebar tentang Daniel. Pria matang dengan jambang tipis di area dagu dan rahangnya.
Saat ini mereka sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan mewah yang terletak di jantung kota. Sambil berjalan santai keduanya menikmati es krim cone yang mereka beli dari salah satu gerai.
"Lo pasti nggak akan mengira kalau dia seumuran papa." Mata Delotta berbinar-binar membayangkan tatapan Daniel yang kadang tajam lalu berubah lembut di waktu-waktu tertentu. "Sayangnya gue nggak sempat ambil fotonya. Ntar deh, lain kali gue kenalin, kemungkinan dia bakal gue undang di acara ultah gue."
"Yak! Ultah lo! Berhasil nggak bujuk boka lo?"
Delotta menggeleng lemah. "Papa gue yang protektif itu tetap ingin ngadain pesta di rumah. Nggak asik banget." Dia menjilat es krimnya lagi.
"Lo udah 22 btw."
"Lo kayak nggak tau bokap gue aja. Kemarin sih Om Daniel sempat bilang ke papa supaya gue bisa nentuin sendiri pestanya, tapi dengan otoriter papa menolak."
Tya menggeleng tak habis mengerti. Setahu dia ayah Delotta adalah jenis pria modern. Bahkan selalu mengenyam pendidikan di luar negeri, tapi siapa sangka kalau pikirannya begitu kolot.
"Jadi, lo bakal rayain pesta ultah di rumah? Ada badut sulapnya enggak?" Tya mengolok-ngolok seperti biasa.
"Ada dong, dress code-nya ala-ala princess ya jangan lupa," timpal Delotta, lantas keduanya menertawakan kekonyolan itu.
"Kenapa lo nggak coba minta tolong Daniel Jagland buat bujukin bokap lo? Katanya mereka dekat. Mungkin kemarin dia nggak terlalu serius, makanya bokap dengan mudah menolak," ujar Tya memberi saran. Dan ide itu membuat Delotta mengetuk jarinya ke dagu. Saran Tya lumayan juga.
"Ntar gue coba deh."
"Nah, gitu dong. Pasti pesta lo bakal keren banget kalau diadain di kelab," seru Tya bersemangat lantaran sudah membayangkan pesta hedon bertabur lampu gemerlap. Apalagi kalau banyak pria-pria tampan datang.
"Moga aja berhasil."
Ketika sedang asyik-asyiknya mengobrol sambil terus berjalan santai sembari sesekali memindai toko-toko brand luar negeri, mata Delotta menemukan berlian bersinar di depan sana. Itu berlebihan, bukan berlian, tapi dia melihat Daniel Jagland.
"Ty! Dia ada di sini!" serunya tertahan, membuat Tya serta-merta celingukan.
"Bokap lo?"
"Bukan, Daniel Jagland."
"Hah?! Serius? Mana-mana?" Kepala Tya sampe berputar-putar untuk menemukan sosok yang membuatnya penasaran.
Delotta menggeleng melihat Tya tanpa arah mencari sosok Daniel. Dengan gemas dia meraih wajah sahabatnya itu dan dihadapkan langsung ke depan, mengarah ke sosok Daniel berada.
"Itu orangnya di sana. Yang pake celana chinos abu dah kemeja putih."
Sosok Daniel begitu mencolok. Tubuh tinggi dan muka bulenya gampang menarik perhatian. Jadi, dengan mudah juga Tya bisa menemukannya.
"Udah liat kan?"
Baru saja Delotta menanyakan itu, es krim di tangan Tya terjatuh. Parahnya wajah Tya melongo persis orang bodoh saat dia berhasil melihat sosok Daniel Jagland di depan pintu masuk gerai Bulgari.
"Yakin dia seusia bokap lo?"Setelah melihat dan bertemu Daniel Jagland, Tya meragukan ucapan Delotta. Beberapa menit lalu Tya memaksa untuk dikenalkan dengan Daniel saat tersadar dari rasa terkesimanya.Tya menarik tangan Delotta mendekati Daniel yang tampak sendirian di depan Bulgari Store. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mendorong bahu Delotta sampai Daniel sadar dengan kehadiran mereka. "Otta? Kamu di sini?" tanya Daniel dengan tatapan takjub juga terkejut. Delotta meringis, ingin rasanya dia menjitak kepala Tya yang membuatnya malu dan norak seperti ini. "I-iya, Om. Jalan-jalan sama teman." Sebuah cubitan kecil di pinggangnya membuatnya kaget. Delotta melirik sebal Tya di sebelahnya yang memberinya kode lewat mata. Nyebelin banget. "Om, kenalin ini teman Otta. Namanya Tya." Delotta baru saja mengenalkan sahabatnya itu, tapi dengan tidak sabar Tya merangsek maju seraya nengulurkan tangan. "Halo, Om. Kenalin, aku teman Otta. Seneng deh bisa ketemu Om di sini," ujar Tya de
"Mengundang Daniel makan malam?"Dahi Ricko berkerut dalam ketika Delotta mengusulkan ide itu. "Dalam rangka apa?" "Dalam rangka dia sudah memberikan putrimu ini pekerjaan dan juga atas kebaikannya saat mengajariku bekerja." Mungkin terdengar mengada-ngada, tapi keinginan mengundang makan malam Daniel begitu kuat. Siapa tahu setelah ini Daniel akan mengajaknya makan malam berdua. Pikiran Delotta sudah melayang ke mana-mana. "Papa rasa itu nggak perlu." Ricko tidak terlalu menghiraukan dan kembali fokus ke kegiatannya membaca koran pagi. Menyebabkan bibir Delotta maju seketika. "Ih, papa mah pelit." "Kok gitu?""Bilang aja papa nggak mau kasih makan orang lain." Ricko menarik napas lalu menatap anaknya yang merajuk. "Orang lainnya itu siapa? Daniel loh ini, Otta. Ngapain kita repot-repot ngasih makan dia? Di rumahnya, dia sudah berkelimpahan makanan." Muka Delotta makin masam mendengar itu. "Aku tau, Pa. Tapi makan malam ini tujuannya buat berterima kasih sama dia." "Kamu lupa
Dua asisten rumah tangga melongo melihat Delotta masuk ke dapur. Majikan kecil itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada satu jinjing plastik yang berisi bahan-bahan untuk membuat mpek-mpek di tangannya."Non Otta mau masak?" tanya Sari asisten rumah tangga yang berusia sekitar 40-an ketika Delotta meletakkan kantong plastik ke meja dapur."Yes, aku mau bikin mpek-mpek," sahut Delotta tersenyum lebar. Lalu membongkar isi belanjanya. Gadis itu tidak tahu jika dua asistennya saling pandang dan bingung. Mereka sangat tahu nona mudanya tidak pernah menyambangi dapur. Jangankan pegang kompor, pegang wajan saja tidak pernah. "Ini nyalainnya gimana, Bi?" Delotta melihat ada empat tombol di kompor tanam empat tungku. Sari mengerjap dan langsung membantu gadis itu menyalakan kompor. "Biar bibi aja yang masakin sama Ina, Non." Delotta buru-buru mengacungkan tangan. "Nggak boleh. Aku mau belajar bikin sendiri." "Nggak bahaya ta?" timpal Ina yang usianya lebih muda dari Sari. "Ish, Ina kam
Hingar bingar musik langsung tertangkap telinga Delotta ketika dia dan Tya memasuki salah satu kelab malam ibukota yang terletak di lantai lima sebuah mal. Kelab yang baru dibuka beberapa minggu lalu ini lumayan luas dengan interior dan lighting yang menawan. Sebuah bar besar melingkar di tengah-tengah kelab. Ditembak dengan lampu berwarna dari berbagai arah membuat gelas dan botol minuman yang berjejer di rak-rak seolah memantulkan cahaya itu lagi ke segala penjuru. "Tempatnya lumayan juga. Musik DJ-nya juga enak," komentar Delotta. Kepalanya tanpa sadar sudah mengikuti irama musik saja. Dia berhasil mengantongi izin dari Ricko dengan sedikit membual. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kalinya bagi Delotta. Jika dulu ada alasan mengerjakan tugas kelompok. Sekarang dia harus memberi alasan lain. "Kampret, sejak kapan gue nangis kalau putus cinta?" umpat Tya ketika Delotta memberitahu alasan yang dia ajukan ke papanya. "Ahelah. Kalau nggak gitu gue nggak bakal dapat izin."
Ini sial atau keberuntungan? Delotta memastikan penglihatannya tidak salah. Bahkan dia sampai harus mengucek mata. Papanya bilang Daniel ada di Singapura, jadi pria yang saat ini memeluk pinggangnya siapa? Jelmaan Daniel? Efek alkohol sepertinya mulai bekerja. Sampai-sampai orang lain Delotta melihatnya sebagai Daniel. "Otta kamu ke sini sama siapa?" Suara itu kembali menyentak Delotta. Dia berusaha berdiri dengan benar, juga berusaha mengembalikan fokusnya. "Kenapa aku lihat Om Daniel?" gumam Delotta sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. "Hei, Otta cukup. Papamu tau kamu di sini?" Sontak Delotta mendongak dan terkejut. Jika sudah menyebut sang papa itu artinya pria itu benar-benar Daniel. "Dia sama saya, Pak." Tony baru bersuara setelah agak bingung dengan situasi itu. "Kamu yang bikin dia mabuk juga?" tanya Daniel lagi dengan nada tak suka yang teramat kental. Tony buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya. "Bukan, Pak. Otta sendiri yang mau minum." "Lalu bagaimana kalian b
Delotta bergerak pelan. Matanya masih terpejam dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, tapi sakit pada kepala terasa menyiksa. Kantuk yang masih bergelayut, kepala yang terasa mau pecah, membuatnya malas untuk segera bangun. Weekend membuatnya makin meninggikan selimut, tapi suara pintu terbuka membuat pikirannya bekerja seketika. Menyusul kemudian suara asing yang tiba-tiba terdengar. "Selamat pagi, Nona. Anda sudah bangun? Ini saya bawakan air minum dan obat pereda sakit kepala. Saya juga membawa pakaian ganti untuk Anda." Suara perempuan. Mata Delotta masih terpejam erat, tapi pikirannya terus berjalan dan berusaha mengingat kejadian apa yang telah menimpanya sebelum dia terlelap. Baiklah dia ingat bagian pergi ke kelab bersama Tya. Lalu berkenalan dengan dua laki-laki yang mengaku bernama Tony dan Marsal. Apa sekarang dirinya nyasar di rumah salah satu dari mereka? "Segeralah membersihkan diri. Tuan Daniel sudah menunggu Anda untuk sarapan." Orang itu kembali bersuara, ta
"Kamu mau cari wanita yang seperti apa lagi? Ingat umur. Memang kamu mau punya anak saat usiamu sudah jompo? Anakmu kelak bakal manggil kamu kakek alih-alih ayah." Daniel tertawa mendengar komentar pedas Ricko. Teman satu almamaternya di Canberra itu memang kadang suka ceplas-ceplos. Daniel sudah tahu sejak mereka pernah tinggal satu flat."Meskipun umurku sudah tua nanti, wajahku masih akan sama seperti sekarang. Memangnya aku kamu, umur muda wajah kelewat tua." Daniel tergelak lagi membalas olok-olokan Ricko. "Sialan, gadis mana juga yang mau sama kakek-kakek," gerutu Ricko tampak bosan melihat tingkah temannya itu. "Banyak. Kamu hanya belum tau saja." Ricko mengibaskan tangan. Benar-benar merasa bosan. Beberapa saat lalu Daniel bercerita bahwa dirinya kabur dari Singapore lantaran merasa dijebak. Saat menghadiri acara tunangan sepupu Rachel—teman kencannya—di sana dia ditanyai tentang keseriusan kepada Rachel oleh keluarga wanita itu. Hal itu menyebabkan dirinya dan Rachel terl
"Bego lo! Untung gue juga teler!" omel Tya di ujung telepon. Delotta hanya terkikik sambil berguling di atas kasur. Dia yakin kalau sedang dekat dengan perempuan itu bakal habis kena toyor. "Gue juga nggak sadar bege! Lo nggak tau aja apa yang gue lakuin pas lagi teler." "Apa lo? Ena-ena sama Daniel?" tebak Tya asal ceplos. "Mulut lo! Nggaklah, bisa digantung papa gue. Pas liat gue pulang bareng Daniel aja matanya melotot kayak mau keluar." Tya di sana tertawa menyebalkan. Dia juga mabuk malam itu sehingga tidak sadar kalau Delotta sudah kabur lebih dulu. "Jadi lo ngapain sama om-om itu?" "Lo bayangin deh, Ty. Masa gue buka crop top di depan dia? Terus loncat-loncat kayak orang gila di atas tempat tidur. Parahnya, gue jatuh terus nimpa dia. Dan lo tau dada gue yang rata ini nggak sengaja kepegang sama dia!" cerita Delotta menjerit tertahan. Dia tidak ingin papanya mendengar percakapan absurd-nya bersama Tya. Tawa Tya di sana kembali pecah. Delotta yakin temannya itu ngakak sam