Share

3. Negosiasi

Author: 5Lluna
last update Last Updated: 2025-01-11 21:16:33

"Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam.

"Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat.

Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas.

"Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu."

"Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Aku dokter." Anna refleks mengangguk.

Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil.

"Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhere."

"Yes." Anna mengangguk pelan. "Ini parfumku yang sudah aku pakai sejak pagi. Mungkin kau mencium wanginya saat menjatuhiku di depan toilet perempuan, yang entah bagaimana hampir kau masuki."

Kening Alaric berkerut. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi. Walau masih mengingat dengan samar-samar, tapi Alaric mengingat bau parfum yang dia cium di depan toilet.

"Kenapa perempuan ini ada di sini?" Pada akhirnya, Alaric bergeser dan duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Pak Ketua membawa dia ke sini." Pengawal perempuan memberitahu. "Akan gawat jika perempuan ini menyebarluaskan tentang keadaan Tuan yang sedang sakit."

"Tentu saja." Alaric mengangguk pelan. "Sainganku akan datang berkerumun seperti semut. Berusaha untuk menjatuhkanku."

"Excuse me, Sir." Anna yang sudah berdiri di sebelah ranjang kamar hotel, langsung mengangkat tangan. "Tapi untuk apa aku menyebarkan berita tentang lelaki yang tidak aku kenali?"

Sebelah alis Alaric terangkat ketika mendengar pernyataan perempuan mungil di depannya. Dia menatap pengawal perempuan dan rupanya pengawal itu juga memberikan ekspresi bingung yang sama.

"Kau tidak tahu siapa aku?" Alaric kembali bertanya dengan tatapan yang tajam.

"Apakah aku harus mengenalmu?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Apakah kau selebriti dari luar negeri?"

"Kau sungguh tidak tahu aku?" Kening Alaric makin berkerut.

"Jika aku tahu, aku tidak mungkin bertanya Tuan Selebriti. Aku tidak mengerti kenapa kalian semua susah sekali memercayai orang lain." Anna tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertemu.

Alaric menatap perempuan asing di sebelah ranjangnya dengan tatapan bingung, tapi itu hanya bertahan sebentar saja. Dia tidak punya banyak waktu, jadi harus segera memutuskan apa yang harus dilakukan pada perempuan itu.

"Kau akan ikut denganku, sampai aku tahu apa maumu yang sebenarnya."

***

"Tidakkah ini keterlaluan?" Anna mengembuskan napas keras untuk yang kesekian kalinya. "Aku sudah menolongmu, tapi kau malah menculikku dan membawaku entah ke mana."

Alaric melirik pada perempuan yang kini duduk di depannya. Dia dengan terpaksa harus mengalihkan pandangan dari tablet yang dipegang sejak tadi, ke arah perempuan yang mengaku bernama Anna dan berprofesi sebagai seorang dokter.

"Kau bukan dokter," ucap Alaric dengan kedua tangan yang mengatup di depan dada, seolah sedang berdoa.

"Aku ini dokter." Berkali-kali diragukan, Anna pada akhirnya marah. "Mungkin aku terlihat seperti anak kecil di matamu, tapi aku ini dokter yang membawamu ke rumah sakit karena menemukan kau terkena usus buntu."

"Lalu asal kau tahu, pasien tidak boleh sembarangan keluar dari rumah sakit tanpa menandatangani surat persetujuan. Apalagi kau baru saja operasi dan sekarang malah duduk tenang di atas pesawat jet pribadi."

Setelah keluar dari hotel tempat Alaric menginap, mereka memang langsung ke bandara. Tentu saja Anna tidak setuju karena kondisi lelaki itu tidak memungkinkan, tapi sang dokter malah diancam jika tidak mau ikut. Mereka bahkan tidak menanyakan tentang paspor.

"Anna Gavesha." Alaric kembali meraih tabletnya. "Dua puluh lima tahun dan sedang menempuh pendidikan dokter spesialis," lanjutnya sambil membaca.

"Sedang menempuh pendidikan dokter spesialis." Alaric mengulang. "Itu artinya kau belum benar-benar menjadi seorang dokter, apalagi aku lihat kau belum pernah praktik sendiri."

"Bagaimana kau tahu semua itu?" Tentu saja Anna akan bertanya dengan mata membulat karena terkejut. "Kau menyelidikiku seperti yang ada di film-film?"

"Aku menyelidikimu seperti yang ada di film." Alaric tanpa ragu mengangguk, tapi dengan tatapan waspada yang tidak berubah. "Kau terlihat bersih, tapi aku tetap harus membawamu."

"Kenapa?" hardik Anna masih tidak bisa mengerti. "Kenapa aku harus dibawa, diancam dan harus mengikuti orang sepertimu?"

"Tentu saja karena aku harus memastikan kau tutup mulut. Lagi pula, kau itu dokter yang mungkin bisa membantuku. Walau sebenarnya kau belum lulus juga."

"Tadi pengawalmu membawa dokter datang." Tentu saja Anna akan membela diri. "Kenapa tidak dia saja yang menjadi dokter pribadimu?"

"Dia memang dokter pribadiku, tapi harus pulang lebih cepat karena satu dan lain hal."

Anna menggeram kesal karena dia sama sekali tidak berdaya dan tidak bisa melawan. Bahkan sampai sekarang pun Anna masih tidak tahu identitas lelaki di depannya, tapi identitasnya malah sudah ketahuan.

"Kau itu sebenarnya siapa?" tanya Anna dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Kau mencari informasi tentangku, tapi aku malah tidak tahu apa-apa tentangku."

"Kau tidak tahu tentang tuanku?" Pengawal lelaki yang tadi menodong senjata, bertanya dengan kening berkerut. "Tidakkah kau tentang dunia luar? Negara kami ...."

Pengawal lelaki itu menghentikan omongannya, ketika sang tuan menaikkan sebelah tangan. Itu tentu saja adalah tanda untuk berhenti bicara.

"Panggil saja aku Al."

"Aku tidak butuh nama panggilan, karena itu bisa saja dibuat-buat."

"Alaric dan hanya itu yang perlu kau tahu. Aku tidak ingin kau mencari tahu tentangku di internet."

Anna kembali menggeram kesal. Dia tidak mengerti, bagaimana lelaki di depannya itu bisa tahu apa yang dia rencanakan.

"Tapi mari kita lupakan sejenak tentang identitas." Alaric kembali bersuara. "Walau kau mencurigakan, tapi aku tetap perlu berterima kasih karena sudah menolongku."

Kini Anna mengerutkan kening. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu, dari lelaki menyeramkan di depannya. Tapi, kini Anna jadi punya ide yang bisa dibilang lumayan bagus.

"Kau ingin berterima kasih dengan cara apa?" tanya Anna pura-pura bodoh.

"Orang sepertimu biasanya hanya memikirkan uang, jadi sebutkan saja nominal yang kau inginkan."

Untuk sekian kali, Anna menggeram kesal. Perempuan itu merasa lelaki di depannya itu adalah cenayang yang bisa melihat isi kepalanya. Hal yang membuat Anna selalu merasa kalah, tapi sekarang bukan itu yang penting.

"Sejujurnya, aku tidak tahu berapa yang harus aku minta." Anna menjelaskan. "Yang jelas, aku butuh uang untuk melunasi utang ayahku."

"Tidak kusangka negosiasi ini berjalan dengan cukup lancar." Alaric tersenyum miring. "Kalau menyangkut utang, seharusnya itu besar bukan?"

Anna hanya bisa mengangguk. Dia sebenarnya tidak tahu berapa jumlah yang tepat, tapi kini rumahnya sudah disita dan harga rumah itu tidak sedikit. Belum ditambah dengan barang-barang yang lain.

"Kalau begitu, ayo membuat kesepakatan." Alaric kini berubah serius. "Aku akan membayar utangmu dan kau cukup berikan saja tubuh dan jiwamu padaku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesona Sang Penguasa   4. Jangka Waktu

    "Dasar bajingan mesum," umpat Anna dengan tangan menyilang di depan dada. "Siapa yang kau bilang bajingan mesum?" Pengawal lelaki sudah melangkah maju, tapi kembali ditahan oleh Alaric."Aku mengerti jika kau berpikiran negatif." Alaric mengangguk pelan. "Kata-kata yang kugunakan mungkin salah, tapi yang aku maksud adalah pernikahan.""Pernikahan?" Tentu saja Anna akan bertanya."Ya." Alaric kembali mengangguk. "Lakukan pernikahan kontrak denganku dan aku akan membayarkan semua utang keluargamu. Itu tawaranku."Refleks, Anna memegang kepala dengan kedua tangan. Mendapat penawaran yang terdengar seperti dialog dalam film, membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi, dia ini baru dua puluh lima tahun dan tidak punya pengalaman dengan lelaki."Aku hanya bisa menyinggung perasaan para lelaki," gumam Anna masih tampak terkejut, bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan rapat. "Bagaimana bisa menikah? Yang ada aku akan disembelih.""Apa kau baru saja mengumpat?" tanya Alaric dengan k

    Last Updated : 2025-01-12
  • Pesona Sang Penguasa   5. Berdua Saja

    "Selamat malam, namaku ...." Belum juga Anna selesai berbicara, dia sudah merasakan panas di pipi kirinya. Bukan hanya itu, kepalanya bahkan tertoleh sembilan puluh derajat karena tamparan yang dia terima barusan. Tamparan pertama yang pernah Anna rasakan seumur hidupnya. "Mom." Alaric menaikkan intonasi suaranya, ketika melihat apa yang terjadi. Tentu saja dia melindungi Anna, dengan menarik perempuan itu sedikit menjauh dari pelaku. "Berani-beraninya kau membawa perempuan tidak jelas begini menjadi istrimu." Perempuan yang dipanggil Mom barusan berteriak. Tidak terlalu nyaring, tapi semua orang tahu perempuan itu sedang marah. "Siapa yang bilang kalau Anna tidak jelas?" Alaric bertanya dengan intonasi suara yang sudah jauh lebih tenang. "Dia ini dokter, ayahnya juga dokter. Walau tentu saja tidak berkarir di negara kita." "Mana aku tahu gelar dokternya itu palsu atau tidak." Sang ibu masih terlihat marah dan tidak terima. "Sekali pun dia dokter, kita tidak tahu benar bagai

    Last Updated : 2025-01-12
  • Pesona Sang Penguasa   6. Dipilih Alaric

    "Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?" "Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar? "Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah." "Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan. "Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?" Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berb

    Last Updated : 2025-01-13
  • Pesona Sang Penguasa   7. Tamu Pagi

    "Dasar mesum." "Kau mengatakan sesuatu?" Alaric bertanya pada perempuan yang duduk jauh di depannya. "Aku mengatakan kau mesum." Anna tidak keberatan untuk mengulang umpatannya. "Tidakkah kau merasa malu saat pergi membeli pakaian dalam perempuan?" "Untuk apa malu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Toh, aku akan menjadi istriku." Dengan gerakan refleks, Anna menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah bisa menebak apa yang mungkin dipikirkan oleh lelaki di depannya itu. "Kau akan meniduriku?" "Apa ada yang salah dengan itu? Aku lelaki yang normal dan sehat," balas Alaric dengan wajah datarnya, sampai Darcy terbatuk pelan. "Lagi pula, dari pada memikirkan hal itu, kau sebaiknya bersiap." Kini Alaric kembali menatap tabletnya. Tentu saja dia perlu bekerja, walau hari masih sangat pagi. "Bersiap untuk apa?" tanya Anna mulai menyuap sarapan paginya. "Tentu saja kau perlu lebih banyak baju dari apa yang ada di dalam lemarimu sekarang," jelas Alaric, tanpa memindahkan

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pesona Sang Penguasa   8. Mainan Baru

    "Ini serius?" tanya seorang perempuan dengan rambut bergelombang. "Anak itik buruk rupa yang baru lahir ini adalah calon istrinya Al? Tidak salah kan?" Sudut bibir Anna berkedut mendengar apa yang dikatakan perempuan di depannya. Inginnya sih dia memaki, tapi jelas itu akan merugikannya. Biar bagaimana, tinggi Anna bahkan tidak bisa dibandingkan dengan perempuan yang tadi berbicara padanya. "Bagaimana kalau kita duduk saja dulu?" tanya Anna yang sudah mulai lelah mendongak. "Oh, untunglah kau masih punya sopan santun." Perempuan tadi dengan segera beranjak ke arah sofa, bahkan tanpa segan menyenggol tubuh Anna." Anna menggeram pelan, karena nyaris saja kepalanya bertabrakan dengan pundak sang tamu. Entah bagaimana, perempuan itu nyaris sama tinggi dengan Alaric. Tentu saja setelah dihitung dengan sepatu tinggi yang sang tamu pakai. "Jadi katakan padaku. Bagaimana kau bisa bertemu dengan Al?" Sang tamu kembali bertanya. "Mungkin lebih baik, Nona memperkenalkan diri lebih d

    Last Updated : 2025-02-04
  • Pesona Sang Penguasa   9. Pertemuan Keluarga

    "Siapa yang kau bilang?" tanya Alaric dengan kedua alis yang terangkat. "Nona Astrid datang mengunjungi Nona Anna." Asisten Alaric kembali memberitahu. "Coba kau telponkan Astrid. Aku ingin berbicara dengan dia." Walau memberi perintah, tapi Alaric melakukannya sembari mengerjakan pekerjaan. Dia bahkan tidak bergeming, ketika mendengar panggilan sudah tersambung. Semua sang asisten yang bergerak, sementara Alaric memeriksa banyak hal pada laptop dan tablet miliknya. "Aku dengar kau pergi ke rumahku." Alaric langsung bersuara, ketika mendengar suara sapaan dari teleponnya yang sedang dalam mode pengeras suara. "Untuk apa?" "Tentu saja untuk berkenalan dengan mainan barumu," jawab Astrid sambil terkekeh pelan. "Dia sepertinya cukup menarik, jadi aku juga mau bermain dengannya." "Dia manusia, Ash. Bukan mainan." Tentu saja Alaric akan menegur. "Lagi pula, dia akan menjadi istriku." "Apa Mom sudah tahu?" Astrid membalas dengan pertanyaan. "Aku yakin dia tidak akan setuju de

    Last Updated : 2025-02-05
  • Pesona Sang Penguasa   10. Diabaikan

    "Kau terlambat." "Ya?" Anna melotot mendengar ucapan barusan, kemudian bergegas menatap jam yang dia pakai. "Tapi janjinya kan jam tujuh dan ini tepat jam tujuh," lanjutnya untuk membela diri. "Jam tujuh lewat lima puluh lima detik," jawab ibu Alaric dengan tatapan sinis dan bibir mencibir, setelah melihat jamnya sendiri. "Kau terlambat lima puluh lima detik. Hampir satu menit." Anna menaikkan kedua alis, bahkan dagunya pun nyaris saja jatuh. Masa satu menit juga dihitung terlambat? Padahal jarak antara pagar dan pintu utama saja lumayan jauh, belum lagi Anna masih harus turun dari mobil dan melintasi lobi rumah besar keluarga itu. "Maaf, lain kali aku akan lebih memperhatikan jadwal Nona Anna dengan lebih baik." Darcy yang mengatakan hal itu, agar tidak terjadi pertengkaran. "Asisten saja masih lebih tahu sopan santun dari pada kau." Ibu Alaric masih sempat mencibir, sebelum berbalik dan melangkah. "Wah." Anna nyaris saja memekik. "Yang benar saja." "Nona, sebaiknya kau

    Last Updated : 2025-02-06
  • Pesona Sang Penguasa   11. Boneka Kecil

    "Apa ada yang ingin kau katakan?" Astrid bertanya, karena Anna belum mengatakan apa pun. Padahal perempuan muda itu sudah berdiri selama beberapa menit. "Ya, aku ... sebenarnya sedikit keberatan ...." "Aku rasa kau terlalu lelah." Alaric lagi-lagi menyela, kali ini saat calon istrinya berbicara. "Kau sampai tergagap saat berbicara. Apakah keluargaku semenyeramkan itu?" "Sama sekali tidak." Anna dengan cepat menggeleng. "Aku hanya ingin mengatakan kalau ... aku menerima pernikahan dengan Alaric, tanpa ada maksud terselubung." "Tentu saja harus seperti itu." Alaric mengangguk seolah mengerti, walau wajahnya tidak menampakkan senyuman. "Lalu karena kita semua sudah lelah, sepertinya aku dan Anna akan pulang lebih dulu." "Ya?" Mendengar hal itu, Anna langsung melotot. Padahal Anna belum menyentuh makanannya sedikit pun, tapi Alaric sudah meminta pulang. Lelaki itu juga hanya makan sedikit sih, tapi Anna bahkan baru memotong steak dan tidak sempat memasukkan daging itu ke dalam

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Pesona Sang Penguasa   135. Teman Semua Orang (3)

    "Bagaimana dia bisa tahu kalau ada pembunuh di rumahku?" ucap Elizabeth dengan mata melotot. "Mom, st." Anna menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan terlalu keras, siapa tahu ada yang menguping di depan pintu. Atau mungkin ada yang memasang alat penyadap." "Oh, aku rasa aku harus memeriksa ruangan ini terlebih dulu." Caspian langsung bergerak, diikuti dengan Darcy. Semua orang yang sedang berada di dalam ruang baca itu menatap dua orang asisten sekaligus pengawal pribadi yang menggeledah ruangan dengan seksama. Mereka jelas saja akan merasa cemas, karena bisa saja mereka ketahuan. "Tidak ada penyadap atau kamera yang ditemukan." Untungnya Darcy menggeleng. "Ruangan ini juga dilapisi karpet, jadi seharusnya akan lebih kedap suara," lanjut Caspian menjelaskan. "Maaf harus menanyakan ini, tapi kalian berdua bisa dipercaya kan?" Tiba-tiba saja Astrid bertanya. "Mereka aman." Anna dengan tenangnya memberitahu. "Soalnya, Bastian mengatakan akan bertemu teman di rumah, p

  • Pesona Sang Penguasa   134. Teman Semua Orang (2)

    "Kami akan menantikan teman yang dimaksud bocah itu." Polisi yang menangani kasus ini, tersenyum menatap pasangan di depannya. "Aku pasti akan mencari bedebah itu sampai ketemu dan mungkin bisa memotong lidahnya?" Alaric malah mengatakan hal yang tidak-tidak, bahkan sampai melotot. "Al." Sebagai istri yang baik, tentu saja Anna akan menegur sang suami. "Kau punya istri yang baik." Si polisi berdecak pelan. "Setidaknya dia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam saja." "Terima kasih karena sudah memuji istriku, tapi dia tidak akan melirikmu hanya karena itu," balas Alaric dengan senyum lebar. "Asal kau tahu, aku melihatmu menatap istriku terus-terusan dan jika kasus ini selesai dengan baik, kau akan tahu akibatnya." Si polisi langsung terdiam dan tiba-tiba saja menjadi gugup. Siapa yang sangka kalau dia ketahuan seperti itu, bahkan diancam dan dipermalukan di depan umum. Bahkan ada polisi lain yang mendengar hal itu. "Kau tidak perlu seperti itu," gumam Anna terlihat

  • Pesona Sang Penguasa   133. Teman Semua Orang

    "Jadi Bastian, maukah kau berbicara sedikit?" tanya seorang perempuan berwajah lembut, dengan suara yang sama lembutnya. Sayang sekali, Bastian malah menggeleng dengan keras. Dia bahkan membuang muka dan lebih memilih untuk memeluk boneka kelinci yang baru-baru ini menjadi mainan kesayangannya. "Bonekanya sangat menggemaskan, dari mana kau mendapatkannya?" Tidak berhasil saat bertanya secara langsung, perempuan paruh baya tadi memilih untuk bertanya hal lain lebih dulu. "Bibi," jawab Bastian tanpa ragu. "Hadiah." "Aku dengar baru-baru ini kau ulang tahu. Apa ini hadiah ulang tahunmu?" Bastian kali ini mengangguk dengan sangat antusias, dia bahkan tersenyum. Tentu saja ini hal yang bagus untuk semua orang. "Bibi yang mana yang memberimu ini?" Perempuan paruh baya tadi ingin menyentuh bonekanya, tapi si bocah langsung memeluknya dengan lebih erat lagi. "Aku tidak akan mengambil bonekamu." Perempuan yang sejak tadi bertanya, hanya bisa tertawa. "Apakah tidak boleh aku tahu

  • Pesona Sang Penguasa   132. Bantuan Aneh

    "Kau sudah melihat berita terbaru?""Yeah, katanya pasangan Crawford akan membiayai bocah malang yang ibunya menjadi korban pembunuhan itu.""Tapi apa kau tahu, mereka mengatakan itu ide dari istrinya Alaric Crawford.""Aku rasa dia merasa bersalah karena ibu anak itu meninggal. Maksudku, belum tentu dia pelakunya, tapi dia katanya baru kehilangan bayi kan? Mungkin naluri ibunya tersentuh.""Rasanya aku tidak percaya kalau orang sebaik itu adalah tersangka. Aku rasa mereka hanya kebetulan saja tersangkut kasus ini."Telinga Anna rasanya gatal sekali mendengar apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal, tadinya Anna hanya ingin keluar sebentar untuk berbelanja di minimarket, tapi malah dia mendengar semua orang membicarakannya dan Alaric."Aku rasa taktikmu berhasil, Nyonya," bisik Darcy yang selalu mengikuti ke mana-mana."Ini bukan taktik, Darcy." Anna melotot mendengar asistennya itu. "Aku murni melakukan ini, karena aku merasa kasihan pada Bastian.""Tentu

  • Pesona Sang Penguasa   131. Melihat

    "Aku tidak salah dengar kan?" tanya ayah Marjorie dengan mata melotot. "Kau ingin membiayai Bastian?""Hanya pendidikannya saja," balas Anna dengan senyum tipis, sembari bermain dengan anak yang dimaksud. "Lagi pula, Alaric yang akan membayar semuanya. Bukan aku."Walau agak tidak sesuai jadwal, Anna dan Alaric pada akhirnya pergi mengunjungi Bastian. Hanya berselang dua hari sejak janji yang diucapkan sang calon perdana menteri, tapi mereka berhasil berkunjung di tengah kesibukan."Kau sedang tidak sedang mabuk kan?" tanya sang ayah dengan kening berkerut."Sama sekali tidak, tapi kalau ingin berterima kasih jangan padaku." Alaric menjelaskan, sebelum diminta. "Aku memang yang akan mengeluarkan uang, tapi ini ide Anna.""Lalu kau menerimanya begitu saja?""Aku menerima ide itu karena istriku yang meminta. Lalu, ini juga bisa membuat suaraku yang sempat turun, kembali naik.""Al." Anna tentu saja akan menegur sang suami yang terlalu jujur."Aku hanya mengatakan kenyataan, An

  • Pesona Sang Penguasa   130. Melakukan Sesuatu

    "Sudah mati pun dia masih bikin susah." "Mom, jangan ngomong gitu dong." Anna segera menegur mertuanya. "Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu." Anna yang duduk di sebelah sang mertua, segera memeluk lengan Elizabeth. Niatnya sih untuk menghentikan perempuan tua itu, terutama saat mereka sekeluarga sedang berkumpul di rumah Elizabeth. "Tapi itu kenyataannya." Sayangnya, Elizabeth enggan berhenti, bahkan sampai melotot saking marahnya. "Gara-gara dia, kita semua harus melakukan tes darah." "Sebenarnya, kita tidak perlu melakukan tes darah." Alaric mengembuskan napas lelah. "Tidak satu pun dari kita yang pernah kontak langsung dengan darah Marjorie, apalagi kotoran dan hal lainnya." "Siapa yang bisa menjamin?" tanya Elizabeth makin melotot saja. "Dia itu sangat pendendam, bisa saja dia dengan sengaja meneteskan darahnya ke dalam kopimu atau minuman Anna. Atau bisa saja dia menyuruh orang lain melakukan itu." "Mom, aku mohon." Tidak tahan mendengarnya

  • Pesona Sang Penguasa   129. Penyakit

    "Apakah Bastian tidak ikut?" Itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Anna, ketika disambut oleh ayah Marjorie. "Dia tentu saja datang dan sedang bersama ayahnya di sana." Anna menoleh dan menatap ke arah yang ditunjuk lelaki paruh baya di depannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat anak yang dia cari sedang menatap peti mati dengan bibir mencebik. Tentu saja dalam gendongan Landon. "Bolehkah aku pamit untuk bertemu Bastian dulu?" tanya Anna demi sopan santun. "Tentu saja, tapi aku sarankan kau tidak menemui Landon berdua saja." Ayah Marjorie malah memberi nasihat. "Kadang ada orang jahat yang akan menebar gosip, walau dalam keadaan berduka sekali pun." "Terima kasih banyak atas sarannya." Anna membalas dengan senyum tipis dan segera mengajak dua orang yang datang bersamanya untuk berpindah tempat. "Aku senang kalian masih mau dan menyempatkan diri untuk datang." Landon segera menyambut dengan senyuman. "Seharusnya itu kalimat yang ditujukan untukmu." Kali ini Astrid y

  • Pesona Sang Penguasa   128. Berkabung

    "Maaf, Tuan." Caspian terpaksa harus menggeleng. "Aku rasa, akan sulit bagi kita untuk bergerak atau memberi tekanan lebih pada kasus ini.""Sialan." Alaric tidak segan melempar pena yang dia gunakan. "Kenapa juga harus ada kasus di masa penting seperti sekarang ini. Mana Anna juga habis kena musibah.""Jujur saja, kalau bisa aku ingin sekali memaki mendiang Marjorie. Sayangnya bukan hal baik memaki orang yang sudah meninggal." Caspian ikut menunjukkan rasa kesalnya. "Kalau bukan dia yang terus mengejarmu, mungkin kita tidak akan tersangkut kasus.""Aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Anna?" tanya Alaric yang kini menyugar rambutnya dengan frustrasi dan asal. "Dia tidak terbiasa menghadapi tekanan."Caspian hanya bisa mengembuskan napas. Dia ingin protes kalau tekanan yang mereka dapatkan juga besar, tapi sepertinya sang atasan tidak akan mendengar. Sepertinya. Alaric kini hanya akan memedulikan istrinya saja.Untungnya saja, Alaric tidak berlama-lama merasa frustrasi. Itu

  • Pesona Sang Penguasa   127. Keluarga

    "Bagaimana?" Fritz bertanya dengan ponsel yang dipegang oleh seorang lelaki. "Baik, Tuan." Suara perempuan terdengar dari seberang sambungan telepon. "Hasilnya justru di luar dugaan. Alaric dan Anna malah ikut terseret kasus ini, bahkan menjadi terduga pelaku." "Ingat, aku masih butuh Anna." Fritz mengingatkan. "Tapi kau jangan lupa untuk membuat Alaric tersudut dalam kasus ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dia, tapi Anna harus utuh." "Tentu saja Tuan." Si perempuan penelepon menyanggupi. "Aku akan berusaha sebaik mungkin." "Jangan jadi Marjorie kedua, Fiona," ucap Fritz sebelum menutup teleponnya dan melirik ke arah lelaki yang tadi memegang benda pipih itu. "Apakah Tuan masih butuh sesuatu?" tanya lelaki itu setelah menelan liur dengan ekspresi gugup, bahkan matanya nyaris melotot. "Haruskah kau bertanya?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Kita sedang kekurangan perempuan untuk memuaskanku, jadi tentu saja kau yang harus melakukan semuanya." ***

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status