Usai membuat bekal, Claudia langsung bersiap-siap mandi dan berpakaian. Dia mengenakan pakaian serba putih. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Tidak lupa Claudia menambahkan foundation di area lehernya lumayan banyak.Netra matanya menatap lamat-lamat dirinya di depan cermin. ‘Rasanya jadi canggung untuk menemui Dirga,’ batin Claudia. Kepalanya menoleh untuk melihat jam yang melingkar di pergelangan kirinya.Sudah jam enam lebih sekian. Claudia harus cepat membangunkan pemuda itu agar Dirga memiliki waktu untuk sarapan terlebih dahulu sebelum pergi ke kampus.Claudia berencana akan pergi lebih awal. Tentu tidak mungkin Claudia menumpang Vespa merahnya Dirga. Selain karena canggung, mungkin saja pagi ini Dirga berencana menjemput Aruna.Memastikan semuanya sudah rapi, Claudia menyelempangkan tas berwarna oranye di bahunya. Dia membulatkan tekad untuk pergi ke kamar Dirga.“Bagaimana pun, aku tidak bisa menghindari Dirga terus-terusan,” gumam Claudia mengembuskan napas berat.Beberap
Dalam kehidupan ini, akan ada yang tinggal dan ada juga yang pergi. Claire Lee adalah orang yang pergi dalam hidup Claudia. Lebih tepatnya, Claudia juga memilih pergi dari kehidupan Claire.Seruan Claudia yang menyebut nama Claire membuat Dirga akhirnya ikut melihat ke arah pintu masuk.Dengan senyumnya yang cantik, Claire menyapa, “Selamat pagi, Claudia … pagi Dirga,” sapanya dengan ramah. Claire bertingkah seolah sudah melupakan apa yang terjadi kemarin.Detik berikutnya, Dirga menarik tubuh Claudia dan menempatkan wanita itu berada di belakangnya.“Ada keperluan apa Mbak ke sini?” tanya Dirga to the point. Dirga menaruh sebagian rasa hormatnya pada sosok Claire karena bagaimana pun Claire adalah dosen sekaligus dosen wali beserta tunangan dari Sambara–sepupunya.Jika bukan karena ketiga poin tadi, Dirga hanya akan menganggap Claire adalah wanita pengganggu dan tidak layak disebut manusia.“Mbak nggak punya kepentingan sama kamu, Dir,” sahut Claire terkekeh hambar. “Meskipun seharus
Nyaris saja Claudia tersandung jika dia tidak cepat-cepat berpegangan pada tiang listrik yang ada di dekatnya. Padahal sebentar lagi, dia tiba di depan mobil Ryuga yang sudah terparkir di depan supermarket.Sejenak, Claudia menutup mata dan membatin, ‘Astaga. Kapan aku tidak tersandung, sih,’ ringisnya.Di dalam mobil, baik sopir, Aruna maupun Ryuga melihatnya secara jelas.“Claudia …,” gumam Ryuga sambil menggelengkan kepala. Entah sudah yang keberapa kali Ryuga melihat kecerobohan wanita itu.Aruna mengerjapkan mata. Dia merasa dejavu melihat Claudia yang tersandung. Dia menolehkan wajah ke arah Ryuga.“Dad, Aruna turun sekarang, ya.” Gadis itu mengangkat sketchbook dalam pelukannya. “Mau mengantarkan ini ke Dirga,” beritahunya.“Nggak apa-apa ‘kan nunggu Aruna bentar?” tambah Aruna lagi. Sebenarnya saat di perjalanan tadi, Aruna sudah memberitahu Ryuga satu kali.Ryuga menganggukkan kepala. “Janji tidak lama? Kalau lama, Daddy tinggal.”Tentu Ryuga tidak serius dengan ucapannya. Apa
Tidak mau bertemu Dirga membuat Aruna berinisiatif menaruh sketchbook itu di teras rumahnya saja.“Sebaiknya taruh di teras daripada di meja, takut nggak kelihatan Dirga,” pikir Aruna seraya melirik meja di pojok ruangan. Gadis itu segera merogoh catatan dan pulpen mini di tas kecil yang Aruna selempangkan.Setidaknya Aruna harus sopan sedikit meskipun lebih sopan lagi jika mengembalikannya secara langsung.‘Maaf sketchbook-nya aku balikin di sini ya, Dirga.’Kira-kira itulah yang Aruna tulis di catatan berwarna pink kotak kecil itu sebelum menempelkannya di atas sketchbook. Lantas Aruna berjongkok untuk menaruhnya di teras.Bersamaan ketika tubuh Aruna bangkit, pintu depan rumah Dirga terbuka, menampilkan si empu rumah yang sudah tampan dengan setelan kaos putih dibalut kemeja berwarna navy berlengan pendek.“D-Dirga?!” pekik Aruna tertahankan. Tubuhnya menegak.Pandangan keduanya bertemu. Tadinya Aruna ingin langsung menyelonong pergi. Namun, Aruna mendapati wajah Dirga yang pucat.
“Putus?” ulang Dirga dengan kedua alis yang menukik kesal. “Nggak mau,” tolak Dirga datar. Tidak sekali pun terlintas dalam pikiran Dirga untuk memutuskan Aruna. Manik hitamnya menyorot Aruna dalam. Suara beratnya mengudara, “Tarik lagi ucapan lo, Aruna. Lo nggak akan bisa putus dari gue.” Mata besar Aruna memicing mendengar ucapan Dirga yang menggelikan dan terkesan egois. Aruna membalas, “Nggak, Dirga. Aku tetap mau putus.” Pada titik itu Dirga merasa gusar. Aruna serius meminta putus darinya? Rahang Dirga mengeras. Dia menggelengkan kepalanya. “Gue menolak, Aruna,” sahutnya tegas. Sebenarnya Aruna kebingungan menghadapi sikap Dirga yang sekarang. 'Nggak, Aruna. Jangan lengah,' batinnya. Aruna mengembuskan napas berat. Wajahnya pasti kusut dan mata besarnya terlihat habis menangis. Dia berharap Ryuga tidak akan menyadari itu. Lalu pandangan Aruna menatap Dirga dengan lelah. "Udah, Dirga. Cukup. Aku pergi," pamit Aruna membalikkan tubuhnya. Ketika itu percuma saja menahan kepe
Rasanya Claudia jadi malu sendiri karena Ryuga meresponsnya dengan senyum yang tampak mempesona.Paling tidak, pria itu seharusnya mengatakan sesuatu ‘kan?“A-apa kamu tidak setuju, Ryuga?” tanya Claudia memastikan. Dia membasahi tenggorokannya dengan menelan ludahnya dalam-dalam.Sudut bibir Ryuga terangkat, kini tersenyum menyeringai. “Siapa bilang aku tidak setuju?” Raut wajahnya menunjukkan keberatan.Ryuga menarik tangannya dari Claudia hanya untuk berpindah menyelipkan poni Claudia ke belakang telinga. Dengan suara dalamnya, Ryuga berkata, “Aku bahkan setuju jika kamu ingin mengadakan pesta pertunangan kita di acara reuni kelasmu malam ini, Claudia.”Demi mendengar itu, Claudia terperangah. Yang benar saja?! Ryuga pasti–“Aku tidak sedang menggodamu. Aku serius, Claudia.” Ryuga berucap seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiran tunangannya.Kepala Claudia menggeleng kuat-kuat di tengah rasa panas yang menjalari pipinya. Dia memalingkan wajah. Claudia membatin, ‘Tapi, nggak beg
Beberapa jam kemudian, tugas yang diberikan pada mahasiswa selesai dikumpulkan. Claudia menerima sekumpulan sketchbook yang diserahkan oleh Dirga selaku ketua kelas. “Tolong simpan di sini saja dulu ya, Dir,” pinta Claudia menunjuk bangku panjang di dekat pintu masuk. Mendengar itu, Dirga tidak langsung menurut. Dia tetap memeluk tumpukan sketchbook itu. “Kenapa nggak sekalian langsung dimasukkin ke mobilnya Ryuga, Mbak?” heran Dirga dengan alis yang naik sebelah. Dagunya mengedik ke depan. Manik hitamnya tertuju pada sebuah mobil hitam mewah yang terparkir di luar pintu masuk. “Itu mobilnya Ryuga ‘kan?” desak Dirga. Claudia tidak langsung menjawab. Dia sempat kebingungan, pasalnya Aruna sudah masuk ke dalam mobil. Gadis itu memilih langsung pulang dibandingkan menghabiskan waktu untuk bermain-main di Kebun Binatang seperti teman-teman kelasnya yang lain. “Uhm, ya, tapi– “Tapi, ada Aruna di mobilnya Ryuga?” Dirga mencoba mengartikan wajah kebingungan Claudia. Pemuda itu mendengu
Di antara keempatnya, Ryuga satu-satunya orang yang belum mengetahui jika Dirga sudah mengetahui semuanya.Maka, jelas Ryuga yang paling terkejut. Manik hitam tajamnya bertukar pandang dengan Dirga. Lalu Ryuga mengalihkan pandangannya pada Aruna.“Dirga sudah tahu semuanya, Dad.” Penjelasan Aruna dalam satu kalimat membuat Ryuga terdiam.Di sebelah Dirga, Claudia menyikut lengan pemuda itu. Jarak keduanya dekat sehingga Claudia bisa berbisik pelan, “Beri salam, Dirga!”Menggemaskan melihat Dirga yang malah menatap manik hitam Ryuga dengan manik miliknya yang tidak kalah tajam.Ryuga berdeham. Aruna memutar kembali wajahnya ke depan. Dia sama sekali tidak berniat menyapa mantan kekasihnya.“Halo, O-om Ryuga," ucap Dirga sedikit kaku. Ekspresinya tampak kesulitan. Dia hampir tidak percaya karena baru saja membubuhi Ryuga dengan sebutan 'Om'.Pemuda itu masih memiliki keraguan mengenai status ayah dan anak di antara Ryuga dan Aruna. Mungkin saja Dirga masih memerlukan waktu untuk menerim