“Maksud Ibu … saya tidak jadi mengajar di kelas siang?” tanya Claudia dengan alis tertaut.
Sekarang, Claudia sudah berada di ruangan prodi dan sedang berbicara dengan Bu Rika, sang kepala program studi. Namun, di luar dugaan, Bu Rika menyampaikan adanya perubahan yang membuat Claudia memasang wajah kecewa.
“Benar, Bu Claudia. Saya paham Ibu pasti kaget karena perubahannya mendadak, tapi ini perintah dari atas. Saya harap Ibu bisa menerima,” ujar Bu Rika selagi menampakkan wajah bersalah.
Claudia termenung. Sungguh tak dia sangka, dirinya yang seharusnya mengajar di kelas reguler atau kelas siang, malah diubah menjadi pengajar di kelas non-reguler atau kelas malam.
Itu tidak sesuai keinginan Claudia. Bukan hanya karena jadwalnya agak sulit, tapi dia juga takut kemampuannya tidak mumpuni.
Kelas non reguler dihuni oleh mahasiswa dengan usia beragam dan mayoritas adalah pekerja, rata-rata dari mereka pasti memiliki lebih banyak pengalaman dibandingkan dirinya. Kalau misal Claudia melakukan sedikit saja kesalahan, akan lebih besar kemungkinan dia dilaporkan.
“Kalau Ibu keberatan, maka saya juga tidak masalah kalau Ibu mundur. Ini memang kelalaian dari pihak kami,” imbuh Bu Rika saat melihat keraguan di wajah Claudia.
Mendengar itu, Claudia tersentak. Menjadi guru adalah impian mendiang sang ibu untuknya, dan hal itu menjadi impian Claudia juga. Jadi, dia tidak bisa kehilangan kesempatan ini!
“Tidak masalah, Bu Rika. Saya bisa,” angguk Claudia. “Tapi, kalau boleh tahu mengapa saya tidak jadi mengajar di kelas reguler?
“Ah, itu.” Bu Rika tampak tidak enak membahas masalah ini. “Sebenarnya … sudah ada dosen yang akan mengisi di kelas reguler, dia–”
Ketukan di pintu membuat ucapan Bu Rika terhenti. Ketua prodi itu menoleh, pun dengan Claudia ke arah pintu.
“Permisi, Bu Rika. Saya– Eh? Claudia?”
Claudia kenal suara indah itu, juga wajah cantik yang saat ini menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Kamu di sini ternyata, Clau!” seru wanita cantik itu seraya menghampiri dirinya.
Dengan tenggorokan yang terasa kering, Claudia pun memaksakan diri untuk memanggil wanita tersebut, “Claire …?”
Claire Lee, teman terdekat Claudia, wanita yang memiliki segala hal terbaik di dunia ini, sekaligus pria yang Claudia cintai.
Ya, Claire Lee adalah tunangan Sambara, pria yang sampai saat ini masih singgah di hati Claudia.
**
Setiap orang di dunia pasti memiliki paling tidak satu teman terdekat di hidupnya, dan bagi Claudia … orang itu adalah Claire. Cantik, pintar, berlatar belakang kuat, dan disukai banyak orang, Claire adalah sosok sempurna yang bahkan sempat membuat Claudia mengidolakan dirinya sejak SMA.
Namun, semua berubah ketika Claudia tahu bahwa Claire berujung berpacaran dengan Sambara semasa kuliah, tepat setelah Claudia memberi tahu gadis tersebut perihal perasaannya terhadap pria itu.
“Clau, jangan marah, ya. Niatku awalnya cuma mau ngecek aja apa dia udah suka sama perempuan lain atau nggak buat kamu, tapi … ternyata dia malah terima aku. Sekarang, aku sudah terlanjur suka sama Kak Sam, jadi aku nggak bisa putus sama dia. Sebagai sahabat aku, kamu pasti merestui hubungan kita, ‘kan?”
Itu yang dikatakan oleh Claire ketika Claudia menanyakan alasan kenapa teman baiknya itu melakukan hal tersebut. Dan karena kalimat itu juga, Claudia merasa dirinya adalah teman terburuk lantaran masih menyimpan rasa tidak suka tiap kali melihat Sambara dan Claire bersama, sama seperti di pesta pertunangan yang terjadi di malam sebelumnya.
“… Clau … Claudia!”
Panggilan itu menyentak Claudia dari lamunannya. Dia mengangkat pandangan dari layar komputer yang menyala, menuju wajah cantik milik Claire yang terduduk di sebelahnya.
Ah, ya. Sekarang mereka sudah di ruang dosen.
“Kok lo ngelamun sih?” tanya Claire sambil tersenyum. “Kenapa? Kaget ya?” Dia lanjut berbicara, “Memang ini gila, sih. Gue masih nggak nyangka kita ngajar di kampus yang sama dan meja kita juga sebelahan!”
Claudia memaksakan senyuman. “Iya, kebetulan banget.”
Jujur, Claudia masih tidak menyangka bahwa Claire akan kerja satu universitas dengannya, bahkan teman baiknya itu adalah alasan Claudia tidak jadi mengajar di kelas reguler.
Ya, wanita itu yang menggantikannya.
“Clau, kenapa?” tanya Claire yang mendapati Claudia banyak murung saat ke luar dari ruangan prodi. “Lo nggak seneng ya gue juga ikutan ngajar di sini?”
Pertanyaan itu membuat Claudia mematung.
Sudah lama perasaan tidak nyaman ini Claudia miliki ketika bersama Claire. Bukan apa-apa, tapi Claudia merasa apa pun yang dirinya sukai, maka Claire pasti akan mengambilnya.
Dimulai dari hal kecil seperti gelang yang Claudia lihat di pinggir jalan ketika bersama Claire, atau mungkin merk cat lukis premium yang tidak mampu Claudia beli, bahkan sampai gaya berpakaian yang Claudia miliki. Yang paling jauh … adalah pria yang Claudia sukai.
Sekarang, Claire juga mengambil posisi dosen yang sebelumnya telah dijanjikan kampus untuk Claudia? Apa ini kebetulan? Tapi … kebetulan macam apa yang terjadi berkali-kali?
Sadar dia mulai berpikir buruk tentang sahabatnya sendiri, Claudia langsung menepis pikiran itu dan berusaha tersenyum. “Enggak, Claire, perasaan kamu aja,” elaknya. “Aku cuma kurang istirahat semalam. Masih agak ngantuk.”
“Beneran? Lo nggak marah 'kan sama gue?” Claire menarik kursinya agar lebih dekat dengan Claudia.
“Untuk apa marah?” tanya Claudia sembari merapikan dokumen di atas meja, matanya tidak menatap Claire.
Claire memandang Claudia lurus. “Lo nggak mikir kalau gue yang minta ke Kak Liam buat nempatin gue di kelas reguler?”
Claudia terdiam, lalu menatap Claire.
Betul, salah satu alasan Claudia meragukan semua ini adalah karena dia ingat bahwa Claire memiliki kakak laki-laki bernama Liam Lee, pria yang merupakan salah satu donatur tetap di kampus ini. Demikian, cukup sulit bagi Claudia untuk mengatakan kalau ini semua adalah kebetulan.
Jadi, apakah Claire sungguh sengaja meminta bantuan kakaknya untuk menggeser posisi Claudia?
Setelah sesaat terdiam, Claudia tertawa bercanda. “Kamu? Minta ke Kak Liam?” ulangnya. “Aku lebih percaya kalau Kak Liam yang memaksa kamu bekerja,” sindirnya sembari tertawa, membuat Claire yang tadi memasang wajah menyelidik, ikut tertawa. “Aku cuma kecapean aja,” imbuh Claudia akhirnya. “Ah, syukurlah. Gue juga kurang istirahat sebenernya. Semalem acara pertunangannya sampe larut banget,” cerita Claire membuka topik yang Claudia paling hindari. “Oh iya, kemarin lo balik duluan, ya? Kenapa?” Ditanya seperti itu, Claudia merasa dadanya tercekat. Tidak mungkin ‘kan dia berkata dia pulang karena sakit hati melihat pertunangan sahabatnya dan memutuskan mencari gigolo!? Claudia pun berusaha menjawab dengan tenang. “Aku kemarin kecapekan aja, jadi pulang duluan. Maaf, ya,” ucapnya lemah. Sungguh, Claudia merasa dirinya adalah teman terburuk sedunia. Teman baiknya bertunangan, tapi dia malah pulang lebih dulu. Di tengah-tengah percakapan Claudia dan Claire, mendadak sebuah suara bers
Claudia kehilangan kata-katanya saat netranya beradu dengan manik hitam milik Ryuga. Ya, itu Ryuga. Mau sebanyak apa pun Claudia mengedipkan mata, sosok yang sedang duduk di sofa itu tetaplah Ryuga. Tidak berubah bentuk menjadi seekor kucing, siluman jadi-jadian, atau pun menghilang layaknya hantu. Sadar akan hal itu, Claudia langsung memekik dalam hati, ‘KENAPA PRIA ITU BISA DI SINI!?’ Claudia bertanya-tanya, sedang apa Ryuga di ruangan Dekan? Tidak mungkin kalau pria itu tahu identitas soal Claudia, bukan? Lagi pula, Mami sudah berjanji, bahkan dibayar mahal oleh Claudia agar privasinya itu terjaga dan aman! Detik berikutnya, Claudia menutup mulutnya tak percaya. Apa jangan-jangan Ryuga adalah satu satu dosen juga di sini? Kebetulan macam apa ini!? Bu Yuli yang sedari tadi melihat Claudia melirik ke arah Ryuga menangkap sinyal-sinyal asmara. Dia kira putri teman baiknya ini menyukai Ryuga. Alhasil, dia langsung berkata, “Claudia, sini masuk!” Bu Yuli membuka pintu lebar-leb
“Kami tidak saling kenal.” Claudia menghela napas, bersyukur Ryuga masih memiliki kebaikan hati. Bisa gawat nasibnya kalau masalah kemarin malam terbongkar! Namun, detik berikutnya, Claudia mendengar pria itu menambahkan, “Hanya saja, dia tampak amatir.” Ucapan itu membuat Claudia menatap Ryuga dengan pelipis berkedut. Pria ini … sedang menyindirnya seperti saat kejadian di malam yang lalu! Tidak terima disindir seperti itu, Claudia membalas, “Saya rasa, Bapak tidak berhak menilai saya seperti itu. Bukankah Bapak tidak mengenal saya? Atas dasar dan bukti apa Bapak bisa menyimpulkan bahwa saya amatir?” “Apakah ucapan saya menyinggung perasaan Bu Claudia?” ‘YA MENURUT BAPAK!?’ Claudia merengut dalam hatinya sebagai respons ucapan Ryuga. Bu Yuli sadar bahwa tampaknya terjadi kesalahpahaman. Dia menatap Ryuga lalu Claudia, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil alih menjelaskan, “Claudia, maksud Pak Ryuga bukan seperti itu. Pak Ryuga taunya kamu dosen baru di sini, jadi mungkin Pa
Melihat Claudia mematung karena terlewat kaget, Ryuga berujar dengan suara dalam yang menggelitik telinga, “Bernapas, Claudia.” Sadar dengan dirinya yang tidak bernapas sedari tadi, detik itu Claudia langsung menarik napas sebanyak mungkin. Usai membenarkan napasnya, Claudia yang telah kembali tenang pun langsung menjauhkan tangan Ryuga dari mulutnya. Dia pun bertanya, “Kenapa Anda menarik saya ke sini? Apa yang Anda ingin lakukan?!” Claudia sedikit waspada. Ryuga menatap Claudia dengan mata memicing, tampak sangat mengintimidasi. “Kamu tidak sadar apa kesalahanmu pada saya?” Pertanyaan itu membuat Claudia bingung. “Saya tidak paham maksud Bapak,” balasnya. Ryuga menautkan alis. “Tidak paham?” Tangan Ryuga memukul tembok di sisi kepala Claudia, dan dia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. “Haruskah aku mengucapkan setiap hal yang salah dari ulahmu yang melarikan diri dari hotel?!” Ah, tentu saja. Claudia pergi meninggalkan Ryuga tanpa berpamitan, dan hal itu pasti membuat Ryu
Claire menampakkan senyum yang sangat manis. “Benar, ‘kan? Dosen baru di sini ‘kan ada gue sama lo, jadi akan lebih baik kalau lo sekalian ikut bantu ngerjain juga. Anggap kita sama-sama cari pengalaman.” Claudia terdiam, tak langsung menjawab permintaan Claire. Sejujurnya, Claudia sudah sangat sering melakukan tugas seperti ini jauh sebelum dirinya menjadi dosen. Lagi pula, dulu dia juga pernah menjabat sebagai seorang asisten dosen, jadi tugas seperti ini sangat biasa, itu alasan Bu Desi sepertinya tidak memberikan tugas serupa kepadanya dan hanya kepada Claire saja. Namun, sekarang Claire mengatakan seperti ini …. “Kok muka lo begitu, Clau? Lo keberatan?” tanya Claire, membuat Claudia tersentak. “Oh, eh … enggak, Claire.” Claudia berpikir sejenak. Agaknya memang tidak adil kalau Claire mengerjakan tugas seperti ini sendirian, jadi dia pun mengalah. “Oke … kita kerjain bareng aja,” jawab Claudia pada akhirnya, membuat Claire tersenyum lebar. “Yes! Claudia memang yang terba
Melihat betapa garangnya sosok Ryuga, Claudia tanpa sadar mengambil langkah mundur ke belakang. Satu langkah maju dari Ryuga, maka Claudia akan melangkah mundur, begitu terus sampai akhirnya punggung wanita itu menabrak tembok. “P-P-Pak Ryuga …,” panggil Claudia dengan suara mencicit, takut. “M-maaf, Pak.” “Untuk?” Suara Ryuga benar-benar tidak ramah. Dia jelas marah besar. “Saya nggak bermaksud ingkar janji atau kabur, Pak. Tapi saya ….” Claudia menggigit bibirnya, agak malu mengakui, tapi tidak ada pilihan. “Saya lupa ….” “Lupa?” Suara Ryuga seakan merendah satu oktaf, membuat seluruh tubuh Claudia bergidik. Claudia menutup mata erat dan berceloteh, “Saya mendadak harus membantu rekan saya menyelesaikan tugas hingga lembur sendirian, Pak! Bukan sengaja atau pun kabur, tolong Pak Ryuga maafkan saya!” Usai mengatakan semua itu, Claudia baru tersadar betapa cepat jantungnya berdetak. Dia tidak tahu apakah Ryuga menerima permintaan maafnya, tapi dia pasrah. Lagi pula, memang itu k
*Siang tadi* Setelah pergi meninggalkan kampus dan kembali ke kantor, Ryuga masih terus terngiang-ngiang ucapan Claudia sebelumnya yang mengira bahwa dirinya seorang gigolo. Untuk kesekian kali, alis Ryuga menukik dengan tajam. Menandakan jika pria itu tengah kesal. Tepat sebelum langkahnya sampai di lobby, Ryuga mendadak berhenti, lalu menoleh ke Riel, sang asisten pribadi, yang berada di sebelahnya. “Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Riel yang merasa kebingungan dengan sikap Ryuga. Setelah terdiam beberapa saat, Ryuga bertanya, “Dari penampilan saya, menurutmu saya orang yang seperti apa?” Riel agak terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian dia menatap Ryuga saksama sebelum menjawab, “Pak Ryuga adalah orang hebat dan berwibawa yang pantas memimpin perusahaan. Sebagai Presdir Daksa Company, Bapak–” “Oke, cukup,” potong Ryuga dengan alis menekuk tajam, merasa jawaban bawahannya agak dilebih-lebihkan. “Katakan pada saya, apa wajar bila ada orang yang mengira saya seorang … p
Diancam seperti itu, Mila pun ketakutan. Matanya berkaca-kaca dan dia pun menghentakkan kaki kesal sebelum buru-buru keluar dari ruangan.Setelah memastikan Mila ke luar, Ryuga menghela napas. Dia tidak pernah nyaman bersikap kasar pada wanita, tapi untuk wanita seperti Mila, dia terpaksa. Sudah sering wanita-wanita seperti itu mengambil kesempatan atas kebaikannya untuk menciptakan rumor palsu!Usai mendudukkan diri di kursi kebesarannya, Ryuga merogoh ponsel di saku kemejanya. Dia menghubungi seseorang, dan tak lama panggilan itu pun diangkat.“Halo, Ryuga! Tumben telepon? Kenapa? Senang ya, dikunjungi Mila??”Mendengar suara tantenya, Ratih, Ryuga memasang wajah buruk. Jadi, benar dugaannya. Semua adalah ulah Ratih. Ratih adalah adik dari ayah Ryuga. Setelah bertahun-tahun ibu dan ayah Ryuga gagal menjodohkannya dengan wanita pilihan mereka, Ratih pun dimintai tolong untuk mempertemukan Ryuga dengan sejumlah wanita kalangan atas, seperti Mila tadi.“Tante sebaiknya berhenti,” ucap
Jika Ryuga mau, dia bisa saja tetap berada di dekat Claudia dengan duduk di sofa yang tak jauh darinya. Hanya saja Ryuga memutuskan ke luar, sengaja memberikan Claudia ruang untuk bersama kedua temannya.Sebelum pergi, Ryuga memberikan titipan pesan sambil menatap Lilia dan Idellia bergantian, “Tolong panggil aku jika Claudia membutuhkan sesuatu. Aku ada di luar.”“Siap, Ryuga!”Begitu Ryuga ke luar, jelas Lilia dan Idellia sibuk menggoda Claudia. Ryuga duduk di kursi tunggu rawat inap yang letaknya ada di depan ruangan inap Claudia. Tidak sendirian. Ada sesosok pria yang lebih muda darinya juga tengah duduk di sana seraya meneguk minuman kaleng.Tiba-tiba saja Ryuga merampasnya tanpa permisi. “Bukankah sudah aku katakan untuk mengurangi minuman bersoda?” dengusnya sambil menjauhkan minuman kaleng itu dari hadapan Riel.Jika tadi Ryuga mengatakan tanpa meliriknya, maka sekarang manik hitam Ryuga bersitatap dengan manik Riel. “Perlu aku hubungi Diana untuk memarahimu?”Bukan tanpa ala
“Oke, Claudia.”Claudia sendiri tidak menduga dengan respons yang diberikan Ryuga. Bahkan ekspresinya tampak pasrah, tidak ada alis yang menukik kesal karena merasa tidak terima.Dia menggelengkan kepala, ‘Ryuga kok aneh?’“Ryuga!” panggil Claudia begitu netra matanya menemukan punggung Ryuga yang membelakangi, bersiap pergi meninggalkan Claudia seorang diri.Alih-alih Ryuga yang merasa kesal, malah justru Claudia yang dibuat kesal seperti ini. “Kamu benar-benar akan meninggalkanku sendirian, Ryuga? Membiarkan aku tidur sendirian malam ini?” Saat mengatakannya, suara Claudia terdengar gemetar menahan tangis.Tubuh Ryuga kembali berbalik, menghadap ke arah Claudia. Manik hitamnya menyorotnya dalam-dalam. Dengan suara yang lembut, Ryuga bertanya, “Jadi, maumu apa sebenarnya, Nyonya Daksa?”“Mmm? Mau ditinggalkan sendiri atau ditemani?” tawar Ryuga kemudian. Dia sendiri cukup kaget dengan respons Claudia sebelumnya. Ryuga sedikit tidak mengerti, tidak biasanya Claudia bersikap seperti ta
Saat Claudia berusaha membuka mata, samar-samar dia mendapati wajah gadis muda tepat di depan wajahnya. Lalu terdengar gadis itu berucap, “Mommy Clau bangun, Grammie!” Perlahan, Claudia membingkai senyum di bibir cherry-nya yang tampak lemah begitu menyadari jika gadis muda itu adalah Aruna, putrinya. Claudia mengerjapkan mata demi memastikan beberapa pasang mata yang kini menatapnya penuh rasa khawatir. Ada Aruna dan kedua sosok mertuanya, Emma dan Rudi. Hanya mereka. “Ibu …,” panggil Claudia dengan suara khas bangun tidurnya saat bertukar pandangan dengan Emma. Emma dengan sigap lebih mendekat ke arah menantu kesayangannya. “Ibu di sini, Clau,” bisiknya lembut. Rasanya hati Claudia menghangat saat tangan Emma mengusap kepalanya dengan sayang. Dia bisa kembali merasakan disayangi oleh seorang ibu melalui sosok Emma. Claudia menerima sedotan dan meminum air hangat yang disodorkan Emma. Selagi itu, Claudia memastikan kesadarannya benar-benar pulih. Satu tangannya yang tidak terpas
Untungnya jarak tempuh antara rumah Ryuga dan rumah sakit tidak terlalu jauh sehingga Claudia bisa cepat ditangani oleh dokter.Sang sopir dari layanan mobil online yang dipesan Claudia juga untungnya berbaik hati mau membantu. “Tolong, Pak! Wanita ini mengalami pendarahan!” Saat satpam yang berjaga membawa Claudia menggunakan kursi roda untuk masuk ke dalam UGD, Riel yang baru saja selesai berbicara dengan Nuel tidak sengaja melihat ke arah Claudia.Refleks, dia mempercepat langkah agar bisa menanyakan langsung apa yang terjadi. Hanya saja, satpam itu sudah membawa Claudia masuk. Satu tangan Riel mencekal sisi lengan sopir yang hendak kembali ke dalam mobil.Maniknya menatap serius. “Apa wanita itu datang sendirian?” tanya Riel keheranan. Maksud Riel, Claudia.Benaknya bertanya-tanya, di mana Ryuga?Tanpa merasa curiga, Sang sopir itu menganggukkan kepala. Dia bahkan menjelaskan, “Ya, dia sendirian. Suaminya sedang bekerja dan dia terpeleset jatuh di kamar mandi.”Sepertinya Claudia
Aruna kebingungan memperkenalkan dirinya pada Garvi yang baru sadarkan diri. Tangisnya berhenti. Dengan mulut yang setengah terbuka, Aruna mulai menjawab terbata, “A–aku–Ucapannya terputus sebab beberapa orang yang memakai jas putih masuk ke dalam ruangan. Dalam sekejap, ranjang tidur Garvi dikelilingi para dokter tersebut bersamaan Aruna memundurkan langkah.Gadis itu merasakan bahunya disentuh. Begitu Aruna menolehkan wajah ke samping kanan, dia menemukan Pras tengah melemparkan senyum tipis. “Kemungkinan besar Om Argus dan keluarganya akan datang.”Takut jika hal tersebut membuat Aruna merasa tidak nyaman, Pras mengatakan terus terang, “Pulanglah dan kembali besok, Aruna.”Akan tetapi, Aruna bereaksi berbeda. Dia menggelengkan kepala, “Aku mau tetap di sini, Kak Pras.”Usai mengatakan itu, Aruna memilih ke luar dari ruangan rawat Garvi. Dia menarik napas dan mengembuskan napas berulang kali. Ada banyak sekali kekhawatiran dalam benaknya. Dia mulai menggigiti bibir bawah bagian dal
Ayo bicara di luar, Kak.” Sial. Atas ajakan Riel, Nuel menyetujui sehingga Lilia tidak bisa mendengar hal yang kedua pria itu bicarakan. Sedangkan dia harus berbaring pasrah saat seorang perawat datang dengan peralatan infusan. Hanya butuh beberapa menit Lilia berhasil memakai infusan di tangan kirinya. “Terima kasih, Suster,” ucap Lilia ketika suster tersebut bergerak meninggalkan ranjang yang ditempatinya. Lilia akan pulang setelah menghabiskan satu cairan infus yang sudah disuntikkan obat tambahan untuk penguat kandungannya. Persis suster itu berbalik pergi, sosok Idellia baru muncul dengan napas yang memburu. Air wajahnya tampak kebingungan dengan kepala yang celingukan. “Loh … mana Riel?” Alih-alih menanyakan kondisi sepupunya, Idellia malah dibuat salah fokus dengan keabsenan sosok Riel yang seharusnya sedang menjaga Lilia. Netra mata Idellia memandang Lilia lurus-lurus. Setengah kesal, dia bicara, “Apa karena sekarang Riel sudah memiliki kekasih jadi dia menjaga jarak denga
Seorang Riel Waluyo sangat bisa diandalkan dalam pekerjaan, terutama dalam situasi-situasi darurat. Seperti yang terjadi lima belas menit lalu saat Lilia jatuh pingsan. Tanpa banyak bicara, Riel langsung membawanya untuk segera dilarikan ke rumah sakit terdekat bersama Idellia yang ikut membantu.“Tolong cepat ditangani, Sus!”Sementara Lilia ditangani oleh dokter jaga dan suster yang bertugas, Idellia langsung menatap Riel dan menepuk bahunya.“Aku mau membelikan Idellia air minum. Kamu bisa tunggu di sini temani Lilia ‘kan, Riel?” pinta Idellia penuh harap.Riel memberikan anggukan di kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.“Thanks!” ucap Idellia sambil berlari ke luar dari UGD. Di perjalanan tadi, dia sempat mengecek ponsel untuk melihat keberadaan calon suami Lilia yang sudah diberitahu ketika Idellia masih berada di mobil.[Idellia: Cepat ke RS Permata, El! Lilia pingsan.]Hanya selang beberapa menit dokter melakukan pemeriksaan, dia menolehkan wajah untuk menatap Riel–sat
“Aman kok, Clau, aman.”Jawaban Lilia tampak sangat meyakinkan. Bahkan untuk membuat Claudia percaya jika dirinya baik, Lilia mendaratkan satu tangannya di atas punggung tangan Claudia lantas mengusapnya lembut.“Lihat wajah gue … emang nggak kelihatan baik-baik aja, Clau?” Selagi bertanya, air wajah Lilia menunjukkan bahwa dirinya terlihat baik.Itu dia masalahnya. Jika Idellia sangat ekspresif, Lilia adalah kebalikannya. Kedua sepupu itu memiliki sifat yang berbanding terbalik. Jadi, Claudia tidak bisa memastikan. Ditambah Claudia belum terlalu mengenal Lilia lebih jauh lagi. Claudia sendiri tipe manusia yang cukup tertutup dan sulit membuka diri. Pun, dia juga merasa Lilia masuk ke dalam tipe tersebut. Itu sebabnya keduanya cocok berteman.Claudia berdehem, “Oke, aku berusaha percaya semuanya baik.” Hatinya merasa sedih. Dia paling dekat dengan Lilia dibandingkan teman-teman dosennya yang lain.Senyum Lilia mengembang, walau kelihatan agak sedikit canggung. Kepalanya mengangguk pel
Siang itu, Claudia sudah memiliki janji akan makan siang bersama Lilia. Dan sesuai janji Ryuga, dia tidak akan membiarkan Claudia kehilangan waktu bersama temannya meskipun sudah menikah. Hanya saja, ini tidak sesuai yang dibayangkan Claudia. Pandangannya melirik Ryuga yang melangkah bersamanya ke dalam cafe. Mendadak langkahnya berhenti. Otomatis, di sebelahnya Ryuga juga menghentikkan langkah. “Tidak bisakah kamu meninggalkanku berdua saja dengan Lilia, Ryuga?” Suara Claudia terdengar putus asa. Satu kakinya menghentak kesal. Bukan apa-apa, pertemuan makan siang ini hanya untuk dia dan Lilia. Pasti ada sesuatu, duga Claudia, mengingat Lilia tidak mengikutsertakan teman-temannya yang lain. Sebuah masalah karena Ryuga ‘kan tidak diajak. Belum sempat Ryuga memberikan respons, suara Claudia mengudara lagi. “Ayo berpisah di sini saja, Ryuga.” Ekspresi Ryuga tampak kesulitan. Dia sedikit keberatan harus meninggalkan Claudia seorang diri. Tapi, itu pilihan Claudia. Dengan suara yang en