Usai sidang putusan perceraian, Lila kembali ke rumah. Dia yang sudah lelah fisik dan mental nyatanya belum bisa beristirahat mana kala disambut beberapa pelayan di rumahnya yang telah berbaris rapi di ruang tamu.
“Kalian … mau ke mana?” tanya Lila, sebab dia melihat ada jejeran koper tidak jauh dari para pelayan berdiri.
Mereka saling lempar pandangan, menyuruh salah satu untuk menjadi juru bicara.
Tidak lama berselang, sopir kepercayaan Ayah Lila maju selangkah, lalu berkata, “Maaf sebelumnya, Non.” Pria tua dengan kumis tebal itu memandang rekan-rekannya. “Kami semua sepakat mau mengundurkan diri,” lanjutnya kemudian.
“Apa?” Tentu saja Lila terkejut. Sebab, sebelum hari ini, dia tidak menemukan satu tanda pun terkait masalah yang membuat mereka tidak betah. “Tapi, kenapa, Pak?”
Pria itu terlihat sedikit ragu, tetapi kemudian tetap melanjutkan … “Kami sudah tidak merasa nyaman bekerja di sini. Apalagi, setelah skandal tentang Nona tersebar,” akunya tanpa berani melihat Lila.
Di tempatnya, wanita itu kehilangan kata-kata. Memang, kasus perceraian dirinya dan Erik yang tidak biasa itu sempat viral di media sosial.
Meski tidak menyebutkan informasi detail, tetapi ada beberapa petunjuk yang langsung mengarah pada Lila, anak dari salah satu konglomerat ternama di Ibu Kota.
“Tapi, skandal itu bahkan tidak benar, Pak.” Mereka semua terdiam sembari menundukkan pandangan. Lila berdecak, mengacak rambutnya karena frustrasi. “Tapi, kalau itu memang sudah keputusan kalian, apa boleh buat. Tunggu sebentar.”
Baru berjalan beberapa langkah, suara sopir ayahnya kembali terdengar.
“Maaf, Non. Tapi kami tidak meminta pesangon. Bagi kami, keluar dari sini sudah cukup.”
Terus terang, Lila merasa tersinggung mendengar kalimat itu. Dengan menahan decakan, sambil mencoba menjaga ekspresinya … dia menoleh.
“Saya tidak mau punya hutang, Pak.” Lila berujar tegas. “Mungkin kalian tahu kalau kami sudah tidak sekaya dulu, tapi saya masih sanggup membayar gaji kalian bulan ini.”
Setelah itu, Lila beranjak menuju kamarnya. Dia membuka brankas yang berisikan uang tunai, dan merapikannya sesuai dengan jumlah pelayan yang akan mengundurkan diri.
Kemudian, wanita itu kembali ke hadapan para pelayan dan memberikan gaji juga pesangon terakhir. Namun, di saat semua pelayan menerima sodoran amplop tersebut dan langsung pergi dari rumah, ada satu pelayan yang menolak. Pelayan itu bahkan berdiri paling ujung, dengan menjaga jarak dari yang lainnya.
“Ada apa, Bi Weni? Bibi tidak mau menerima ini?” tanya Lila.
Weni menggeleng. Tatapan pelayan paruh baya yang sedari bayi mengurusnya itu terlihat sendu. “Tidak, Non. Saya akan tetap di sini. Non Lila tidak perlu gaji saya. Saya ikhlas bantu Non ngurus Bapak. Saya juga yakin, Non tidak bersalah.”
Ada ekspresi senang kala mengetahui salah satu orang terdekatnya tidak meninggalkannya. Satu tetes air mata lantas turun dari mata Lila.
“Terima kasih, Bi.” Dengan rasa haru, Lila memeluk tubuh Weni.
Seolah tanpa jeda, dering ponsel Lila kemudian terdengar nyaring di antara suasana sepi dan sendu.
Melihat nama penelepon yang merupakan rumah sakit tempat ayahnya dirawat, ekspresi Lila kini berubah menjadi tegang.
“Iya, ada apa?” Beberapa detik kemudian, gadis itu menjerit hebat dengan tubuh yang meluruh. “AYAHHH!!”
Kabar duka kembali Lila terima. Setelah perceraian, ditinggal orang kepercayaan, kini satu-satunya orang yang dia punya pun kini meninggalkannya seorang diri.
Dunianya hancur. Semangat hidupnya praktis layu. Beruntung, Weni terus menerus di sisinya.
Pemakaman ayahnya diadakan keesokan hari, dalam keadaan sepi pelayat, tetapi banyak sorot lampu kamera yang hanya meliput berita duka, tanpa memberikan rasa empati mereka pada Lila.
Namun, kesialan gadis itu masih berlanjut. Ketika jenazah ayahnya baru saja dikebumikan dan dia kembali ke rumah … Erik dan Sandra menghadangnya di pintu masuk.
“Rumah ini sudah jadi milikku. Pergilah dari rumah ini!” usir Erik dengan mengarahkan telunjuknya ke arah Lila.
***
"Maaf kalau rumah saya kecil, Non."Bi Weni mempersilakan Lila memasuki rumahnya yang asri. Selepas pengusiran oleh Erik yang dengan teganya tidak membiarkan Lila membawa apa pun, termasuk mobil juga baju-bajunya … Weni mengajaknya tinggal di rumah wanita itu.Lila yang dahulu memiliki kemudahan dalam segala hal, kini telah kehilangan semua hanya karena pria licik dan kebodohannya yang terlalu percaya.“Tidak, Bi. Justru aku berterima kasih karena Bibi mau menampungku,” sahut Lila tersenyum tipis. “Dan tolong, jangan panggil aku Nona lagi, Bi. Aku bukan lagi majikan Bibi.”Rasa tidak enak hati Lila bertumbuh pesat. Panggilan Nona dari Weni membuatnya tidak nyaman.“Baiklah, kalau begitu. Semoga Nak Lila bisa betah di rumah Bibi, ya,” sahut wanita tua itu ramah.Lila mengangguk, haru. Dia bersyukur masih ada Weni yang begitu setia meski kini dia tidak memiliki apa-apa.Mulanya, Lila bersikeras menolak penawaran Weni untuk tinggal di rumah wanita itu. Dia takut, jika keluarga Weni terbe
Hari berikutnya mentari bersinar cukup cerah. Lila pun dengan semangat sudah bersiap untuk menuju ke tempat kerjanya. "Huft. Oke. Aku pasti bisa. Di rumah ini aku sudah banyak belajar dari Ibu soal bersih-bersih," gumamnya penuh tekad di depan cermin kecil di kamarnya. Segera saja Lila berpamitan dengan ibu dan ayah angkatnya. "Ibu sudah menghubungi orangnya. Dia mau menemui kamu dan ini alamatnya," ucap wanita itu sembari menyerahkan selembar kertas kecil pada anak angkatnya. "Terima kasih, Bu. Aku nggak akan mengecewakan ibu," ucap Lila dengan senyuman lembutnya. "Iya. Hati-hati di jalan, Lil." Setelah berpamitan, Lila menunggu angkutan umum untuk menuju ke alamat tempat kerjanya yang baru. Kini gadis itu tiba di sebuah apartemen mewah dengan nomor 111. Sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas kecil yang dia bawa. Bel pintu dia tekan agar sang penghuni tahu dirinya telah datang. "Permisi, apa benar ini tempat tinggalnya Pak Davidson?" tanya Lila saat menatap pria berkac
"Ternyata kamu cukup rajin juga, ya?" Farhan memberikan pujian atas kedatangan Lila.Gadis cantik itu tersenyum sopan pada pria yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia pun menilik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit."Selamat pagi, Pak Farhan," sapa Lila ramah."Pagi." Farhan memutar tubuhnya dan dia mulai memencet tombol kombinasi pada pintu apartemen sang bos. "Masuklah. Aku tidak akan berlama-lama di sini," imbuhnya."Baik."Langkah Lila berlanjut sampai gadis itu kembali ditinggalkan di apartemen oleh Farhan. Lila pun meletakkan tas selempang yang dia bawa dan saatnya mulai bekerja.Seperti sebelumnya, Lila mencuci pakaian sang majikan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya. Lagi-lagi gadis itu mencium aroma parfum lembut dari pakaian kotor sang majikan. Ingatannya kembali memunculkan sekelebat bayangan pria yang baru saja dia temui di depan lift."Aroma parfumnya sama, tapi parfum seperti ini kan bisa dibeli oleh orang lain. Mungkin
Perlahan David mendekati gadis yang dia yakini sebagai pembantu barunya. David mengamati tubuh ramping Lila. Jika dia pria jahat, pastilah David akan menyerang gadis tanpa pertahanan diri itu dengan mudah. Namun David bukanlah orang tak bermoral. Pria itu bahkan tak menyukai kehadiran orang lain di sekitarnya kecuali hanya orang-orang yang dia percaya saja.Pria itu memilih segera membersihkan diri. Dia berendam ke dalam bathtub dengan air hangat. Seolah tak peduli ada seorang gadis di luar sana. Dia hanya ingin menenangkan diri setelah suasana hatinya buruk karena harus berhadapan dengan perusahaan rekanan yang bermasalah.Sementara itu, Lila mulai terbangun. Gadis itu membuka perlahan kedua matanya dan dia mulai menegakkan badannya. Tak lupa dia melakukan peregangan pada otot-ototnya yang tegang. Dengan mata menyipit, Lila mendongak memeriksa jam dinding.Kedua matanya langsung membulat saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul empat lebih."Ya ampun ... Aku harus beresin ini dan s
Hari berikutnya Lila kembali ke apartemen nomor 111. Dia tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya. Maka dari itu dia sudah beristirahat dengan cukup di rumah.Saat baru saja tiba di depan pintu nomor 111, dia melihat seseorang sudah menunggu kedatangannya. Kali ini bukan Farhan, namun sang majikan sendiri."Ternyata benar kamu selalu datang lebih awal," ucap David dingin. Kedua netranya menilik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Lila mencoba tersenyum. Dia sendiri tak tahu apakah ucapan sang majikan itu merupakan pujian atau celaan."Se-selamat pagi, Tuan David," sapa gadis itu gugup."Hm," sahut David singkat.Lila menelan ludahnya. Di hari sebelumnya dia bahkan diusir saat hendak pulang. Meski David tidak memecatnya dan masih memberikan kesempatan untuknya."Sekarang kamu boleh melanjutkan kerja di sini. Ini password apartemenku. Dan ingat satu hal, jangan berani berbuat yang tidak-tidak dan taati peraturan!" tegas pria itu dingin.Lila menerim
Kedatangan David yang tiba-tiba membuat dua wanita itu cukup terkejut. Paham kini keberadaannya tidak dibutuhkan, dan tidak seharusnya di sini ... Lila pun undur diri.Lila berjalan pergi sembari membetulkan posisi tasnya yang melorot. Dia meninggalkan apartemen sang majikan dingin bersama ibunya."David, apa kabar, putraku?" Helena memeluk putra tunggalnya dengan hangat."Baik, Mah," jawab sang putra datar.Helena tersenyum lembut. "Kamu masih tak berubah.""Ada apa Mamah ke sini?" tanya David saat sang ibu sudah melepaskan pelukan. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tamu."Kok kamu tanyanya begitu, sih? Mamah kangen sama kamu," jawab Helena masih tersenyum.Sunyi sejenak sebelum David beranjak dari duduknya. "Mamah mau minum apa?" tanya pria itu.Wanita paruh baya itu menahan lengan putranya. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban atas tawaran David."Nggak usah repot-repot, David. Mamah cuma mau berkunjung sebentar."David memilih duduk kembali di samping sang ibu. Wanita itu pun me
Langit sudah berubah gelap. Sesuai dengan janjinya, David akan mengunjungi kedua orang tuanya di rumah lama. Memang dia sudah lama sekali tak menginjakkan kedua kakinya di sana. Merasa berdosa, David memilih menuruti permintaan sang ibu.Mobil melaju dengan pasti melewati jalanan kota yang cukup padat di malam akhir pekan. David dengan setelan kemeja dan celana hitam menuju kembali ke rumah setelah dia sibuk terlalu lama mengurus perusahaan."Selamat datang, Sayang," sapa Helena ketika putranya benar-benar datang. Wanita itu tampak sumringah karena David menepati janjinya."Selamat datang, Kak David." Sapaan lembut lain datang dari bibir merah seorang gadis muda berusia dua puluh delapan tahunan. Gadis itu berjalan mendekati David dengan langkah yang begitu anggun."Siapa dia, Mah?" tanya David dengan ekspresi datar."Kok siapa? Dia ini Tiara. Yang tadi Mamah kasih lihat fotonya," jelas Helena sembari menarik pelan lengan Tiara agar lebih dekat dengannya.David menatap dengan tatapan
"Kamu harus menandatangani kontrak ini!"Pagi hari di hari Senin David menyodorkan satu lembar kertas pada Lila.Gadis yang biasanya akan ditinggal sendiri untuk mengerjakan pekerjaan rumah, kini ditunggu oleh sang majikan tampan namun dingin. Dalam hatinya tentu saja Lila bertanya-tanya mengapa sang majikan masih berada di apartemen pada jam mulai kerja? Pria itu bahkan malah duduk saling berhadapan seperti ini dengannya."I-ini kontrak apa, Tuan?" tanya Lila tak mengerti."Kontrak pernikahan kita," jawab David singkat.Lila tentu saja kaget mendengarnya. Melihat sekilas saja sudah dapat dia tebak bahwa sang majikan telah menyusun kontrak satu lembar itu dengan sangat baik."Tinggal tandatangan saja," ucap David lagi."Tapi .. mengapa Anda memberikan kontrak pernikahan ini pada saya?" tanya gadis itu semakin tak mengerti.David menghela napas. Tentu saja pembantu barunya itu akan bingung jika dihadapkan dengan situasi mendadak seperti ini. Pria itu pun menyandarkan punggungnya pada s