“Aku– Belum sempat menjawab, Claudia teralihkan dengan ponselnya yang berdering panjang menandakan ada telepon masuk. “Angkat dulu, Clau,” titah Rudi mengedikkan dagunya karena Claudia tampak membiarkan. “O-oke, Om.” Seketika itu Claudia menarik tangannya dari Ryuga dengan hati-hati. Di saat yang bersamaan, Ryuga merasa sedikit kehilangan. Manik hitamnya memperhatikan gerak-gerik Claudia. Termasuk saat Claudia merogoh ponsel dari saku celana dan melihat nomor asing tertera di layar ponselnya. ‘Apa jangan-jangan ini …?’ tebak Claudia menggantung. “Kenapa tidak diangkat?” Ryuga mendengus melihat keterdiaman Claudia. “Ini mau kok,” sahut Claudia pelan. ‘Aku lagi ngumpulin napas dulu, Ryuga,’ bubuh Claudia dalam hatinya. Akhirnya Claudia pun mengangkat telepon dan mendekatkan ponselnya di telinga. “Halo, selamat siang. Saya Deni dari tim kepolisian yang bertugas memproses laporan atas nama Bu Claudia Mada,” ucap seseorang dari seberang sana dengan nada suara yang tegas. Mendeng
Menyaksikan sendiri bagaimana kepercayaan diri Claudia membuat Emma bertepuk tangan. Selepas itu, Emma juga mengacungkan kedua jempolnya ke arah Claudia.“Bagus, Claudia. Tante senang mendengar keberanian kamu sayang!” puji Emma. “Jika kamu butuh bantuan, jangan segan untuk mengatakannya pada Tante, ya. Sudah pasti Tante akan mendukungmu secara penuh, Clau.” Emma bersungguh-sungguh dalam ucapannya.“Mmm, jangan segan jika kamu perlu bantuan, Claudia,” sahut Rudi ikut-ikutan. Hal itu membuat Emma merasa gemas pada suaminya.“Pa, kamu tadi terdengar meragukan Claudia …. Kenapa sekarang tiba-tiba seperti ini?” Emma tidak menyindir Rudi, hanya sekadar bertanya.Ditodong pertanyaan seperti itu oleh Sang istri membuat Rudi berdeham pelan, “Bukan meragukan, Bu. Papa hanya memastikan jika memang Claudia yang akan menjadi menantu kita.”Percakapan itu sungguh menyentuh permukaan dasar hati Claudia. Suara-suara di dalam kepalanya mulai terdengar berisik.‘Wahhh, Claudia, aktingmu yang semakin n
Pertanyaan Rudi memancing rasa penasaran Ryuga untuk menoleh pada Claudia serta Emma yang buru-buru melerai pelukan dengan Claudia.“Sayang, kenapa menangis?” tanya Emma dengan perasaan khawatir.Claudia tersenyum getir. Dia menyeka bekas air mata di pipinya.‘Astaga, aku cengeng sekali hari ini!’ ucapnya merutuk dalam hati.Claudia mengedipkan matanya. “Eng-nggak, Om, Tan–“Enggak apanya? Ini yang keluar apa? Air hujan?!” sindir Ryuga dengan ketus. Jari telunjuk serta jempolnya ikut mengusap sebelah pipi Claudia.“Ryugaaa,” tegur Emma dengan lembut.“A-aku cuma sedikit terharu,” elak Claudia menepis halus tangan Ryuga. “A-aku izin ke kamar mandi dulu. Permisi,” pamit Claudia tanpa menunggu jawaban dari yang lain.Selepas kepergian Claudia, Emma menatap putranya penuh protes. Dia lalu menatap Sang suami. “Pa, sepertinya Ibu nggak jadi pulang,” beritahu Emma.“Oke.”Sebenarnya Rudi tidak masalah. Namun, Ryuga yang tampak keberatan dilihat dari kedua alisnya yang menekuk tajam. Pria itu
“Lohh, Kak Sam?!”Claire berjalan menghampiri tunangannya itu dengan raut wajah yang agak panik. Dia berusaha mengukir senyum manisnya seperti biasa.“Aku kira Kak Sam udah pergi, tapi ternyata masih di sini–“Claire,” potong Sam menarik lengan wanita itu hingga membuat Claire berhadapan dengan Sam. Sepasang manik coklatnya menyelami netra mata Claire yang jernih. “Sebenarnya apa yang kamu lakukan sayang?” sambungnya dengan suara yang lemah.Ditatap seperti itu tak membuat Claire gugup. Dia malah makin melebarkan senyumnya dan menyentuh sebelah pipi Sam lalu mengusapnya.Suara lembut wanita tersebut mengudara, “Ahhh, Kak Sam dengar pembicaraanku barusan di telpon, ya? Itu … aku dan timku mau menghancurkan pertandingan voli besok dengan mengalahkan tim lawan.”Penjelasan Claire membuat Sam menatapnya tidak mengerti. Pria itu mengerutkan dahinya dengan samar. “Kakak juga mendengar nama Ryuga. Yang kamu maksud Ryuga Daksa tunangannya Claudia?”Tiba-tiba saja Claire terkekeh, merasa lucu.
[08xxxx: Bu Claudia, Bu Claire jatuh pingsan sehingga dia belum bisa dibawa ke kantor.] “Claire beneran pingsan?” gumam Claudia saat membaca pesan masuk itu di kamar mandi. Ya, Claudia masih di sana setelah mencuci wajahnya di wastafel dan belum memiliki niatan untuk ke luar dari kamar mandi di rumah Ryuga. Wanita itu menaikkan pandangan, menatap dirinya pada cermin di hadapannya. Matanya terlihat sembab dan hidungnya sedikit meninggalkan bekas kemerahan. “Apa yang aku lakukan sudah tepat?” ucap Claudia yang kemudian menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Sejujurnya, Claudia tidak tahu apakah dirinya siap dengan konsekuensi dari tindakan yang diambilnya kini. Di satu titik dia merasa siap, namun di titik lain Claudia merasa tidak yakin. Ketukan di pintu luar membuat Claudia menolehkan wajahnya. “Claudia,” panggil Ryuga dengan suaranya yang dalam di luar kamar mandi. Ingin menyahut, tapi bibir Claudia kelu. Satu tangannya meremas ponsel dan satu tangannya lagi meremas sisi cela
Memberanikan diri, tangan kiri Claudia melingkari pundak pria yang lebih tinggi darinya itu. Hanya sesaat sebelum sesosok gadis memergoki keduanya tengah berpelukan. “Aruna boleh peluk Bu Claudia juga, Dad?” Pertanyaan itu jelas membuat baik Ryuga maupun Claudia melepaskan diri masing-masing. Keduanya tampak kelihatan salah tingkah meskipun Ryuga lebih bisa mengendalikan ekspresinya. Ryuga membalikkan tubuhnya agar melihat keberadaan putrinya yang sepertinya baru saja bangun dari tidurnya. Aruna tampak menggemaskan dengan baju terusan selutut bermotif strawberry. “Mau peluk Claudia, Aruna?” tanya Ryuga memperjelas. Sepasang manik hitamnya memicing menatap putrinya. “Aruna, ganti dulu bajunya– “Sini, Aruna,” sela Claudia memotong ucapan Ryuga. Dia merentangkan kedua tangannya. Sekilas Claudia memandang Ryuga tak percaya. Kenapa Aruna harus repot-repot mengganti bajunya terlebih dahulu? Claudia tidak habis pikir. Ryuga berlebihan sekali. “Yes!” Melihat itu, Aruna bergegas melang
“Tentu saja, Aruna,” aku Claudia.Sekitar tiga detik berlalu, Claudia baru menjawab pertanyaan gadis itu. Dia pun menambahkan, “Kalau belum, tidak mungkin Ibu ada di sini ‘kan?”Jawaban Claudia sangat masuk akal. Dan yang paling penting, Claudia sudah menunjukkan sikap profesionalnya di depan Aruna.Aruna terkekeh, “Benar juga, sih.”Kedua gadis itu saling melemparkan senyum. Berbeda dengan Ryuga yang menunjukkan ekspresi kesulitan. Satu tangannya yang berada di saku celana training hitam menggenggam erat-erat kotak persegi beludru berwarna merah.Ya, Ryuga sudah mengambil cincin berlian yang ada di ruangan kerjanya sebelum benar-benar memutuskan menghampiri Claudia. Ryuga seketika langsung mengeluarkan tangannya.Sepertinya waktunya belum tepat untuk memberikannya pada Claudia. Namun, Ryuga akan berencana memberikannya hari ini.“Jadi pesan ayam dan pizza-nya, Aruna?” Ryuga membelokkan topik.Gadis itu mengangguk kuat-kuat. “Jadi, Dad!”Tak lupa Ryuga juga menanyai Claudia. Suaranya
“Aku menyukaimu, Claudia.”Untuk ketiga kalinya Ryuga mengulangi kalimat yang sama. Namun, melihat Claudia yang belum meresponsnya membuat Ryuga kesal sendiri. Pria itu mengerutkan dahinya samar, “Kamu dengar apa yang aku katakan ‘kan?!”“I—iya, a—aku dengar kok,” jawab Claudia baru membuka suaranya. Kepalanya mengangguk kecil.“Lalu kenapa tidak mengatakan apapun, Claudia?” Suara Ryuga terdengar rendah, nadanya turun satu oktaf. Manik hitam Ryuga tampak mengintimidasi sehingga menambah kegugupan Claudia. Meskipun begitu, Ryuga tak melepaskan tangan Claudia.“Hanya … sedang berpikir saja, Ryuga,” jawab Claudia dengan wajahnya yang polos. Matanya mengedip secara lambat.Claudia berpikir bahwa rasanya seperti tidak nyata. Dua sosok dalam batinnya kembali berbicara dengan pendapat yang berbeda.‘Pikirkan baik-baik, Claudia. Ryuga tidak mungkin menyukaimu begitu saja.’‘Semua sudah jelas, Clau … Alasan Ryuga bersikap aneh padamu dan kamu menganggapnya berlebihan, itu karena Ryuga menyukai
Claudia gamang. Dia ingin menjawab, tapi takut salah. Tapi, tidak dijawab sepertinya lebih salah lagi. Ekor mata Claudia melirik Ryuga, ‘Bisa-bisanya Ryuga menanyakan itu di saat seperti ini?’Kepala Ryuga menatap lurus ke depan. Dia mendengus tidak percaya. Rasa-rasanya Ryuga tidak akan berpikir selama itu jika Claudia menanyakan hal yang serupa.“Akan aku pikir-pikir dulu, Ryuga,” jawab Claudia pada akhirnya. Tepat setelah Claudia meluruskan pandangannya, matanya memicing untuk melihat dua orang gadis yang terlihat duduk di bawah pohon, lebih tepatnya yang satu tengah berbaring.Mulut Ryuga terbuka, hendak menimpali. Namun, tertahan oleh suara Claudia. Wanita itu juga mengarahkan jari telunjuknya ke depan, membuat manik hitam Ryuga bergerak mengikutinya.“I-itu Aruna dan Anjani, Ryuga!” seru Claudia. Wanita itu sama sekali tidak sedang berusaha mengalihkan topik. Karena untuk sekarang, lebih baik fokus pada Aruna.Ryuga memarkirkan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari tempat Aruna
Karena pertolongan dua pemuda itu, Aruna dibaringkan di sisi lapangan tepat di bawah pohon yang cukup rindang sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung.Usai membaringkan Aruna, Aland menatap ke arah gadis yang diduga sebagai teman larinya Aruna.“Kenapa Aruna bisa sampai pingsan segala?!” protesnya.Ditodong pertanyaan seperti itu, siapa yang tidak kesal? Anjani tidak merasa dirinya salah, alhasil dia menyahut santai. “Mana aku tahu. Kamu tanya Aruna saja.”Aland yang hendak menyahut lagi tertahan karena tangannya disentuh oleh pemuda yang bersamanya. “Tidak perlu marah-marah segala, Al. Mending kamu belikan Aruna minuman hangat.”“Sekalian sama minyak kayu putih, ya!” tambah Anjani. Takut disemprot lagi, Anjani menambahkan, “Biar Aruna cepet sadar ‘kan?!”Kalau bukan untuk Aruna, Aland mana mau. Mengembuskan napas berat, Aland pun berdiri lalu pergi meninggalkan keduanya.Entah kenapa Anjani merasa lucu melihat wajah kesal Aland yang tertahankan. Namun, fokusnya langsun
Tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir libur sebelum masuk perkuliahan, Aruna dan Anjani pagi-pagi sekali sudah siap dengan setelan training dan sweater rajut.Ya, keduanya memutuskan untuk berjalan sehat mengitari lapangan lari yang jaraknya tidak jauh dari kampus.“Nggak diantar Daddy kamu, Runa?” tanya Anjani begitu melihat Aruna yang datang turun dari ojek online.Aruna menggelengkan kepalanya. “Daddy lagi nggak ada.”“Emang Daddy kamu ke mana?” tanya Anjani lagi. Dia merasa penasaran. Anjani mengimbangi langkah Aruna untuk berjalan santai. Bukan berarti Anjani memutuskan tidak berlari seperti orang-orang di sekitarnya karena tahu Aruna memiliki asma, tapi itu karena Anjani malas saja. Dasar.Mata besar Aruna melirik teman dekatnya dengan senyum yang terlihat mengerikan. “Cari Mommy baru buat aku.”TUKKK“Aww, Anjani sakit!” ringis Aruna saat mendapatkan jitakan di pinggir dahinya.Tidak ada tanda-tanda Anjani menunjukkan perasaan bersalahnya. Dia malah mengajukan pertanyaan lag
Jika bukan karena alarm yang sudah menjerit-jerit, sepasang pria dan wanita yang tidur dalam satu ranjang itu tidak akan terbangun dalam bersamaan.Sang wanita berhasil membuka matanya lebih dulu. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya yang memang tidak begitu besar.Begitu menoleh, dia mendapati sesosok pria tampan yang tanpa mengenakan atasan juga tengah menolehkan kepalanya. Keduanya bertukar pandangan.“Saya bisa jelaskan–“Nggak perlu, gue inget apa yang terjadi semalam kok,” selanya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia kembali berucap, “Gue nggak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari lo.” Nada bicaranya terdengar sangat serius sehingga membuat Sang pria mengerutkan dahinya samar.“Seharusnya saya bisa membantu Anda dengan cara yang lain, Nona Lilia.” Sang pria menyebutkan nama wanita yang terbaring di sebelahnya.‘Cara lain?’ batin Lilia sambil mendengus kasar. Satu-satunya cara yang ampuh untuk melep
Dilihat dari sudut mana pun, jika dari luar Claudia tampak baik-baik saja. Wanita itu baru saja berdiri dari kursi meja riasnya dan tengah memunguti kapas kotor untuk dibuangnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan.Namun, belum sempat beranjak pergi, ada sepasang tangan yang melingkari perutnya.“Ryuga,” tegur Claudia dengan suara yang mengalun lembut.Alih-alih mengerti maksud teguran halus itu, Ryuga malah sengaja mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Claudia.“Biarkan seperti ini dulu. Aku masih merindukanmu, Claudia.” Suara rendah Ryuga yang berbisik tepat di belakang cuping telinga Claudia membuat wanita itu merasa kegelian.Pandangan keduanya beradu tatap melalui cermin rias milik Claudia. Manik hitam pria itu menyorotnya lembut. Dan sudah bisa dipastikan itu memicu debar di dada Claudia.Untuk mengalihkan itu, Claudia memutuskan bertanya selagi dirinya teringat, “Apa aku tidak salah dengar kamu menyebut nama Lilia, Ryuga? Apa terjadi sesuatu padanya?”Ryuga mende
Dibalik Ryuga dan Claudia yang kini sudah tiba di flat, lain lagi Riel yang harus terjebak bersama Idellia. Pria itu kesulitan mencari celah untuk melarikan diri sebab Idellia yang kini setengah mabuk tampak gelonjotan di lengannya.Kewarasan Idellia pasti berkurang sebab dia dengan berani menyentuh lengan bisep Riel yang tampak berotot. Idellia bergumam, “Wow, ototmu besar juga!”Ekspresi Riel menunjukkan kerisihannya. Dia belum pernah bertemu wanita seagresif Idellia. Maka, sehalus mungkin Riel mencoba menepis lengan Idellia.Selain dia tidak suka bersikap kasar pada wanita, Idellia adalah teman dari Claudia.“Saya harus pergi, Nona Idellia. Sepertinya Pak Ryuga dan Bu Claudia juga sudah tidak lagi di Club,” beritahu Riel sambil menundukkan wajah untuk melihat ke arah kepala Idellia yang sekarang tengah bersandar di sebelah pundaknya.Pria itu mengembuskan napas beratnya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya agar dia pergi?“Kamu … pergi?” lirih Idellia. “Jangannnn~,” jawabnya denga
Untuk apa menghindar jika tidak mempunyai salah? Lagipula … percuma saja menghindari Ryuga. Ditambah posisi untuk Claudia kabur sangat tidak memungkinkan karena kedua tangan Ryuga mencengkram sisi-sisi kursi yang diduduki Claudia. Wanita itu merasakan detak jantungnya meningkat kala bersinggungan mata dengan manik hitam Ryuga. Sesaat Claudia memejamkan matanya, ‘Astaga … jantungku.’ Rasanya seperti ingin meledak. Bertepatan Claudia membuka mata, suara berat Ryuga mengudara, “Ikut aku sekarang, Claudia!” Ucapannya jelas tidak ingin dibantah. Begitu tangan kiri Ryuga menyentuh lengannya, pandangan Claudia turun untuk melihat. Entah sejak kapan gips di tangan Ryuga berhasil dilepaskan. Tapi, yang pasti Claudia merasa bersyukur. Claudia tidak terlalu memperhatikan saat acara pameran berlangsung tadi. Sekarang, tahu-tahu saja Ryuga melepaskan lengan Claudia. Manik hitamnya menyorot Claudia tajam. “Mau aku gendong atau berjalan sendiri, Claudia?” tanyanya tidak sabar. Ditambah kedua
Pencahayaan lampu yang berkelap-kelip itu tidak terbiasa dilihat oleh netra mata Claudia sehingga dia membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi. Selain itu, ada hal lain yang membuat Claudia tiba-tiba saja menolak bergabung ke lantai dansa.“Nanti aku menyusul. Aku merasa haus, ingin pesan minuman,” beritahu Claudia beralibi.Untung saja yang lain tidak curiga. Zoya menyahut, “Oke, Clau.” Lantas Zoya, Praya, dan Fanya berlalu pergi. Meninggalkan Claudia dan Lilia yang berdiri bersisian.Claudia menolehkan wajahnya ke arah Lilia. “Kamu … mau pesan minuman juga, Lilia?”Wanita itu merespons dengan menganggukkan kepala. Lalu Lilia baru menolehkan wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dia menyambar lengan Claudia dan menariknya pergi menuju meja bartender.Claudia pasrah saja tangannya ditarik karena sejujurnya dia sudah tidak memiliki energi apa pun. Pandangannya tampak kosong dan Claudia tidak memperhatikan kondisi sekitar, termasuk ekspresi wajah Lilia yang tampak berubah sedikit gelisah.
Miwa Club.Claudia kedapatan menghela napas saat melihat papan nama dari tempat Club tersebut."Masih memikirkan Ryuga, Clau?"Mendengar pertanyaan itu, Claudia menolehkan kepalanya ke arah sesosok wanita seusianya yang menunjukkan raut wajah polosnya. Begitulah Idellia.Kedua sudut bibir Claudia tersenyum tipis. "Kenapa aku harus memikirkan Ryuga?" jawabnya dengan pertanyaan lagi.Idellia belum sempat memprotes karena Claudia kembali menyambung ucapannya. "Ah, gara-gara ucapanku tadi, ya?" tebaknya. Kepala Claudia mengangguk. "Aku memang merindukannya. Tapi, itu tadi."Tentu lain lagi tadi dan sekarang. Claudia kembali tersenyum. Pandangannya turun dan tangannya menyambar lengan Idellia. Dengan santainya, Claudia berucap, "Let's go, Idel. Kita akan bersenang-senang 'kan malam ini?"Setengah tidak percaya dengan jawaban dan sikap Claudia, Idellia hanya mengangguk pasrah dan diam saja ketika Claudia setengah menyeret langkahnya.Wanita itu membatin sambil menatap punggung Claudia lamat