Arfeen masih berdiri dengan tenang di tempatnya, sementara Andrew tampak melakukan gerakan pemanasan ringan. Larena yang duduk bersama Vano dan Viera mulai merasa cemas. "Mama sudah tak sabar melihat gembel itu mengaku kalah dan melepaskan Larena!" ucap Viera dengan angkuh. Larena yang mendengar ucapan mamanya pun hanya diam melirik saja. Ia akan tetap fokus pada Arfeen, bahkan dalam hati ia berdoa agar Arfeen menang. Arfeen tahu kecurangan apa yang Andrew lakukan. Karena itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh para pemain yang curang. Yaitu meletakkan besok ke dalam sarung tangan tinju mereka. Oleh karena itu ia tak boleh sampai terkena pukulan Andrew. Wasit memberi aba-aba dan ... mulai!Andrew lekas memasang kuda-kuda sementara Arfeen hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja. Andrew memberikan serangan tinju pertama yang bisa dihindari oleh Arfeen dengan cukup mudah. Geram, Andrew memberikan serangan kedua. Masih sama, mampu dihindari oleh Arfeen dengan mudah. Terang saja
Larena setengah melepas pelukannya, ia menatap wajah Arfeen yang begitu dekat dengannya. Sebenarnya tadi ia mau melepas pelukan itu spontan, namun ia takut semua orang jadi curiga. "Tak apa, yang mereka tahu kita saling mencintai kan?" ucapnya dengan senyum yang memaksa di bibir. Arfeen membenarkan hal itu, yang semua orang tahu pernikahan mereka itu sungguhan. Bukan hanya sebatas kontrak, jadi kemesraan kecil seperti ini wajar saja jika terjadi. "Kau benar, harusnya kita memang terlihat mesra ya!" saut Arfeen setuju. Namun ia jadi memiliki ide jail. "Kalau begitu harusnya bukan hanya sekedar pelukan, tapi juga ciuman panas!" Kedua mata Larena melotot seketika. Ciuman panas? "Ci-ci-ciuman?" beonya terbata. Arfeen memainkan alis matanya, "Satu ciuman panas tidak akan membuatmu rugi kan? Kau tak ingin mereka curiga jika pernikahan ini hanya kontrak kan?" bisik Arfeen dengan nada sensual. "A ...." Larena mati kutu sekarang. Itu salahnya sendiri juga, kenapa harus memberikan ide pe
"Feen, kau dapat undangan dari Freya tidak?" tanya Nathan ketika dirinya mendudukkan diri. "Undangan dari Freya? Dia kan tidak ulang tahun!" "Ck. Undangan pernikahan. Freya dan Robert mau menikah!" "Ouh." "Kok cuma oh!" "Lah aku harus jawab apa? Diundang atau pun tidak memangnya berpengaruh?" "Kita satu angkatan dapat undangan! Tapi Freya tidak menitipkan undangan untukmu makanya aku tanya!" Arfeen memang sempat melirik Freya, bukan jatuh cinta pada wanita itu. Hanya saja hasrat kelelakiannya menggelora setiap menatap Freya yang mengambil kelas modeling. Tapi Freya tak pernah menganggap Arfeen ada. Bahkan ketika wanita itu mengetahui Arfeen sering memperhatikan dirinya, ia dengan sengaja merendahkan pria itu dengan menyuruhnya melakukan ini itu bak seorang pesuruh. Tapi ketika Arfeen tahu bahwa tenaganya hanya dimanfaatkan saja oleh Freya ia langsung tak memedulikan wanita itu lagi. PUK! Sebuah undangan dengan design yang cantik teronggok ke meja. "Undangan untukmu!" uc
Tuan muda? Tubuh Andrew bergetar, siapa yang dimaksud tuan muda oleh Liam Kane?Tidak mungkin Arfeen kan?"Tuan Kane!" sapa Andrew dengan sopan sambil menundukkan kepala saat Liam mendekat. Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh membuat Andrew terpekur. "Tuan Muda, maaf atas kekacauan ini. Harusnya kami bisa mencegah hal seperti ini terjadi!" Liam menunduk kepada Arfeen."Tu-Tuan Muda?" desis Andrew merasakan lututnya melemas. "Belakangan kinerjamu memburuk, Liam. Kau ingin aku mencari orang lain?""Maafkan saya, Tuan Muda.""Tuan Muda! Tuan Kane, kenapa Anda memanggil Arfeen Tuan Muda?" tanyanya dengan nada hati-hati. Liam menoleh pada Andrew. "Karena dia adalah tuan mudaku, pewaris keluarga Mahesvara!" "A-apa? Tidak mungkin!" sanggahnya. Tentu saja ia tak bisa menerima ini begitu saja. Bagaimana bisa Arfeen yang hanya tukang sapu jalanan tiba-tiba menjadi pewaris keluarga Mahesvara?"Kau telah bersikap kurang ajar terhadap Tuan Muda. Seharusnya kau sadar siapa dirimu!" "Tua
Dalam perjalanan pulang, Liam memberitahu jika anak buahnya sudah menemukan orang yang mensabotase mobil Tantra. "Di mana dia sekarang?" "Seperti biasa, di markas Tuan Muda.""Kita ke sana!""Baik."Sementara di markas, Lyra sedang menatap dua orang yang saat ini terdudum di tengah ruangan dengan ketakutan. "Kami hanya menerima job, kami tak pernah bertanya siapa nama pemesan. Itu aturannya!" jawab salah satu pria. "Benar, Nona.""Kalian sungguh tak ingin memberitahu?" Karena keduanya masih diam, Lyra lekas menendang mereka satu persatu hingga terpental. Meski sudah disiksa tapi kedua pria itu tetap diam, maka kali ini Lyra langsung menghajarnya habis-habisan. Arfeen yang baru saja tiba sedikit terkejut melihat kakaknya tengah menghajar dua orang itu. Namun ia tak mencoba menghentikan, hingga pada akhirnya dua pria itu diam tak bergerak. Seorang pengawal memeriksa kondisi keduanya kaku menggeleng yang menandakan bahwa keduanya telah tiada. Jelas hal itu membuat Arfeen sedikit
"Mereka pernah bekerja sama dengan kita?" tanya Arfeen yang sama sekali tak tahu tentang hal itu. Lyra menyunggingkan senyum tipis. "Sudah kuduga jika kau tak tahu akan hal itu!" "Kapan itu?" "Beberapa tahun yang lalu. Ferano dan Kakek ... pernah menjadi teman meski tidak terlalu akrab. Tapi mereka berada dalam lingkup bisnis yang sama!" "Aku tak pernah melihat Kakek bersama Ferano!" "Karena itu terjadi saat kau masih sangat kecil, aku juga tidak tahu pasti bagaimana hubungan kerja sama mereka atau bahkan pertemanan mereka. Saat itu aku juga masih anak-anak!" "Tapi setidaknya kau mengingatnya?" "Karena aku pernah melihat mereka bersama dan aku ingat siapa saja yang permah kulihat!" Lyra jujur akan hal ini. Ia memang masih ingat dengan jelas siapa saja orang yang pernah ia temui. Termasuk teman-teman kakeknya meski ia tak tahu hubungan mereka seperti apa. "Aku pikir kau akan mencari tahu tentang keluarga istrimu itu!" "Aku pasti akan mencari tahu! Ferano bersikeras ingin me
"Kenapa kau tertawa, apanya yang lucu?" tanya Arfeen dengan wajah sedikit memerah. Larena melirik sang suami, dengan wajah memerahnya itu Arfeen tampak sangat menggemaskan. Ia menghentikan tawanya, mereka tetap berjalan bersisian. "Sejujurnya aku tak pernah mempermasalahkan apa yang orang pikirkan tentangku. Pernikahan kita ada juga karena ... demi orang tuaku yang ... memaksa untuk segera menikah!" akunya dengan nada lirih. Bagaimana mungkin Larena khawatir, wanita itu memiliki paras yang cantik. Body yang aduhai, caranya bersikap, stylenya, mampu membuat yang lebih muda minder terhadapnya. Predikat perawan tua tidaklah jadi masalah. Nyatanya banyak pria yang sering menjadikannya imajinasi liar mereka. Bahkan Arfeen sendiri, sebelum wanita itu menawarinya pernikahan kontrak. Sejak menolongnya, ia sering membayangkan tubuh Larena dalam pelukannya. Mereka memasuki lift, di dalam lift baru Larena memutar tubuh menatap suami kecilnya. "Tak kusangka kau bisa merona juga. Kau tahu Ar
"Kekasih gelap!" Tubuh Arfeen membatu karena sang istri sudah berdiri tegak menatapnya dengan nyalang."Sayang, dengarkan aku dulu. Apa yang kau dengar tadi tidak seperti kenyataannya!""Tapi aku sudah mendengar semuanya, kau bahkan tidak percaya pada pernikahan. Itu benar kan!"Arfeen tak menjawab dan kediamannya itu membuat Larena mengerti bahwa apa yang ia dengar itu benar.Tanpa berkata apa pun lagi Larena pergi meninggalkan butik itu. Arfeen pun lekas mengejar. "Arfeen!" panggil Marla namun Arfeen sama sekali tak peduli. Arfeen mencekal lengan Larena di dekat mobil, "Dengar aku dulu!"Larena mencoba meronta, namun cengkeraman Arfeen justru mengencang. Membuatnya sakit. "Arfeen, sakit!"Arfeen pun lekas menyadari apa yang diperbuatnya. Yang melepaskan cengkeramannya pada lengan Larena. "Maaf, aku hanya ingin kau mendengarkan aku!" Larena membuang muka. "Kita bicara di rumah saja bagaimana? Lebih privasi kan?"Tentu saja Larena setuju akan hal itu. Di tempat umum seperti ini