Anna mengangkat kedua tangan, dengan tatapan cemas tertuju ke depan. Dia bergantian menatap lelaki yang terbaring di atas ranjang dan pistol yang terarah padanya. Ya. Pistol.
"Maaf, Pak." Perawat yang berdiri di sebelah Anna mencoba untuk berdiskusi. "Kami di sini hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa malah ditodong dengan senjata?" "You'd better keep quiet or you'll regret it." Lelaki yang memegang pistol itu mendesis pelan. "Bawa Pak Alaric pergi dari sini," lanjutnya, memberi perintah pada dua orang lelaki yang lain. "Kau tidak bisa membawa dia pergi." Tentu saja Anna akan melarang dan dia mengatakan itu dalam bahasa Inggris. "Biar bagaimana, dia baru saja dioperasi." "Justru karena kau melakukan operasi tanpa izin, kami bisa menuntut. Siapa yang tahu kalau kalian malah mengambil organ atasan kami." "Hei, aku ini dokter." Dengan raut wajah kesal, Anna menghardik. "Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Apalagi ini adalah rumah sakit besar. Sekarang aku menyesal sudah menolong tuanmu." "Kau dokter?" Lelaki bersenjata itu bertanya dengan kening berkerut seolah tidak percaya. "Aku dokter." Anna mengangguk dengan percaya diri. "Walau masih belum praktik sendiri, karena langsung melanjutkan ke program spesialis dan sekarang kuliahku malah terbengkalai." Suara Anna menurun pada akhir kalimatnya, sehingga yang terdengar jelas hanya sampai melanjutkan ke program spesialis. Hal itu sudah cukup untuk membuat lelaki di depannya menatap dengan tatapan tidak percaya. "Kalau begitu, kau ikut dengan kami." Setelah berpikir cukup lama dan setelah lelaki yang dipanggil Alaric sudah berpindah ke ranjang pasien lipat, si lelaki bersenjata akhirnya memutuskan. "Kenapa aku harus ikut?" Tentu saja Anna akan keberatan. "Tentu saja karena kau sudah terlanjur mengetahui keadaan atasan kami. Mau tidak mau, kau harus ikut agar kami bisa menutup mulutmu dengan rapat." Kedua mata Anna membelalak mendengar hal itu. Berbagai bayangan negatif sudah muncul di kepalanya, tapi dia sama sekali tidak sempat bertindak. Dua orang lelaki berpakaian hitam lain, sudah memegangi kedua lengannya. *** "Tuan Alaric sepertinya mengalami usus buntu." Seorang pria paruh baya menjelaskan dalam bahasa Inggris. "Melakukan operasi dengan cepat, sudah merupakan tindakan yang benar." "Apa aku bilang." Anna langsung mendengus pelan, sebagai bentuk ejekan. "Dasar orang-orang tidak tahu terima kasih," lanjutnya tidak segan mencibir. "Kalau begitu, biar kami mengantar dokter kembali." Lelaki yang tadi menodong senjata, menuntun pria paruh baya yang dipanggil dokter itu keluar. "Sebaiknya kau menjaga Tuan Alaric dengan baik sampai aku kembali," lanjutnya menatap Anna dengan tajam, tidak peduli dengan ejekan yang sebelumnya. "Astaga! Kenapa ada orang yang tidak bisa percaya pada orang lain seperti itu." Anna langsung protes, ketika hanya tinggal dirinya, Alaric dan seorang perempuan yang juga berpakaian serba hitam. "Kakak juga kenapa terus berdiri diam di sana?" tanya Anna pada perempuan yang satunya. "Apa tidak lelah?" Sayangnya, Anna tidak mendapat respon sama sekali. Perempuan yang tampak seperti bodyguard itu, hanya menatap lurus ke depan. Hal yang membuat Anna harus menghela napas panjang. "Ini sangat membosankan," ucap Anna seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Kedua alis Anna terjungkit naik ketika dia mendapatkan pesan dari sang ayah dan nomor tidak dikenal. Tidak ingin melihat tulisan penuh dengan ceramah, Anna memilih untuk membuka pesan dari nomor tidak dikenal lebih dulu. Lebih tepatnya nomor yang tersimpan dengan nama '?'. "Sialan!" gumam Anna nyaris saja memutar bola matanya, membuat perempuan di sebelahnya melirik. "Aku lupa menyimpan nomor Si Tua Bangka Fritz dengan benar." [?: Sepertinya kau masih sangat terkejut dengan perjodohan ini, jadi aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Pergilah berwisata dengan teman-temanmu untuk menyegarkan pikiran. Aku akan mengirim uangnya.] Anna menghela napas ketika melihat notifikasi lain yang berasal dari bank. Rupanya Pak Fritz baru saja mengirimkan uang yang cukup banyak. Tapi, sekarang ini Anna tidak bisa memedulikan hal itu. Ada pasien yang merintih di depannya. "Tuan." Anna refleks bangkit dan mendekat, begitu pun pengawal perempuan tadi. "Apa Tuan sudah sadar? Perlu aku panggilkan tenaga medis atau mungkin pengawalmu yang lain?" Sayangnya, lelaki yang berbaring itu hanya terus mengerang. Hal yang membuat Anna mau tidak mau harus melakukan sesuatu. "What are you doing?" Pengawal perempuan mencegah dengan memegang pundak Anna. Lebih tepatnya mencengkeram. "Aku hanya akan mengecek tanda vitalnya," jawab Anna dalam bahasa Inggris. "Kau tidak perlu setakut itu, karena aku tidak akan mencelakai tuanmu. Aku ini dokter." Dengan ekspresi yang sangat ragu, pengawal perempuan itu melepaskan cengkeramannya. "Jangan melakukan hal aneh," ucapnya berdiri sedekat mungkin. "Dasar kumpulan orang insecure." Anna hanya bisa berdecak dan menggeleng pelan, sebelum mengulurkan tangan. Dia perlu mengecek pergelangan tangan pasiennya, untuk mengukur denyut nadi. Tapi baru juga Anna menyentuh sedikit, tiba-tibasaja mata Alaric terbuka lebar. Dengan gerakan cepat, dia balik mencengkeram pergelangan tangan Anna. Dengan sama cepatnya, Alaric juga membalikkan keadaan. Lelaki yang masih tampak pucat itu, bangkit dan mendorong (nyaris membanting) tubuh Anna ke atas ranjang. Saking cepatnya gerakan itu, Anna bahkan belum sempat berkedip. "Siapa kau dan apa maumu?" desis Alaric dengan kening berkerut juga berpeluh, dan tatapan tajam pada Anna yang tertindih di bawahnya."Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam."Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat.Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas."Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu.""Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat."Aku dokter." Anna refleks mengangguk.Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil."Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhere."
"Dasar bajingan mesum," umpat Anna dengan tangan menyilang di depan dada. "Siapa yang kau bilang bajingan mesum?" Pengawal lelaki sudah melangkah maju, tapi kembali ditahan oleh Alaric."Aku mengerti jika kau berpikiran negatif." Alaric mengangguk pelan. "Kata-kata yang kugunakan mungkin salah, tapi yang aku maksud adalah pernikahan.""Pernikahan?" Tentu saja Anna akan bertanya."Ya." Alaric kembali mengangguk. "Lakukan pernikahan kontrak denganku dan aku akan membayarkan semua utang keluargamu. Itu tawaranku."Refleks, Anna memegang kepala dengan kedua tangan. Mendapat penawaran yang terdengar seperti dialog dalam film, membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi, dia ini baru dua puluh lima tahun dan tidak punya pengalaman dengan lelaki."Aku hanya bisa menyinggung perasaan para lelaki," gumam Anna masih tampak terkejut, bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan rapat. "Bagaimana bisa menikah? Yang ada aku akan disembelih.""Apa kau baru saja mengumpat?" tanya Alaric dengan k
"Selamat malam, namaku ...."Belum juga Anna selesai berbicara, dia sudah merasakan panas di pipi kirinya. Bukan hanya itu, kepalanya bahkan tertoleh sembilan puluh derajat karena tamparan yang dia terima barusan. Tamparan pertama yang pernah Anna rasakan seumur hidupnya. "Mom." Alaric menaikkan intonasi suaranya, ketika melihat apa yang terjadi. Tentu saja dia melindungi Anna, dengan menarik perempuan itu sedikit menjauh dari pelaku."Berani-beraninya kau membawa perempuan tidak jelas begini menjadi istrimu." Perempuan yang dipanggil Mom barusan berteriak. Tidak terlalu nyaring, tapi semua orang tahu perempuan itu sedang marah."Siapa yang bilang kalau Anna tidak jelas?" Alaric bertanya dengan intonasi suara yang sudah jauh lebih tenang. "Dia ini dokter, ayahnya juga dokter. Walau tentu saja tidak berkarir di negara kita.""Mana aku tahu gelar dokternya itu palsu atau tidak." Sang ibu masih terlihat marah dan tidak terima. "Sekali pun dia dokter, kita tidak tahu benar bagaiman
"Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?""Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar?"Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah.""Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut."Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan."Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?"Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berbaik ha
"Dasar mesum." "Kau mengatakan sesuatu?" Alaric bertanya pada perempuan yang duduk jauh di depannya. "Aku mengatakan kau mesum." Anna tidak keberatan untuk mengulang umpatannya. "Tidakkah kau merasa malu saat pergi membeli pakaian dalam perempuan?" "Untuk apa malu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Toh, aku akan menjadi istriku." Dengan gerakan refleks, Anna menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah bisa menebak apa yang mungkin dipikirkan oleh lelaki di depannya itu. "Kau akan meniduriku?" "Apa ada yang salah dengan itu? Aku lelaki yang normal dan sehat," balas Alaric dengan wajah datarnya, sampai Darcy terbatuk pelan. "Lagi pula, dari pada memikirkan hal itu, kau sebaiknya bersiap." Kini Alaric kembali menatap tabletnya. Tentu saja dia perlu bekerja, walau hari masih sangat pagi. "Bersiap untuk apa?" tanya Anna mulai menyuap sarapan paginya. "Tentu saja kau perlu lebih banyak baju dari apa yang ada di dalam lemarimu sekarang," jelas Alaric, tanpa memindahkan
"Ini serius?" tanya seorang perempuan dengan rambut bergelombang. "Anak itik buruk rupa yang baru lahir ini adalah calon istrinya Al? Tidak salah kan?" Sudut bibir Anna berkedut mendengar apa yang dikatakan perempuan di depannya. Inginnya sih dia memaki, tapi jelas itu akan merugikannya. Biar bagaimana, tinggi Anna bahkan tidak bisa dibandingkan dengan perempuan yang tadi berbicara padanya. "Bagaimana kalau kita duduk saja dulu?" tanya Anna yang sudah mulai lelah mendongak. "Oh, untunglah kau masih punya sopan santun." Perempuan tadi dengan segera beranjak ke arah sofa, bahkan tanpa segan menyenggol tubuh Anna." Anna menggeram pelan, karena nyaris saja kepalanya bertabrakan dengan pundak sang tamu. Entah bagaimana, perempuan itu nyaris sama tinggi dengan Alaric. Tentu saja setelah dihitung dengan sepatu tinggi yang sang tamu pakai. "Jadi katakan padaku. Bagaimana kau bisa bertemu dengan Al?" Sang tamu kembali bertanya. "Mungkin lebih baik, Nona memperkenalkan diri lebih d
"Siapa yang kau bilang?" tanya Alaric dengan kedua alis yang terangkat. "Nona Astrid datang mengunjungi Nona Anna." Asisten Alaric kembali memberitahu. "Coba kau telponkan Astrid. Aku ingin berbicara dengan dia." Walau memberi perintah, tapi Alaric melakukannya sembari mengerjakan pekerjaan. Dia bahkan tidak bergeming, ketika mendengar panggilan sudah tersambung. Semua sang asisten yang bergerak, sementara Alaric memeriksa banyak hal pada laptop dan tablet miliknya. "Aku dengar kau pergi ke rumahku." Alaric langsung bersuara, ketika mendengar suara sapaan dari teleponnya yang sedang dalam mode pengeras suara. "Untuk apa?" "Tentu saja untuk berkenalan dengan mainan barumu," jawab Astrid sambil terkekeh pelan. "Dia sepertinya cukup menarik, jadi aku juga mau bermain dengannya." "Dia manusia, Ash. Bukan mainan." Tentu saja Alaric akan menegur. "Lagi pula, dia akan menjadi istriku." "Apa Mom sudah tahu?" Astrid membalas dengan pertanyaan. "Aku yakin dia tidak akan setuju de
"Kau terlambat." "Ya?" Anna melotot mendengar ucapan barusan, kemudian bergegas menatap jam yang dia pakai. "Tapi janjinya kan jam tujuh dan ini tepat jam tujuh," lanjutnya untuk membela diri. "Jam tujuh lewat lima puluh lima detik," jawab ibu Alaric dengan tatapan sinis dan bibir mencibir, setelah melihat jamnya sendiri. "Kau terlambat lima puluh lima detik. Hampir satu menit." Anna menaikkan kedua alis, bahkan dagunya pun nyaris saja jatuh. Masa satu menit juga dihitung terlambat? Padahal jarak antara pagar dan pintu utama saja lumayan jauh, belum lagi Anna masih harus turun dari mobil dan melintasi lobi rumah besar keluarga itu. "Maaf, lain kali aku akan lebih memperhatikan jadwal Nona Anna dengan lebih baik." Darcy yang mengatakan hal itu, agar tidak terjadi pertengkaran. "Asisten saja masih lebih tahu sopan santun dari pada kau." Ibu Alaric masih sempat mencibir, sebelum berbalik dan melangkah. "Wah." Anna nyaris saja memekik. "Yang benar saja." "Nona, sebaiknya kau
"Kau barusan bilang apa?" tanya Astrid dengan mata melotot. "Ada laporan kalau kartu member VIP atas nama Pak Alaric baru saja digunakan di butik yang baru dibuka itu." Seseorang melaporkan. "Yang datang seorang perempuan yang mengaku sebagai Pearl." "Maksudmu, butik tempat dua anak baru itu bekerja sekarang ini?" tanya Astrid masih dengan mata yang melotot. "Tepat sekali." "Sialan! Perempuan gila itu benar-benar cari masalah." Kini Astrid beranjak dari kursi kerjanya. "Sekarang, antar aku pergi ke butik yang dimaksud. Mereka belum boleh bertemu." *** Anna hanya tersenyum menatap perempuan tinggi yang berjalan mondar-mandir di depannya, dengan ponsel di tangan. Dia menanti dengan setia ketika Marjorie sedang berusaha untuk menelepon Alaric. "Sialan!" umpat Marjorie menekan ponselnya dengan kuat. "Apakah tidak diangkat?" Darcy ikut tersenyum melihat apa yang terjadi. "Aku yakin Tuan Alaric pasti sangat sibuk." "Ya, benar." Marjorie mengangguk. "Dia itu orang sibuk, jad
"Aku memanggil mereka untuk melayaniku, tapi kenapa mereka tidak banyak bergerak ya?" tanya Marjorie menatap dua orang yang sejak tadi dia lihat. "Maaf, Nyonya." Manajer butik hanya bisa menunduk. "Mereka masih anak baru dan belum tahu banyak hal." "Tapi kalau hanya sekedar mengambil barang, memegang baju dan membawa camilan pasti bisa kan?" tanya Marjorie tanpa mengalihkan perhatiannya. Sang manajer kemudian menatap dua orang yang dimaksud. Awalnya dia merasa ragu, tapi pada akhirnya memanggil Anna dan Darcy. Toh, tamunya sendiri yang meminta untuk dilayani dua orang itu. "Kalian bantu Nyonya ini." Sang manajer berbisik. "Kalau ada yang tidak dimengerti, kalian segera kabari saja aku. Aku akan menunggu di sana dan mungkin akan keluar sebentar." "Tinggalkan saja kami." Tiba-tiba saja Marjorie bersuara. "Aku kebetulan mengenal dua orang ini dan ingin sekalian mengobrol." Si manajer menatap pelanggannya untuk sesaat, sebelum beralih pada dua anak barunya. "Kalau ada masalah,
"Hei, kau anak baru. Coba bersihkan kamar ganti dan jangan lupa juga merapikan gudang." "Baik." Anna langsung menjawab dengan ceria. Tapi baru juga dia ingin beranjak, pundaknya diremas pelan. "Kau tidak perlu melakukannya." Darcy maju untuk melindungi sang nyonya. "Bukankah bagian itu sudah dijadwalkan untuk orang lain?" "Tapi kalian itu anak baru," hardik salah seorang karyawan butik yang berseragam abu-abu. "Di sini, karyawan baru yang mengerjakan bagian bersih-bersih, menyetrika dan mengurusi gudang." "Mana ada peraturan yang begitu?" Darcy tentu saja tidak mau kalah. "Bawakan peraturan yang mencantumkan hal itu." "Apa kau bodoh?" tanya salah satu pegawai yang lain. "Di setiap tempat kerja itu, pasti ada saja peraturan tidak tertulisnya. Kau tidak pernah bekerja ya?" "Mereka itu rakyat jelata yang baru menginjakkan kaki di toko mewah, jadi maklumi saja." Satu lagi pegawai menyebalkan bersuara. "Kalian
"Kau baru saja bilang apa?" tanya Astrid dengan kedua mata membulat, dengan ponsel yang menempel di telinga. "Aku meminta kau memberi pekerjaan pada istriku," jawab Alaric dengan tenang. "Hanya kau yang bisa aku mintai tolong untuk sekarang ini, jadi jaga istriku dengan baik." "Tapi kau sendiri kan punya perusahaan, kenapa .... Halo? Alaric?" Astrid menatap ponselnya yang sudah kembali berwarna hitam, tanda panggilan telepon itu sudah dimatikan secara sepihak. Hal itu jelas saja akan membuat Astrid mendesis kesal. "Maaf, tapi apakah aku tidak bisa bekerja di sini?" Kepala Astrid langsung berputar untuk menoleh dan melihat perempuan yang baru saja berbicara itu. Dia melihat adik iparnya dengan kedua alis terangkat dan bibir mengatup sangat rapat. "Boleh aku tahu kenapa kau harus bekerja?" tanya Astrid masih melotot. "Aku tidak ingin menjadi beban untuk Alaric," jawab Anna dengan senyum lebar. "Bukan berarti aku tidak mendapat uang saku, tapi aku hanya ingin punya penghas
"Mana Anna?" Alaric bertanya dengan kening berkerut, ketika dia sudah sampai di rumahnya yang terasa sepi. Biasanya, sang istri akan selalu menyambut Alaric jika dia pulang tidak terlalu larut. Tapi hari ini, dia sama sekali tidak melihat batang hidung Anna, padahal jam makan malam baru saja berlalu. "Itu Tuan." Darcy menjawab dengan ragu-ragu. "Nyonya Anna mengurung diri di kamar tamu dan juga mogok makan." "Mengurung diri?" Sebelah alis Alaric tentu saja terangkat. "Aku melarangnya untuk pergi mencari pekerjaan." "Pekerjaan? Pekerjaan apa maksudnya?" "Karena merasa bosan di rumah saja, Nyonya ingin melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Katanya, dia merasa tidak enak kalau terus menggunakan uang Tuan. Apalagi, tidak banyak yang bisa dia lakukan sebagai istrimu." Tentu saja Darcy akan menjelaskan. Penjelasan itu jelas saja akan membuat Alaric makin menaikkan sebelah alisnya. Bahkan Caspian saja merasa heran mendengar penjelasan dari rekan kerjanya itu. Bagi mer
"Jadi? Siapa Marjorie Jackson ini?" tanya Anna dengan pupil mata yang melebar, bahkan wajahnya cukup dekat dengan sang asisten. "Maaf, Nyonya. Aku juga tidak begitu tahu." Darcy hanya bisa berusaha menjauhkan diri, walau itu sulit. Mereka ada di dalam mobil. "Tapi setidaknya kau tahu sesuatu kan?" Anna masih terus mencecar asistennya. "Setidaknya, beritahu aku apa hubungan perempuan itu dengan Alaric." "Maaf, Nyonya." Hanya itu saja yang bisa Darcy ucapkan secara terus menerus. Bahkan sudah empat kali dia mengatakannya. Anna mengembuskan napas pelan. Padahal, dia hanya ingin tahu siapa sebenarnya Marjorie Jackson itu, tapi tidak ada yang bisa dia dapatkan. Tentu saja Anna bisa mencari lewat media sosial, tapi tidak banyak yang bisa didapatkan di sana. Semua yang dia temukan, hanya informasi umum saja. "Bahkan tidak ada satu pun foto Alaric di sini," gumam Anna sembari menggulir ratusan foto dengan gerakan yang cukup cepat. "Lantas kenapa dia mengaku sebagai istri suamiku?
"Istri katamu?" tanya Anna dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin tidak banyak yang tahu karena ini belum jadi konsumsi publik, tapi ya. Namaku Marjorie Jackson dan aku istrinya Alaric Bastian Crawford yang kau cari." "Istri ya?" Anna kembali bersuara dengan nada tanya. "Aku tidak tahu apa kau itu tuli atau apa, tapi aku sudah menyebutkannya sebanyak dua kali." Kedua alis Marjorie sedikit terangkat karena kesal. "Masalahnya, aku tidak percaya padamu," balas Anna dengan kening berkerut. "Apalagi aku mengenali istri Alaric yang sebenarnya." "Oh, benarkah?" Marjorie mengerutkan keningnya, tapi bukan karena merasa terkejut. Dia sedang bingung. "Bagaimana mungkin kau bisa mengenali istri seorang ...." "NYONYA." Belum juga ucapan Marjorie selesai, suara teriakan terdengar. Langkah tergesa Caspian terdengar setelahnya, setidaknya sampai lelaki itu berhenti tepat di depan tiga orang perempuan dan seorang petugas keamanan yang kebingungan. "Kebetulan sekali kau datang." Marjori
"Halo, selamat pagi. Aku Marjorie Jackson." Seorang perempuan cantik yang berdiri di depan ruangan menyapa. "Terima kasih karena sudah menerimaku masuk ke partai ini, walau waktunya sangat tidak tepat." "Ucapkan terima kasih itu pada calon perdana menteri kita." Seseorang memberitahu. "Kalau bukan karena dia, mungkin kau akan ditendang." "Terima kasih Pak Alaric," ucap perempuan yang tadi memperkenalkan diri dengan senyum lebar. "Jadi begini saja?" Alih-alih menjawab ucapan tadi, Alaric malah bertanya. "Kalian memintaku datang hanya untuk ini?" "Oh, maaf." Seseorang mengucap maaf. "Kami pikir akan baik kalau Pak Alaric juga mengenal anggota baru kita. Kebetulan, dia menyumbang cukup banyak untuk partai kita." "Terima kasih atas sambungannya." Alaric mengatakan itu, sembari beranjak dari tempat duduknya. "Aku harap, kau bisa berkontribusi hal lainnya juga selain uang." Setelah mengatakan hal itu, Alaric melangkah pergi. Asistennya bahkan sedikit terkejut, bahkan perlu berja
Anna menatap lembaran kertas yang ditaruh di atas meja, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lembaran kertas itu berbentuk persegi panjang, dengan tulisan yang tercetak rapi di atasnya, disertai dengan tanda tangan. "Darcy," panggil Anna masih dengan ekspresi dan posisi tubuh yang sama. "Ini yang dinamakan dengan cek kosong bukan?" "Itu kurang tepat, Nyonya," jawab perempuan berambut pendek yang berdiri di belakang si penanya. "Lalu ini disebut apa?" "Mungkin bisa disebut dengan cek yang belum diisi nominalnya." Sebagai asisten, tentu saja Darcy tidak akan keberatan untuk menjelaskan. "Sementara kalau cek kosong itu adalah cek yang tidak memiliki saldo di dalam rekeningnya." "Jadi, apa maksud Mom memberiku cek yang belum ditulisi nominalnya ini?" Anna kembali bertanya, tanpa banyak mengubah ekspresi dan posisi. Embusan napas pelan terdengar dari bibir Darcy. Dia yakin sang nyonya sudah tahu maksud dari cek itu,