"Mau pulang bareng?" Delotta tersentak ketika mendapati suara itu tepat di dekatnya. Dia menoleh dan menemukan pria jangkung bermata biru berdiri di sebelahnya. "Om Daniel ngagetin deh." "Kamu melamun?" "Ya enggak juga. Kaget aja." Daniel yang baru keluar dari lobi melihat gadis itu berdiri sendiri. Dia bergegas menghampiri untuk menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng nggak? Jemputan kamu belum datang?" Delotta menggeleng, lantas melirik jam tangan yang dia pakai. "Biasanya Pak Pur udah ada sebelum aku keluar. Ini tumben banget belum nongol.""Mungkin dia lagi ada urusan mendadak." "Bisa jadi, sih." "Ya udah kamu ikut aku aja." "Emangnya nggak apa-apa?" Jujur hati Delotta meletup-letup mendapat tawaran itu. Artinya dia akan satu mobil lagi bersama pria tampan itu."Ya nggak apa-apa dong, Otta. Seandainya mau pulang bareng tiap hari pun aku nggak masalah selama jam pulang kita sama."Delotta terkekeh. Lantaran itu memang jarang. Daniel selalu pulang melebihi jam kantor. Ke
Sekitar pukul sepuluh malam Daniel mengantar Delotta pulang. Dia hanya menurunkan gadis itu di depan pagar rumah tanpa berniat mampir. Bisa-bisa Ricko menggorok lehernya nanti. Hari ini luar biasa, tapi lumayan seru. Bersama Delotta pria itu merasa menjadi muda lagi. Di satu titik gadis itu bisa berubah jadi sangat menggemaskan. Sama saat usianya baru 5 tahun. Tapi di titik lain gadis itu berubah menjadi merak yang cantik. Terkhusus pemikirannya yang tidak Daniel duga. Daniel terkekeh mengingat momen beberapa jam yang dia lalui bersama Delotta. Cukup menghibur di saat sedang jenuh lantaran tidak ada teman kencan lagi. Ketika sampai di rumah mewahnya dia baru ingat tentang pakaian Delotta yang masih dia simpan rapi di atas meja. Dia membuka lemari dan mengambil sebuah paper bag. Diambilnya dua potong pakaian itu dan seketika kepalanya mengingat kejadian saat dirinya tanpa sengaja memegang dada Delotta. Tanpa sadar jakun Daniel naik turun mengingat hal itu. Rasa empuk dan kenya
Delotta mengetuk perlahan pintu ganda yang memiliki name tag direktur. Setelah mendapat izin masuk dari yang punya ruangan, dia pun mendorong knop pintu tersebut dan menyelinap masuk. "Om panggil aku?" tanya Delotta seraya berjalan menghampiri meja besar Daniel Jagland. Pria yang duduk di balik meja itu mendongak. Ada kacamata bertengger di hidungnya yang bangir. "Ah iya, Otta. Come here." Dengan kepala penuh tanda tanya, Delotta memperhatikan pria itu yang lantas sedikit merundukkan badan. Tidak lama kemudian dia melihat pria itu meletakkan sebuah paper bag ke atas meja. "Your clothes," katanya sambil mendorong benda itu. Delotta baru ingat bahwa pakaian saat pergi ke kelab malam itu masih ada di tempat Daniel. Dia meringis canggung mengingat memori itu. "Kamu tau nggak kenapa pakaian itu ada di rumahku?" 'Tau, tau banget. Tapi nggak mau inget!' jerit Delotta dalam hati. Dia menggeleng lalu segera berdiri. "Ada hal lain lagi enggak, Om?" tanya perempuan itu mengalihkan topik
"Sudah papa bilang kan kamu lebih baik kerja di perusahaan papa. Kejadian kayak gini nggak akan terjadi kalau kamu bersama papa." Ricko masih saja mengomel perkara kaki Delotta yang terkilir. Setelah ke rumah sakit Daniel mengantar Delotta pulang. Ricko yang mengetahui kabar itu pun langsung bergegas pulang ke rumah. "Ini kecelakaan, Pa. Nggak ada hubungannya aku kerja di tempat papa atau Om Daniel, kalau emang udah ditakdirin terkilir ya terkilir aja." Like daughter, like father. Delotta masih saja terus menimpali omelan papanya. Daniel yang duduk di sofa single hanya memperhatikan dua ayah dan anak itu terus menyerocos. "Ya, itu akibat nggak mau dengerin omongan papa." "Aku rasa Otta lebih butuh istirahat daripada omelan," komentar Daniel setelah cukup lama bungkam. Ricko kontan mendengus. "Kamu juga. Aku titipin anakku malah begini." Sekarang dia menyalahkan Daniel. "Jangan salahin Om Daniel," seru Delotta. Sejujurnya dia malu kena marah di depan pria itu. Ricko memang agak
Delotta menoleh ketika sesuatu terasa mencolek bahunya. Namun, dia tidak mendapati siapa pun ketika menoleh ke arah bahu yang dicolek barusan. "I'm here." Dengan cepat gadis itu menoleh ke sisi lain. Sontak dia terkekeh saat menemukan Daniel berdiri di sebelahnya. Dia dikerjai. "Mau pulang?" tanya Daniel seraya celingukan mencari jemputan gadis itu. "Ya." "Nggak dijemput lagi?" Gadis itu menggeleng sambil mengulum senyum. "Berharap ada yang kasih tebengan sih." Terang saja itu membuat Daniel tertawa. Akhir-akhir ini keduanya sering pulang bersama lantaran Daniel tak jarang pulang bertepatan dengan jam pulang karyawan. Lalu ketika melewati workstation dan melihat Delotta sedang beres-beres, dia akan menawari gadis itu tumpangan."Boleh. Uang bensin jangan lupa," balas Daniel sembari mengedipkan sebelah mata. "Tenang, aku isi full tank." "Siap kalau begitu." Gara-gara itu keduanya menjadi makin akrab. Dan kedekatan itu tidak luput dari perhatian para karyawan lain. Gosip mirin
Kata-kata itu mungkin Delotta ucapkan sambil bercanda. Namun efeknya ternyata luar biasa untuk Daniel. Dia sampai harus bercermin berkali-kali. Ada kebanggan tersendiri ketika Delotta mengatakan dirinya tidak setua papanya. Usia boleh tidak muda lagi, tapi casing Daniel tidak jauh beda dengan pria berumur 30-an. Tidak hanya Delotta, siapa pun yang baru pertama melihatnya pasti akan berpikir demikian. Mata biru Daniel melirik sesuatu yang Sandra letakan di mejanya. Sebuah paper bowl tertutup rapat bergambar ayam jago. "Apa itu?" Daniel tampak tertarik. Kepalanya bisa menebak darimana benda itu berasal. "Siomay bumbu kacang dari Delotta." Bibir Daniel kontan menyunggingkan senyum lantas meraih paper bowl itu. "Siomay?" Alis pria itu terangkat seraya memperhatikan kemasan unik itu. "Ya. Aku juga dapat jatah satu dari dia." Sandra tersenyum kecil. "Sepertinya dia terpesona sama Anda, Pak. Atau mungkin sudah jatuh cinta. Anda terlalu baik padanya. Itu bisa membuat dia salah paham."
Cemburu membuat Delotta gegabah. Ini terlalu cepat untuk mengutarakan perasaan. Bahkan dia belum sempat berdiskusi dengan Tya soal ini. Mata Delotta terpejam erat. Dia merasa kecewa, marah, dan malu secara bersamaan. "Otta, Do you know what you say?" tanya Daniel di sebelahnya. Lirih dan dalam. Delotta makin menundukkan pandang. Dia tidak berani menatap pria itu setelah dengan lancang mencium lalu mengatakan cinta. Daniel pasti menganggapnya bercanda. "I know," sahut Delotta lirih seraya mengangguk kecil. "And I'm serious." Daniel mengusap wajah frustrasi. Dia bingung dan tidak menyangka dengan situasi ini. Ya, oke, dia kerap melihat Delotta menunjukkan perhatian atau anak itu sering bermanja-manja padanya, tapi dia tidak menduga akan seperti ini. Sekarang apa yang Sandra katakan padanya waktu itu malah menjelma menjadi nyata. "Nggak seharusnya kamu seperti ini, Otta. Seharusnya kamu jatuh cinta pada pria yang seumuran dengan kamu. Atau mungkin kamu hanya salah mengartikan perasa
"Satu lagi." Kepala Delotta tergeletak di meja bar. Gelas di tangannya sudah kosong. Dia sendiri sudah mabuk parah. "Maaf, Nona. Saya rasa malam ini sudah cukup. Anda datang bersama siapa?" tanya bartender yang dari tadi memperhatikan dan melayani Delotta. "Satu lagi, please." Bartender itu tidak menghiraukan. Dia mengambil gelas dari tangan Delotta dan menyingkirkannya. "Apa Anda datang dengan teman-teman Anda?" tanya dia lagi. "Aku datang sendiri. Aku juga akan pulang sendiri, tapi nanti. Beri aku satu gelas lagi." Bartender itu menyerah lantaran gadis itu terus mendesaknya. Dia memberikan satu gelas lagi. "Saya harap ini yang terakhir. Anda sudah mabuk parah." "Aku cuma ingin melupakan rasa sakit hati. Kamu tau nggak sih rasanya ditolak?" Delotta mulai menyeracau. "Aku baru saja ditolak Om Daniel. Padahal aku yakin dia menyukaiku. Tapi gara-gara aku anak temannya dia menolakku. Nggak adil banget!""Hm, jadi Anda sedang patah hati." Delotta mengangguk lalu menandaskan minu