Dua asisten rumah tangga melongo melihat Delotta masuk ke dapur. Majikan kecil itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada satu jinjing plastik yang berisi bahan-bahan untuk membuat mpek-mpek di tangannya."Non Otta mau masak?" tanya Sari asisten rumah tangga yang berusia sekitar 40-an ketika Delotta meletakkan kantong plastik ke meja dapur."Yes, aku mau bikin mpek-mpek," sahut Delotta tersenyum lebar. Lalu membongkar isi belanjanya. Gadis itu tidak tahu jika dua asistennya saling pandang dan bingung. Mereka sangat tahu nona mudanya tidak pernah menyambangi dapur. Jangankan pegang kompor, pegang wajan saja tidak pernah. "Ini nyalainnya gimana, Bi?" Delotta melihat ada empat tombol di kompor tanam empat tungku. Sari mengerjap dan langsung membantu gadis itu menyalakan kompor. "Biar bibi aja yang masakin sama Ina, Non." Delotta buru-buru mengacungkan tangan. "Nggak boleh. Aku mau belajar bikin sendiri." "Nggak bahaya ta?" timpal Ina yang usianya lebih muda dari Sari. "Ish, Ina kam
Hingar bingar musik langsung tertangkap telinga Delotta ketika dia dan Tya memasuki salah satu kelab malam ibukota yang terletak di lantai lima sebuah mal. Kelab yang baru dibuka beberapa minggu lalu ini lumayan luas dengan interior dan lighting yang menawan. Sebuah bar besar melingkar di tengah-tengah kelab. Ditembak dengan lampu berwarna dari berbagai arah membuat gelas dan botol minuman yang berjejer di rak-rak seolah memantulkan cahaya itu lagi ke segala penjuru. "Tempatnya lumayan juga. Musik DJ-nya juga enak," komentar Delotta. Kepalanya tanpa sadar sudah mengikuti irama musik saja. Dia berhasil mengantongi izin dari Ricko dengan sedikit membual. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kalinya bagi Delotta. Jika dulu ada alasan mengerjakan tugas kelompok. Sekarang dia harus memberi alasan lain. "Kampret, sejak kapan gue nangis kalau putus cinta?" umpat Tya ketika Delotta memberitahu alasan yang dia ajukan ke papanya. "Ahelah. Kalau nggak gitu gue nggak bakal dapat izin."
Ini sial atau keberuntungan? Delotta memastikan penglihatannya tidak salah. Bahkan dia sampai harus mengucek mata. Papanya bilang Daniel ada di Singapura, jadi pria yang saat ini memeluk pinggangnya siapa? Jelmaan Daniel? Efek alkohol sepertinya mulai bekerja. Sampai-sampai orang lain Delotta melihatnya sebagai Daniel. "Otta kamu ke sini sama siapa?" Suara itu kembali menyentak Delotta. Dia berusaha berdiri dengan benar, juga berusaha mengembalikan fokusnya. "Kenapa aku lihat Om Daniel?" gumam Delotta sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. "Hei, Otta cukup. Papamu tau kamu di sini?" Sontak Delotta mendongak dan terkejut. Jika sudah menyebut sang papa itu artinya pria itu benar-benar Daniel. "Dia sama saya, Pak." Tony baru bersuara setelah agak bingung dengan situasi itu. "Kamu yang bikin dia mabuk juga?" tanya Daniel lagi dengan nada tak suka yang teramat kental. Tony buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya. "Bukan, Pak. Otta sendiri yang mau minum." "Lalu bagaimana kalian b
Delotta bergerak pelan. Matanya masih terpejam dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, tapi sakit pada kepala terasa menyiksa. Kantuk yang masih bergelayut, kepala yang terasa mau pecah, membuatnya malas untuk segera bangun. Weekend membuatnya makin meninggikan selimut, tapi suara pintu terbuka membuat pikirannya bekerja seketika. Menyusul kemudian suara asing yang tiba-tiba terdengar. "Selamat pagi, Nona. Anda sudah bangun? Ini saya bawakan air minum dan obat pereda sakit kepala. Saya juga membawa pakaian ganti untuk Anda." Suara perempuan. Mata Delotta masih terpejam erat, tapi pikirannya terus berjalan dan berusaha mengingat kejadian apa yang telah menimpanya sebelum dia terlelap. Baiklah dia ingat bagian pergi ke kelab bersama Tya. Lalu berkenalan dengan dua laki-laki yang mengaku bernama Tony dan Marsal. Apa sekarang dirinya nyasar di rumah salah satu dari mereka? "Segeralah membersihkan diri. Tuan Daniel sudah menunggu Anda untuk sarapan." Orang itu kembali bersuara, ta
"Kamu mau cari wanita yang seperti apa lagi? Ingat umur. Memang kamu mau punya anak saat usiamu sudah jompo? Anakmu kelak bakal manggil kamu kakek alih-alih ayah." Daniel tertawa mendengar komentar pedas Ricko. Teman satu almamaternya di Canberra itu memang kadang suka ceplas-ceplos. Daniel sudah tahu sejak mereka pernah tinggal satu flat."Meskipun umurku sudah tua nanti, wajahku masih akan sama seperti sekarang. Memangnya aku kamu, umur muda wajah kelewat tua." Daniel tergelak lagi membalas olok-olokan Ricko. "Sialan, gadis mana juga yang mau sama kakek-kakek," gerutu Ricko tampak bosan melihat tingkah temannya itu. "Banyak. Kamu hanya belum tau saja." Ricko mengibaskan tangan. Benar-benar merasa bosan. Beberapa saat lalu Daniel bercerita bahwa dirinya kabur dari Singapore lantaran merasa dijebak. Saat menghadiri acara tunangan sepupu Rachel—teman kencannya—di sana dia ditanyai tentang keseriusan kepada Rachel oleh keluarga wanita itu. Hal itu menyebabkan dirinya dan Rachel terl
"Bego lo! Untung gue juga teler!" omel Tya di ujung telepon. Delotta hanya terkikik sambil berguling di atas kasur. Dia yakin kalau sedang dekat dengan perempuan itu bakal habis kena toyor. "Gue juga nggak sadar bege! Lo nggak tau aja apa yang gue lakuin pas lagi teler." "Apa lo? Ena-ena sama Daniel?" tebak Tya asal ceplos. "Mulut lo! Nggaklah, bisa digantung papa gue. Pas liat gue pulang bareng Daniel aja matanya melotot kayak mau keluar." Tya di sana tertawa menyebalkan. Dia juga mabuk malam itu sehingga tidak sadar kalau Delotta sudah kabur lebih dulu. "Jadi lo ngapain sama om-om itu?" "Lo bayangin deh, Ty. Masa gue buka crop top di depan dia? Terus loncat-loncat kayak orang gila di atas tempat tidur. Parahnya, gue jatuh terus nimpa dia. Dan lo tau dada gue yang rata ini nggak sengaja kepegang sama dia!" cerita Delotta menjerit tertahan. Dia tidak ingin papanya mendengar percakapan absurd-nya bersama Tya. Tawa Tya di sana kembali pecah. Delotta yakin temannya itu ngakak sam
"Mau pulang bareng?" Delotta tersentak ketika mendapati suara itu tepat di dekatnya. Dia menoleh dan menemukan pria jangkung bermata biru berdiri di sebelahnya. "Om Daniel ngagetin deh." "Kamu melamun?" "Ya enggak juga. Kaget aja." Daniel yang baru keluar dari lobi melihat gadis itu berdiri sendiri. Dia bergegas menghampiri untuk menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng nggak? Jemputan kamu belum datang?" Delotta menggeleng, lantas melirik jam tangan yang dia pakai. "Biasanya Pak Pur udah ada sebelum aku keluar. Ini tumben banget belum nongol.""Mungkin dia lagi ada urusan mendadak." "Bisa jadi, sih." "Ya udah kamu ikut aku aja." "Emangnya nggak apa-apa?" Jujur hati Delotta meletup-letup mendapat tawaran itu. Artinya dia akan satu mobil lagi bersama pria tampan itu."Ya nggak apa-apa dong, Otta. Seandainya mau pulang bareng tiap hari pun aku nggak masalah selama jam pulang kita sama."Delotta terkekeh. Lantaran itu memang jarang. Daniel selalu pulang melebihi jam kantor. Ke
Sekitar pukul sepuluh malam Daniel mengantar Delotta pulang. Dia hanya menurunkan gadis itu di depan pagar rumah tanpa berniat mampir. Bisa-bisa Ricko menggorok lehernya nanti. Hari ini luar biasa, tapi lumayan seru. Bersama Delotta pria itu merasa menjadi muda lagi. Di satu titik gadis itu bisa berubah jadi sangat menggemaskan. Sama saat usianya baru 5 tahun. Tapi di titik lain gadis itu berubah menjadi merak yang cantik. Terkhusus pemikirannya yang tidak Daniel duga. Daniel terkekeh mengingat momen beberapa jam yang dia lalui bersama Delotta. Cukup menghibur di saat sedang jenuh lantaran tidak ada teman kencan lagi. Ketika sampai di rumah mewahnya dia baru ingat tentang pakaian Delotta yang masih dia simpan rapi di atas meja. Dia membuka lemari dan mengambil sebuah paper bag. Diambilnya dua potong pakaian itu dan seketika kepalanya mengingat kejadian saat dirinya tanpa sengaja memegang dada Delotta. Tanpa sadar jakun Daniel naik turun mengingat hal itu. Rasa empuk dan kenya