"Satu lagi." Kepala Delotta tergeletak di meja bar. Gelas di tangannya sudah kosong. Dia sendiri sudah mabuk parah. "Maaf, Nona. Saya rasa malam ini sudah cukup. Anda datang bersama siapa?" tanya bartender yang dari tadi memperhatikan dan melayani Delotta. "Satu lagi, please." Bartender itu tidak menghiraukan. Dia mengambil gelas dari tangan Delotta dan menyingkirkannya. "Apa Anda datang dengan teman-teman Anda?" tanya dia lagi. "Aku datang sendiri. Aku juga akan pulang sendiri, tapi nanti. Beri aku satu gelas lagi." Bartender itu menyerah lantaran gadis itu terus mendesaknya. Dia memberikan satu gelas lagi. "Saya harap ini yang terakhir. Anda sudah mabuk parah." "Aku cuma ingin melupakan rasa sakit hati. Kamu tau nggak sih rasanya ditolak?" Delotta mulai menyeracau. "Aku baru saja ditolak Om Daniel. Padahal aku yakin dia menyukaiku. Tapi gara-gara aku anak temannya dia menolakku. Nggak adil banget!""Hm, jadi Anda sedang patah hati." Delotta mengangguk lalu menandaskan minu
"Lepasin aku!" Delotta meronta. Dia memutar lengannya agar lepas dari cekalan Daniel. Namun, Daniel mengabaikan dan terus membawa gadis itu keluar. Dia tidak menyangka penolakannya akan berujung seperti ini. Ricko bisa memenggal kepalanya jika tahu alasan Delotta mabuk lagi. "Ngapain sih Om Daniel ke sini? Ngapain?! Ganggu banget tau nggak?! Aku mau minum lagi." Lagi Delotta berteriak saat Daniel hendak membuka pintu mobil, bahkan gadis itu mendorong pria itu dengan keras."Otta, jangan begini. Papa kamu akan kecewa kalau lihat kamu begini." "Om yang udah ngecewain aku! Ngapain sih Om ke sini? Aku ke sini tuh mau lupain Om!" Daniel memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. "I'm sorry, tapi kamu harus pulang. Aku mencemaskan kamu."Mendengar itu Delotta tertawa, tawa itu lantas berubah pilu ketika dia sadar Daniel mencemaskannya karena pria itu menganggap dirinya hanya anak kecil yang butuh dijaga. "Om aja sana yang pulang! Aku nggak mau!" tukas Delotta lantas berbali
Paginya para pelayan Daniel melayani Delotta dengan baik. Namun batang hidung pria itu tidak tampak sama sekali. Saat di meja makan dia hanya bertemu Maria yang dengan telaten menjamunya sarapan pagi. Semalam dia ingat semuanya. Diam-diam dia bersyukur Daniel tidak ada. Jika pagi ini bertemu Delotta yakin hanya akan ada rasa canggung di antara mereka. "Tuan Daniel sudah berangkat. Beliau bilang ada rapat pagi yang harus dihadiri," ujar Maria tanpa diminta. Delotta bahkan tidak bertanya. "Beliau juga berpesan agar Nona beristirahat dan tidak perlu masuk kerja." "Hm, terima kasih." "Supir akan mengantar Anda setelah selesai sarapan pagi." Info yang Maria berikan cukup detail. Namun, kepala Delotta masih terasa penuh sehingga dia hanya merespons dengan gumaman. Ketika dalam perjalanan pulang papa menelepon dan menanyakan dirinya yang tidak muncul pagi ini. "Maaf, Pa. Aku menginap di kosan Tya lagi dan langsung berangkat kerja dari sana." "Kamu akhir-akhir ini bikin papa jantungan
"Happy Birthday!" Teriakan itu dibarengi petasan confetty yang meletup di udara. Suara tawa lantas bersusulan. Malam ini Delotta merayakan ulang tahunnya yang ke-22 di salah satu kelab malam ibukota. Mengundang teman-teman kuliah dan beberapa teman kantor. Ricko juga turut hadir di acara itu. Dia bahkan mendapat potongan kue pertama dari putrinya. Akan selalu seperti itu, tentu saja. "No alkohol," ucap Ricko dengan cukup keras lantaran musik terlalu mendominasi saat acara inti akhirnya selesai. "Clubbing mana asik tanpa alkohol, Om!" seru Tya memprovokasi, seperti biasa. "No, atau acara ini Papa bubarin." Ricko menatap Delotta, dia terlalu serius menanggapi banyolan Tya. "Ya ampun, Pa. Oke, Papa tenang aja sih." Delotta menepuk bahu papanya. "Ingat ya, Otta. Sebelum jam 12 malam, acara ini harus sudah selesai." Kembali Ricko memperingatkan dan langsung disambut hormat bendera oleh kedua gadis itu. Ricko hanya bisa menggeleng melihat kelakuan mereka. Pria 47 tahun itu membiark
Tidak bisa disebut Daniel yang melecehkan sebenarnya. Justru Delotta yang merangsek dan mencium pria itu lebih dulu. Meski begitu, ucapan Delotta membuat rasa bersalah tiba-tiba menghantam kepala Daniel. Pria itu tidak membantah karena malam itu sempat terlena. Jika tidak ingat siapa Delotta, mungkin Daniel sudah menidurinya. Naluri laki-lakinya bekerja dengan cepat dan sempurna. Daniel berdeham sejenak untuk melegakan tenggorokannya yang tadi sempat tercekik. "Sampai jam berapa acara ini?" tanya pria itu, mengalihkan topik pembicaraan. "Om Daniel pasti tahu. Bukannya Om di sini karena ingin mengawasiku?" Ucapan Delotta yang terkesan dingin membuat Daniel sedikit menyipitkan mata. Atau ini cuma perasaannya? Akhir-akhir ini cara gadis itu bicara dan bersikap agak lain dari biasanya. Baiklah, mungkin ini efek perbuatannya. Daniel berusaha memaklumi itu. "Om Daniel silakan menikmati pestanya, aku akan bergabung bersama teman-teman lain." Tanpa menunggu respons pria itu, Delotta me
"Cukup, Otta." Daniel menjauhkan Delotta, membuat gadis itu menatapnya tak mengerti. "I'm sorry, tapi ini nggak boleh terjadi," ujar Daniel lagi. "Apa maksudnya nggak boleh terjadi?" tangan Delotta masih nyangkut di bahu Daniel. "Ini memang sudah terjadi." Pria bermata biru itu menggeleng. "Nggak seperti ini seharusnya." Dia memindahkan tubuh Delotta agar duduk di tempatnya lagi. "Apanya yang nggak seperti ini? Om Daniel jelas-jelas menginginkan aku. Kenapa sih Om nyangkal terus?" "Otta, kita sudah membahas ini. Pakai sabuk pengamanmu kita pulang. Tidak ada penolakan, dan tidak ada kejadian seperti tadi. Kecuali kita mau sama-sama mati," ucap Daniel tegas. Delotta berdecak seraya membuang muka. Namun, tangannya tak urung menarik sabuk pengaman. Sepanjang jalan hening melingkupi keduanya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan ketika sampai di depan rumah Ricko, Delotta keluar begitu saja dari mobil tanpa mengucapkan apa-apa. Sek
Sejak malam ulang tahun itu, Daniel merasa Delotta makin menjauhinya. Sikap dingin perempuan itu membuatnya terus menghela napas. Anehnya pada orang lain Delotta bisa bersikap hangat. Daniel berusaha tidak terpengaruh, tapi ternyata cukup sulit. Dari balik dinding kaca ruangannya, dia mengawasi gadis itu. Dinding kaca yang sengaja didesain khusus agar dia bisa mengawasi stafnya tanpa mereka tahu. Dinding itu bisa menampakan segala kegiatan di luar, tapi yang di luar tidak akan melihat keadaan di dalamnya. Delotta tertawa bersama salah satu staf yang mampir di kubiknya. Tanpa sadar hati Daniel sedikit tercubit. Sejak penolakannya, keceriaan seperti itu lenyap jika Delotta berhadapan dengannya. "Apa yang Anda lihat, Pak?" Daniel menoleh saat mendengar suara Sandra. Heels wanita itu mengetuk lantai, mendekatinya. "Tidak ada." Daniel berbalik dan kembali ke kursi kerjanya. "Anda mengawasi Delotta?" Pertanyaan itu hanya dibalas lirikan kecil oleh pria itu. "Mana yang harus aku tanda
Glamping dengan view laut yang menakjubkan. Saat berdiri dengan bertelanjang kaki di pasir putih Delotta bisa membayangkan suasana sore nanti seperti apa. Sunset di ujung cakrawala pasti akan memukau indah. Ini cukup menghibur di tengah suasana hatinya yang galau. Cinta ditolak membuat sedikit rasa percaya dirinya terkikis. Seumur-umur dia tidak pernah jatuh bangun mengejar laki-laki. Jangankan mengejar, mengutarakan cinta saja tak pernah. Daniel membuatnya menjadi pengecualian. Siapa sangka luka penolakan ternyata lebih sakit ketimbang luka putus cinta, setidaknya itu bagi Delotta. "Astaga, ternyata kamu di sini. Aku cari-cari juga dari tadi." Delotta menoleh dan mendapati Steve berjalan mendekat. Pria itu mengenakan outfit kasual yang membuatnya jadi terlihat begitu santai. "Anak-anak udah pada masuk ke tenda. Kenapa malah di sini?" tanya Steve ketika berhasil menjajari Delotta. "Saya lagi menghirup udara laut, Pak. Udah lama nggak main ke laut." "Oh ya? Mainmu sekarang ke kel