Delotta mengetuk perlahan pintu ganda yang memiliki name tag direktur. Setelah mendapat izin masuk dari yang punya ruangan, dia pun mendorong knop pintu tersebut dan menyelinap masuk. "Om panggil aku?" tanya Delotta seraya berjalan menghampiri meja besar Daniel Jagland. Pria yang duduk di balik meja itu mendongak. Ada kacamata bertengger di hidungnya yang bangir. "Ah iya, Otta. Come here." Dengan kepala penuh tanda tanya, Delotta memperhatikan pria itu yang lantas sedikit merundukkan badan. Tidak lama kemudian dia melihat pria itu meletakkan sebuah paper bag ke atas meja. "Your clothes," katanya sambil mendorong benda itu. Delotta baru ingat bahwa pakaian saat pergi ke kelab malam itu masih ada di tempat Daniel. Dia meringis canggung mengingat memori itu. "Kamu tau nggak kenapa pakaian itu ada di rumahku?" 'Tau, tau banget. Tapi nggak mau inget!' jerit Delotta dalam hati. Dia menggeleng lalu segera berdiri. "Ada hal lain lagi enggak, Om?" tanya perempuan itu mengalihkan topik
"Sudah papa bilang kan kamu lebih baik kerja di perusahaan papa. Kejadian kayak gini nggak akan terjadi kalau kamu bersama papa." Ricko masih saja mengomel perkara kaki Delotta yang terkilir. Setelah ke rumah sakit Daniel mengantar Delotta pulang. Ricko yang mengetahui kabar itu pun langsung bergegas pulang ke rumah. "Ini kecelakaan, Pa. Nggak ada hubungannya aku kerja di tempat papa atau Om Daniel, kalau emang udah ditakdirin terkilir ya terkilir aja." Like daughter, like father. Delotta masih saja terus menimpali omelan papanya. Daniel yang duduk di sofa single hanya memperhatikan dua ayah dan anak itu terus menyerocos. "Ya, itu akibat nggak mau dengerin omongan papa." "Aku rasa Otta lebih butuh istirahat daripada omelan," komentar Daniel setelah cukup lama bungkam. Ricko kontan mendengus. "Kamu juga. Aku titipin anakku malah begini." Sekarang dia menyalahkan Daniel. "Jangan salahin Om Daniel," seru Delotta. Sejujurnya dia malu kena marah di depan pria itu. Ricko memang agak
Delotta menoleh ketika sesuatu terasa mencolek bahunya. Namun, dia tidak mendapati siapa pun ketika menoleh ke arah bahu yang dicolek barusan. "I'm here." Dengan cepat gadis itu menoleh ke sisi lain. Sontak dia terkekeh saat menemukan Daniel berdiri di sebelahnya. Dia dikerjai. "Mau pulang?" tanya Daniel seraya celingukan mencari jemputan gadis itu. "Ya." "Nggak dijemput lagi?" Gadis itu menggeleng sambil mengulum senyum. "Berharap ada yang kasih tebengan sih." Terang saja itu membuat Daniel tertawa. Akhir-akhir ini keduanya sering pulang bersama lantaran Daniel tak jarang pulang bertepatan dengan jam pulang karyawan. Lalu ketika melewati workstation dan melihat Delotta sedang beres-beres, dia akan menawari gadis itu tumpangan."Boleh. Uang bensin jangan lupa," balas Daniel sembari mengedipkan sebelah mata. "Tenang, aku isi full tank." "Siap kalau begitu." Gara-gara itu keduanya menjadi makin akrab. Dan kedekatan itu tidak luput dari perhatian para karyawan lain. Gosip mirin
Kata-kata itu mungkin Delotta ucapkan sambil bercanda. Namun efeknya ternyata luar biasa untuk Daniel. Dia sampai harus bercermin berkali-kali. Ada kebanggan tersendiri ketika Delotta mengatakan dirinya tidak setua papanya. Usia boleh tidak muda lagi, tapi casing Daniel tidak jauh beda dengan pria berumur 30-an. Tidak hanya Delotta, siapa pun yang baru pertama melihatnya pasti akan berpikir demikian. Mata biru Daniel melirik sesuatu yang Sandra letakan di mejanya. Sebuah paper bowl tertutup rapat bergambar ayam jago. "Apa itu?" Daniel tampak tertarik. Kepalanya bisa menebak darimana benda itu berasal. "Siomay bumbu kacang dari Delotta." Bibir Daniel kontan menyunggingkan senyum lantas meraih paper bowl itu. "Siomay?" Alis pria itu terangkat seraya memperhatikan kemasan unik itu. "Ya. Aku juga dapat jatah satu dari dia." Sandra tersenyum kecil. "Sepertinya dia terpesona sama Anda, Pak. Atau mungkin sudah jatuh cinta. Anda terlalu baik padanya. Itu bisa membuat dia salah paham."
Cemburu membuat Delotta gegabah. Ini terlalu cepat untuk mengutarakan perasaan. Bahkan dia belum sempat berdiskusi dengan Tya soal ini. Mata Delotta terpejam erat. Dia merasa kecewa, marah, dan malu secara bersamaan. "Otta, Do you know what you say?" tanya Daniel di sebelahnya. Lirih dan dalam. Delotta makin menundukkan pandang. Dia tidak berani menatap pria itu setelah dengan lancang mencium lalu mengatakan cinta. Daniel pasti menganggapnya bercanda. "I know," sahut Delotta lirih seraya mengangguk kecil. "And I'm serious." Daniel mengusap wajah frustrasi. Dia bingung dan tidak menyangka dengan situasi ini. Ya, oke, dia kerap melihat Delotta menunjukkan perhatian atau anak itu sering bermanja-manja padanya, tapi dia tidak menduga akan seperti ini. Sekarang apa yang Sandra katakan padanya waktu itu malah menjelma menjadi nyata. "Nggak seharusnya kamu seperti ini, Otta. Seharusnya kamu jatuh cinta pada pria yang seumuran dengan kamu. Atau mungkin kamu hanya salah mengartikan perasa
"Satu lagi." Kepala Delotta tergeletak di meja bar. Gelas di tangannya sudah kosong. Dia sendiri sudah mabuk parah. "Maaf, Nona. Saya rasa malam ini sudah cukup. Anda datang bersama siapa?" tanya bartender yang dari tadi memperhatikan dan melayani Delotta. "Satu lagi, please." Bartender itu tidak menghiraukan. Dia mengambil gelas dari tangan Delotta dan menyingkirkannya. "Apa Anda datang dengan teman-teman Anda?" tanya dia lagi. "Aku datang sendiri. Aku juga akan pulang sendiri, tapi nanti. Beri aku satu gelas lagi." Bartender itu menyerah lantaran gadis itu terus mendesaknya. Dia memberikan satu gelas lagi. "Saya harap ini yang terakhir. Anda sudah mabuk parah." "Aku cuma ingin melupakan rasa sakit hati. Kamu tau nggak sih rasanya ditolak?" Delotta mulai menyeracau. "Aku baru saja ditolak Om Daniel. Padahal aku yakin dia menyukaiku. Tapi gara-gara aku anak temannya dia menolakku. Nggak adil banget!""Hm, jadi Anda sedang patah hati." Delotta mengangguk lalu menandaskan minu
"Lepasin aku!" Delotta meronta. Dia memutar lengannya agar lepas dari cekalan Daniel. Namun, Daniel mengabaikan dan terus membawa gadis itu keluar. Dia tidak menyangka penolakannya akan berujung seperti ini. Ricko bisa memenggal kepalanya jika tahu alasan Delotta mabuk lagi. "Ngapain sih Om Daniel ke sini? Ngapain?! Ganggu banget tau nggak?! Aku mau minum lagi." Lagi Delotta berteriak saat Daniel hendak membuka pintu mobil, bahkan gadis itu mendorong pria itu dengan keras."Otta, jangan begini. Papa kamu akan kecewa kalau lihat kamu begini." "Om yang udah ngecewain aku! Ngapain sih Om ke sini? Aku ke sini tuh mau lupain Om!" Daniel memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. "I'm sorry, tapi kamu harus pulang. Aku mencemaskan kamu."Mendengar itu Delotta tertawa, tawa itu lantas berubah pilu ketika dia sadar Daniel mencemaskannya karena pria itu menganggap dirinya hanya anak kecil yang butuh dijaga. "Om aja sana yang pulang! Aku nggak mau!" tukas Delotta lantas berbali
Paginya para pelayan Daniel melayani Delotta dengan baik. Namun batang hidung pria itu tidak tampak sama sekali. Saat di meja makan dia hanya bertemu Maria yang dengan telaten menjamunya sarapan pagi. Semalam dia ingat semuanya. Diam-diam dia bersyukur Daniel tidak ada. Jika pagi ini bertemu Delotta yakin hanya akan ada rasa canggung di antara mereka. "Tuan Daniel sudah berangkat. Beliau bilang ada rapat pagi yang harus dihadiri," ujar Maria tanpa diminta. Delotta bahkan tidak bertanya. "Beliau juga berpesan agar Nona beristirahat dan tidak perlu masuk kerja." "Hm, terima kasih." "Supir akan mengantar Anda setelah selesai sarapan pagi." Info yang Maria berikan cukup detail. Namun, kepala Delotta masih terasa penuh sehingga dia hanya merespons dengan gumaman. Ketika dalam perjalanan pulang papa menelepon dan menanyakan dirinya yang tidak muncul pagi ini. "Maaf, Pa. Aku menginap di kosan Tya lagi dan langsung berangkat kerja dari sana." "Kamu akhir-akhir ini bikin papa jantungan