Jangan salah paham lihat judulnya ya 😁
"Katanya Tuan Alaric hari ini pulang lebih cepat dan akan makan malam di rumah." Anna melotot mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya barusan. Padahal dia sudah mati-matian menghindari perawatan area sensitifnya dan memilih pulang lebih cepat dari klinik untuk tidur cepat, tapi rupanya itu sulit. "Bukankah Tuan Alaric itu sibuk?" tanya Anna masih sedikit melotot. "Kenapa dia bisa pulang cepat?" "Tentu saja karena hari ini adalah hari pernikahan kalian. Suami mana yang akan pulang terlambat di hari seperti ini bukan? Apalagi, nanti akan ada makan malam bersama." "Ya?" Bukannya makin tenang, Anna malah makin syok. "Nyonya Elizabet dan Nona Astrid akan datang untuk makan malam di sini." Darcy tidak keberatan untuk menjelaskan. "Bukankah kemarin kami sudah makan malam bersama? Kenapa sekarang makan malam bersama lagi?" "Nyonya, ini pernikahanmu." Darcy mempertegas dengan kening berkerut bingung. "Walau mungkin ini pernikahan yang tidak sesuai dengan impianmu, tapi tetap
"Haruskah kau tidur di sini juga?" Anna yang sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi bertanya, sembari menatap ke arah ranjang dengan kening berkerut. "Di sini adalah kamar yang paling besar," jawab Alaric tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya. "Lagi pula, kita sudah menikah." "Tapi tetap saja," cicit Anna benar-benar merasa khawatir. "Kau kan bisa tidur di sofa saja." "Kalau kau tidak ingin tidur di ranjang, tidak masalah. Kau bisa tidur di sofa, lantai, atau mungkin pergi ke kamar tamu. Di sana ada ibu dan kakakku." Alaric menatap perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya itu, dari balik kacamata bacanya. Jujur saja, itu membuat Alaric terlihat sedikit lebih tampan dari biasanya. Hal yang membuat Anna kesulitan. "Aku tidak mungkin pergi ke kamar tamu." Anna tiba-tiba cemberut, karena merasa ketampanan lelaki di depannya sangat tidak masuk akal. "Mereka sudah membenciku dan mungkin akan makin membenciku karena tidak menjalankan tugas sebagai istri." "Kalau kau ta
"Dasar anak muda zaman sekarang." Elizabeth mengeluh, sembari menatap menantunya dengan tajam. "Masa ibu mertuanya tidak dilayani saat sarapan pagi." "Di sini ada asisten rumah tangga, Mom." Alaric yang menjawab ibunya, setelah menyesap sedikit kopi dari cangkirnya. "Lagi pula, kami masih berbulan madu. Hal yang wajar jika bangun terlambat." "Ya, tidak berarti kalian harus mengabaikan ketukan pintuku." Sayangnya Elizabeth tidak mau kalah dan makin melotot pada sang mantu. "Apalagi perempuan muda sepertimu, seharusnya bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, bukan hanya bergelut di atas ranjang dengan suamimu." "Tapi aku tidak tahu masak," balas Anna terlihat sedikit terkejut. "Bagaimana mungkin kau tidak bisa memasak?" Tentu saja Elizabeth akan menghardik. "Setidaknya kau bisa merebus telur atau memanggang roti kan?" "Aku tidak tahu semua itu." Sayangnya, Anna harus menggeleng. "Tapi seperti kata Alaric, di sini sudah ada yang mengatur itu semua ...." "Bukan berarti kau tidak
"Jadi kapan kau ingin membawa ayahmu datang? Kau belum menghubungi dia atau bagaimana?" "Kau tidak pergi bekerja?" Bukannya menjawab, Anna malah bertanya sambil menatap lelaki yang sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar tidur. "Bukankah aku sudah bilang?" Alaric menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya. "Aku cuti selama satu atau dua hari ini. Mungkin lebih." "Padahal kita tidak benar-benar menikah," gumam Anna pelan. "Tapi kita harus terlihat benar-benar menikah." Kini Alaric menatap sang istri. "Jadi kapan kau mau menepati janjimu?" "Kapan aku berjanji seperti itu?" Tentu saja Anna akan bertanya dengan kening berkerut. Dia memang pernah membicarakan papanya, tapi rasanya tidak pernah menjanjikan apa pun, apalagi soal kedatangan sang ayah ke tempat tinggalnya sekarang. "Akan sangat aneh kalau kita menikah, tapi kedua orang tua tidak saling mengenal." Alaric menjelaskan, sembari kembali menatap tablet yang dia pegang. "Publik akan bergosip jika kita me
"Kau siapa?" Anna berkedip mendengar pertanyaan barusan. Bibir perempuan itu sedikit terbuka, karena dia merasa bingung dan terkejut dengan pertanyaan dari orang yang berdiri di depannya. "Harusnya itu pertanyaanku," balas Anna setelah sadar dari rasa terkejutnya. "Kau siapa dan bagaimana bisa ada di dalam rumahku?" "Ah, kau anak dari si tua itu ya." Perempuan seksi dengan rambut panjang yang berdiri di ambang pintu mengangguk pelan. "Masuklah dulu." "Sebelum kami masuk, bagaimana kalau kau memperkenalkan diri dulu?" Walau Anna terdengar seperti enggan masuk ke rumah, tapi nyatanya dia melangkah masuk. "Katakan saja aku teman tidur papamu." "MAAF?" Anna nyaris saja memekik. "Kenapa kau terkejut seperti itu?" Perempuan yang mengaku sebagai teman tidur itu mengerutkan kening. "Tidak mungkin kau tidak tahu apa yang dilakukan papamu selama ini kan?" Anna tidak bisa menjawab dan hanya bisa berkedip saja. Dia tampak sangat terkejut dengan kenyataan itu, berbanding terbalik de
"Hei, berhenti." Megumi memekik, sembari menahan lelaki tua di depannya. "Kenapa kau malah memukuli anakmu?" Bukan hanya Megumi yang sibuk berteriak dan berusaha, tapi Caspian dan Darcy juga melakukan hal yang sama. Mereka sedang berusaha menahan lelaki tua yang tadi sempat menampar Anna. Membuat perempuan yang ditampar terkejut, sembari memegang pipinya. "Lepaskan aku." Pria tua yang ditahan itu masih berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, walau tentu saja itu adalah hal yang percuma. "Biar aku ajari anak durhaka ini." "Aku durhaka dari segi mana, sampai harus dipukuli seperti ini?" Tiba-tiba saja, Anna balas berteriak. "Kau kabur dan tidak mau menikah dengan Pak Fritz," hardik sang papa tidak lagi memberontak, tapi masih berteriak dan menunjuki putrinya. "Itu adalah tindakan durhaka." "Papa memintaku untuk menikahi lelaki yang nyaris seumur dengan papa demi membayar utang. Itu yang disebut durhaka?" Alaric yang tidak mengerti apa yang terjadi, hanya bisa melihat istr
"Tuan, Nyonya Anna sudah tertidur." Darcy menghadap pada lelaki yang menggajinya itu. "Lalu bagaimana? Kalian sudah mencari tahu?" tanya Alaric yang sedang menggoyangkan gelas kaca berisi cairan alkohol berwarna cokelat. "Ya." Kali ini Caspian yang berbicara. "Ayah dari Nyonya bernama Roy dan sejak dulu, dia memang terkenal sebagai lelaki yang suka berganti pacar dan beberapa kali menipu pacarnya demi uang. Anehnya, Nyonya sama sekali tidak tahu ini." "Ini membingungkan," gumam Alaric mengembuskan napas pelan. "Dia ini sebenarnya peduli pada Anna atau tidak sih?" "Menurut saya tidak." Darcy dengan cepat membantah. "Kalau Roy ini memang peduli pada Nyonya, minimal dia akan meminta maaf. Tapi coba lihat apa yang terjadi tadi? Pria tua itu malah meminta uang." "Lalu, aku juga menemukan data ponselnya. Sepertinya si Roy ini menawarkan putrinya ke lebih dari satu orang pria tua," tambah Caspian disertai dengan embusan napas panjang. Alaric mendengus pelan, dengan sebelah bibir t
"BERANI-BERANINYA KALIAN!" Anna refleks memalingkan wajah, ketika mendengar suara keras dari ponsel sang suami. Jangankan dia, dua asisten yang ikut pun memejamkan mata saking kerasnya teriakan yang terdengar itu. "Mom, tolong jangan berteriak seperti itu." Alaric mengembuskan napas pelan. "Kami sedang berada di tempat umum dan sekarang semua menoleh melihat kami." "Menurutmu kenapa aku marah?" hardik Elizaabeth, terlihat sangat marah di layar ponsel putranya. Mereka sedang melakukan sambungan video. "Karena kami tidak memberitahumu tentang kepergian kami?" tanya Alaric tampak begitu tenang, bahkan cenderung terlihat datar. "Tentu saja aku akan marah. Bisa-bisanya kau tidak memberitahu ibumu, sampai aku mengunjungi rumah kalian dan hanya menemui kekosongan di sana." "Sebenarnya, Mom hanya cemburu karena kau tidak mengajaknya." Tiba-tiba saja, Astrid muncul di sebelah sang ibu. "Astrid, apa-apaan kau itu." Elizabeth tentu akan memarahi putrinya. "Aku hanya mengatakan yan
"Alaric anak durhaka ini!" "Mom, bisakah kau tidak memaki?" Alaric menarik dasinya yang terasa sesak. "Rasanya belakangan ini kau sering sekali berteriak. Aku datang ke sini karena kau memanggil dan tidak mengharapkan teriakan." "Kau pantas dimaki dan diteriaki." Bukannya merasa bersalah, Elizabeth malah makin menjadi. "Bagaimana mungkin kau bisa memasukkan mantanmu ke dalam partai?" Alaric langsung menoleh ketika mendengar ucapan sang ibu. Dari tatapannya saja, terlihat jelas kalau lelaki itu tidak senang dengan apa yang didengarnya. "Dari mana kau tahu hal seperti itu?" tanya Alaric dengan tatapan tajam yang tidak dia sembunyikan sama sekali. "Menurutmu dari mana lagi kalau bukan dari istrimu." "Anna?" Alaric yang sedikit terkejut, menaikkan kedua alisnya. "Anak itu melapor pada Mom?" "Kenapa?" hardik Elizabeth malah makin terlihat kesal. "Kau tidak senang kalau istrimu melapor? Apa kau waras?" "Sekali pun aku ini tidak suka pada istrimu, tapi aku lebih tidak suka l
"Kau barusan bilang apa?" tanya Astrid dengan mata melotot. "Ada laporan kalau kartu member VIP atas nama Pak Alaric baru saja digunakan di butik yang baru dibuka itu." Seseorang melaporkan. "Yang datang seorang perempuan yang mengaku sebagai Pearl." "Maksudmu, butik tempat dua anak baru itu bekerja sekarang ini?" tanya Astrid masih dengan mata yang melotot. "Tepat sekali." "Sialan! Perempuan gila itu benar-benar cari masalah." Kini Astrid beranjak dari kursi kerjanya. "Sekarang, antar aku pergi ke butik yang dimaksud. Mereka belum boleh bertemu." *** Anna hanya tersenyum menatap perempuan tinggi yang berjalan mondar-mandir di depannya, dengan ponsel di tangan. Dia menanti dengan setia ketika Marjorie sedang berusaha untuk menelepon Alaric. "Sialan!" umpat Marjorie menekan ponselnya dengan kuat. "Apakah tidak diangkat?" Darcy ikut tersenyum melihat apa yang terjadi. "Aku yakin Tuan Alaric pasti sangat sibuk." "Ya, benar." Marjorie mengangguk. "Dia itu orang sibuk, jad
"Aku memanggil mereka untuk melayaniku, tapi kenapa mereka tidak banyak bergerak ya?" tanya Marjorie menatap dua orang yang sejak tadi dia lihat. "Maaf, Nyonya." Manajer butik hanya bisa menunduk. "Mereka masih anak baru dan belum tahu banyak hal." "Tapi kalau hanya sekedar mengambil barang, memegang baju dan membawa camilan pasti bisa kan?" tanya Marjorie tanpa mengalihkan perhatiannya. Sang manajer kemudian menatap dua orang yang dimaksud. Awalnya dia merasa ragu, tapi pada akhirnya memanggil Anna dan Darcy. Toh, tamunya sendiri yang meminta untuk dilayani dua orang itu. "Kalian bantu Nyonya ini." Sang manajer berbisik. "Kalau ada yang tidak dimengerti, kalian segera kabari saja aku. Aku akan menunggu di sana dan mungkin akan keluar sebentar." "Tinggalkan saja kami." Tiba-tiba saja Marjorie bersuara. "Aku kebetulan mengenal dua orang ini dan ingin sekalian mengobrol." Si manajer menatap pelanggannya untuk sesaat, sebelum beralih pada dua anak barunya. "Kalau ada masalah,
"Hei, kau anak baru. Coba bersihkan kamar ganti dan jangan lupa juga merapikan gudang." "Baik." Anna langsung menjawab dengan ceria. Tapi baru juga dia ingin beranjak, pundaknya diremas pelan. "Kau tidak perlu melakukannya." Darcy maju untuk melindungi sang nyonya. "Bukankah bagian itu sudah dijadwalkan untuk orang lain?" "Tapi kalian itu anak baru," hardik salah seorang karyawan butik yang berseragam abu-abu. "Di sini, karyawan baru yang mengerjakan bagian bersih-bersih, menyetrika dan mengurusi gudang." "Mana ada peraturan yang begitu?" Darcy tentu saja tidak mau kalah. "Bawakan peraturan yang mencantumkan hal itu." "Apa kau bodoh?" tanya salah satu pegawai yang lain. "Di setiap tempat kerja itu, pasti ada saja peraturan tidak tertulisnya. Kau tidak pernah bekerja ya?" "Mereka itu rakyat jelata yang baru menginjakkan kaki di toko mewah, jadi maklumi saja." Satu lagi pegawai menyebalkan bersuara. "Kalian
"Kau baru saja bilang apa?" tanya Astrid dengan kedua mata membulat, dengan ponsel yang menempel di telinga. "Aku meminta kau memberi pekerjaan pada istriku," jawab Alaric dengan tenang. "Hanya kau yang bisa aku mintai tolong untuk sekarang ini, jadi jaga istriku dengan baik." "Tapi kau sendiri kan punya perusahaan, kenapa .... Halo? Alaric?" Astrid menatap ponselnya yang sudah kembali berwarna hitam, tanda panggilan telepon itu sudah dimatikan secara sepihak. Hal itu jelas saja akan membuat Astrid mendesis kesal. "Maaf, tapi apakah aku tidak bisa bekerja di sini?" Kepala Astrid langsung berputar untuk menoleh dan melihat perempuan yang baru saja berbicara itu. Dia melihat adik iparnya dengan kedua alis terangkat dan bibir mengatup sangat rapat. "Boleh aku tahu kenapa kau harus bekerja?" tanya Astrid masih melotot. "Aku tidak ingin menjadi beban untuk Alaric," jawab Anna dengan senyum lebar. "Bukan berarti aku tidak mendapat uang saku, tapi aku hanya ingin punya penghas
"Mana Anna?" Alaric bertanya dengan kening berkerut, ketika dia sudah sampai di rumahnya yang terasa sepi. Biasanya, sang istri akan selalu menyambut Alaric jika dia pulang tidak terlalu larut. Tapi hari ini, dia sama sekali tidak melihat batang hidung Anna, padahal jam makan malam baru saja berlalu. "Itu Tuan." Darcy menjawab dengan ragu-ragu. "Nyonya Anna mengurung diri di kamar tamu dan juga mogok makan." "Mengurung diri?" Sebelah alis Alaric tentu saja terangkat. "Aku melarangnya untuk pergi mencari pekerjaan." "Pekerjaan? Pekerjaan apa maksudnya?" "Karena merasa bosan di rumah saja, Nyonya ingin melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Katanya, dia merasa tidak enak kalau terus menggunakan uang Tuan. Apalagi, tidak banyak yang bisa dia lakukan sebagai istrimu." Tentu saja Darcy akan menjelaskan. Penjelasan itu jelas saja akan membuat Alaric makin menaikkan sebelah alisnya. Bahkan Caspian saja merasa heran mendengar penjelasan dari rekan kerjanya itu. Bagi mer
"Jadi? Siapa Marjorie Jackson ini?" tanya Anna dengan pupil mata yang melebar, bahkan wajahnya cukup dekat dengan sang asisten. "Maaf, Nyonya. Aku juga tidak begitu tahu." Darcy hanya bisa berusaha menjauhkan diri, walau itu sulit. Mereka ada di dalam mobil. "Tapi setidaknya kau tahu sesuatu kan?" Anna masih terus mencecar asistennya. "Setidaknya, beritahu aku apa hubungan perempuan itu dengan Alaric." "Maaf, Nyonya." Hanya itu saja yang bisa Darcy ucapkan secara terus menerus. Bahkan sudah empat kali dia mengatakannya. Anna mengembuskan napas pelan. Padahal, dia hanya ingin tahu siapa sebenarnya Marjorie Jackson itu, tapi tidak ada yang bisa dia dapatkan. Tentu saja Anna bisa mencari lewat media sosial, tapi tidak banyak yang bisa didapatkan di sana. Semua yang dia temukan, hanya informasi umum saja. "Bahkan tidak ada satu pun foto Alaric di sini," gumam Anna sembari menggulir ratusan foto dengan gerakan yang cukup cepat. "Lantas kenapa dia mengaku sebagai istri suamiku?
"Istri katamu?" tanya Anna dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin tidak banyak yang tahu karena ini belum jadi konsumsi publik, tapi ya. Namaku Marjorie Jackson dan aku istrinya Alaric Bastian Crawford yang kau cari." "Istri ya?" Anna kembali bersuara dengan nada tanya. "Aku tidak tahu apa kau itu tuli atau apa, tapi aku sudah menyebutkannya sebanyak dua kali." Kedua alis Marjorie sedikit terangkat karena kesal. "Masalahnya, aku tidak percaya padamu," balas Anna dengan kening berkerut. "Apalagi aku mengenali istri Alaric yang sebenarnya." "Oh, benarkah?" Marjorie mengerutkan keningnya, tapi bukan karena merasa terkejut. Dia sedang bingung. "Bagaimana mungkin kau bisa mengenali istri seorang ...." "NYONYA." Belum juga ucapan Marjorie selesai, suara teriakan terdengar. Langkah tergesa Caspian terdengar setelahnya, setidaknya sampai lelaki itu berhenti tepat di depan tiga orang perempuan dan seorang petugas keamanan yang kebingungan. "Kebetulan sekali kau datang." Marjori
"Halo, selamat pagi. Aku Marjorie Jackson." Seorang perempuan cantik yang berdiri di depan ruangan menyapa. "Terima kasih karena sudah menerimaku masuk ke partai ini, walau waktunya sangat tidak tepat." "Ucapkan terima kasih itu pada calon perdana menteri kita." Seseorang memberitahu. "Kalau bukan karena dia, mungkin kau akan ditendang." "Terima kasih Pak Alaric," ucap perempuan yang tadi memperkenalkan diri dengan senyum lebar. "Jadi begini saja?" Alih-alih menjawab ucapan tadi, Alaric malah bertanya. "Kalian memintaku datang hanya untuk ini?" "Oh, maaf." Seseorang mengucap maaf. "Kami pikir akan baik kalau Pak Alaric juga mengenal anggota baru kita. Kebetulan, dia menyumbang cukup banyak untuk partai kita." "Terima kasih atas sambungannya." Alaric mengatakan itu, sembari beranjak dari tempat duduknya. "Aku harap, kau bisa berkontribusi hal lainnya juga selain uang." Setelah mengatakan hal itu, Alaric melangkah pergi. Asistennya bahkan sedikit terkejut, bahkan perlu berja