"Yakin dia seusia bokap lo?"
Setelah melihat dan bertemu Daniel Jagland, Tya meragukan ucapan Delotta. Beberapa menit lalu Tya memaksa untuk dikenalkan dengan Daniel saat tersadar dari rasa terkesimanya.Tya menarik tangan Delotta mendekati Daniel yang tampak sendirian di depan Bulgari Store. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mendorong bahu Delotta sampai Daniel sadar dengan kehadiran mereka."Otta? Kamu di sini?" tanya Daniel dengan tatapan takjub juga terkejut.Delotta meringis, ingin rasanya dia menjitak kepala Tya yang membuatnya malu dan norak seperti ini."I-iya, Om. Jalan-jalan sama teman."Sebuah cubitan kecil di pinggangnya membuatnya kaget. Delotta melirik sebal Tya di sebelahnya yang memberinya kode lewat mata. Nyebelin banget."Om, kenalin ini teman Otta. Namanya Tya." Delotta baru saja mengenalkan sahabatnya itu, tapi dengan tidak sabar Tya merangsek maju seraya nengulurkan tangan."Halo, Om. Kenalin, aku teman Otta. Seneng deh bisa ketemu Om di sini," ujar Tya dengan mata berbinar-binar kegirangan.Daniel tersenyum lebar dan menyambut tangan itu. "Halo, I'm Daniel. Nice to meet you."Tya memejamkan mata sesaat sebelum tangannya terlepas dari jabatan tangan itu."Om, mau makan sama kita nggak?"Pertanyaan tiba-tiba Tya membuat Delotta memelotot ke arahnya. Tidak ada rencana seperti itu sebelumnya, bahkan perkenalan ini pun tidak ada. Tapi Tya dengan lancangnya...."Uhm, kayaknyan next time. Aku masih ada urusan."Delotta bernapas lega karena pria tampan itu menolak ajakan tak masuk akal Tya. Namun, tiba-tiba dari dalam gerai muncul seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Daniel.Wanita tinggi berambut pirang itu langsung menggaet lengan Daniel. "I am done. We can go now."Sontak Delotta dan Tya melongo melihatnya. Wanita bule itu sangat cantik dan memiliki tinggi yang tak jauh beda dengan Daniel."Oh, okay." Daniel melempar senyum manisnya sesaat pada wanita itu, lantas kembali kepada dua gadis di depannya. "Otta, Tya, aku duluan ya. Otta mainnya jangan lama-lama. Nanti papa kamu nyariin.""Iya, Om. Ini bentar lagi pulang."Tya menelan kecewa ketika Daniel dan wanita itu pergi menjauh. Dan, sekarang gadis itu mempertanyakan keraguan usia Daniel."Dia itu teman kuliah papa di Canberra. Bahkan dulu mereka satu flat," sahut Delotta. Dia baru membuang sisa es krim yang sudah mencair."Nggak terlihat kayak usia papa lo. Dia lebih muda, ya, nggak sih?""Kan gue juga udah pernah bilang.""Gemes sih gue, sumpah. Meskipun kalau jalan sama kita kayak om dan ponakan, tapi dia keren banget. Beruntung banget sih lo, Ta." Tya mulai kumat lebaynya."Beruntungnya di mana? Lo nggak liat dia udah punya gandengan? Dan lo nggak liat tuh cewek kayak gimana? Seleranya tinggi. Kita mah paling dianggap remahan.""Whatever, yang penting tiap hari lo bisa cuci mata, atau tempel-tempel dikit."Delotta menggeleng dengan kelakuan sahabatnya itu. Bagaimana mungkin dia melakukan hal genit semacam itu? Apalagi dengan Daniel, Ricko bisa mencincangnya.Tapi tidak bisa dipungkiri, ketampanan Daniel Jagland memang mampun membuat Delotta senyum tanpa sebab. Pria itu juga sangat memperlakukan dia dengan baik. Meskipun Delotta sangat tahu semuanya karena Ricko, papanya, yang dengan jelas menitipkannya pada Daniel.Delotta mengembuskan napas. Ingin lepas dari papa ternyata sesulit itu. Di mana pun Delotta berada, bayang-bayang papanya seolah selalu mengikuti.***Delotta celingukan mencari salah seorang staf yang mungkin bisa membantu pekerjaannya. Pasalnya data yang dia buat malah kacau balau. Namun, staf yang biasa membantu tidak ada di tempat. Hanya ada dua orang yang tampaknya sangat sibuk. Delotta merasa gak enak hati kalau mengganggu.Dia tatap layar PC-nya dengan wajah kecut. Terbersit sebuah penyesalan di dada Delotta ketika mengingat dia sangat jarang mengerjakan tugas kuliah sendiri. Jarang pegang laptop atau sejenisnya, dan sekarang menemui kesulitan seperti ini dia kelimpungan."Ada apa, Otta?"Delotta terperanjat mendengar suara itu yang tiba-tiba muncul begitu dekat. Dia menolah, dan tahu-tahu Daniel ada di dekatnya. Bagaimana dia tidak menyadari?"Ini, Pak." Sambil nyengir Delotta menunjuk layar komputernya. "Berantakan.""Serius kamu nggak bisa menyelesaikan itu?"Delotta menggeleng sambil mencebikkan bibir. "Saya takut mengutak-atiknya, takut tambah berantakan."Daniel tersenyum, lalu tubuh jangkungnya menunduk dengan salah satu tangan bersandar pada pinggiran meja Delotta. Tangan lainnya melewati bahu kanan gadis itu untuk menjangkau mouse. Posisi itu membuat Delotta seperti sedang dirangkul pria itu. Jarak mereka begitu dekat, sampai Delotta bisa menghidu aroma parfum milik Daniel."Ini cukup kamu bereskan dengan satu langkah. Tekan ctrl lalu tekan ini bersamaan. Kemudian ...."Penjelasan Daniel seolah terbang begitu saja. Jantung Delotta berdetak kencang menyebabkan gadis itu malah tidak fokus mendengar penjelasan pria itu. Dia memang mengangguk-angguk, tapi tidak memahami apa yang Daniel ajarkan."Nah, lihat. Rapi lagi, kan? Kamu bisa gunakan cara yang sama kalau ketemu kesulitan kayak gini lagi."Delotta terkesiap saat Daniel menoleh dan menatapnya. "O-oh, iya, oke. Terima kasih, Pak."Lagi-lagi pria itu tersenyum. Pria itu lantas mundur dan berdiri dengan benar kembali. "Kamu bisa kok bicara santai, Otta. Nggak perlu terlalu formal. Bukannya sekarang kamu ingat aku?"Gadis berambut cokelat itu nyengir. "Iya, sih. Tapi kayaknya nggak sopan. Ini kan kantor.""Nggak masalah, Otta."Delotta mengangguk sambil melengkungkan bibir. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak ketika Daniel tiba-tiba saja menepuk pelan kepalanya. Ditambah tatapannya yang membuat hati Delotta meleleh. Rasanya aneh, tapi dia menyukainya."Oke, kamu bisa lanjutkan sendiri ya, aku harus keluar." Daniel hendak beranjak pergi. Namun ...."Om Daniel," Delotta memanggil.Pria jangkung itu berbalik dengan dahi mengernyit. "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?""Nothing. But ... Uhm ... Mungkin Om mau makan malam di rumah weekend nanti?" Delotta memejamkan mata sesaat setelah mengatakan itu. Entahlah. Hal itu terlintas begitu saja."Of course, tapi mungkin aku akan lihat jadwalku weekend ini.""Kalau Om punya janji lain, it's okay. Forget it." Delotta tersenyum lebar untuk mengatasi rasa malunya."Okay. I'll tell you later."Daniel mengerlingkan sebelah matanya lantas berlalu. Di tempatnya Delotta terus memperhatikan punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu masuk workstation.Dia membuang napas, lalu memegangi dadanya yang akhir-akhir ini sulit dikendalikan saat Daniel di dekatnya."Kalian akrab?"Delotta menoleh mencari sumber suara. Dan menemukan seorang wanita berkacamta yang duduk paling ujung. Sejak awal datang, Delotta tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan staf wanita itu karena wajahnya yang terkesan dingin.Delotta tersenyum. "Nggak, hanya sedikit."Wanita itu membetulkan letak kacamatanya. "Sebaiknya kamu hati-hati," katanya sambil mengalihkan pandang ke pekerjaannya lagi."Oh, thanks." Meski bingung, Delotta tersenyum lagi. Dia tidak mengerti kenapa harus berhati-hati kepada orang sebaik Daniel. Lebih dari itu, papanya secara langsung menitipkannya di sini.Jadi, Delotta pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Mengundang Daniel makan malam?"Dahi Ricko berkerut dalam ketika Delotta mengusulkan ide itu. "Dalam rangka apa?" "Dalam rangka dia sudah memberikan putrimu ini pekerjaan dan juga atas kebaikannya saat mengajariku bekerja." Mungkin terdengar mengada-ngada, tapi keinginan mengundang makan malam Daniel begitu kuat. Siapa tahu setelah ini Daniel akan mengajaknya makan malam berdua. Pikiran Delotta sudah melayang ke mana-mana. "Papa rasa itu nggak perlu." Ricko tidak terlalu menghiraukan dan kembali fokus ke kegiatannya membaca koran pagi. Menyebabkan bibir Delotta maju seketika. "Ih, papa mah pelit." "Kok gitu?""Bilang aja papa nggak mau kasih makan orang lain." Ricko menarik napas lalu menatap anaknya yang merajuk. "Orang lainnya itu siapa? Daniel loh ini, Otta. Ngapain kita repot-repot ngasih makan dia? Di rumahnya, dia sudah berkelimpahan makanan." Muka Delotta makin masam mendengar itu. "Aku tau, Pa. Tapi makan malam ini tujuannya buat berterima kasih sama dia." "Kamu lupa
Dua asisten rumah tangga melongo melihat Delotta masuk ke dapur. Majikan kecil itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada satu jinjing plastik yang berisi bahan-bahan untuk membuat mpek-mpek di tangannya."Non Otta mau masak?" tanya Sari asisten rumah tangga yang berusia sekitar 40-an ketika Delotta meletakkan kantong plastik ke meja dapur."Yes, aku mau bikin mpek-mpek," sahut Delotta tersenyum lebar. Lalu membongkar isi belanjanya. Gadis itu tidak tahu jika dua asistennya saling pandang dan bingung. Mereka sangat tahu nona mudanya tidak pernah menyambangi dapur. Jangankan pegang kompor, pegang wajan saja tidak pernah. "Ini nyalainnya gimana, Bi?" Delotta melihat ada empat tombol di kompor tanam empat tungku. Sari mengerjap dan langsung membantu gadis itu menyalakan kompor. "Biar bibi aja yang masakin sama Ina, Non." Delotta buru-buru mengacungkan tangan. "Nggak boleh. Aku mau belajar bikin sendiri." "Nggak bahaya ta?" timpal Ina yang usianya lebih muda dari Sari. "Ish, Ina kam
Hingar bingar musik langsung tertangkap telinga Delotta ketika dia dan Tya memasuki salah satu kelab malam ibukota yang terletak di lantai lima sebuah mal. Kelab yang baru dibuka beberapa minggu lalu ini lumayan luas dengan interior dan lighting yang menawan. Sebuah bar besar melingkar di tengah-tengah kelab. Ditembak dengan lampu berwarna dari berbagai arah membuat gelas dan botol minuman yang berjejer di rak-rak seolah memantulkan cahaya itu lagi ke segala penjuru. "Tempatnya lumayan juga. Musik DJ-nya juga enak," komentar Delotta. Kepalanya tanpa sadar sudah mengikuti irama musik saja. Dia berhasil mengantongi izin dari Ricko dengan sedikit membual. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kalinya bagi Delotta. Jika dulu ada alasan mengerjakan tugas kelompok. Sekarang dia harus memberi alasan lain. "Kampret, sejak kapan gue nangis kalau putus cinta?" umpat Tya ketika Delotta memberitahu alasan yang dia ajukan ke papanya. "Ahelah. Kalau nggak gitu gue nggak bakal dapat izin."
Ini sial atau keberuntungan? Delotta memastikan penglihatannya tidak salah. Bahkan dia sampai harus mengucek mata. Papanya bilang Daniel ada di Singapura, jadi pria yang saat ini memeluk pinggangnya siapa? Jelmaan Daniel? Efek alkohol sepertinya mulai bekerja. Sampai-sampai orang lain Delotta melihatnya sebagai Daniel. "Otta kamu ke sini sama siapa?" Suara itu kembali menyentak Delotta. Dia berusaha berdiri dengan benar, juga berusaha mengembalikan fokusnya. "Kenapa aku lihat Om Daniel?" gumam Delotta sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. "Hei, Otta cukup. Papamu tau kamu di sini?" Sontak Delotta mendongak dan terkejut. Jika sudah menyebut sang papa itu artinya pria itu benar-benar Daniel. "Dia sama saya, Pak." Tony baru bersuara setelah agak bingung dengan situasi itu. "Kamu yang bikin dia mabuk juga?" tanya Daniel lagi dengan nada tak suka yang teramat kental. Tony buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya. "Bukan, Pak. Otta sendiri yang mau minum." "Lalu bagaimana kalian b
Delotta bergerak pelan. Matanya masih terpejam dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, tapi sakit pada kepala terasa menyiksa. Kantuk yang masih bergelayut, kepala yang terasa mau pecah, membuatnya malas untuk segera bangun. Weekend membuatnya makin meninggikan selimut, tapi suara pintu terbuka membuat pikirannya bekerja seketika. Menyusul kemudian suara asing yang tiba-tiba terdengar. "Selamat pagi, Nona. Anda sudah bangun? Ini saya bawakan air minum dan obat pereda sakit kepala. Saya juga membawa pakaian ganti untuk Anda." Suara perempuan. Mata Delotta masih terpejam erat, tapi pikirannya terus berjalan dan berusaha mengingat kejadian apa yang telah menimpanya sebelum dia terlelap. Baiklah dia ingat bagian pergi ke kelab bersama Tya. Lalu berkenalan dengan dua laki-laki yang mengaku bernama Tony dan Marsal. Apa sekarang dirinya nyasar di rumah salah satu dari mereka? "Segeralah membersihkan diri. Tuan Daniel sudah menunggu Anda untuk sarapan." Orang itu kembali bersuara, ta
"Kamu mau cari wanita yang seperti apa lagi? Ingat umur. Memang kamu mau punya anak saat usiamu sudah jompo? Anakmu kelak bakal manggil kamu kakek alih-alih ayah." Daniel tertawa mendengar komentar pedas Ricko. Teman satu almamaternya di Canberra itu memang kadang suka ceplas-ceplos. Daniel sudah tahu sejak mereka pernah tinggal satu flat."Meskipun umurku sudah tua nanti, wajahku masih akan sama seperti sekarang. Memangnya aku kamu, umur muda wajah kelewat tua." Daniel tergelak lagi membalas olok-olokan Ricko. "Sialan, gadis mana juga yang mau sama kakek-kakek," gerutu Ricko tampak bosan melihat tingkah temannya itu. "Banyak. Kamu hanya belum tau saja." Ricko mengibaskan tangan. Benar-benar merasa bosan. Beberapa saat lalu Daniel bercerita bahwa dirinya kabur dari Singapore lantaran merasa dijebak. Saat menghadiri acara tunangan sepupu Rachel—teman kencannya—di sana dia ditanyai tentang keseriusan kepada Rachel oleh keluarga wanita itu. Hal itu menyebabkan dirinya dan Rachel terl
"Bego lo! Untung gue juga teler!" omel Tya di ujung telepon. Delotta hanya terkikik sambil berguling di atas kasur. Dia yakin kalau sedang dekat dengan perempuan itu bakal habis kena toyor. "Gue juga nggak sadar bege! Lo nggak tau aja apa yang gue lakuin pas lagi teler." "Apa lo? Ena-ena sama Daniel?" tebak Tya asal ceplos. "Mulut lo! Nggaklah, bisa digantung papa gue. Pas liat gue pulang bareng Daniel aja matanya melotot kayak mau keluar." Tya di sana tertawa menyebalkan. Dia juga mabuk malam itu sehingga tidak sadar kalau Delotta sudah kabur lebih dulu. "Jadi lo ngapain sama om-om itu?" "Lo bayangin deh, Ty. Masa gue buka crop top di depan dia? Terus loncat-loncat kayak orang gila di atas tempat tidur. Parahnya, gue jatuh terus nimpa dia. Dan lo tau dada gue yang rata ini nggak sengaja kepegang sama dia!" cerita Delotta menjerit tertahan. Dia tidak ingin papanya mendengar percakapan absurd-nya bersama Tya. Tawa Tya di sana kembali pecah. Delotta yakin temannya itu ngakak sam
"Mau pulang bareng?" Delotta tersentak ketika mendapati suara itu tepat di dekatnya. Dia menoleh dan menemukan pria jangkung bermata biru berdiri di sebelahnya. "Om Daniel ngagetin deh." "Kamu melamun?" "Ya enggak juga. Kaget aja." Daniel yang baru keluar dari lobi melihat gadis itu berdiri sendiri. Dia bergegas menghampiri untuk menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng nggak? Jemputan kamu belum datang?" Delotta menggeleng, lantas melirik jam tangan yang dia pakai. "Biasanya Pak Pur udah ada sebelum aku keluar. Ini tumben banget belum nongol.""Mungkin dia lagi ada urusan mendadak." "Bisa jadi, sih." "Ya udah kamu ikut aku aja." "Emangnya nggak apa-apa?" Jujur hati Delotta meletup-letup mendapat tawaran itu. Artinya dia akan satu mobil lagi bersama pria tampan itu."Ya nggak apa-apa dong, Otta. Seandainya mau pulang bareng tiap hari pun aku nggak masalah selama jam pulang kita sama."Delotta terkekeh. Lantaran itu memang jarang. Daniel selalu pulang melebihi jam kantor. Ke