"Kamu mau cari wanita yang seperti apa lagi? Ingat umur. Memang kamu mau punya anak saat usiamu sudah jompo? Anakmu kelak bakal manggil kamu kakek alih-alih ayah." Daniel tertawa mendengar komentar pedas Ricko. Teman satu almamaternya di Canberra itu memang kadang suka ceplas-ceplos. Daniel sudah tahu sejak mereka pernah tinggal satu flat."Meskipun umurku sudah tua nanti, wajahku masih akan sama seperti sekarang. Memangnya aku kamu, umur muda wajah kelewat tua." Daniel tergelak lagi membalas olok-olokan Ricko. "Sialan, gadis mana juga yang mau sama kakek-kakek," gerutu Ricko tampak bosan melihat tingkah temannya itu. "Banyak. Kamu hanya belum tau saja." Ricko mengibaskan tangan. Benar-benar merasa bosan. Beberapa saat lalu Daniel bercerita bahwa dirinya kabur dari Singapore lantaran merasa dijebak. Saat menghadiri acara tunangan sepupu Rachel—teman kencannya—di sana dia ditanyai tentang keseriusan kepada Rachel oleh keluarga wanita itu. Hal itu menyebabkan dirinya dan Rachel terl
"Bego lo! Untung gue juga teler!" omel Tya di ujung telepon. Delotta hanya terkikik sambil berguling di atas kasur. Dia yakin kalau sedang dekat dengan perempuan itu bakal habis kena toyor. "Gue juga nggak sadar bege! Lo nggak tau aja apa yang gue lakuin pas lagi teler." "Apa lo? Ena-ena sama Daniel?" tebak Tya asal ceplos. "Mulut lo! Nggaklah, bisa digantung papa gue. Pas liat gue pulang bareng Daniel aja matanya melotot kayak mau keluar." Tya di sana tertawa menyebalkan. Dia juga mabuk malam itu sehingga tidak sadar kalau Delotta sudah kabur lebih dulu. "Jadi lo ngapain sama om-om itu?" "Lo bayangin deh, Ty. Masa gue buka crop top di depan dia? Terus loncat-loncat kayak orang gila di atas tempat tidur. Parahnya, gue jatuh terus nimpa dia. Dan lo tau dada gue yang rata ini nggak sengaja kepegang sama dia!" cerita Delotta menjerit tertahan. Dia tidak ingin papanya mendengar percakapan absurd-nya bersama Tya. Tawa Tya di sana kembali pecah. Delotta yakin temannya itu ngakak sam
"Mau pulang bareng?" Delotta tersentak ketika mendapati suara itu tepat di dekatnya. Dia menoleh dan menemukan pria jangkung bermata biru berdiri di sebelahnya. "Om Daniel ngagetin deh." "Kamu melamun?" "Ya enggak juga. Kaget aja." Daniel yang baru keluar dari lobi melihat gadis itu berdiri sendiri. Dia bergegas menghampiri untuk menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng nggak? Jemputan kamu belum datang?" Delotta menggeleng, lantas melirik jam tangan yang dia pakai. "Biasanya Pak Pur udah ada sebelum aku keluar. Ini tumben banget belum nongol.""Mungkin dia lagi ada urusan mendadak." "Bisa jadi, sih." "Ya udah kamu ikut aku aja." "Emangnya nggak apa-apa?" Jujur hati Delotta meletup-letup mendapat tawaran itu. Artinya dia akan satu mobil lagi bersama pria tampan itu."Ya nggak apa-apa dong, Otta. Seandainya mau pulang bareng tiap hari pun aku nggak masalah selama jam pulang kita sama."Delotta terkekeh. Lantaran itu memang jarang. Daniel selalu pulang melebihi jam kantor. Ke
Sekitar pukul sepuluh malam Daniel mengantar Delotta pulang. Dia hanya menurunkan gadis itu di depan pagar rumah tanpa berniat mampir. Bisa-bisa Ricko menggorok lehernya nanti. Hari ini luar biasa, tapi lumayan seru. Bersama Delotta pria itu merasa menjadi muda lagi. Di satu titik gadis itu bisa berubah jadi sangat menggemaskan. Sama saat usianya baru 5 tahun. Tapi di titik lain gadis itu berubah menjadi merak yang cantik. Terkhusus pemikirannya yang tidak Daniel duga. Daniel terkekeh mengingat momen beberapa jam yang dia lalui bersama Delotta. Cukup menghibur di saat sedang jenuh lantaran tidak ada teman kencan lagi. Ketika sampai di rumah mewahnya dia baru ingat tentang pakaian Delotta yang masih dia simpan rapi di atas meja. Dia membuka lemari dan mengambil sebuah paper bag. Diambilnya dua potong pakaian itu dan seketika kepalanya mengingat kejadian saat dirinya tanpa sengaja memegang dada Delotta. Tanpa sadar jakun Daniel naik turun mengingat hal itu. Rasa empuk dan kenya
Delotta mengetuk perlahan pintu ganda yang memiliki name tag direktur. Setelah mendapat izin masuk dari yang punya ruangan, dia pun mendorong knop pintu tersebut dan menyelinap masuk. "Om panggil aku?" tanya Delotta seraya berjalan menghampiri meja besar Daniel Jagland. Pria yang duduk di balik meja itu mendongak. Ada kacamata bertengger di hidungnya yang bangir. "Ah iya, Otta. Come here." Dengan kepala penuh tanda tanya, Delotta memperhatikan pria itu yang lantas sedikit merundukkan badan. Tidak lama kemudian dia melihat pria itu meletakkan sebuah paper bag ke atas meja. "Your clothes," katanya sambil mendorong benda itu. Delotta baru ingat bahwa pakaian saat pergi ke kelab malam itu masih ada di tempat Daniel. Dia meringis canggung mengingat memori itu. "Kamu tau nggak kenapa pakaian itu ada di rumahku?" 'Tau, tau banget. Tapi nggak mau inget!' jerit Delotta dalam hati. Dia menggeleng lalu segera berdiri. "Ada hal lain lagi enggak, Om?" tanya perempuan itu mengalihkan topik
"Sudah papa bilang kan kamu lebih baik kerja di perusahaan papa. Kejadian kayak gini nggak akan terjadi kalau kamu bersama papa." Ricko masih saja mengomel perkara kaki Delotta yang terkilir. Setelah ke rumah sakit Daniel mengantar Delotta pulang. Ricko yang mengetahui kabar itu pun langsung bergegas pulang ke rumah. "Ini kecelakaan, Pa. Nggak ada hubungannya aku kerja di tempat papa atau Om Daniel, kalau emang udah ditakdirin terkilir ya terkilir aja." Like daughter, like father. Delotta masih saja terus menimpali omelan papanya. Daniel yang duduk di sofa single hanya memperhatikan dua ayah dan anak itu terus menyerocos. "Ya, itu akibat nggak mau dengerin omongan papa." "Aku rasa Otta lebih butuh istirahat daripada omelan," komentar Daniel setelah cukup lama bungkam. Ricko kontan mendengus. "Kamu juga. Aku titipin anakku malah begini." Sekarang dia menyalahkan Daniel. "Jangan salahin Om Daniel," seru Delotta. Sejujurnya dia malu kena marah di depan pria itu. Ricko memang agak
Delotta menoleh ketika sesuatu terasa mencolek bahunya. Namun, dia tidak mendapati siapa pun ketika menoleh ke arah bahu yang dicolek barusan. "I'm here." Dengan cepat gadis itu menoleh ke sisi lain. Sontak dia terkekeh saat menemukan Daniel berdiri di sebelahnya. Dia dikerjai. "Mau pulang?" tanya Daniel seraya celingukan mencari jemputan gadis itu. "Ya." "Nggak dijemput lagi?" Gadis itu menggeleng sambil mengulum senyum. "Berharap ada yang kasih tebengan sih." Terang saja itu membuat Daniel tertawa. Akhir-akhir ini keduanya sering pulang bersama lantaran Daniel tak jarang pulang bertepatan dengan jam pulang karyawan. Lalu ketika melewati workstation dan melihat Delotta sedang beres-beres, dia akan menawari gadis itu tumpangan."Boleh. Uang bensin jangan lupa," balas Daniel sembari mengedipkan sebelah mata. "Tenang, aku isi full tank." "Siap kalau begitu." Gara-gara itu keduanya menjadi makin akrab. Dan kedekatan itu tidak luput dari perhatian para karyawan lain. Gosip mirin
Kata-kata itu mungkin Delotta ucapkan sambil bercanda. Namun efeknya ternyata luar biasa untuk Daniel. Dia sampai harus bercermin berkali-kali. Ada kebanggan tersendiri ketika Delotta mengatakan dirinya tidak setua papanya. Usia boleh tidak muda lagi, tapi casing Daniel tidak jauh beda dengan pria berumur 30-an. Tidak hanya Delotta, siapa pun yang baru pertama melihatnya pasti akan berpikir demikian. Mata biru Daniel melirik sesuatu yang Sandra letakan di mejanya. Sebuah paper bowl tertutup rapat bergambar ayam jago. "Apa itu?" Daniel tampak tertarik. Kepalanya bisa menebak darimana benda itu berasal. "Siomay bumbu kacang dari Delotta." Bibir Daniel kontan menyunggingkan senyum lantas meraih paper bowl itu. "Siomay?" Alis pria itu terangkat seraya memperhatikan kemasan unik itu. "Ya. Aku juga dapat jatah satu dari dia." Sandra tersenyum kecil. "Sepertinya dia terpesona sama Anda, Pak. Atau mungkin sudah jatuh cinta. Anda terlalu baik padanya. Itu bisa membuat dia salah paham."
"Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep
Daniel mencium pipi Delotta yang sedang mengoles selai pada sehelai roti. Dia lantas beranjak duduk di kursi makan paling ujung. Tepat di depannya ada satu tangkup sandwich segitiga dengan isian sayur. Tangannya meraih gelas panjang berisi air putih dan meneguknya hinga isinya tersisa setengah. Perlahan Delotta duduk di kursi. Perutnya yang sudah membesar membuatnya agak kesulitan bergerak. "Yakin bukan hari ini lahirannya?" tanya Daniel yang selalu seperti menahan sesuatu ketika Delotta bergerak. Ada rasa khawatir tiap kali melihat Delotta tampak kesusahan dengan perutnya yang makin besar. "Yakinlah. Masih sepuluh hari lagi kata dokter." Delotta menggigit roti selai cokelat yang dia buat tadi. "Tapi perut kamu kayak mau jatuh gitu aku liatnya." Delotta memutar bola mata. "Memang Om nggak pernah liat orang hamil sebelumnya?" "Ya, ya liat sih, tapi kan baru sekarang liat istri hamil." "Ya terus apa bedanya? Orang hamil ya begini, namanya juga udah bulannya. Wajar dong kalau peru
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave