"Selamat malam, namaku ...."
Belum juga Anna selesai berbicara, dia sudah merasakan panas di pipi kirinya. Bukan hanya itu, kepalanya bahkan tertoleh sembilan puluh derajat karena tamparan yang dia terima barusan. Tamparan pertama yang pernah Anna rasakan seumur hidupnya. "Mom." Alaric menaikkan intonasi suaranya, ketika melihat apa yang terjadi. Tentu saja dia melindungi Anna, dengan menarik perempuan itu sedikit menjauh dari pelaku. "Berani-beraninya kau membawa perempuan tidak jelas begini menjadi istrimu." Perempuan yang dipanggil Mom barusan berteriak. Tidak terlalu nyaring, tapi semua orang tahu perempuan itu sedang marah. "Siapa yang bilang kalau Anna tidak jelas?" Alaric bertanya dengan intonasi suara yang sudah jauh lebih tenang. "Dia ini dokter, ayahnya juga dokter. Walau tentu saja tidak berkarir di negara kita." "Mana aku tahu gelar dokternya itu palsu atau tidak." Sang ibu masih terlihat marah dan tidak terima. "Sekali pun dia dokter, kita tidak tahu benar bagaimana keluarganya. Bagaimana anak bernama Anna ini hidup selama ini." Anna meringis mendengar apa yang dikatakan calon ibu mertuanya. Padahal dirinya yang sudah diseret paksa sampai ke negara orang, tapi dia malah kena tampar. Sekarang Anna jadi sedikit menyesal karena mau saja langsung diajak pergi menemui keluarga Alaric. "Padahal kami baru mendarat dan hanya makan sedikit di pesawat." Anna berucap dalam hati. "Mana aku sudah lelah karena penerbangan berjam-jam, malah kena damprat." "Mom, dia adalah perempuan pilihanku. Tentu saja aku tidak akan sembarangan memilih calon." Alaric menjelaskan dengan tenang. "Apalagi dia pernah menyelamatkanku." "Dia menyelamatkanmu, karena dia tahu kau orang hebat yang bisa membuatnya hidup enak. Dia tahu kau kaya, Al." Tangan Anna memegang dadanya. Dia benar-benar merasa terpukul mendengar apa yang calon mertuanya katakan, karena itu bisa dibilang benar. Anna bersedia menikahi Alaric demi membayar hutang keluarga. "Anna anak yang baik." Alaric masih mencoba untuk menjelaskan dengan tenang. "Kalau dia memang ingin memerasku, maka akan dia lakukan sejak kami pertama kali bertemu. Aku hanya akan menikah dengan dia." "Tapi usianya berbeda jauh denganmu. Apa kau tidak malu jika diejek menikahi anak di bawah umur? Dia terlihat seperti bocah yang masih sekolah." "Maaf, Tante." Anna segera menyela, terutama karena lelaki yang mengajaknya datang terdiam. "Walau lebih pendek dibanding semua orang yang ada di rumah ini, tapi aku berumur dua lima. Sudah cukup umur, tapi tentu saja aku tidak akan memaksa siapa pun." Perempuan yang masih terlihat cukup tegap untuk usia senja itu, hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia tidak senang dengan perempuan yang tiba-tiba saja dibawa oleh putranya, tapi memangnya dia bisa apa? Alaric sudah termasuk cukup tua untuk menjadi seorang lelaki yang belum pernah menikah. Jangankan menikah, dia bahkan belum pernah berpacaran. "Pastikan saja dia tidak membuat masalah." Sang ibu menunjuki Anna tepat di wajah. "Apalagi masa kampanye sudah dekat, jadi aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun. Tentu saja itu juga demi nama baikmu sendiri." "Tentu saja." Alaric mengangguk pelan. Anna menatap ketika perempuan yang dia perkirakan berumur awal lima puluh itu berlalu pergi. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa perempuan semuda itu bisa punya anak berumur tiga delapan. Tapi, tentu saja ada pertanyaan lain yang lebih mendesak. "Boleh aku menanyakan sesuatu?" Anna unjuk tangan ketika calon ibu mertuanya sudah pergi. "Kampanye apa ...." "Sebaiknya kau pergi istirahat saja." Alaric tiba-tiba saja mengubah arah pembicaraan. "Seharusnya kau saat ini pasti merasa lelah karena perjalanan jauh." "Itu adalah kata-kataku." Anna tiba-tiba saja terlihat kesal, bahkan menumpangkan tangan di pinggang dan menatap lelaki di depannya dengan tajam. "Kau itu pasien. Tapi kau malah kabur dari rumah sakit, naik pesawat pribadi tanpa izin dokter. Begitu mendarat, bukannya pergi ke rumah sakit, malah langsung mengantarku ke salon dan membeli baju." "Aku hanya menemanimu berganti pakaian dan memeriksa riasanmu," balas Alaric tanpa perubahan ekspresi yang berarti. "Yang mengurus semua itu adalah ajudanku. Lagi pula, aku tidak mungkin membiarkanmu menemui ibuku dengan pakaian lusuh bukan?" "Pakaian lusuh?" tanya Anna dengan kedua alis terjungkit naik. Padahal yang dia pakai tadi adalah salah satu dari sisa pakaian terbaiknya. "Bagiku itu lusuh." Alaric mengangguk dengan santainya. "Terserahlah." Anna akhirnya memilih untuk mengangkat tangan. "Lebih baik aku pergi istirahat saja dari pada sakit kepala melihat wajah pemarahmu, jadi tolong tunjukkan saja kamarnya." "Kita tidak akan tinggal di sini," jawab Alaric dengan tenangnya, tidak terlalu peduli dengan ejekan yang dia dengar. "Apa maksudmu dengan kita tidak tinggal di sini?" Anna langsung melotot mendengar lelaki di depannya itu. "Ini rumahmu bukan? Lagi pula, kita belum menikah. Tidak mungkin tinggal berdua saja kan?" "Kita akan tinggal di kediaman pribadiku." Alaric menatap dengan tatapan serius, melihat perempuan muda di depannya dari atas sampai bawah. "Hanya berdua saja.""Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?""Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar?"Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah.""Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut."Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan."Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?"Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berbaik ha
"Dasar mesum." "Kau mengatakan sesuatu?" Alaric bertanya pada perempuan yang duduk jauh di depannya. "Aku mengatakan kau mesum." Anna tidak keberatan untuk mengulang umpatannya. "Tidakkah kau merasa malu saat pergi membeli pakaian dalam perempuan?" "Untuk apa malu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Toh, aku akan menjadi istriku." Dengan gerakan refleks, Anna menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah bisa menebak apa yang mungkin dipikirkan oleh lelaki di depannya itu. "Kau akan meniduriku?" "Apa ada yang salah dengan itu? Aku lelaki yang normal dan sehat," balas Alaric dengan wajah datarnya, sampai Darcy terbatuk pelan. "Lagi pula, dari pada memikirkan hal itu, kau sebaiknya bersiap." Kini Alaric kembali menatap tabletnya. Tentu saja dia perlu bekerja, walau hari masih sangat pagi. "Bersiap untuk apa?" tanya Anna mulai menyuap sarapan paginya. "Tentu saja kau perlu lebih banyak baju dari apa yang ada di dalam lemarimu sekarang," jelas Alaric, tanpa memindahkan
"Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria yang hanya lebih muda dua tahun dari papaku sendiri. Ini gila dan AKU TIDAK MAU!""Ini sama sekali tidak gila, Anna. Ini demi kita semua. Kau anak berbakti yang mau membantu keuangan keluarga kan?" Suara terdengar dari ponsel yang tertempel di telinga Anna."Waktu Papa bilang usia Pak Fritz itu berbeda jauh, Anna pikir itu cuma berbeda paling banyak lima belas tahun. Aku berpikir dia itu lelaki akhir tiga puluhan atau awal empat puluh, bukan akhir lima puluh, Pa.""Sayang, usia itu hanyalah angka dan sama sekali tidak penting." Tentu saja sang papa berusaha untuk merayu putrinya. "Lagi pula, Pak Fritz itu lelaki dewasa, kaya raya dan baik. Dia pasti bisa mengayomi dan membimbingmu dengan baik. Kau satu-satunya harapan kami."Anna yang mengurung diri di dalam bilik toilet, memijat pangkal hidungnya dengan keras. Jujur saja, dia merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan sang ayah. Tapi, Anna juga tidak bisa jika pria yang akan dia teman
Anna mengangkat kedua tangan, dengan tatapan cemas tertuju ke depan. Dia bergantian menatap lelaki yang terbaring di atas ranjang dan pistol yang terarah padanya. Ya. Pistol."Maaf, Pak." Perawat yang berdiri di sebelah Anna mencoba untuk berdiskusi. "Kami di sini hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa malah ditodong dengan senjata?""You'd better keep quiet or you'll regret it." Lelaki yang memegang pistol itu mendesis pelan. "Bawa Pak Alaric pergi dari sini," lanjutnya, memberi perintah pada dua orang lelaki yang lain."Kau tidak bisa membawa dia pergi." Tentu saja Anna akan melarang dan dia mengatakan itu dalam bahasa Inggris. "Biar bagaimana, dia baru saja dioperasi.""Justru karena kau melakukan operasi tanpa izin, kami bisa menuntut. Siapa yang tahu kalau kalian malah mengambil organ atasan kami.""Hei, aku ini dokter." Dengan raut wajah kesal, Anna menghardik. "Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Apalagi ini adalah rumah sakit besar. Sekarang
"Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam."Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat.Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas."Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu.""Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat."Aku dokter." Anna refleks mengangguk.Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil."Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhere."
"Dasar bajingan mesum," umpat Anna dengan tangan menyilang di depan dada. "Siapa yang kau bilang bajingan mesum?" Pengawal lelaki sudah melangkah maju, tapi kembali ditahan oleh Alaric."Aku mengerti jika kau berpikiran negatif." Alaric mengangguk pelan. "Kata-kata yang kugunakan mungkin salah, tapi yang aku maksud adalah pernikahan.""Pernikahan?" Tentu saja Anna akan bertanya."Ya." Alaric kembali mengangguk. "Lakukan pernikahan kontrak denganku dan aku akan membayarkan semua utang keluargamu. Itu tawaranku."Refleks, Anna memegang kepala dengan kedua tangan. Mendapat penawaran yang terdengar seperti dialog dalam film, membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi, dia ini baru dua puluh lima tahun dan tidak punya pengalaman dengan lelaki."Aku hanya bisa menyinggung perasaan para lelaki," gumam Anna masih tampak terkejut, bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan rapat. "Bagaimana bisa menikah? Yang ada aku akan disembelih.""Apa kau baru saja mengumpat?" tanya Alaric dengan k
"Dasar mesum." "Kau mengatakan sesuatu?" Alaric bertanya pada perempuan yang duduk jauh di depannya. "Aku mengatakan kau mesum." Anna tidak keberatan untuk mengulang umpatannya. "Tidakkah kau merasa malu saat pergi membeli pakaian dalam perempuan?" "Untuk apa malu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Toh, aku akan menjadi istriku." Dengan gerakan refleks, Anna menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah bisa menebak apa yang mungkin dipikirkan oleh lelaki di depannya itu. "Kau akan meniduriku?" "Apa ada yang salah dengan itu? Aku lelaki yang normal dan sehat," balas Alaric dengan wajah datarnya, sampai Darcy terbatuk pelan. "Lagi pula, dari pada memikirkan hal itu, kau sebaiknya bersiap." Kini Alaric kembali menatap tabletnya. Tentu saja dia perlu bekerja, walau hari masih sangat pagi. "Bersiap untuk apa?" tanya Anna mulai menyuap sarapan paginya. "Tentu saja kau perlu lebih banyak baju dari apa yang ada di dalam lemarimu sekarang," jelas Alaric, tanpa memindahkan
"Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?""Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar?"Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah.""Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut."Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan."Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?"Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berbaik ha
"Selamat malam, namaku ...."Belum juga Anna selesai berbicara, dia sudah merasakan panas di pipi kirinya. Bukan hanya itu, kepalanya bahkan tertoleh sembilan puluh derajat karena tamparan yang dia terima barusan. Tamparan pertama yang pernah Anna rasakan seumur hidupnya. "Mom." Alaric menaikkan intonasi suaranya, ketika melihat apa yang terjadi. Tentu saja dia melindungi Anna, dengan menarik perempuan itu sedikit menjauh dari pelaku."Berani-beraninya kau membawa perempuan tidak jelas begini menjadi istrimu." Perempuan yang dipanggil Mom barusan berteriak. Tidak terlalu nyaring, tapi semua orang tahu perempuan itu sedang marah."Siapa yang bilang kalau Anna tidak jelas?" Alaric bertanya dengan intonasi suara yang sudah jauh lebih tenang. "Dia ini dokter, ayahnya juga dokter. Walau tentu saja tidak berkarir di negara kita.""Mana aku tahu gelar dokternya itu palsu atau tidak." Sang ibu masih terlihat marah dan tidak terima. "Sekali pun dia dokter, kita tidak tahu benar bagaiman
"Dasar bajingan mesum," umpat Anna dengan tangan menyilang di depan dada. "Siapa yang kau bilang bajingan mesum?" Pengawal lelaki sudah melangkah maju, tapi kembali ditahan oleh Alaric."Aku mengerti jika kau berpikiran negatif." Alaric mengangguk pelan. "Kata-kata yang kugunakan mungkin salah, tapi yang aku maksud adalah pernikahan.""Pernikahan?" Tentu saja Anna akan bertanya."Ya." Alaric kembali mengangguk. "Lakukan pernikahan kontrak denganku dan aku akan membayarkan semua utang keluargamu. Itu tawaranku."Refleks, Anna memegang kepala dengan kedua tangan. Mendapat penawaran yang terdengar seperti dialog dalam film, membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi, dia ini baru dua puluh lima tahun dan tidak punya pengalaman dengan lelaki."Aku hanya bisa menyinggung perasaan para lelaki," gumam Anna masih tampak terkejut, bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan rapat. "Bagaimana bisa menikah? Yang ada aku akan disembelih.""Apa kau baru saja mengumpat?" tanya Alaric dengan k
"Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam."Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat.Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas."Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu.""Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat."Aku dokter." Anna refleks mengangguk.Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil."Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhere."
Anna mengangkat kedua tangan, dengan tatapan cemas tertuju ke depan. Dia bergantian menatap lelaki yang terbaring di atas ranjang dan pistol yang terarah padanya. Ya. Pistol."Maaf, Pak." Perawat yang berdiri di sebelah Anna mencoba untuk berdiskusi. "Kami di sini hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa malah ditodong dengan senjata?""You'd better keep quiet or you'll regret it." Lelaki yang memegang pistol itu mendesis pelan. "Bawa Pak Alaric pergi dari sini," lanjutnya, memberi perintah pada dua orang lelaki yang lain."Kau tidak bisa membawa dia pergi." Tentu saja Anna akan melarang dan dia mengatakan itu dalam bahasa Inggris. "Biar bagaimana, dia baru saja dioperasi.""Justru karena kau melakukan operasi tanpa izin, kami bisa menuntut. Siapa yang tahu kalau kalian malah mengambil organ atasan kami.""Hei, aku ini dokter." Dengan raut wajah kesal, Anna menghardik. "Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Apalagi ini adalah rumah sakit besar. Sekarang
"Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria yang hanya lebih muda dua tahun dari papaku sendiri. Ini gila dan AKU TIDAK MAU!""Ini sama sekali tidak gila, Anna. Ini demi kita semua. Kau anak berbakti yang mau membantu keuangan keluarga kan?" Suara terdengar dari ponsel yang tertempel di telinga Anna."Waktu Papa bilang usia Pak Fritz itu berbeda jauh, Anna pikir itu cuma berbeda paling banyak lima belas tahun. Aku berpikir dia itu lelaki akhir tiga puluhan atau awal empat puluh, bukan akhir lima puluh, Pa.""Sayang, usia itu hanyalah angka dan sama sekali tidak penting." Tentu saja sang papa berusaha untuk merayu putrinya. "Lagi pula, Pak Fritz itu lelaki dewasa, kaya raya dan baik. Dia pasti bisa mengayomi dan membimbingmu dengan baik. Kau satu-satunya harapan kami."Anna yang mengurung diri di dalam bilik toilet, memijat pangkal hidungnya dengan keras. Jujur saja, dia merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan sang ayah. Tapi, Anna juga tidak bisa jika pria yang akan dia teman