Delotta bergerak pelan. Matanya masih terpejam dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, tapi sakit pada kepala terasa menyiksa. Kantuk yang masih bergelayut, kepala yang terasa mau pecah, membuatnya malas untuk segera bangun. Weekend membuatnya makin meninggikan selimut, tapi suara pintu terbuka membuat pikirannya bekerja seketika. Menyusul kemudian suara asing yang tiba-tiba terdengar. "Selamat pagi, Nona. Anda sudah bangun? Ini saya bawakan air minum dan obat pereda sakit kepala. Saya juga membawa pakaian ganti untuk Anda." Suara perempuan. Mata Delotta masih terpejam erat, tapi pikirannya terus berjalan dan berusaha mengingat kejadian apa yang telah menimpanya sebelum dia terlelap. Baiklah dia ingat bagian pergi ke kelab bersama Tya. Lalu berkenalan dengan dua laki-laki yang mengaku bernama Tony dan Marsal. Apa sekarang dirinya nyasar di rumah salah satu dari mereka? "Segeralah membersihkan diri. Tuan Daniel sudah menunggu Anda untuk sarapan." Orang itu kembali bersuara, ta
"Kamu mau cari wanita yang seperti apa lagi? Ingat umur. Memang kamu mau punya anak saat usiamu sudah jompo? Anakmu kelak bakal manggil kamu kakek alih-alih ayah." Daniel tertawa mendengar komentar pedas Ricko. Teman satu almamaternya di Canberra itu memang kadang suka ceplas-ceplos. Daniel sudah tahu sejak mereka pernah tinggal satu flat."Meskipun umurku sudah tua nanti, wajahku masih akan sama seperti sekarang. Memangnya aku kamu, umur muda wajah kelewat tua." Daniel tergelak lagi membalas olok-olokan Ricko. "Sialan, gadis mana juga yang mau sama kakek-kakek," gerutu Ricko tampak bosan melihat tingkah temannya itu. "Banyak. Kamu hanya belum tau saja." Ricko mengibaskan tangan. Benar-benar merasa bosan. Beberapa saat lalu Daniel bercerita bahwa dirinya kabur dari Singapore lantaran merasa dijebak. Saat menghadiri acara tunangan sepupu Rachel—teman kencannya—di sana dia ditanyai tentang keseriusan kepada Rachel oleh keluarga wanita itu. Hal itu menyebabkan dirinya dan Rachel terl
"Bego lo! Untung gue juga teler!" omel Tya di ujung telepon. Delotta hanya terkikik sambil berguling di atas kasur. Dia yakin kalau sedang dekat dengan perempuan itu bakal habis kena toyor. "Gue juga nggak sadar bege! Lo nggak tau aja apa yang gue lakuin pas lagi teler." "Apa lo? Ena-ena sama Daniel?" tebak Tya asal ceplos. "Mulut lo! Nggaklah, bisa digantung papa gue. Pas liat gue pulang bareng Daniel aja matanya melotot kayak mau keluar." Tya di sana tertawa menyebalkan. Dia juga mabuk malam itu sehingga tidak sadar kalau Delotta sudah kabur lebih dulu. "Jadi lo ngapain sama om-om itu?" "Lo bayangin deh, Ty. Masa gue buka crop top di depan dia? Terus loncat-loncat kayak orang gila di atas tempat tidur. Parahnya, gue jatuh terus nimpa dia. Dan lo tau dada gue yang rata ini nggak sengaja kepegang sama dia!" cerita Delotta menjerit tertahan. Dia tidak ingin papanya mendengar percakapan absurd-nya bersama Tya. Tawa Tya di sana kembali pecah. Delotta yakin temannya itu ngakak sam
"Mau pulang bareng?" Delotta tersentak ketika mendapati suara itu tepat di dekatnya. Dia menoleh dan menemukan pria jangkung bermata biru berdiri di sebelahnya. "Om Daniel ngagetin deh." "Kamu melamun?" "Ya enggak juga. Kaget aja." Daniel yang baru keluar dari lobi melihat gadis itu berdiri sendiri. Dia bergegas menghampiri untuk menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng nggak? Jemputan kamu belum datang?" Delotta menggeleng, lantas melirik jam tangan yang dia pakai. "Biasanya Pak Pur udah ada sebelum aku keluar. Ini tumben banget belum nongol.""Mungkin dia lagi ada urusan mendadak." "Bisa jadi, sih." "Ya udah kamu ikut aku aja." "Emangnya nggak apa-apa?" Jujur hati Delotta meletup-letup mendapat tawaran itu. Artinya dia akan satu mobil lagi bersama pria tampan itu."Ya nggak apa-apa dong, Otta. Seandainya mau pulang bareng tiap hari pun aku nggak masalah selama jam pulang kita sama."Delotta terkekeh. Lantaran itu memang jarang. Daniel selalu pulang melebihi jam kantor. Ke
Sekitar pukul sepuluh malam Daniel mengantar Delotta pulang. Dia hanya menurunkan gadis itu di depan pagar rumah tanpa berniat mampir. Bisa-bisa Ricko menggorok lehernya nanti. Hari ini luar biasa, tapi lumayan seru. Bersama Delotta pria itu merasa menjadi muda lagi. Di satu titik gadis itu bisa berubah jadi sangat menggemaskan. Sama saat usianya baru 5 tahun. Tapi di titik lain gadis itu berubah menjadi merak yang cantik. Terkhusus pemikirannya yang tidak Daniel duga. Daniel terkekeh mengingat momen beberapa jam yang dia lalui bersama Delotta. Cukup menghibur di saat sedang jenuh lantaran tidak ada teman kencan lagi. Ketika sampai di rumah mewahnya dia baru ingat tentang pakaian Delotta yang masih dia simpan rapi di atas meja. Dia membuka lemari dan mengambil sebuah paper bag. Diambilnya dua potong pakaian itu dan seketika kepalanya mengingat kejadian saat dirinya tanpa sengaja memegang dada Delotta. Tanpa sadar jakun Daniel naik turun mengingat hal itu. Rasa empuk dan kenya
Delotta mengetuk perlahan pintu ganda yang memiliki name tag direktur. Setelah mendapat izin masuk dari yang punya ruangan, dia pun mendorong knop pintu tersebut dan menyelinap masuk. "Om panggil aku?" tanya Delotta seraya berjalan menghampiri meja besar Daniel Jagland. Pria yang duduk di balik meja itu mendongak. Ada kacamata bertengger di hidungnya yang bangir. "Ah iya, Otta. Come here." Dengan kepala penuh tanda tanya, Delotta memperhatikan pria itu yang lantas sedikit merundukkan badan. Tidak lama kemudian dia melihat pria itu meletakkan sebuah paper bag ke atas meja. "Your clothes," katanya sambil mendorong benda itu. Delotta baru ingat bahwa pakaian saat pergi ke kelab malam itu masih ada di tempat Daniel. Dia meringis canggung mengingat memori itu. "Kamu tau nggak kenapa pakaian itu ada di rumahku?" 'Tau, tau banget. Tapi nggak mau inget!' jerit Delotta dalam hati. Dia menggeleng lalu segera berdiri. "Ada hal lain lagi enggak, Om?" tanya perempuan itu mengalihkan topik
"Sudah papa bilang kan kamu lebih baik kerja di perusahaan papa. Kejadian kayak gini nggak akan terjadi kalau kamu bersama papa." Ricko masih saja mengomel perkara kaki Delotta yang terkilir. Setelah ke rumah sakit Daniel mengantar Delotta pulang. Ricko yang mengetahui kabar itu pun langsung bergegas pulang ke rumah. "Ini kecelakaan, Pa. Nggak ada hubungannya aku kerja di tempat papa atau Om Daniel, kalau emang udah ditakdirin terkilir ya terkilir aja." Like daughter, like father. Delotta masih saja terus menimpali omelan papanya. Daniel yang duduk di sofa single hanya memperhatikan dua ayah dan anak itu terus menyerocos. "Ya, itu akibat nggak mau dengerin omongan papa." "Aku rasa Otta lebih butuh istirahat daripada omelan," komentar Daniel setelah cukup lama bungkam. Ricko kontan mendengus. "Kamu juga. Aku titipin anakku malah begini." Sekarang dia menyalahkan Daniel. "Jangan salahin Om Daniel," seru Delotta. Sejujurnya dia malu kena marah di depan pria itu. Ricko memang agak
Delotta menoleh ketika sesuatu terasa mencolek bahunya. Namun, dia tidak mendapati siapa pun ketika menoleh ke arah bahu yang dicolek barusan. "I'm here." Dengan cepat gadis itu menoleh ke sisi lain. Sontak dia terkekeh saat menemukan Daniel berdiri di sebelahnya. Dia dikerjai. "Mau pulang?" tanya Daniel seraya celingukan mencari jemputan gadis itu. "Ya." "Nggak dijemput lagi?" Gadis itu menggeleng sambil mengulum senyum. "Berharap ada yang kasih tebengan sih." Terang saja itu membuat Daniel tertawa. Akhir-akhir ini keduanya sering pulang bersama lantaran Daniel tak jarang pulang bertepatan dengan jam pulang karyawan. Lalu ketika melewati workstation dan melihat Delotta sedang beres-beres, dia akan menawari gadis itu tumpangan."Boleh. Uang bensin jangan lupa," balas Daniel sembari mengedipkan sebelah mata. "Tenang, aku isi full tank." "Siap kalau begitu." Gara-gara itu keduanya menjadi makin akrab. Dan kedekatan itu tidak luput dari perhatian para karyawan lain. Gosip mirin