"Cukup, Otta." Daniel menjauhkan Delotta, membuat gadis itu menatapnya tak mengerti. "I'm sorry, tapi ini nggak boleh terjadi," ujar Daniel lagi. "Apa maksudnya nggak boleh terjadi?" tangan Delotta masih nyangkut di bahu Daniel. "Ini memang sudah terjadi." Pria bermata biru itu menggeleng. "Nggak seperti ini seharusnya." Dia memindahkan tubuh Delotta agar duduk di tempatnya lagi. "Apanya yang nggak seperti ini? Om Daniel jelas-jelas menginginkan aku. Kenapa sih Om nyangkal terus?" "Otta, kita sudah membahas ini. Pakai sabuk pengamanmu kita pulang. Tidak ada penolakan, dan tidak ada kejadian seperti tadi. Kecuali kita mau sama-sama mati," ucap Daniel tegas. Delotta berdecak seraya membuang muka. Namun, tangannya tak urung menarik sabuk pengaman. Sepanjang jalan hening melingkupi keduanya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan ketika sampai di depan rumah Ricko, Delotta keluar begitu saja dari mobil tanpa mengucapkan apa-apa. Sek
Sejak malam ulang tahun itu, Daniel merasa Delotta makin menjauhinya. Sikap dingin perempuan itu membuatnya terus menghela napas. Anehnya pada orang lain Delotta bisa bersikap hangat. Daniel berusaha tidak terpengaruh, tapi ternyata cukup sulit. Dari balik dinding kaca ruangannya, dia mengawasi gadis itu. Dinding kaca yang sengaja didesain khusus agar dia bisa mengawasi stafnya tanpa mereka tahu. Dinding itu bisa menampakan segala kegiatan di luar, tapi yang di luar tidak akan melihat keadaan di dalamnya. Delotta tertawa bersama salah satu staf yang mampir di kubiknya. Tanpa sadar hati Daniel sedikit tercubit. Sejak penolakannya, keceriaan seperti itu lenyap jika Delotta berhadapan dengannya. "Apa yang Anda lihat, Pak?" Daniel menoleh saat mendengar suara Sandra. Heels wanita itu mengetuk lantai, mendekatinya. "Tidak ada." Daniel berbalik dan kembali ke kursi kerjanya. "Anda mengawasi Delotta?" Pertanyaan itu hanya dibalas lirikan kecil oleh pria itu. "Mana yang harus aku tanda
Glamping dengan view laut yang menakjubkan. Saat berdiri dengan bertelanjang kaki di pasir putih Delotta bisa membayangkan suasana sore nanti seperti apa. Sunset di ujung cakrawala pasti akan memukau indah. Ini cukup menghibur di tengah suasana hatinya yang galau. Cinta ditolak membuat sedikit rasa percaya dirinya terkikis. Seumur-umur dia tidak pernah jatuh bangun mengejar laki-laki. Jangankan mengejar, mengutarakan cinta saja tak pernah. Daniel membuatnya menjadi pengecualian. Siapa sangka luka penolakan ternyata lebih sakit ketimbang luka putus cinta, setidaknya itu bagi Delotta. "Astaga, ternyata kamu di sini. Aku cari-cari juga dari tadi." Delotta menoleh dan mendapati Steve berjalan mendekat. Pria itu mengenakan outfit kasual yang membuatnya jadi terlihat begitu santai. "Anak-anak udah pada masuk ke tenda. Kenapa malah di sini?" tanya Steve ketika berhasil menjajari Delotta. "Saya lagi menghirup udara laut, Pak. Udah lama nggak main ke laut." "Oh ya? Mainmu sekarang ke kel
Kendali sepenuhnya ada di tangan Daniel. Konsentrasi Delotta berceceran dengan posisi seperti sekarang. Daniel seolah memperangkapnya. Lengan kokohnya dan dada bidangnya membuat segalanya berantakan. Ocehan Daniel tentang cara mengemudi motor air dengan baik terbawa angin laut sebelum mampir ke telinga Delotta. Dengan posisi nyaris tak berjarak ini, jantung Delotta jumpalitan tak karuan. Bagaimana dia bisa belajar dengan benar? Daniel membawanya ke tengah laut. Menembus ombak, dan menantang gelombang. Dia begitu mahir mengendarai jet ski, terlihat sangat berpengalaman. Pria itu juga mengajari cara berbelok dan berkendara di atas ombak. Jujur, Delotta hanya sedikit memperhatikan. Selebihnya dia sibuk menikmati debaran hatinya yang menghangat. Sampai akhirnya jet ski berputar dan kembali ke tepi dermaga. "Kamu bisa mengemudi sendiri sekarang. Coba ya, pelan-pelan aja." Tangan Delotta sedikit gemetar ketika akhirnya tangan Daniel menjauh dari kemudi. Akan sangat memalukan jika dia t
Delotta memutar tangan dan menyentaknya hingga cekalan Daniel terlepas. Diseret-seret dengan tujuan tidak jelas membuat gadis itu kesal. "Apa-apaan sih Om?" tanya dia dengan wajah tertekuk. "Otta, kamu tau nggak apa yang kamu lakukan?" Wajah Daniel juga tak kalah gusar. "Emang aku ngelakuin apa?" "Bagaimana bisa kamu izinkan Steve masuk ke tenda kamu?" Mata besar Delotta menyipit. Tanda tanya besar mendadak muncul di kepalanya. "Kalau dia ngapa-ngapain kamu gimana?" Delotta menatap Daniel heran. Tidak paham maksud dan mau laki-laki itu."Kamu nggak mau aku jaga, tapi jaga diri sendiri saja begini. Kamu tahu Steve itu siapa dan laki-laki seperti apa?""Dia laki-laki baik yang menawarkan pertemanan," sahut Delotta mulai tampak bosan. "Nggak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Dia itu sedang modusin kamu. Suka sama kamu." "Ya lantas masalahnya apa? Dia yang suka sama aku kenapa Om yang uring-uringan?" Sebelah alis Delotta naik tinggi-tinggi meningkahi Daniel. Dia bena
Wajah bersimbah air mata Delotta terkejut saat melihat Daniel tepat di pelupuk matanya. Jika yang ada di hadapannya pria itu, lalu siapa di dalam tenda itu? "O-om Daniel kok di sini?" Pertanyaan itu spontan meluncur dari bibir Delotta. Dibantu Daniel, dia kembali berdiri dengan benar. "Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu sedang ikut ngegames sama lainnya." Tatap biru itu meneliti wajah Delotta yang sembab. "Apa terjadi sesuatu? Kamu nangis? Ada apa?" tanya pria itu lembut dan tampak khawatir. Semburat merah sontak menghiasi wajah Delotta. Dia menangisi sesuatu yang tidak terjadi. Ini konyol, dan dia merasa malu. "Aku nggak apa-apa, Om." Delotta berbalik dan mengusap jejak air mata di wajahnya. Dalam hati dia mengumpat karena kebodohannya yang salah menduga. "Kamu mau mampir ke tendaku?" Delotta terkesiap mendapat tawaran itu. Satu pertanyaan lagi di benaknya, ke mana perginya wanita yang bersama Daniel? Sial, jiwa keponya memberontak. Dia merasa perlu mem
"Steve nggak ikut sama kamu?"Pertanyaan itu terlontar ketika Delotta baru saja menurunkan ponsel. "Biasanya dia selalu ada di sekitar kamu," lanjut Daniel memaku pandangan pada sosok cantik di hadapannya. "Dia ada rapat kepanitiaan." Delotta memutar badan, dan mengarahkan pandangan ke langit yang sudah berganti jingga. Dia bisa merasakan Daniel mendekat lalu berdiri di sampingnya. "Itu tadi Ricko?" tanya Daniel seraya melesakkan dua tangannya ke saku celana. "Hm." "Kenapa kamu nggak ikut gabung sama mereka? Foto-foto kelihatannya seru." Di sisi dermaga orang-orang berkumpul menantikan momen sunset, tapi ada juga yang hanya duduk-duduk di pinggiran pantai sambil bermain pasir. Seandainya ada Tya, pasti lebih menyenangkan."Lebih enak begini." Delotta menoleh, menatap wajah Daniel dari samping. Saat itu juga Daniel ikut menoleh dan mata keduanya sontak bertemu. Untuk beberapa saat tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain sampai akhirnya Delotta yang memutus pertama kali.
Daniel membungkus paksa tubuh Delotta yang hanya mengenakan bikini dengan sebuah handuk besar. Dia membawa gadis itu menjauhi pantai dan menghindari keramaian. "Lagi-lagi Om bertindak seenaknya!" teriak Delotta saat Daniel melepas cekalan tangannya. "Yang kamu lakukan tadi sudah di luar batas, Otta. Bagaimana bisa kamu membiarkan Steve mencium kamu?" Daniel berusaha menekan suaranya. Dia kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan nada suaranya bisa meninggi sewaktu-waktu. "Apa masalahnya?! Aku nggak keberatan." "Otta, Papamu memintaku buat menjaga kamu. Apa yang akan aku katakan padanya kalau kamu begini?" "Om nggak perlu mengatakan apa-apa sama, Papa," ucap Delotta dengan tatapan menghunus. "Aku bisa menjaga diri sendiri. Jadi, apa pun yang aku lakukan Om nggak usah peduli!" "Otta, dengar. Apa pun yang kamu lakukan selama itu positif aku nggak masalah, tapi mencium dan berpelukan dengan laki-laki? Astaga, Otta. Apa itu yang kamu sebut bisa menjaga diri?" "Aku sudah dewasa. Hal