Entah sejak kapan kebencian di antara Claire dan Claudia mengakar. Namun, Sam kini sepenuhnya menyadari jika hubungan kedua wanita tersebut sudah benar-benar berakhir.Sekali lagi Sam berusaha menghubungi Claudia. Sembari satu tangannya memegangi ponsel yang ditempelkan di telinga, pandangan Sam mengedar untuk memperhatikan area kampus.“Ayolah, Clau. Kakak mohon angkat,” gumamnya yang terdengar putus asa.Tetap tidak diangkat. Sam mengembuskan napas berat. Dia tak punya pilihan lain selain turun dari mobil mewahnya.Selepas menjenguk Claire, Sam bergegas menuju kampus. Masih mengenakan topi hitam, kacamata, serta masker, Sam melangkahkan kaki ke luar dari parkiran.Dia tahu betul area kampus Tunggal Utama. Meskipun beberapa bangunan tampak berubah, Sam tidak perlu khawatir karena ada papan penunjuk jalan.Namun, seolah berjodoh, Sam tidak perlu repot-repot mencari Claudia karena wanita itu muncul sendiri. Claudia baru saja ke luar dari gedung rektorat.Sedikit berlari-lari kecil, Sam
Selepas mengakhiri pembicaraannya dengan Sam, Claudia kembali ke ruangan dosen untuk bertemu rekan-rekan volinya.Pikirannya bercabang dan itu sedikit membuat kepala Claudia berdenyut sakit. Jadi Claudia menghentikkan langkahnya untuk duduk di bangku terdekat, sekadar menghela napas dan memijat pangkal hidungnya.“Mbak.”Demi mendengar panggilan itu, Claudia tidak langsung mengangkat kepalanya. Justru karena sudah familier, Claudia membalas panggilan itu tanpa menatap sosoknya.“Mmm, kenapa, Dir?” tanya Claudia dengan suaranya yang tidak bertenaga.Dirga ikut duduk di sebelah Claudia. Beberapa saat lalu Dirga mencari-cari keberadaan Claudia. Namun, karena tidak mau membuat Aruna kelelahan, Dirga menyuruh gadis itu pulang agar bisa istirahat di rumah.Untungnya Aruna segera menurut. Jadi, Dirga bisa mencari Claudia dengan cepat. Syukurlah dia bisa bertemu Claudia di sini.“Mau gue belikan obat pusing, Mbak?” tawar Dirga kemudian.Ujung bibir Claudia terangkat, membentuk senyuman kecil.
Sebelum semuanya terlambat, Aruna memutuskan untuk segera pulang dan menemui Ryuga untuk meminta maaf dengan hal yang dia lakukan di kantin tadi.“Bercanda kamu kelewatan, Aruna.”Itu balasan Ryuga ketika Aruna sudah mengatakan permintaan maafnya. Dia menemui Ryuga di ruangan kerjanya. Kedua tangan Aruna saling memilin satu sama lain.Biarpun Ryuga menyayanginya, tapi Ryuga dalam mode marah itu tetap menyeramkan di mata Aruna.“Maaf, Dad,” bisik Aruna sekali lagi. Dia sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Takut jika manik hitam tajam Ryuga membuatnya menangis.Sebenarnya Ryuga tidak pernah bisa untuk berlama-lama marah pada putrinya. Ryuga bersikap seolah marah hanya untuk mendisiplinkan Aruna saja.“Daddy nggak dengar kamu ngomong apa, Aruna,” ucap Ryuga kali ini dengan suara yang jauh lebih lembut. Tangannya menunjuk sisi sofa yang kosong. Ryuga menambahkan, “Pindah sini, Na.”Perlahan Aruna menggeser duduknya agar lebih mendekat dengan Ryuga. Pun, kali ini Aruna memberanikan
Tinggal satu setengah jam lagi, tim voli Claudia siap turun ke lapangan. Claudia sudah sangat siap untuk bermain. Rasa pusing yang mendera kepalanya juga sudah mereda.Barusan dia menyelesaikan pemanasan di GOR bersama yang lain. Sengaja untuk membakar semangat.“Gilaaa, panas banget!” teriak Idellia sambil berlari-lari kecil ke tepi lapangan.Claudia mengangguk setuju. Di sebelahnya, Lilia menyenggol lengan Claudia.“Untung lo nurut nggak pakai baju panjang, Clau,” ucapnya.“Iya, tapi kayaknya kalau buat dipakai main aku mending ganti baju aja deh,” timpal Claudia sambil memeluk kedua lengannya yang terekspos dengan gerakan menyilang.“Ih, kenapa? Kamu cantik banget loh, Clau,” puji Zoya yang memperhatikan Claudia dari depan.Claudia memakai baju olahraga hitam bergaris putih tanpa lengan milik Lilia. Terlihat cocok dan menggemaskan dengan rambut kepang hasil tangan Praya.“Nggak nyaman aja,” beritahu Claudia sambil tersenyum kikuk.Padahal Claudia sudah mengutarakan alasan yang sebe
Pertanyaan Aruna sontak mengundang penasaran Diana dan Riel yang berada di kursi depan. Kedua sosok yang bekerja dengan Ryuga itu saling melirik satu sama lain.Mulut Diana berbicara tanpa suara, “Kenapa, Pak Ryuga?”Riel menggeleng samar. Sekon berikutnya, Riel memutuskan bertanya seraya melirikkan mata ke kaca spion tengah, “Anda baik-baik saja, Pak?”Tangan Ryuga terangkat untuk mencopot headset tanpa telinganya. “Memangnya saya kenapa?” tanya Ryuga dengan ketus.Mendengar itu, Diana melipat bibirnya ke dalam. Sudah dipastikan terjadi sesuatu. Beberapa saat lalu Ryuga tampak kelihatan lebih ramah dan sekarang setelah menerima telepon dari Claudia jadi kembali ke setelan pabrik lagi?‘Fix, sih, pasti ada kaitannya sama Bu Claudia.’Asal tahu saja, Diana yang seharusnya sudah pulang dan menikmati malam sebelum weekend-nya harus merelakan waktu karena Ryuga meneleponnya.“Sebenarnya saya butuh kamu untuk membelikan buket buat Claudia dan teman-temannya,” ucap Ryuga kala menelepon sekre
Kemungkinan yang bisa Claudia lakukan saat ini adalah berlari ke arah Ryuga dan menghentikan langkah pria itu agar tidak menyapa rekan-rekannya yang lain.Apalagi Dimitri juga di sebelahnya. Claudia tidak ingin membuat kedua pria itu saling berhadapan seperti tadi pagi.‘Masih sempet kok, Clau, buat mencegah itu terjadi,’ bisik Claudia dalam hatinya.Maka Claudia bergegas bangkit. Pandangan Dimitri naik kala Claudia sudah berdiri. “Bu Clau mau ke mana?”Namun, belum sempat menjawab pertanyaan Dimitri dan baru juga melangkahkan kaki, naasnya kaki Claudia tersandung dengan tali tas yang dia simpan di dekat kakinya sehingga membuat Claudia mau tak mau jatuh tersungkur.“CLAUDIAAA.”Suara Dimitri yang berseru paling keras. Tapi, bukan hanya suara Dimitri, suara Ryuga juga mengudara. Hal itu membuat Lilia, Praya, Zoya, Fanya, dan Idellia kompak menolehkan kepalanya ke belakang.Sementara Claudia langsung sigap berusaha berdiri. Dimitri yang jaraknya paling dekat ikut membantu wanita itu.“
Tiba-tiba saja Ryuga menghentikan langkah setelah keduanya berhasil ke luar dari dalam GOR.Claudia yang belum menjawab pertanyaan Ryuga sebelumnya langsung menyeteluk, “Aku sama sekali tidak keberatan, Ryuga!” Dalam satu tarikan napas, Claudia berhasil mengatakannya.Wanita itu menunggu respons Ryuga dengan menggigit bibir. Jujur saja muncul perasaan asing dan aneh bernamakan ‘dicemburui’ kala Ryuga berterus terang kalau pria itu cemburu.“Ryu-ga?”Segera Ryuga menarik Claudia agar duduk di bangku penjual makanan yang ada di luar. Wajah Claudia menunjukkan kebingungan dengan mengerutkan dahi.‘Ryuga mau makan bakso?’“Makan di sini atau dibungkus, Pak?” tanya si Penjual bakso.Kepala Ryuga menoleh. Sebenarnya Ryuga tidak berniat memesan bakso. Namun, mendadak dia terpikirkan Diana dan Riel. Akhirnya Ryuga mengangkat kedua jarinya dan menyeletuk, “Dibungkus, dua porsi.”Otomatis Claudia melirik Ryuga. Dia pun bertanya, “Untuk siapa, Ryuga?”“Kalau kamu mau, kamu bisa pesan, Claudia,”
Mommy. Satu kata yang menurut Claudia sangat ajaib. Karena sepanjang hari itu, Claudia menghabiskan sisa harinya dengan penuh semangat. Termasuk saat pertandingan berlangsung. Tim voli dosen prodi Seni melawan tim voli dosen prodi Manajemen. Yap, dengan kata lain voli putri dari rekan-rekan dosennya Dimitri. Sementara skor unggul di prodi Manajemen. Di bangku tribun, beberapa kali Aruna duduk lalu berdiri untuk menyemangati Claudia. “Semangat, Bu Clau!!!” Entah sudah berapa kali Aruna meneriakki hal serupa. Dan rupanya banyak sekali yang menonton pertandingan ini. Ryuga menarik Aruna untuk duduk. “Tenggorokanmu bisa sakit Aruna kalau teriak seperti itu,” tegurnya dengan lembut. “Kurang seru kalau nggak teriak, Dad,” ucap Aruna merengut pelan. Dia menunjuk tribun paling bawah dengan alis yang menekuk kesal. “Daddy lihat, Pak Dimitri aja sampe heboh semangatin Bu Claudia. Aruna nggak mau kalah!” Tampaknya Aruna sekarang mulai melihat Dimitri sebagai sosok berbahaya yang bisa sew
Sesi perpisahan Aruna dan Dirga sudah berakhir. Pemuda itu melerai pelukannya pada tubuh Aruna dengan berat hati. Kedua sudut Dirga tertarik ke atas, memperlihatkan senyum yang Aruna inginkan sejak dulu.Merasa diperhatikan, refleks Aruna ingin menolehkan wajah. Akan tetapi, aksinya tertahan oleh tangan besar yang mendarat di puncak kepalanya. Suara Dirga mengudara, “Berani menolehkan wajah, aku akan menganggapmu ingin kembali padaku, Aruna.”Mata besar Aruna menyipit. ‘Apaan, sih, Dirga,’ ucapnya tidak habis pikir.Detik berikutnya, Aruna merasakan kepalanya diusap dengan sayang. Sesuatu yang tidak pernah Dirga lakukan sekali pun. Mata besar Aruna memejam, dia mengepalkan kedua tangan. Dengan sikap tegas dan berani, dia menepis lengan Dirga, membuatnya cukup terkejut dengan reaksi Aruna.“Udah ‘kan? Aku mau masuk.” Aruna tidak ingin terbawa suasana hanya karena sikap Dirga yang satu itu.Sementara Dirga tampak mengembuskan napas berat. “Kamu bisa masuk sekarang.” Karena Dirga tidak m
Tampan tapi tidak berperasaan. Julukan itu cocok disematkan untuk seorang Dirga Disastra. Akan tetapi, sejujurnya Dirga hanya cukup payah mengakui apa yang dia rasakan. Apa dia cemburu melihat kedekatan Aruna dan Pras? Dirga hanya menautkan kedua alisnya sambil mendengus kasar begitu mobil yang dikendarainya berhenti tepat di posisi Aruna dan Pras berdiri. Tanpa menatap Aland, Dirga berkata, “Turun duluan, Al.” Suara rendahnya terdengar dingin. Pun, ekspresinya. Mengembuskan napas, Aland menganggukkan kepala, “Oke.” Sementara di luar mobil, Aruna terang-terangan melihat ke arah jendela kaca mobil yang terbuka. Dia tidak menyadari jika Pras sudah menurunkan kepala untuk berbisik rendah di telinganya, “Kamu berhutang penjelasan, Aruna.” Kedua tangan Aruna mengepal di sisi tubuh. Dia sama sekali tidak menyesali tindakannya pada Pras. Gadis itu membatin, ‘Cuma ini satu-satunya cara.’ “Apalagi, Al?” tanya Dirga keheranan melihat Aland yang tidak kunjung ke luar dari mobil. Saat Dirga
Aruna memiliki niatan akan pergi menemui Diana setelah kepulangan Ryuga ke rumah. Karena sekarang ini, Aruna akan fokus menjaga Claudia. Meskipun Emma juga ikut menemani, Aruna tetap ingin bersama Claudia. Bahkan ketika Claudia berbaring dan tertidur, Aruna juga ada di sampingnya. Dia memeluk Claudia dari samping dan menunjukkan sisi manjanya, membuat Emma yang baru kembali dari dapur menggelengkan kepala. “Grammie lihat-lihat kamu nempel terus sama Mommy-mu.” Mendengar itu, Aruna menjawab dengan santai, “Aruna lagi puas-puasin momen, Grammie. Besok-besok, pasti yang nempelin Mommy adik bayi.” Pandangan Aruna turun untuk melihat perut rata Claudia. Dia juga mengangkat sedikit kepalanya. Menyadari satu hal, Aruna mengembuskan napas berat. Dia menambahkan, “Belum Daddy ….” Suaranya terdengar lesu. Meskipun Ryuga adalah Daddy-nya, tetapi pria itu juga adalah saingan terberatnya. “Cari pengganti Dirga sana, biar nggak kesepian,” celetuk Emma dengan entengnya. Dia bertukar pandangan de
Ada banyak hal yang terjadi dan tidak diketahui Garvi kala dirinya dalam keadaan koma. Pun, persahabatan yang terjalin di antara dirinya, Dirga, Pras, dan Aland yang sudah banyak mengalami perubahan.Dia menatap Aland dan Dirga bergantian. Keduanya sudah tampak jauh lebih dewasa dan juga keren. Salah satu sudut bibir Garvi terangkat, tersenyum menyeringai.Aland berdeham melihat Garvi tampak memiliki dunianya sendiri. “Eh, Kak, gimana keadaan lo?” tanyanya. Dia tidak lupa jika kedatangannya kembali ke Indonesia untuk menjenguk Garvi. Mengenai Anjani bisa diurus nanti.Garvi pun menjelaskan secara singkat mengenai kondisinya. Dia hanya harus menjalani pemulihan selama beberapa waktu.Begitu mendengarnya, terbesit perasaan bersalah dalam benak Dirga. Pemuda itu menyeletuk, “Gue usahakan balik ke sini kalau waktunya libur–“Ck, nggak usah!” sela Garvi disertai kekehan geli. Dia tidak ingin merepotkan teman dekatnya itu. “Fokus aja sama studi lo di sana. Gue ada yang jagain kok.” Saat men
“Boleh diulangi lagi nggak, Kak?”Barangkali Anjani salah mendengar. Dia perlu memastikannya sekali lagi. Dan supaya tidak mencurigakan, Anjani mau membagikan tentang pikirannya. “Namanya familier dengan seseorang yang aku kenal–“Dimitrio, ya?” potong Garvi dengan senyum menyeringai di salah satu sudut bibirnya.Anjani mengerjapkan mata. Dia menganggukkan kepalanya kuat-kuat hingga membuat poninya mengayun, tampak menggemaskan di mata Garvi. Suaranya yang halus mengudara, “Pak Dimitri– maksudku Pak Dimitrio dosen di kampusku. Kak Garvi kenal?”Di tengah pergerakan Garvi yang terbatas, tangannya gatal untuk tidak menyentuh poni Anjani lantas mengacaknya pelan.“Eh–Sentuhan tangan besar Garvi seketika membuat Anjani terkejut. Gadis itu terdiam dengan mata yang membola.Garvi terkekeh pelan. “Aku tidak mengenali Dimitrio. Tapi, aku kenal Dimitrian–pemuda barusan yang kamu lihat … dia temanku.” Hanya sebatas itu Garvi bisa memberitahu.Mata Anjani memicing lantas menganggukkan kepalanya
Mata besar Aruna menatap ke arah Garvi, seolah meminta penjelasan tentang kehadiran sosok pemuda tersebut.“Dia siapa, Kak Garvi?”Pertanyaan Aruna langsung dijawab kontan oleh sosok pemuda itu. “Nggak perlu tahu,” jawabnya tidak ramah.Lalu dia menepuk bahu Garvi dan mengatakan, “Cepat sembuh.”Usai mengatakan hal tersebut, dia berlalu pergi melewati Aruna dan Anjani tanpa meliriknya sedikit pun. Pemuda itu malah semakin menurunkan topinya.Anjani memicingkan mata, ‘Sepertinya aku pernah melihat dia. Tapi, di mana?’ Mata bulatnya tampak familier. Dan juga, tato di lengannya.Sementara Anjani fokus mengingat-ngingat, Aruna sudah mendekat ke arah Garvi yang tengah duduk sambil bersandar. Gadis itu langsung mengajukan sejumlah pertanyaan, “Teman Kakak ya itu? Siapa namanya? Tadi aku ketemu dia loh di rumah dosenku. Iya ‘kan, Jani?”Barulah saat namanya dipanggil, Anjani mengerjapkan mata lantas menganggukkan kepala. Garvi menyunggingkan senyum kecilnya. “Sudah mengocehnya?”Padahal nad
Aruna sepakat jika sesuatu yang berharga perlu dilindungi. Dia belajar itu dari sosok Daddy-nya sendiri. Dan saat ini, bagi Aruna, sesuatu yang perlu dilindungi itu adalah Garvi.Pulang kuliah lebih cepat tak membuat Aruna bisa menemui Garvi lebih awal. Gadis itu dimintai tolong oleh seorang dosen yang sangat menyebalkan baginya belakangan ini.“Aku antar pake kurir motor aja ya, Pak Dimi?” tawar Aruna sambil menatap lamat-lamat berkas yang ada di tangannya. Beberapa saat lalu, dia mengambil itu di loker Dimitri yang kuncinya tergantung di sana.“Saya mau kamu yang antar, Aruna. Itu berkas berharga saya. Kalau nanti hilang, mau kamu tanggung jawab?”Di seberang sana, Dimitri tampak memprotes dengan suaranya yang menyebalkan. Aruna meninggikan satu alisnya, sekilas menatap Anjani yang juga menatapnya.“Apa?” tanya Anjani tanpa suara.Mengembuskan napas, Aruna tampak merengut pelan. “Kenapa jadi aku yang harus tanggung jawab, Pak Dimi?” Dia sama sekali tidak mengerti. Jika boleh menamba
Jika Ryuga mau, dia bisa saja tetap berada di dekat Claudia dengan duduk di sofa yang tak jauh darinya. Hanya saja Ryuga memutuskan ke luar, sengaja memberikan Claudia ruang untuk bersama kedua temannya.Sebelum pergi, Ryuga memberikan titipan pesan sambil menatap Lilia dan Idellia bergantian, “Tolong panggil aku jika Claudia membutuhkan sesuatu. Aku ada di luar.”“Siap, Ryuga!”Begitu Ryuga ke luar, jelas Lilia dan Idellia sibuk menggoda Claudia. Ryuga duduk di kursi tunggu rawat inap yang letaknya ada di depan ruangan inap Claudia. Tidak sendirian. Ada sesosok pria yang lebih muda darinya juga tengah duduk di sana seraya meneguk minuman kaleng.Tiba-tiba saja Ryuga merampasnya tanpa permisi. “Bukankah sudah aku katakan untuk mengurangi minuman bersoda?” dengusnya sambil menjauhkan minuman kaleng itu dari hadapan Riel.Jika tadi Ryuga mengatakan tanpa meliriknya, maka sekarang manik hitam Ryuga bersitatap dengan manik Riel. “Perlu aku hubungi Diana untuk memarahimu?”Bukan tanpa ala
“Oke, Claudia.”Claudia sendiri tidak menduga dengan respons yang diberikan Ryuga. Bahkan ekspresinya tampak pasrah, tidak ada alis yang menukik kesal karena merasa tidak terima.Dia menggelengkan kepala, ‘Ryuga kok aneh?’“Ryuga!” panggil Claudia begitu netra matanya menemukan punggung Ryuga yang membelakangi, bersiap pergi meninggalkan Claudia seorang diri.Alih-alih Ryuga yang merasa kesal, malah justru Claudia yang dibuat kesal seperti ini. “Kamu benar-benar akan meninggalkanku sendirian, Ryuga? Membiarkan aku tidur sendirian malam ini?” Saat mengatakannya, suara Claudia terdengar gemetar menahan tangis.Tubuh Ryuga kembali berbalik, menghadap ke arah Claudia. Manik hitamnya menyorotnya dalam-dalam. Dengan suara yang lembut, Ryuga bertanya, “Jadi, maumu apa sebenarnya, Nyonya Daksa?”“Mmm? Mau ditinggalkan sendiri atau ditemani?” tawar Ryuga kemudian. Dia sendiri cukup kaget dengan respons Claudia sebelumnya. Ryuga sedikit tidak mengerti, tidak biasanya Claudia bersikap seperti ta