"Mereka pernah bekerja sama dengan kita?" tanya Arfeen yang sama sekali tak tahu tentang hal itu. Lyra menyunggingkan senyum tipis. "Sudah kuduga jika kau tak tahu akan hal itu!" "Kapan itu?" "Beberapa tahun yang lalu. Ferano dan Kakek ... pernah menjadi teman meski tidak terlalu akrab. Tapi mereka berada dalam lingkup bisnis yang sama!" "Aku tak pernah melihat Kakek bersama Ferano!" "Karena itu terjadi saat kau masih sangat kecil, aku juga tidak tahu pasti bagaimana hubungan kerja sama mereka atau bahkan pertemanan mereka. Saat itu aku juga masih anak-anak!" "Tapi setidaknya kau mengingatnya?" "Karena aku pernah melihat mereka bersama dan aku ingat siapa saja yang permah kulihat!" Lyra jujur akan hal ini. Ia memang masih ingat dengan jelas siapa saja orang yang pernah ia temui. Termasuk teman-teman kakeknya meski ia tak tahu hubungan mereka seperti apa. "Aku pikir kau akan mencari tahu tentang keluarga istrimu itu!" "Aku pasti akan mencari tahu! Ferano bersikeras ingin me
"Kenapa kau tertawa, apanya yang lucu?" tanya Arfeen dengan wajah sedikit memerah. Larena melirik sang suami, dengan wajah memerahnya itu Arfeen tampak sangat menggemaskan. Ia menghentikan tawanya, mereka tetap berjalan bersisian. "Sejujurnya aku tak pernah mempermasalahkan apa yang orang pikirkan tentangku. Pernikahan kita ada juga karena ... demi orang tuaku yang ... memaksa untuk segera menikah!" akunya dengan nada lirih. Bagaimana mungkin Larena khawatir, wanita itu memiliki paras yang cantik. Body yang aduhai, caranya bersikap, stylenya, mampu membuat yang lebih muda minder terhadapnya. Predikat perawan tua tidaklah jadi masalah. Nyatanya banyak pria yang sering menjadikannya imajinasi liar mereka. Bahkan Arfeen sendiri, sebelum wanita itu menawarinya pernikahan kontrak. Sejak menolongnya, ia sering membayangkan tubuh Larena dalam pelukannya. Mereka memasuki lift, di dalam lift baru Larena memutar tubuh menatap suami kecilnya. "Tak kusangka kau bisa merona juga. Kau tahu Ar
"Kekasih gelap!" Tubuh Arfeen membatu karena sang istri sudah berdiri tegak menatapnya dengan nyalang."Sayang, dengarkan aku dulu. Apa yang kau dengar tadi tidak seperti kenyataannya!""Tapi aku sudah mendengar semuanya, kau bahkan tidak percaya pada pernikahan. Itu benar kan!"Arfeen tak menjawab dan kediamannya itu membuat Larena mengerti bahwa apa yang ia dengar itu benar.Tanpa berkata apa pun lagi Larena pergi meninggalkan butik itu. Arfeen pun lekas mengejar. "Arfeen!" panggil Marla namun Arfeen sama sekali tak peduli. Arfeen mencekal lengan Larena di dekat mobil, "Dengar aku dulu!"Larena mencoba meronta, namun cengkeraman Arfeen justru mengencang. Membuatnya sakit. "Arfeen, sakit!"Arfeen pun lekas menyadari apa yang diperbuatnya. Yang melepaskan cengkeramannya pada lengan Larena. "Maaf, aku hanya ingin kau mendengarkan aku!" Larena membuang muka. "Kita bicara di rumah saja bagaimana? Lebih privasi kan?"Tentu saja Larena setuju akan hal itu. Di tempat umum seperti ini
"Aku ... aku tidak tahu!" jawab Larena jujur. Arfeen memejamkan mata, ia tahu ini terlalu cepat untuk mereka. Dan ia juga bisa mengerti, dengan apa yang baru saja ia ceritakan kepada sang istri. Maka wajar jika wanita itu ragu. Ia sendiri takut jika suatu saat akan melukai istrinya. Ia membuka matanya kembali, menatap lembut wanita di depannya. "Kau tak perlu menjawab, hanya ... cukup kita lalui pernikahan ini. Kita coba untuk menjadi sepasang suami-isteri!"Larena mengerutkan kening, sedikit tak mengerti. "Kita jalani apa adanya saja, hanya ... aku mohon0 jangan selalu mengingatkan tentang pernikahan kontrak. Bukankah ... kau juga sudah berjanji untuk memberi kesempatan bagi pernikahan ini?"Larena mengingat hal itu, ketika Arfeen berjanji akan mendapatkan dana untuk La Viva, pemuda itu hanya meminta dirinya tak melepaskan pernikahan ini sebagai imbalan. Dan Arfeen berhasil mendapatkan dananya, harusnya dirinya bisa memberikan apa yang pemuda itu minta kan? Sebuah kesempatan un
Freya memanggil si pembawa acara lalu membisikkan sesuatu. Pembawa acara itu pun mengerti, kemudian kembali bersuara menggunakan microfon."Ok, untuk memeriahkan acara ini kita semua akan mengadakan sebuah permainan. Bagaimana jika kita akan bermain truth or dare?"Ucapan si pembawa acara disambut meriah oleh para tamu yang kebanyakan adalah teman kuliah Freya. Mereka setuju dengan permainan itu. Maka permainan pun dimulai. Sebuah botol diputar di atas meja bundar yang dikelilingi para gadis, karena yang pertama kali bermain adalah para gadis. Termasuk di pengantin wanita. Dan Larena juga ada di antara mereka. Jujur saja Arfeen mulai khawatir, ia yakin Freya sengaja lakukan itu untuk menjebak Larena. Putaran pertama mulut motor mengarah kepada Ane. Ia memilih dare dari harus minum satu sloki. Putaran ke dua mulut botol mengarah kepada Freya dan ia memilih untuk truth."Katakan dengan jujur, apakah kau pernah menyukai Arfeen?" pertanyaan itu dilempar oleh Zia. "Aku sempat menyuka
"Me-menggoda bagaimana? Mana mungkin orang tidur bisa menggoda?" protesnya tak terima. "Yang melihatmu tidur aku. Tapi bagaimana jika orang lain? Kau pasti sudah diperkosanya!" "A-apa?" "Aku mau mandi, ada kuis pagi ini!" Arfeen meluncur dari ranjang dan langsung melesat ke dalam kamar mandi. Sementara Larena masih bengong di tempatnya. Terkadang suami kecilnya itu sangat mengesalkan. Ia pun memungut bantal lalu melempar ke pintu kamar mandi. Baru saja Larena bangkit dari ranjang, suara handphone berdering di atas nakas. Itu adalah handphone Arfeen. Tapi karena tak mau berhenti maka Larena pun penasaran. Ia memungut benda hitam itu untuk melihat siapa yang menelepon suaminya sepagi ini. Kedua matanya membesar saat nama Freya terpampang di layar. "Freya!" desisnya lirih. Kenapa wanita itu menelepon suaminya? Bukankah di pesta tadi Freya menghina Arfeen? Tak hanya itu, wanita itu juga mencoba ingin mempermalukan dirinya. Larena akhirnya mengangkat panggilan itu."Arfeen! Apakah
"Aku salut dengan istrimu!" puji Nathan setengah berbisik. Arfeen hanya meliriknya. "Dia bisa menghadapi Freya dengan tenang, dan dia lebih memilih dare dari pada mengatakan sesuatu yang mungkin saja bisa mempermalukan dirimu atau bahkan dirinya sendiri!""Dia memang wanita yang pintar, itu sebabnya aku menikahinya."Nathan menyimpulkan senyum miring, "Kalau begitu kenapa kau tidak mencarikannya satu untukku? Aku juga ingin memiliki istri yang kaya dan cerdas.""Sayangnya tak semua orang memiliki nasib baik sepertiku!" saut Arfeen membuat Nathan menelan ludah dengan getir."Kampret! Iya iya aku tahu kau mampu menikahi wanita tercantik di kota ini. Secara soal tampang, kau itu memang goodlooking!"Arfeen hanya menyimpulkan senyum sebagai tanggapan. "Tapi, Feen. Ngomong-ngomong ... sebenarnya bagaimana sih pertemuan kalian bisa berlanjut setelah kau menolongnya waktu itu?"Arfeen menghela nafas panjang sembari menyadarkan punggung. "Itu cerita yang tidak pendek, akan memakan sedikit
"Larena!""Itu Karena?" tanya Nathan yang rupanya ada bersamanya. Arfeen sangat terkejut mendapati wanita itu terikat di ranjang. Sampai ia tak menggubris sang sahabat. "Andrew, lepaskan aku!" Teriakan Karena bisa ia dengar dengan jelas. Wanita itu berusaha meronta, Arfeen khawatir apa yang wanita itu lakukan akan menyakiti dirinya. Tampak ikatan di pergelangan wanita itu sangat kuat. "Andrew, lepaskan Larena!" pinta Arfeen. Sekarang wajah Andrew muncul di layar. "Melepaskannya? Haa ... aaa ... mana mungkin! Larena itu milikku, bukan milikmu. Jadi aku yang berhak memilikinya!""Bedebah kau, Andrew!" maki Arfeen namun ia tak hilang akal. Lekas ia memberi kode kepada Nathan menggunakan tangan untuk meminta handphone sahabatnya itu. Meski awalnya tidak mengerti akhirnya Nathan paham jika sahabatnya hendak meminjam handphonenya. Mungkin menghubungi polisi. Ketika Nathan mengeluarkan handphone, Arfeen lekas merebutnya. Ia lekas mengirim pesan kepada Liam untuk untuk melacak plat mobil