Setelah sesaat terdiam, Claudia tertawa bercanda. “Kamu? Minta ke Kak Liam?” ulangnya. “Aku lebih percaya kalau Kak Liam yang memaksa kamu bekerja,” sindirnya sembari tertawa, membuat Claire yang tadi memasang wajah menyelidik, ikut tertawa.
“Aku cuma kecapean aja,” imbuh Claudia akhirnya.
“Ah, syukurlah. Gue juga kurang istirahat sebenernya. Semalem acara pertunangannya sampe larut banget,” cerita Claire membuka topik yang Claudia paling hindari. “Oh iya, kemarin lo balik duluan, ya? Kenapa?”
Ditanya seperti itu, Claudia merasa dadanya tercekat. Tidak mungkin ‘kan dia berkata dia pulang karena sakit hati melihat pertunangan sahabatnya dan memutuskan mencari gigolo!?
Claudia pun berusaha menjawab dengan tenang. “Aku kemarin kecapekan aja, jadi pulang duluan. Maaf, ya,” ucapnya lemah.
Sungguh, Claudia merasa dirinya adalah teman terburuk sedunia. Teman baiknya bertunangan, tapi dia malah pulang lebih dulu.
Di tengah-tengah percakapan Claudia dan Claire, mendadak sebuah suara berseru lantang, “Mana Claudia?! Eh loh? Ada Claire juga?!”
Pertanyaan itu mengalihkan atensi Claire dan juga Claudia. Beberapa dosen kelihatannya baru saja tiba dan langsung mengerubungi meja keduanya.
Dosen-dosen itu adalah mantan pengajar mereka dulu, membuat Claudia yang sempat murung kembali ceria karena bertemu dengan kenalan lama.
“Bu,” sapa Claudia seraya berdiri untuk balas menyapa. Claire di sebelahnya melakukan hal yang sama.
“Astaga, kalian sama-sama terus ya.” Ada satu dosen yang berujar dengan nada bercanda, “Nempel terus kayak perangko.”
Kehadiran Claire yang tidak terduga membuat semua orang memerhatikan dirinya. Sebagai adik dari Liam Lee dan juga salah satu alumni kampus terbaik, Claire jelas menarik perhatian para dosen, beberapa bahkan sengaja menyanjungnya untuk terlihat baik di hadapannya.
Di saat itu, Claire mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya. “Oh iya, Bu, ini ada sedikit titipan dari Sam buat dosen-dosen di sini.”
Sontak ucapan Claire langsung menyita perhatian semua orang dengan kantong tas belanja di tangannya. Ada sejumlah hadiah mewah di dalamnya.
“Wah, makasih banget loh, Claire. Selamat juga ya kamu udah tunangan sama Sam. Kalian cocok banget! Yang satu pelukis muda cantik dan berbakat, sedangkan yang satu lagi artis muda ganteng terkenal!” sahut salah satu dosen.
“He he, Ibu bisa aja,” balas Claire singkat. Kemudian, wanita itu menoleh ke arah Claudia. “Clau, bantuin bagiin dong!” titah Claire sambil mendengus, seakan Claudia seharusnya sadar itu adalah hal yang patut dilakukan.
Claudia sendiri agak kaget. Semua hadiah itu sudah dikantongi, dan para dosen cukup mengambilnya sendiri. Apa perlu bagi dirinya untuk membagikan hadiah-hadiah tersebut?
Namun, tidak enak menolak, Claudia pun menurut. Anggap membantu teman saja.
Saat tersisa satu kantong terakhir, Claudia bertanya, “Claire, ini sisa satu. Buat siapa?”
Claire pun berkata, “Eh, itu bukan buat lo. Itu buat Bu Dekan!” Suaranya cukup kencang, membuat beberapa dosen menoleh ke arah Claudia.
Alis Claudia berkerut. Dia tidak meminta hampers itu, dia cuma bertanya, ini buat siapa! Haruskah Claire malah berbicara seakan menuduhnya menginginkan hampers itu!?
Namun, belum sempat Claudia menjawab, Claire langsung berkata, “Lo bantuin kasih ke Bu Dekan ya, bilang dari gue.”
“Kenapa bukan kamu sendiri aja, Claire?” tanya Claudia bingung.
“Lo nggak mau, ya? Lo marah karena gue nggak kasih hampers ke lo? Maaf ya, Clau. Nanti gue beliin satu lagi buat lo deh. Jujur gue nggak tahu lo bakalan kerja di sini soalnya …,” cerocos Claire dengan wajah memelas dan sedikit bersalah.
Sejumlah dosen beralih berbisik perihal Claudia, mungkin merasa dirinya keterlaluan karena marah hanya karena sekantong hampers.
Kesalahpahaman itu membuat emosi Claudia agak terpancing. “Claire, aku cuma tanya karena ini ‘kan hadiah dari kamu. Masa aku yang kasih?” jelasnya, membuat bibir Claire membulat.
“Ooh, santai aja. ‘Kan nanti lo juga bilang itu dari gue. Ini gue lagi nanggung ngobrol sama Bu Desi, hehe. Makasih ya, lo emang teman gue yang bisa diandalkan.” Tanpa menunggu balasan Claudia, Claire langsung kembali berbincang dengan salah seorang dosen perihal Sambara dan berbagai hal lain.
Karena tidak ada pilihan lain, Claudia pun meraih kantong hampers itu dan pergi ke luar ruangan. Dia menghela napas mengingat kalimat terakhir Claire.
“Teman yang bisa diandalkan?” ulang Claudia dengan wajah pahit.
Teman atau pembantu?
Dengan berat hati, Claudia menyeret kakinya ke luar dari ruangan dosen. Untung Claudia kenal dekat dengan Bu Dekan, namanya Bu Yuli, kenalan mendiang mama Claudia yang juga dosen di salah satu universitas ternama.
Tak butuh waktu lama, Claudia sampai di ruangan Dekan. Dia memasang senyum secerah mungkin dan mengetuk pintu.
Pintu terbuka dan Bu Yuli pun muncul. Melihat Claudia, dia terkejut. “Claudia!” Dia baru ingat putri sahabatnya itu masuk kerja hari ini.
“Halo, Tante,” sapa Claudia. Dia mengangkat tas hampers dan berkata, “Ini ada hadiah dari–”
Belum sempat Claudia menyelesaikan kalimatnya, senyum cerah Claudia mendadak sirna saat melihat sosok yang duduk di sofa dalam ruangan Bu Yuli.
Sepasang manik hitam itu mendarat pada dirinya, menatapnya dengan pandangan menusuk dan tajam seakan ingin menembus jiwa.
Itu … bukankah itu … Ryuga!?
**
Claudia kehilangan kata-katanya saat netranya beradu dengan manik hitam milik Ryuga. Ya, itu Ryuga. Mau sebanyak apa pun Claudia mengedipkan mata, sosok yang sedang duduk di sofa itu tetaplah Ryuga. Tidak berubah bentuk menjadi seekor kucing, siluman jadi-jadian, atau pun menghilang layaknya hantu. Sadar akan hal itu, Claudia langsung memekik dalam hati, ‘KENAPA PRIA ITU BISA DI SINI!?’ Claudia bertanya-tanya, sedang apa Ryuga di ruangan Dekan? Tidak mungkin kalau pria itu tahu identitas soal Claudia, bukan? Lagi pula, Mami sudah berjanji, bahkan dibayar mahal oleh Claudia agar privasinya itu terjaga dan aman! Detik berikutnya, Claudia menutup mulutnya tak percaya. Apa jangan-jangan Ryuga adalah satu satu dosen juga di sini? Kebetulan macam apa ini!? Bu Yuli yang sedari tadi melihat Claudia melirik ke arah Ryuga menangkap sinyal-sinyal asmara. Dia kira putri teman baiknya ini menyukai Ryuga. Alhasil, dia langsung berkata, “Claudia, sini masuk!” Bu Yuli membuka pintu lebar-leb
“Kami tidak saling kenal.” Claudia menghela napas, bersyukur Ryuga masih memiliki kebaikan hati. Bisa gawat nasibnya kalau masalah kemarin malam terbongkar! Namun, detik berikutnya, Claudia mendengar pria itu menambahkan, “Hanya saja, dia tampak amatir.” Ucapan itu membuat Claudia menatap Ryuga dengan pelipis berkedut. Pria ini … sedang menyindirnya seperti saat kejadian di malam yang lalu! Tidak terima disindir seperti itu, Claudia membalas, “Saya rasa, Bapak tidak berhak menilai saya seperti itu. Bukankah Bapak tidak mengenal saya? Atas dasar dan bukti apa Bapak bisa menyimpulkan bahwa saya amatir?” “Apakah ucapan saya menyinggung perasaan Bu Claudia?” ‘YA MENURUT BAPAK!?’ Claudia merengut dalam hatinya sebagai respons ucapan Ryuga. Bu Yuli sadar bahwa tampaknya terjadi kesalahpahaman. Dia menatap Ryuga lalu Claudia, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil alih menjelaskan, “Claudia, maksud Pak Ryuga bukan seperti itu. Pak Ryuga taunya kamu dosen baru di sini, jadi mungkin Pa
Melihat Claudia mematung karena terlewat kaget, Ryuga berujar dengan suara dalam yang menggelitik telinga, “Bernapas, Claudia.” Sadar dengan dirinya yang tidak bernapas sedari tadi, detik itu Claudia langsung menarik napas sebanyak mungkin. Usai membenarkan napasnya, Claudia yang telah kembali tenang pun langsung menjauhkan tangan Ryuga dari mulutnya. Dia pun bertanya, “Kenapa Anda menarik saya ke sini? Apa yang Anda ingin lakukan?!” Claudia sedikit waspada. Ryuga menatap Claudia dengan mata memicing, tampak sangat mengintimidasi. “Kamu tidak sadar apa kesalahanmu pada saya?” Pertanyaan itu membuat Claudia bingung. “Saya tidak paham maksud Bapak,” balasnya. Ryuga menautkan alis. “Tidak paham?” Tangan Ryuga memukul tembok di sisi kepala Claudia, dan dia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. “Haruskah aku mengucapkan setiap hal yang salah dari ulahmu yang melarikan diri dari hotel?!” Ah, tentu saja. Claudia pergi meninggalkan Ryuga tanpa berpamitan, dan hal itu pasti membuat Ryu
Claire menampakkan senyum yang sangat manis. “Benar, ‘kan? Dosen baru di sini ‘kan ada gue sama lo, jadi akan lebih baik kalau lo sekalian ikut bantu ngerjain juga. Anggap kita sama-sama cari pengalaman.” Claudia terdiam, tak langsung menjawab permintaan Claire. Sejujurnya, Claudia sudah sangat sering melakukan tugas seperti ini jauh sebelum dirinya menjadi dosen. Lagi pula, dulu dia juga pernah menjabat sebagai seorang asisten dosen, jadi tugas seperti ini sangat biasa, itu alasan Bu Desi sepertinya tidak memberikan tugas serupa kepadanya dan hanya kepada Claire saja. Namun, sekarang Claire mengatakan seperti ini …. “Kok muka lo begitu, Clau? Lo keberatan?” tanya Claire, membuat Claudia tersentak. “Oh, eh … enggak, Claire.” Claudia berpikir sejenak. Agaknya memang tidak adil kalau Claire mengerjakan tugas seperti ini sendirian, jadi dia pun mengalah. “Oke … kita kerjain bareng aja,” jawab Claudia pada akhirnya, membuat Claire tersenyum lebar. “Yes! Claudia memang yang terba
Melihat betapa garangnya sosok Ryuga, Claudia tanpa sadar mengambil langkah mundur ke belakang. Satu langkah maju dari Ryuga, maka Claudia akan melangkah mundur, begitu terus sampai akhirnya punggung wanita itu menabrak tembok. “P-P-Pak Ryuga …,” panggil Claudia dengan suara mencicit, takut. “M-maaf, Pak.” “Untuk?” Suara Ryuga benar-benar tidak ramah. Dia jelas marah besar. “Saya nggak bermaksud ingkar janji atau kabur, Pak. Tapi saya ….” Claudia menggigit bibirnya, agak malu mengakui, tapi tidak ada pilihan. “Saya lupa ….” “Lupa?” Suara Ryuga seakan merendah satu oktaf, membuat seluruh tubuh Claudia bergidik. Claudia menutup mata erat dan berceloteh, “Saya mendadak harus membantu rekan saya menyelesaikan tugas hingga lembur sendirian, Pak! Bukan sengaja atau pun kabur, tolong Pak Ryuga maafkan saya!” Usai mengatakan semua itu, Claudia baru tersadar betapa cepat jantungnya berdetak. Dia tidak tahu apakah Ryuga menerima permintaan maafnya, tapi dia pasrah. Lagi pula, memang itu k
*Siang tadi* Setelah pergi meninggalkan kampus dan kembali ke kantor, Ryuga masih terus terngiang-ngiang ucapan Claudia sebelumnya yang mengira bahwa dirinya seorang gigolo. Untuk kesekian kali, alis Ryuga menukik dengan tajam. Menandakan jika pria itu tengah kesal. Tepat sebelum langkahnya sampai di lobby, Ryuga mendadak berhenti, lalu menoleh ke Riel, sang asisten pribadi, yang berada di sebelahnya. “Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Riel yang merasa kebingungan dengan sikap Ryuga. Setelah terdiam beberapa saat, Ryuga bertanya, “Dari penampilan saya, menurutmu saya orang yang seperti apa?” Riel agak terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian dia menatap Ryuga saksama sebelum menjawab, “Pak Ryuga adalah orang hebat dan berwibawa yang pantas memimpin perusahaan. Sebagai Presdir Daksa Company, Bapak–” “Oke, cukup,” potong Ryuga dengan alis menekuk tajam, merasa jawaban bawahannya agak dilebih-lebihkan. “Katakan pada saya, apa wajar bila ada orang yang mengira saya seorang … p
Diancam seperti itu, Mila pun ketakutan. Matanya berkaca-kaca dan dia pun menghentakkan kaki kesal sebelum buru-buru keluar dari ruangan.Setelah memastikan Mila ke luar, Ryuga menghela napas. Dia tidak pernah nyaman bersikap kasar pada wanita, tapi untuk wanita seperti Mila, dia terpaksa. Sudah sering wanita-wanita seperti itu mengambil kesempatan atas kebaikannya untuk menciptakan rumor palsu!Usai mendudukkan diri di kursi kebesarannya, Ryuga merogoh ponsel di saku kemejanya. Dia menghubungi seseorang, dan tak lama panggilan itu pun diangkat.“Halo, Ryuga! Tumben telepon? Kenapa? Senang ya, dikunjungi Mila??”Mendengar suara tantenya, Ratih, Ryuga memasang wajah buruk. Jadi, benar dugaannya. Semua adalah ulah Ratih. Ratih adalah adik dari ayah Ryuga. Setelah bertahun-tahun ibu dan ayah Ryuga gagal menjodohkannya dengan wanita pilihan mereka, Ratih pun dimintai tolong untuk mempertemukan Ryuga dengan sejumlah wanita kalangan atas, seperti Mila tadi.“Tante sebaiknya berhenti,” ucap
Masih terkaget-kaget di tempatnya, Claudia menganga. Ryuga bilang apa tadi? Menikah? Apa pria ini sudah kehilangan kewarasannya?! Dengan usaha untuk tetap tersenyum tenang, Claudia bertanya dengan sedikit bergetar, “P-Pak Ryuga bercanda ….” Pandangan Ryuga berubah dingin. “Kamu keberatan?” Nada bicaranya kembali rendah, sangat rendah … seperti ingin menenggelamkan nyali Claudia. Tenggorokan Claudia terasa kering. “B-bukan keberatan, Pak. Tapi … tapi ….” Claudia memutar otak, sebelum kemudian mendapat sebuah balasan. “Tapi saya berasal dari keluarga biasa! Tidak pantas untuk Bapak!” Itu benar. Keluarga Claudia tidak kaya maupun ternama, jelas tidak pantas untuk sosok Ryuga yang berasal dari keluarga Daksa yang terkenal itu. Ditambah lagi dengan latar belakang Claudia yang baru lulus dan bekerja menjadi seorang dosen, tidak ada pencapaian apa pun yang menonjol yang membuatnya setara dengan seorang Ryuga. Demikian, apa yang membuat Ryuga ingin menikah dengannya!? Di saat ini, Ryug