besok baru bisa 2 bab yaa.
"Mana Anna? Kenapa dia belum bangun?" Itu adalah hal pertama yang Alaric tanyakan di keesokan hari. "Maaf, Tuan." Darcy mau tidak mau membungkuk. "Nona Anna sepertinya sedang tidak begitu sehat, makanya dia belum bangun." "Tidak sehat bagaimana? Rasanya semalam dia baik-baik saja. Dia tidak sedang ngambek seperti semalam kan?" "Sama sekali tidak Tuan. Semalam Nona Anna memang mengeluh sakit perut, tapi mengatakan akan baik-baik saja jika tidur." Masih Darcy yang menjawab. Sebelah alis Alaric terangkat. Padahal dia memerlukan perempuan yang lebih muda darinya itu, agar mereka berdua bisa mendaftarkan pernikahan. Apalagi hari ini jadwal Alaric bisa dibilang cukup padat dan tidak ada waktu lain untuk mendaftar. "Panggil Anna turun. Aku akan menunggu selama sepuluh menit." Sebagai asisten perempuan yang sedang dibicarakan, Darcy bergegas untuk naik ke kamar sang nona. Biar bagaimana pun, perintah tuannya harus lebih didahulukan. "Bisakah kau menyiapkan sarapan bubur untukku?"
"Kenapa kau terlihat seperti orang ketakutan? Apa ini ciuman pertamamu?" Itu yang dikatakan oleh Alaric saat itu. "Ka ... kata siapa?" Anna menghardik pelan. "Aku hanya tidak terbiasa harus dilihat oleh orang lain." "Kalau begitu, bertahanlah sebentar." Tanpa banyak bicara lagi, Alaric melangkah maju. Dia meraih pipi istrinya, membuat kepala yang jauh lebih pendek darinya itu mendongak agar lebih mudah untuk dikecup. Alaric membuka sedikit mulutnya dan sedikit mengulum bibir perempuan di depannya, tanpa mendapatkan reaksi berarti. Hal yang membuatnya tersenyum tanpa melepas pagutannya, makin membuat Alaric yakin kalau istrinya ini memang amatiran. "Sudah selesai," bisik Alaric nyaris kesulitan menyembunyikan senyumannya. "Kau sudah bisa membuka matamu." Kedua mata Anna yang terpejam dengan sangat erat, kini salah satunya terbuka dengan pelan. Dia menatap lelaki di depannya dengan sebelah mata terbuka itu, kemudian membuka yang satunya lagi dan langsung menundukkan kepala
"Katanya Tuan Alaric hari ini pulang lebih cepat dan akan makan malam di rumah." Anna melotot mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya barusan. Padahal dia sudah mati-matian menghindari perawatan area sensitifnya dan memilih pulang lebih cepat dari klinik untuk tidur cepat, tapi rupanya itu sulit. "Bukankah Tuan Alaric itu sibuk?" tanya Anna masih sedikit melotot. "Kenapa dia bisa pulang cepat?" "Tentu saja karena hari ini adalah hari pernikahan kalian. Suami mana yang akan pulang terlambat di hari seperti ini bukan? Apalagi, nanti akan ada makan malam bersama." "Ya?" Bukannya makin tenang, Anna malah makin syok. "Nyonya Elizabet dan Nona Astrid akan datang untuk makan malam di sini." Darcy tidak keberatan untuk menjelaskan. "Bukankah kemarin kami sudah makan malam bersama? Kenapa sekarang makan malam bersama lagi?" "Nyonya, ini pernikahanmu." Darcy mempertegas dengan kening berkerut bingung. "Walau mungkin ini pernikahan yang tidak sesuai dengan impianmu, tapi tetap
"Haruskah kau tidur di sini juga?" Anna yang sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi bertanya, sembari menatap ke arah ranjang dengan kening berkerut. "Di sini adalah kamar yang paling besar," jawab Alaric tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya. "Lagi pula, kita sudah menikah." "Tapi tetap saja," cicit Anna benar-benar merasa khawatir. "Kau kan bisa tidur di sofa saja." "Kalau kau tidak ingin tidur di ranjang, tidak masalah. Kau bisa tidur di sofa, lantai, atau mungkin pergi ke kamar tamu. Di sana ada ibu dan kakakku." Alaric menatap perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya itu, dari balik kacamata bacanya. Jujur saja, itu membuat Alaric terlihat sedikit lebih tampan dari biasanya. Hal yang membuat Anna kesulitan. "Aku tidak mungkin pergi ke kamar tamu." Anna tiba-tiba cemberut, karena merasa ketampanan lelaki di depannya sangat tidak masuk akal. "Mereka sudah membenciku dan mungkin akan makin membenciku karena tidak menjalankan tugas sebagai istri." "Kalau kau ta
"Dasar anak muda zaman sekarang." Elizabeth mengeluh, sembari menatap menantunya dengan tajam. "Masa ibu mertuanya tidak dilayani saat sarapan pagi." "Di sini ada asisten rumah tangga, Mom." Alaric yang menjawab ibunya, setelah menyesap sedikit kopi dari cangkirnya. "Lagi pula, kami masih berbulan madu. Hal yang wajar jika bangun terlambat." "Ya, tidak berarti kalian harus mengabaikan ketukan pintuku." Sayangnya Elizabeth tidak mau kalah dan makin melotot pada sang mantu. "Apalagi perempuan muda sepertimu, seharusnya bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, bukan hanya bergelut di atas ranjang dengan suamimu." "Tapi aku tidak tahu masak," balas Anna terlihat sedikit terkejut. "Bagaimana mungkin kau tidak bisa memasak?" Tentu saja Elizabeth akan menghardik. "Setidaknya kau bisa merebus telur atau memanggang roti kan?" "Aku tidak tahu semua itu." Sayangnya, Anna harus menggeleng. "Tapi seperti kata Alaric, di sini sudah ada yang mengatur itu semua ...." "Bukan berarti kau tidak
"Jadi kapan kau ingin membawa ayahmu datang? Kau belum menghubungi dia atau bagaimana?" "Kau tidak pergi bekerja?" Bukannya menjawab, Anna malah bertanya sambil menatap lelaki yang sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar tidur. "Bukankah aku sudah bilang?" Alaric menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya. "Aku cuti selama satu atau dua hari ini. Mungkin lebih." "Padahal kita tidak benar-benar menikah," gumam Anna pelan. "Tapi kita harus terlihat benar-benar menikah." Kini Alaric menatap sang istri. "Jadi kapan kau mau menepati janjimu?" "Kapan aku berjanji seperti itu?" Tentu saja Anna akan bertanya dengan kening berkerut. Dia memang pernah membicarakan papanya, tapi rasanya tidak pernah menjanjikan apa pun, apalagi soal kedatangan sang ayah ke tempat tinggalnya sekarang. "Akan sangat aneh kalau kita menikah, tapi kedua orang tua tidak saling mengenal." Alaric menjelaskan, sembari kembali menatap tablet yang dia pegang. "Publik akan bergosip jika kita me
"Kau siapa?" Anna berkedip mendengar pertanyaan barusan. Bibir perempuan itu sedikit terbuka, karena dia merasa bingung dan terkejut dengan pertanyaan dari orang yang berdiri di depannya. "Harusnya itu pertanyaanku," balas Anna setelah sadar dari rasa terkejutnya. "Kau siapa dan bagaimana bisa ada di dalam rumahku?" "Ah, kau anak dari si tua itu ya." Perempuan seksi dengan rambut panjang yang berdiri di ambang pintu mengangguk pelan. "Masuklah dulu." "Sebelum kami masuk, bagaimana kalau kau memperkenalkan diri dulu?" Walau Anna terdengar seperti enggan masuk ke rumah, tapi nyatanya dia melangkah masuk. "Katakan saja aku teman tidur papamu." "MAAF?" Anna nyaris saja memekik. "Kenapa kau terkejut seperti itu?" Perempuan yang mengaku sebagai teman tidur itu mengerutkan kening. "Tidak mungkin kau tidak tahu apa yang dilakukan papamu selama ini kan?" Anna tidak bisa menjawab dan hanya bisa berkedip saja. Dia tampak sangat terkejut dengan kenyataan itu, berbanding terbalik de
"Hei, berhenti." Megumi memekik, sembari menahan lelaki tua di depannya. "Kenapa kau malah memukuli anakmu?" Bukan hanya Megumi yang sibuk berteriak dan berusaha, tapi Caspian dan Darcy juga melakukan hal yang sama. Mereka sedang berusaha menahan lelaki tua yang tadi sempat menampar Anna. Membuat perempuan yang ditampar terkejut, sembari memegang pipinya. "Lepaskan aku." Pria tua yang ditahan itu masih berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, walau tentu saja itu adalah hal yang percuma. "Biar aku ajari anak durhaka ini." "Aku durhaka dari segi mana, sampai harus dipukuli seperti ini?" Tiba-tiba saja, Anna balas berteriak. "Kau kabur dan tidak mau menikah dengan Pak Fritz," hardik sang papa tidak lagi memberontak, tapi masih berteriak dan menunjuki putrinya. "Itu adalah tindakan durhaka." "Papa memintaku untuk menikahi lelaki yang nyaris seumur dengan papa demi membayar utang. Itu yang disebut durhaka?" Alaric yang tidak mengerti apa yang terjadi, hanya bisa melihat istr
"Bagaimana dia bisa tahu kalau ada pembunuh di rumahku?" ucap Elizabeth dengan mata melotot. "Mom, st." Anna menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan terlalu keras, siapa tahu ada yang menguping di depan pintu. Atau mungkin ada yang memasang alat penyadap." "Oh, aku rasa aku harus memeriksa ruangan ini terlebih dulu." Caspian langsung bergerak, diikuti dengan Darcy. Semua orang yang sedang berada di dalam ruang baca itu menatap dua orang asisten sekaligus pengawal pribadi yang menggeledah ruangan dengan seksama. Mereka jelas saja akan merasa cemas, karena bisa saja mereka ketahuan. "Tidak ada penyadap atau kamera yang ditemukan." Untungnya Darcy menggeleng. "Ruangan ini juga dilapisi karpet, jadi seharusnya akan lebih kedap suara," lanjut Caspian menjelaskan. "Maaf harus menanyakan ini, tapi kalian berdua bisa dipercaya kan?" Tiba-tiba saja Astrid bertanya. "Mereka aman." Anna dengan tenangnya memberitahu. "Soalnya, Bastian mengatakan akan bertemu teman di rumah, p
"Kami akan menantikan teman yang dimaksud bocah itu." Polisi yang menangani kasus ini, tersenyum menatap pasangan di depannya. "Aku pasti akan mencari bedebah itu sampai ketemu dan mungkin bisa memotong lidahnya?" Alaric malah mengatakan hal yang tidak-tidak, bahkan sampai melotot. "Al." Sebagai istri yang baik, tentu saja Anna akan menegur sang suami. "Kau punya istri yang baik." Si polisi berdecak pelan. "Setidaknya dia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam saja." "Terima kasih karena sudah memuji istriku, tapi dia tidak akan melirikmu hanya karena itu," balas Alaric dengan senyum lebar. "Asal kau tahu, aku melihatmu menatap istriku terus-terusan dan jika kasus ini selesai dengan baik, kau akan tahu akibatnya." Si polisi langsung terdiam dan tiba-tiba saja menjadi gugup. Siapa yang sangka kalau dia ketahuan seperti itu, bahkan diancam dan dipermalukan di depan umum. Bahkan ada polisi lain yang mendengar hal itu. "Kau tidak perlu seperti itu," gumam Anna terlihat
"Jadi Bastian, maukah kau berbicara sedikit?" tanya seorang perempuan berwajah lembut, dengan suara yang sama lembutnya. Sayang sekali, Bastian malah menggeleng dengan keras. Dia bahkan membuang muka dan lebih memilih untuk memeluk boneka kelinci yang baru-baru ini menjadi mainan kesayangannya. "Bonekanya sangat menggemaskan, dari mana kau mendapatkannya?" Tidak berhasil saat bertanya secara langsung, perempuan paruh baya tadi memilih untuk bertanya hal lain lebih dulu. "Bibi," jawab Bastian tanpa ragu. "Hadiah." "Aku dengar baru-baru ini kau ulang tahu. Apa ini hadiah ulang tahunmu?" Bastian kali ini mengangguk dengan sangat antusias, dia bahkan tersenyum. Tentu saja ini hal yang bagus untuk semua orang. "Bibi yang mana yang memberimu ini?" Perempuan paruh baya tadi ingin menyentuh bonekanya, tapi si bocah langsung memeluknya dengan lebih erat lagi. "Aku tidak akan mengambil bonekamu." Perempuan yang sejak tadi bertanya, hanya bisa tertawa. "Apakah tidak boleh aku tahu
"Kau sudah melihat berita terbaru?""Yeah, katanya pasangan Crawford akan membiayai bocah malang yang ibunya menjadi korban pembunuhan itu.""Tapi apa kau tahu, mereka mengatakan itu ide dari istrinya Alaric Crawford.""Aku rasa dia merasa bersalah karena ibu anak itu meninggal. Maksudku, belum tentu dia pelakunya, tapi dia katanya baru kehilangan bayi kan? Mungkin naluri ibunya tersentuh.""Rasanya aku tidak percaya kalau orang sebaik itu adalah tersangka. Aku rasa mereka hanya kebetulan saja tersangkut kasus ini."Telinga Anna rasanya gatal sekali mendengar apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal, tadinya Anna hanya ingin keluar sebentar untuk berbelanja di minimarket, tapi malah dia mendengar semua orang membicarakannya dan Alaric."Aku rasa taktikmu berhasil, Nyonya," bisik Darcy yang selalu mengikuti ke mana-mana."Ini bukan taktik, Darcy." Anna melotot mendengar asistennya itu. "Aku murni melakukan ini, karena aku merasa kasihan pada Bastian.""Tentu
"Aku tidak salah dengar kan?" tanya ayah Marjorie dengan mata melotot. "Kau ingin membiayai Bastian?""Hanya pendidikannya saja," balas Anna dengan senyum tipis, sembari bermain dengan anak yang dimaksud. "Lagi pula, Alaric yang akan membayar semuanya. Bukan aku."Walau agak tidak sesuai jadwal, Anna dan Alaric pada akhirnya pergi mengunjungi Bastian. Hanya berselang dua hari sejak janji yang diucapkan sang calon perdana menteri, tapi mereka berhasil berkunjung di tengah kesibukan."Kau sedang tidak sedang mabuk kan?" tanya sang ayah dengan kening berkerut."Sama sekali tidak, tapi kalau ingin berterima kasih jangan padaku." Alaric menjelaskan, sebelum diminta. "Aku memang yang akan mengeluarkan uang, tapi ini ide Anna.""Lalu kau menerimanya begitu saja?""Aku menerima ide itu karena istriku yang meminta. Lalu, ini juga bisa membuat suaraku yang sempat turun, kembali naik.""Al." Anna tentu saja akan menegur sang suami yang terlalu jujur."Aku hanya mengatakan kenyataan, An
"Sudah mati pun dia masih bikin susah." "Mom, jangan ngomong gitu dong." Anna segera menegur mertuanya. "Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu." Anna yang duduk di sebelah sang mertua, segera memeluk lengan Elizabeth. Niatnya sih untuk menghentikan perempuan tua itu, terutama saat mereka sekeluarga sedang berkumpul di rumah Elizabeth. "Tapi itu kenyataannya." Sayangnya, Elizabeth enggan berhenti, bahkan sampai melotot saking marahnya. "Gara-gara dia, kita semua harus melakukan tes darah." "Sebenarnya, kita tidak perlu melakukan tes darah." Alaric mengembuskan napas lelah. "Tidak satu pun dari kita yang pernah kontak langsung dengan darah Marjorie, apalagi kotoran dan hal lainnya." "Siapa yang bisa menjamin?" tanya Elizabeth makin melotot saja. "Dia itu sangat pendendam, bisa saja dia dengan sengaja meneteskan darahnya ke dalam kopimu atau minuman Anna. Atau bisa saja dia menyuruh orang lain melakukan itu." "Mom, aku mohon." Tidak tahan mendengarnya
"Apakah Bastian tidak ikut?" Itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Anna, ketika disambut oleh ayah Marjorie. "Dia tentu saja datang dan sedang bersama ayahnya di sana." Anna menoleh dan menatap ke arah yang ditunjuk lelaki paruh baya di depannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat anak yang dia cari sedang menatap peti mati dengan bibir mencebik. Tentu saja dalam gendongan Landon. "Bolehkah aku pamit untuk bertemu Bastian dulu?" tanya Anna demi sopan santun. "Tentu saja, tapi aku sarankan kau tidak menemui Landon berdua saja." Ayah Marjorie malah memberi nasihat. "Kadang ada orang jahat yang akan menebar gosip, walau dalam keadaan berduka sekali pun." "Terima kasih banyak atas sarannya." Anna membalas dengan senyum tipis dan segera mengajak dua orang yang datang bersamanya untuk berpindah tempat. "Aku senang kalian masih mau dan menyempatkan diri untuk datang." Landon segera menyambut dengan senyuman. "Seharusnya itu kalimat yang ditujukan untukmu." Kali ini Astrid y
"Maaf, Tuan." Caspian terpaksa harus menggeleng. "Aku rasa, akan sulit bagi kita untuk bergerak atau memberi tekanan lebih pada kasus ini.""Sialan." Alaric tidak segan melempar pena yang dia gunakan. "Kenapa juga harus ada kasus di masa penting seperti sekarang ini. Mana Anna juga habis kena musibah.""Jujur saja, kalau bisa aku ingin sekali memaki mendiang Marjorie. Sayangnya bukan hal baik memaki orang yang sudah meninggal." Caspian ikut menunjukkan rasa kesalnya. "Kalau bukan dia yang terus mengejarmu, mungkin kita tidak akan tersangkut kasus.""Aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Anna?" tanya Alaric yang kini menyugar rambutnya dengan frustrasi dan asal. "Dia tidak terbiasa menghadapi tekanan."Caspian hanya bisa mengembuskan napas. Dia ingin protes kalau tekanan yang mereka dapatkan juga besar, tapi sepertinya sang atasan tidak akan mendengar. Sepertinya. Alaric kini hanya akan memedulikan istrinya saja.Untungnya saja, Alaric tidak berlama-lama merasa frustrasi. Itu
"Bagaimana?" Fritz bertanya dengan ponsel yang dipegang oleh seorang lelaki. "Baik, Tuan." Suara perempuan terdengar dari seberang sambungan telepon. "Hasilnya justru di luar dugaan. Alaric dan Anna malah ikut terseret kasus ini, bahkan menjadi terduga pelaku." "Ingat, aku masih butuh Anna." Fritz mengingatkan. "Tapi kau jangan lupa untuk membuat Alaric tersudut dalam kasus ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dia, tapi Anna harus utuh." "Tentu saja Tuan." Si perempuan penelepon menyanggupi. "Aku akan berusaha sebaik mungkin." "Jangan jadi Marjorie kedua, Fiona," ucap Fritz sebelum menutup teleponnya dan melirik ke arah lelaki yang tadi memegang benda pipih itu. "Apakah Tuan masih butuh sesuatu?" tanya lelaki itu setelah menelan liur dengan ekspresi gugup, bahkan matanya nyaris melotot. "Haruskah kau bertanya?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Kita sedang kekurangan perempuan untuk memuaskanku, jadi tentu saja kau yang harus melakukan semuanya." ***