Sesekali menolak Ryuga bukan masalah besar ‘kan?Claudia mendadak gelisah dalam duduknya sambil mengigiti bibir bawahnya. Satu tangannya masih setia menggenggam ponsel yang sudah diatur dalam mode hening. Sudah tiga kali Ryuga menelepon Claudia. Namun, tak ada satu pun yang Claudia angkat.Sekarang Claudia sudah mengganti bajunya dengan piyama. Wajah tanpa polesan make up membuat Claudia tetap cantik natural. Rambutnya juga dicepol tinggi-tinggi. “Dir, ponsel lo angkat dulu gih. Berisik banget,” keluh Aland yang merasa terganggu dengan aktivitas keduanya yang sedang bermain playstation atau PS.“Mbak, tolong angkat teleponnya dong. Bilangin sama Aruna gue lagi nggak mau diganggu.” Kepala Dirga menoleh ke belakang sambil menyodorkan ponsel miliknya. Claudia yang duduk di sofa langsung menghindar. Kedua tangannya menyilang di depan dada.“Bilang sendiri, Dirga,” titah Claudia menolak permintaan pemuda tersebut.Maka, tak ada pilihan lain, Dirga menyimpan stik PS, dan langsung pergi men
Tidak mungkin Claudia tidak tergoda dengan tawaran Ryuga. Menginap di apartemen mewah dengan fasilitas lengkap serba ada.Claudia sangat tertarik dengan kursi pijatnya. Membayangkan setelah seharian penuh bekerja lalu bisa merilekskan badan di kursi itu sungguh kenikmatan yang tiada tara.‘Haish, sadar diri kamu, Claudia!’Claudia merasa jengah. Matanya memicing ke arah Ryuga. “Berhenti menggodaku, Ryuga,” ucapnya dengan sedikit kesal.Ryuga mendengus tak percaya dengan tingkah Claudia yang jauh lebih berani padanya.“Aku tidak menggodamu, Claudia. Aku serius,” bantah Ryuga. “Kalau kamu butuh tempat untuk istirahat dan tidak ingin diganggu, menginap di apartemenku saja.”Apa-apaan Ryuga ini!? Memang boleh memperlakukan tunangan kontraknya sebaik ini? “Terima kasih sebelumnya, Ryuga,” sahut Claudia seadanya.Pria itu menghela napas. Dia menatap Claudia serius. “Apa yang kamu dengar dari Bella di telepon tadi?” Ryuga mengganti topik pembicaraan. Tidak, sejak awal Ryuga memang ingin men
Sejujurnya Claudia tidak tahu harus merespons Ryuga dengan cara seperti apa. Tapi, seperti yang sudah-sudah refleks respons Claudia selalu buruk.“Apa rasanya nggak berlebihan kamu memberikan bunga–“–Ryuga Ryuga,” potong Claudia seraya menahan tangan Ryuga yang ingin membuang buket bunga tersebut ke tong sampah di dekatnya.“Kamu mau buang bunganya?” tanya Claudia tidak habis pikir.Ryuga mendengus. “Hanya jika kamu tidak menginginkannya, Claudia.”Wanita itu setengah bangkit dan langsung mengambil alih buket bunga di tangan Ryuga. Claudia rasa dia tidak mengatakan tidak mau.“Aku tahu uangmu banyak, Ryuga. Tapi, ini namanya buang-buang uang. Kamu juga nggak menghargai florist kalau gini namanya–Ucapan Claudia terputus kala Ryuga menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri.“Seharusnya kamu terima bunganya sejak awal, Claudia.”Pria itu memutuskan kembali duduk di kursinya dan mengambil jeruk untuk dikupas kulitnya. Sejenak Claudia hanya memandang buket bunga itu. Dia berpikir pad
“Selamat malam. Selamat datang di supermarket Impian.”Petugas di kasir memberikan sapaan ketika Claudia dan Ryuga masuk ke dalam supermarket. Claudia membalas dengan senyuman. Dia memutuskan membawa buket bunga pemberian Ryuga dalam pelukannya dibandingkan ditinggal di luar.Saat akan mengambil keranjang, kulit tangan Ryuga dan Claudia tak sengaja bersentuhan kala Claudia dan Ryuga secara bersamaan akan mengambil sebuah keranjang. Pandangan Claudia naik, menatap Ryuga yang lebih tinggi darinya.“Aku saja yang bawa,” tegas Ryuga yang membuat Claudia menurunkan tangannya.“O-oke.” Claudia tak mempermasalahkan. Toh, tangannya juga sedang memegang buket.Lalu langkah Claudia menyusuri lorong kabinet camilan. Dia hanya mengambil empat bungkus dengan varian yang berbeda untuk kedua adiknya itu.Ryuga tak mengatakan apa pun setelah menyadari Claudia sudah selesai mengambil apa yang dibutuhkannya.“Sudah, Claudia?”Kepala Claudia menoleh lantas mengangguk. “Aland Dirga cuma suka camilan yan
Usai dari supermarket dan Claudia mendapatkan izin dari Ryuga untuk pulang sendiri saja, wanita itu bergegas agar Aland dan Dirga tak mencurigai kepergiannya yang terlalu lama.Tadinya Ryuga bersikukuh ingin mengantarkan Claudia, hanya saja Claudia takut jika Aland dan Dirga melihatnya.‘Ryuga sama aku kayak punya hubungan yang nggak direstui keluarga, jadinya ngumpet-ngumpet,’ pikir Claudia.Saat Claudia hendak membuka pintu rumah, Dirga mengirimkan pesan padanya.[Dirga: Mbak kesasar di supermarket? Gue susulin, ya?]“Cish, yakali aku kesasar. Dirga ada-ada aja,” cibir Claudia memasukan ponselnya ke saku depan sweater Aruna tanpa membalas pesan pemuda itu.Sejurus kemudian Claudia meringis. Sweater Aruna tidak akan dikenali oleh Dirga ‘kan?Baru berpikir demikian, sosok Dirga langsung muncul begitu pintu terbuka dari dalam. Dirga sudah mengenakan hoodie kesayangannya.“Kenapa lama, Mbak?”Mendapati Dirga yang memandang Claudia dengan khawatir malah membuat wanita itu terkekeh. Dia i
Paginya, Claudia sudah bersiap pergi ke kampus. Dia sudah tidak menemukan Aland dan Dirga di seluruh sudut rumah. Hanya ada catatan kecil yang ditempel di pintu kulkas. [Dirga: Gue jemput Aruna.] [Aland: Gue ada kelas pagi, Mbak. Jaga diri dan selalu hati-hati.] “Mbak ‘kan belum kasih uang jajan sama kamu, Al,” gumam Claudia sambil berlalu pergi. Wanita itu hanya perlu mengambil tasnya saja yang ditaruh di sofa. Claudia bisa mengirimkan uang melalui rekening nanti pada Aland. Meskipun uang Claudia sudah sangat menipis, dia tetap ingin memberikan uang saku pada adiknya itu. Maka, setelah selesai mengunci pintu rumah, Claudia melangkahkan kaki ke luar pekarangan. Netra matanya menangkap kehadiran mobil mewah Ryuga yang terparkir tepat di depan rumah Dirga. “Untung saja Aland Dirga sudah pergi.” Claudia menghela napas lega. Pintu belakang mobil sudah terbuka, itu artinya Ryuga membawa sopir. Buru-buru Claudia masuk ke dalam sebelum ada banyak pasang mata yang tak sengaja memperhati
Melalui sentuhan tangan Ryuga, rambut Claudia disulap menjadi model french braid yang membiarkan rambut panjang bawahnya dibiarkan menjuntai setelah mengepang dua bagian atas rambutnya.Melalui cermin kecil miliknya, Claudia tersenyum. Ryuga menarik tubuh wanita itu agar menghadap padanya.Pada akhirnya, Claudia lebih memilih membalik tubuhnya dibandingkan duduk di pangkuan pria itu. Yang benar saja, Claudia masih waras.“Kok kamu jago, sih?” heran Claudia menatap manik hitam Ryuga. Semakin lama Claudia mengenal Ryuga, pria yang tampak dingin dari luar itu punya kelebihannya tersendiri.Claudia memberikan dua jempolnya. “Aku suka. Terima kasih ya, Ryuga.”Ryuga menatap puas melihat hasil pekerjaan tangannya pada rambut Claudia. Dia mendengus, “Terima kasih saja?”‘Ternyata ada maunya,’ keluh Claudia menggelengkan kepala. Namun, karena dia senang, mangkanya Claudia bertanya, “Ya sudah, kamu mau apa Ryuga?”Sejurus kemudian, Claudia terpikirkan satu hal. Buru-buru dia menambahkan, “Bole
Di sisi lain, Aruna baru ke luar lima menit setelah kedatangan Dirga ke kediamannya. Seperti yang sudah-sudah, Dirga tak pernah mau masuk ke dalam rumah.Siapa coba yang tidak kesal mendapati sikap kekasihnya seperti itu? Untung stok kesabaran yang Aruna miliki sedalam lautan, jadi itu bukan masalah besar.“Pagi, Dirga sayangggg!” sapa Aruna tiba di hadapan kekasihnya. Dalam sekali lihat, perawakan Aruna tampak menarik perhatian. Gadis itu terlihat segar dengan senyum manis yang selalu terpatri di bibirnya juga matanya yang kerap kali berbinar.Dirga hanya menganggukkan kepala tanpa membalas sapaan kekasihnya. Dia menyodorkan helm yang biasa digunakan Aruna.“Ambil,” kata Dirga dengan nada suaranya yang lempeng. Namun, Aruna menggeleng ragu. Dia menaikkan pandangan untuk menatap manik hitam Dirga.“Aku boleh nggak pake helm nggak? Soalnya takut kepangannya berantakan, Dir,” keluh gadis itu seraya meraba dua kepangan di kepalanya.Sontak itu membuat Dirga menaikkan satu alisnya, menatap
Claudia gamang. Dia ingin menjawab, tapi takut salah. Tapi, tidak dijawab sepertinya lebih salah lagi. Ekor mata Claudia melirik Ryuga, ‘Bisa-bisanya Ryuga menanyakan itu di saat seperti ini?’Kepala Ryuga menatap lurus ke depan. Dia mendengus tidak percaya. Rasa-rasanya Ryuga tidak akan berpikir selama itu jika Claudia menanyakan hal yang serupa.“Akan aku pikir-pikir dulu, Ryuga,” jawab Claudia pada akhirnya. Tepat setelah Claudia meluruskan pandangannya, matanya memicing untuk melihat dua orang gadis yang terlihat duduk di bawah pohon, lebih tepatnya yang satu tengah berbaring.Mulut Ryuga terbuka, hendak menimpali. Namun, tertahan oleh suara Claudia. Wanita itu juga mengarahkan jari telunjuknya ke depan, membuat manik hitam Ryuga bergerak mengikutinya.“I-itu Aruna dan Anjani, Ryuga!” seru Claudia. Wanita itu sama sekali tidak sedang berusaha mengalihkan topik. Karena untuk sekarang, lebih baik fokus pada Aruna.Ryuga memarkirkan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari tempat Aruna
Karena pertolongan dua pemuda itu, Aruna dibaringkan di sisi lapangan tepat di bawah pohon yang cukup rindang sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung.Usai membaringkan Aruna, Aland menatap ke arah gadis yang diduga sebagai teman larinya Aruna.“Kenapa Aruna bisa sampai pingsan segala?!” protesnya.Ditodong pertanyaan seperti itu, siapa yang tidak kesal? Anjani tidak merasa dirinya salah, alhasil dia menyahut santai. “Mana aku tahu. Kamu tanya Aruna saja.”Aland yang hendak menyahut lagi tertahan karena tangannya disentuh oleh pemuda yang bersamanya. “Tidak perlu marah-marah segala, Al. Mending kamu belikan Aruna minuman hangat.”“Sekalian sama minyak kayu putih, ya!” tambah Anjani. Takut disemprot lagi, Anjani menambahkan, “Biar Aruna cepet sadar ‘kan?!”Kalau bukan untuk Aruna, Aland mana mau. Mengembuskan napas berat, Aland pun berdiri lalu pergi meninggalkan keduanya.Entah kenapa Anjani merasa lucu melihat wajah kesal Aland yang tertahankan. Namun, fokusnya langsun
Tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir libur sebelum masuk perkuliahan, Aruna dan Anjani pagi-pagi sekali sudah siap dengan setelan training dan sweater rajut.Ya, keduanya memutuskan untuk berjalan sehat mengitari lapangan lari yang jaraknya tidak jauh dari kampus.“Nggak diantar Daddy kamu, Runa?” tanya Anjani begitu melihat Aruna yang datang turun dari ojek online.Aruna menggelengkan kepalanya. “Daddy lagi nggak ada.”“Emang Daddy kamu ke mana?” tanya Anjani lagi. Dia merasa penasaran. Anjani mengimbangi langkah Aruna untuk berjalan santai. Bukan berarti Anjani memutuskan tidak berlari seperti orang-orang di sekitarnya karena tahu Aruna memiliki asma, tapi itu karena Anjani malas saja. Dasar.Mata besar Aruna melirik teman dekatnya dengan senyum yang terlihat mengerikan. “Cari Mommy baru buat aku.”TUKKK“Aww, Anjani sakit!” ringis Aruna saat mendapatkan jitakan di pinggir dahinya.Tidak ada tanda-tanda Anjani menunjukkan perasaan bersalahnya. Dia malah mengajukan pertanyaan lag
Jika bukan karena alarm yang sudah menjerit-jerit, sepasang pria dan wanita yang tidur dalam satu ranjang itu tidak akan terbangun dalam bersamaan.Sang wanita berhasil membuka matanya lebih dulu. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya yang memang tidak begitu besar.Begitu menoleh, dia mendapati sesosok pria tampan yang tanpa mengenakan atasan juga tengah menolehkan kepalanya. Keduanya bertukar pandangan.“Saya bisa jelaskan–“Nggak perlu, gue inget apa yang terjadi semalam kok,” selanya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia kembali berucap, “Gue nggak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari lo.” Nada bicaranya terdengar sangat serius sehingga membuat Sang pria mengerutkan dahinya samar.“Seharusnya saya bisa membantu Anda dengan cara yang lain, Nona Lilia.” Sang pria menyebutkan nama wanita yang terbaring di sebelahnya.‘Cara lain?’ batin Lilia sambil mendengus kasar. Satu-satunya cara yang ampuh untuk melep
Dilihat dari sudut mana pun, jika dari luar Claudia tampak baik-baik saja. Wanita itu baru saja berdiri dari kursi meja riasnya dan tengah memunguti kapas kotor untuk dibuangnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan.Namun, belum sempat beranjak pergi, ada sepasang tangan yang melingkari perutnya.“Ryuga,” tegur Claudia dengan suara yang mengalun lembut.Alih-alih mengerti maksud teguran halus itu, Ryuga malah sengaja mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Claudia.“Biarkan seperti ini dulu. Aku masih merindukanmu, Claudia.” Suara rendah Ryuga yang berbisik tepat di belakang cuping telinga Claudia membuat wanita itu merasa kegelian.Pandangan keduanya beradu tatap melalui cermin rias milik Claudia. Manik hitam pria itu menyorotnya lembut. Dan sudah bisa dipastikan itu memicu debar di dada Claudia.Untuk mengalihkan itu, Claudia memutuskan bertanya selagi dirinya teringat, “Apa aku tidak salah dengar kamu menyebut nama Lilia, Ryuga? Apa terjadi sesuatu padanya?”Ryuga mende
Dibalik Ryuga dan Claudia yang kini sudah tiba di flat, lain lagi Riel yang harus terjebak bersama Idellia. Pria itu kesulitan mencari celah untuk melarikan diri sebab Idellia yang kini setengah mabuk tampak gelonjotan di lengannya.Kewarasan Idellia pasti berkurang sebab dia dengan berani menyentuh lengan bisep Riel yang tampak berotot. Idellia bergumam, “Wow, ototmu besar juga!”Ekspresi Riel menunjukkan kerisihannya. Dia belum pernah bertemu wanita seagresif Idellia. Maka, sehalus mungkin Riel mencoba menepis lengan Idellia.Selain dia tidak suka bersikap kasar pada wanita, Idellia adalah teman dari Claudia.“Saya harus pergi, Nona Idellia. Sepertinya Pak Ryuga dan Bu Claudia juga sudah tidak lagi di Club,” beritahu Riel sambil menundukkan wajah untuk melihat ke arah kepala Idellia yang sekarang tengah bersandar di sebelah pundaknya.Pria itu mengembuskan napas beratnya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya agar dia pergi?“Kamu … pergi?” lirih Idellia. “Jangannnn~,” jawabnya denga
Untuk apa menghindar jika tidak mempunyai salah? Lagipula … percuma saja menghindari Ryuga. Ditambah posisi untuk Claudia kabur sangat tidak memungkinkan karena kedua tangan Ryuga mencengkram sisi-sisi kursi yang diduduki Claudia. Wanita itu merasakan detak jantungnya meningkat kala bersinggungan mata dengan manik hitam Ryuga. Sesaat Claudia memejamkan matanya, ‘Astaga … jantungku.’ Rasanya seperti ingin meledak. Bertepatan Claudia membuka mata, suara berat Ryuga mengudara, “Ikut aku sekarang, Claudia!” Ucapannya jelas tidak ingin dibantah. Begitu tangan kiri Ryuga menyentuh lengannya, pandangan Claudia turun untuk melihat. Entah sejak kapan gips di tangan Ryuga berhasil dilepaskan. Tapi, yang pasti Claudia merasa bersyukur. Claudia tidak terlalu memperhatikan saat acara pameran berlangsung tadi. Sekarang, tahu-tahu saja Ryuga melepaskan lengan Claudia. Manik hitamnya menyorot Claudia tajam. “Mau aku gendong atau berjalan sendiri, Claudia?” tanyanya tidak sabar. Ditambah kedua
Pencahayaan lampu yang berkelap-kelip itu tidak terbiasa dilihat oleh netra mata Claudia sehingga dia membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi. Selain itu, ada hal lain yang membuat Claudia tiba-tiba saja menolak bergabung ke lantai dansa.“Nanti aku menyusul. Aku merasa haus, ingin pesan minuman,” beritahu Claudia beralibi.Untung saja yang lain tidak curiga. Zoya menyahut, “Oke, Clau.” Lantas Zoya, Praya, dan Fanya berlalu pergi. Meninggalkan Claudia dan Lilia yang berdiri bersisian.Claudia menolehkan wajahnya ke arah Lilia. “Kamu … mau pesan minuman juga, Lilia?”Wanita itu merespons dengan menganggukkan kepala. Lalu Lilia baru menolehkan wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dia menyambar lengan Claudia dan menariknya pergi menuju meja bartender.Claudia pasrah saja tangannya ditarik karena sejujurnya dia sudah tidak memiliki energi apa pun. Pandangannya tampak kosong dan Claudia tidak memperhatikan kondisi sekitar, termasuk ekspresi wajah Lilia yang tampak berubah sedikit gelisah.
Miwa Club.Claudia kedapatan menghela napas saat melihat papan nama dari tempat Club tersebut."Masih memikirkan Ryuga, Clau?"Mendengar pertanyaan itu, Claudia menolehkan kepalanya ke arah sesosok wanita seusianya yang menunjukkan raut wajah polosnya. Begitulah Idellia.Kedua sudut bibir Claudia tersenyum tipis. "Kenapa aku harus memikirkan Ryuga?" jawabnya dengan pertanyaan lagi.Idellia belum sempat memprotes karena Claudia kembali menyambung ucapannya. "Ah, gara-gara ucapanku tadi, ya?" tebaknya. Kepala Claudia mengangguk. "Aku memang merindukannya. Tapi, itu tadi."Tentu lain lagi tadi dan sekarang. Claudia kembali tersenyum. Pandangannya turun dan tangannya menyambar lengan Idellia. Dengan santainya, Claudia berucap, "Let's go, Idel. Kita akan bersenang-senang 'kan malam ini?"Setengah tidak percaya dengan jawaban dan sikap Claudia, Idellia hanya mengangguk pasrah dan diam saja ketika Claudia setengah menyeret langkahnya.Wanita itu membatin sambil menatap punggung Claudia lamat