Musiknya membuat ngantuk. Beberapa kali mengundang kuap yang terpaksa Delotta tahan. Sudah lebih dari satu jam, tapi rasanya sang papa belum juga bosan bercengkrama dengan koleganya.
Delotta sudah berkeliling corner yang menyediakan aneka makanan lezat. Mulai dari appetizer hingga dessert sudah dia coba. Mencicipinya sedikit lalu ditinggal begitu saja.
Seandainya pesta ini ditujukan untuk kaum muda, gadis dengan rambut cokelat bergelombang itu tidak akan sebosan ini.
Suara denting gelas yang beradu diiringi tawa aneh sudah sering Delotta dengar beberapa kali. Belum lagi sapaan hangat para tamu seolah-olah sudah lama tidak bertemu. Dan, musik klasik ini. Bisa tidak diganti musik rock saja?
Gadis yang memiliki mata bulat itu meniup helaian rambutnya yang mulai jatuh menutupi mata. Tatanan rambutnya mulai sedikit berantakan.
"Delotta, kamu di sini rupanya. Papa mencari kamu."
Delotta yang sedang meminum sirup nyaris tersedak saat tiba-tiba saja tangannya ditarik. Dia berjalan tersaruk-saruk mengikuti langkah papanya.
"Jangan jauh-jauh dari papa. Kamu mau dapat tempat magang nggak?" omel Ricko. Pria berbadan tinggi dengan sedikit jambang di area rahang dan dagu itu ayah Delotta. Yang memaksa gadis 22 tahun itu ikut ke pesta para bapak.
Serius, Delotta belum melihat satu pun pemuda yang seumuran dengannya atau paling tidak beberapa tahun di atasnya.
"Ini putri saya, Pak Rafly. Namanya Delotta." Ricko memperkenalkan putrinya pada salah seorang pria berjas abu-abu dan berkepala botak.
Delotta bisa menaksir usianya tidak jauh beda dengan Darco, kakeknya.
"Wah! Cantik, saya tidak menyangka Pak Ricko punya putri secantik Delotta," puji lelaki itu dengan mata... Jika tidak salah lihat, Delotta merasa lelaki tua itu bermain mata dengannya. Dasar tua bangka.
Delotta hanya tersenyum tipis merespons pujian itu. Kalau boleh, dia malah ingin menendang pria itu.
"Jadi, Delotta ini baru lulus kuliah dan sedang mencari tempat magang? Kenapa tidak di perusahaan ayahnya saja?" tanya si kepala botak.
"Kalau dia mau, sudah saya suruh kerja di sana, Pak. Tapi Delotta ini maunya di tempat kerja orang lain. Yang nggak ada papanya." Ricko berbicara sambil menunjukkan raut kecewa yang dibuat-buat. "Kalau ada posisi yang cocok buat Delotta di perusahaan Pak Rafly bolehlah putri saya magang di sana."
"Oh, tentu, Pak Ricko. Selalu ada tempat buat wanita cantik di perusahaan saya. Anda tenang saja. Mungkin Delotta bisa kirim CV lewat email." Pria bernama Rafly itu menyeringai kepada Delotta. Pandangannya sempat melirik gaun Delotta yang membungkus tubuhnya begitu pas dan elok.
Gaun berwarna abu-abu dengan glitter silver itu sedikit menonjolkan lekuk tubuh gadis itu. Meskipun baru 22 tahun, Delotta memiliki tubuh yang seksi dan berisi. Sangat serasi dengan wajahnya yang cantik.
Dipandang seperti itu Delotta tampak risih, dan segera berbisik ke dekat telinga Ricko.
"Pa, aku mau ke toilet. Dan jangan lupa bilang sama si Botak, kalau aku nggak tertarik bergabung di perusahaannya." Setelah mengatakan itu Delotta langsung melenggang pergi. Dia sempat melihat wajah merah papanya, tapi tidak memberi kesempatan kepada lelaki 47 tahun itu untuk mengomel.
Entah seberapa jauh Delotta berjalan menjauhi tempat pesta, tapi toilet yang dia cari tak kunjung ketemu. Bahkan gadis yang mewarisi kecantikan ibunya itu harus melepas heels yang menyiksa tumit kakinya.
"Rumah papa juga gede, tapi nggak segede ini juga. Masa nyari toilet aja nggak nemu-nemu. Kalau ketemu pemilik rumah bakal aku saranin buat bikin papan petunjuk arah," omel Delotta sambil berjalan mengangkat rok dan menjinjing heels.
"Hei, Nona. Anda mau ke mana?"
Sebuah sapaan membuat langkah Delotta terhenti seketika. Dia menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan seragam serba navy menghampirinya. Gadis itu bisa menebak pria itu hanya seorang security.
"Saya mau ke toilet. Di mana sih, Pak, toiletnya? Rumah ini dinding semua."
Ya, sepanjang mata memandang hanya dinding saja yang Delotta lihat. Jangankan jendela, pintu pun tak ada.
"Kalau mau ke toilet jangan lewat sini, Nona. Anda salah jalan. Seharusnya tadi Anda belok kanan."
"Jadi, saya harus ke mana?"
"Baiklah. Nona bisa ambil jalan di depan sana. Terus belok kiri dan lurus ke depan, ada toilet di situ."
"Oke, oke."
Setelah mengucapkan terima kasih, Delotta bergegas mengayunkan kaki menapaki lantai yang keseluruhannya terbuat dari marmer.
Namun, gadis berhidung runcing itu kebingungan lagi. Dia sangat yakin sudah berjalan sesuai petunjuk security itu, tapi lagi-lagi yang dia temukan hanya dinding putih tanpa pintu.
"Sebenarnya model apa sih rumah ini?"
Delotta nyaris putus asa saat tangannya tanpa sengaja menyentuh dinding dan menyebabkan dinding itu bergerak terbuka. Dia terkejut bukan main melihat dinding itu saling menjauh dan menampilkan sebuah ruangan lain yang tersembunyi.
Karena penasaran, Delotta masuk ke ruangan itu. Dan hal pertama yang dia lihat adalah tempat tidur super mewah dengan duvert cover serba dark blue.
"Ini kamar?" tanyanya pada diri sendiri. Kaki telanjangnya menyentuh karpet empuk yang mengalasi lantai. Tepat saat itu dia kembali terkesiap ketika dinding di belakangnya menutup kembali. Dan ajaibnya, Delotta melihat sebuah pintu di sana. Harusnya Delotta lekas keluar dari kamar mewah itu. Namun, dia malah menyisir, berkeliling mencari toilet.
"Nggak mungkin kamar semewah ini nggak ada kamar mandinya," gumamnya sambil menahan hasrat ingin pipis.
Bibirnya melengkung lebar saat akhirnya menemukan sebuah pintu yang diduga sebagai akses masuk ke kamar mandi. Delotta menekan tangkai pintu yang ada di sana, dan benar, sebuah kamar mandi mewah pun tampak.
"Gila. Kamar mandi papa sudah cukup keren menurutku, tapi ternyata ada yang lebih keren lagi."
Selain marmer, dinding kamar mandi juga dihiasi batuan alam yang Delotta yakin didatangkan langsung dari sungai di pegunungan. Terlihat begitu alami. Yang lebih membuat dia takjub ada sudut yang didesain seperti sumber mata air di daerah tropis. Delotta berdecak kagum hingga lupa tujuannya ke kamar mandi.
Dia baru sadar ketika ponselnya berdering dan menampilkan nama sang papa. Buru-buru gadis itu menyelesaikan tujuannya lalu bergegas keluar lagi.
Namun, ketika hendak keluar dia berbalik dan tersenyum sendiri. "Aku fotoin dulu, ah."
Meskipun dia anak orang kaya, tapi tetap saja bisa norak. Setelah mengambil beberapa foto, Delotta bergerak keluar. Dan ketika berhasil keluar ....
"Aaaargh!"
Delotta menjerit kencang dan segera menutup matanya dengan telapak tangan ketika tanpa sengaja melihat sesosok pria yang hanya mengenakan celana boxer.
Pria itu pun tampak terkejut dan segera menyambar handuk, lalu melilitkannya dengan asal ke pinggang.
"Kamu siapa?! Kenapa telanjang di sini?!" seru Delotta masih menutup mukanya dengan tangan.
"Harusnya saya yang tanya, kenapa kamu ada di kamar saya?" tanya pria itu dengan tampang waspada.
"Ka-kamar kamu?"
"Iya, ini kamar saya. Gimana bisa kamu masuk?"
"Maaf, tadi sa-saya numpang ke toilet." Delotta mengintip dari balik jarinya, dan ketika melihat pria itu sudah mengenakan handuk, pelan dia menurunkan tangan. Delotta cukup terperangah dengan paras pria itu, apalagi body-nya.
"Jadi, gimana cara kamu masuk ke sini? Kamu tau, ini adalah privat room," tanya pria itu dengan pandangan menyipit. Matanya berwarna biru, hingga rasanya Delotta ingin menyelam di sana.
Delotta tergagap. Mendadak dia terserang gugup. Pria itu luar biasa tampan. Mungkin usinya sekitar 30-an, yang jelas dia terlihat matang. Bahunya yang lebar serta dada bidangnya membuat Delotta menelan ludah.
"Sa-saya nyasar, Pak," sahut Delotta sambil meringis kaku.
Tawa lebar gadis berambut pendek di depannya membuat Delotta cemberut. Seolah-olah apa yang Delotta ceritakan adalah sebuah lawakan. "Untung lo nggak diseret keluar kayak kambing," ujar Tya, di sela tawanya. Tya Anggesta, gadis berambut pendek dengan tone kulit kecoklatan itu teman akrab Delotta sekaligus teman satu kuliahnya. Mereka lulus bersama, tapi Tya lebih beruntung karena sudah mendapat pekerjaan. "Malu tau. Tapi suer, dia ganteng banget.""Tapi tua.""Ish! Matang, bukan tua. Lo nggak liat aja sih.""Jadi, setelah liat dia selera cowok lo berubah?" Tya bersedekap tangan dan mengangkat kedua alisnya. "Ya, enggak juga, sih." Ada nada ragu dari ucapan gadis 22 tahun itu. Pria tampan itu memang sudah tua, ah bukan. Matang. Ngomong-ngomong soal tua papanya jauh lebih tua. Delotta belum sempat tahu namanya, karena begitu berhasil keluar dari kamar super mewah itu, dia langsung izin ke papanya untuk pulang bersama Pak Budi, supir di keluarganya. Ranjang berderit ketika Delotta m
Beku. Selama beberapa saat Delotta membeku di tempat. Antara terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Namun, kontras dengan Delotta yang tercengang, pria itu malah tersenyum. "Delotta Armisen. Welcome to Jagland Blue Corp, semoga kamu betah bekerja di sini. Silakan duduk," sambut Daniel penuh dengan kehangatan.Untuk ukuran petinggi perusahaan, Delotta akui pria itu terlalu ramah. Padahal posisi Delotta saat ini sebagai karyawan biasa. Gadis muda itu menelan saliva, meskipun terlihat ramah dia tetap terintimidasi oleh tatapan mata biru bak telaga itu. "Te-terima kasih, Pak." Deg-degannya beberapa saat lalu beralasan sekarang. Bahkan saat ini jantungnya makin berdegup kencang. "Sebelumnya saya minta maaf untuk kejadian waktu itu. Saya benar-benar minta maaf." Gara-gara itu kepanikan Delotta serta merta melanda. Siapa yang menyangka jika orang itu ternyata bosnya?"Oh, no problem. Itu udah berlalu kan? Saya harap kamu bisa bekerja di sini dengan nyaman. Kalau ada sesuat
Tidak ada yang lebih tepat lagi selain Ricko, papanya untuk Delotta tanyai mengenai Daniel Jagland. Jadi ketika mendengar sang papa sudah pulang ke rumah, gadis 22 tahun itu langsung menghambur ke ruang kerja Ricko di lantai bawah. Saat suara besar sang papa menyahuti ketukan pintu, Delotta menyelinap masuk ke ruang tersebut. Dia tersenyum manis melihat Ricko duduk di kursi sambil membolak-balik sebuah berkas. Tanpa menoleh pria 47 tahun itu bersuara. "Ada apa, Sayang? Tumben kamu langsung menemui papa ke sini." Delotta mendekat dengan dua tangan yang saling bertaut di belakang punggung. Tangan itu terlepas saat dia sampai di dekat meja Ricko. "Papa, udah tiga hari aku kerja di Jagland Blue Corp. Papa tau kan?" tanya Delotta. Saat dirinya mulai bekerja Ricko memang tidak ada di rumah. Pria itu sedang melakukan perjalanan bisnis ke Sidney. "Tau. Daniel memperlakukanmu dengan baik kan?" Delotta mengangguk, meskipun Ricko tidak memperhatikan. "Apa benar saat aku masih kecil
"Kamu ingat boneka Barbie yang kakinya patah terus kamu nangis kencang?" Mata Delotta mengerjap mendengar pertanyaan papanya. Dia sangat ingat dengan kejadian itu. Gadis itu melirik pria di sampingnya yang tersenyum simpul, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Saat ini dirinya dan Daniel serta Ricko tengah makan siang di restoran yang dekat dengan gedung kantor Ricko. "Tentu aku ingat papa. Bahkan aku minta sama papa buat mengoperasi Anna." Anna adalah nama barbie kesayangan Delotta. "Siapa yang memberimu boneka itu?" tanya Ricko sambil mencacah olahan daging pada piringnya. "Papa, kan?" Ada nada keraguan dari ucapannya sendiri. Apalagi saat sang papa malah melirik Daniel. "Bukan papa. Coba kamu ingat lagi." Kening Delotta berkerut, berusaha mengingat. Kalau bukan Ricko mungkin pamannya atau ... sontak matanya membola ketika teringat seseorang yang memberi boneka cantik itu. Dia tidak percaya, tapi—buru-buru Delotta menoleh dan menatap Daniel yang tampak sibuk mengunyah maka
"Yakin dia seusia bokap lo?"Setelah melihat dan bertemu Daniel Jagland, Tya meragukan ucapan Delotta. Beberapa menit lalu Tya memaksa untuk dikenalkan dengan Daniel saat tersadar dari rasa terkesimanya.Tya menarik tangan Delotta mendekati Daniel yang tampak sendirian di depan Bulgari Store. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mendorong bahu Delotta sampai Daniel sadar dengan kehadiran mereka. "Otta? Kamu di sini?" tanya Daniel dengan tatapan takjub juga terkejut. Delotta meringis, ingin rasanya dia menjitak kepala Tya yang membuatnya malu dan norak seperti ini. "I-iya, Om. Jalan-jalan sama teman." Sebuah cubitan kecil di pinggangnya membuatnya kaget. Delotta melirik sebal Tya di sebelahnya yang memberinya kode lewat mata. Nyebelin banget. "Om, kenalin ini teman Otta. Namanya Tya." Delotta baru saja mengenalkan sahabatnya itu, tapi dengan tidak sabar Tya merangsek maju seraya nengulurkan tangan. "Halo, Om. Kenalin, aku teman Otta. Seneng deh bisa ketemu Om di sini," ujar Tya de
"Mengundang Daniel makan malam?"Dahi Ricko berkerut dalam ketika Delotta mengusulkan ide itu. "Dalam rangka apa?" "Dalam rangka dia sudah memberikan putrimu ini pekerjaan dan juga atas kebaikannya saat mengajariku bekerja." Mungkin terdengar mengada-ngada, tapi keinginan mengundang makan malam Daniel begitu kuat. Siapa tahu setelah ini Daniel akan mengajaknya makan malam berdua. Pikiran Delotta sudah melayang ke mana-mana. "Papa rasa itu nggak perlu." Ricko tidak terlalu menghiraukan dan kembali fokus ke kegiatannya membaca koran pagi. Menyebabkan bibir Delotta maju seketika. "Ih, papa mah pelit." "Kok gitu?""Bilang aja papa nggak mau kasih makan orang lain." Ricko menarik napas lalu menatap anaknya yang merajuk. "Orang lainnya itu siapa? Daniel loh ini, Otta. Ngapain kita repot-repot ngasih makan dia? Di rumahnya, dia sudah berkelimpahan makanan." Muka Delotta makin masam mendengar itu. "Aku tau, Pa. Tapi makan malam ini tujuannya buat berterima kasih sama dia." "Kamu lupa
Dua asisten rumah tangga melongo melihat Delotta masuk ke dapur. Majikan kecil itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada satu jinjing plastik yang berisi bahan-bahan untuk membuat mpek-mpek di tangannya."Non Otta mau masak?" tanya Sari asisten rumah tangga yang berusia sekitar 40-an ketika Delotta meletakkan kantong plastik ke meja dapur."Yes, aku mau bikin mpek-mpek," sahut Delotta tersenyum lebar. Lalu membongkar isi belanjanya. Gadis itu tidak tahu jika dua asistennya saling pandang dan bingung. Mereka sangat tahu nona mudanya tidak pernah menyambangi dapur. Jangankan pegang kompor, pegang wajan saja tidak pernah. "Ini nyalainnya gimana, Bi?" Delotta melihat ada empat tombol di kompor tanam empat tungku. Sari mengerjap dan langsung membantu gadis itu menyalakan kompor. "Biar bibi aja yang masakin sama Ina, Non." Delotta buru-buru mengacungkan tangan. "Nggak boleh. Aku mau belajar bikin sendiri." "Nggak bahaya ta?" timpal Ina yang usianya lebih muda dari Sari. "Ish, Ina kam
Hingar bingar musik langsung tertangkap telinga Delotta ketika dia dan Tya memasuki salah satu kelab malam ibukota yang terletak di lantai lima sebuah mal. Kelab yang baru dibuka beberapa minggu lalu ini lumayan luas dengan interior dan lighting yang menawan. Sebuah bar besar melingkar di tengah-tengah kelab. Ditembak dengan lampu berwarna dari berbagai arah membuat gelas dan botol minuman yang berjejer di rak-rak seolah memantulkan cahaya itu lagi ke segala penjuru. "Tempatnya lumayan juga. Musik DJ-nya juga enak," komentar Delotta. Kepalanya tanpa sadar sudah mengikuti irama musik saja. Dia berhasil mengantongi izin dari Ricko dengan sedikit membual. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kalinya bagi Delotta. Jika dulu ada alasan mengerjakan tugas kelompok. Sekarang dia harus memberi alasan lain. "Kampret, sejak kapan gue nangis kalau putus cinta?" umpat Tya ketika Delotta memberitahu alasan yang dia ajukan ke papanya. "Ahelah. Kalau nggak gitu gue nggak bakal dapat izin."