"Kamu harus menandatangani kontrak ini!"
Pagi hari di hari Senin David menyodorkan satu lembar kertas pada Lila. Gadis yang biasanya akan ditinggal sendiri untuk mengerjakan pekerjaan rumah, kini ditunggu oleh sang majikan tampan namun dingin. Dalam hatinya tentu saja Lila bertanya-tanya mengapa sang majikan masih berada di apartemen pada jam mulai kerja? Pria itu bahkan malah duduk saling berhadapan seperti ini dengannya. "I-ini kontrak apa, Tuan?" tanya Lila tak mengerti. "Kontrak pernikahan kita," jawab David singkat. Lila tentu saja kaget mendengarnya. Melihat sekilas saja sudah dapat dia tebak bahwa sang majikan telah menyusun kontrak satu lembar itu dengan sangat baik. "Tinggal tandatangan saja," ucap David lagi. "Tapi .. mengapa Anda memberikan kontrak pernikahan ini pada saya?" tanya gadis itu semakin tak mengerti. David menghela napas. Tentu saja pembantu barunya itu akan bingung jika dihadapkan dengan situasi mendadak seperti ini. Pria itu pun menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sementara Lila menatapnya dengan penuh tanya. "Aku punya sebuah penawaran untukmu," ucap David memulai rencananya. "Penawaran?" "Ya. Aku mau kamu menjadi istri kontrakku." Pernyataan David tentu saja mengagetkan Lila. Gadis itu bahkan tanpa sadar membulatkan kedua matanya. "Aku tahu kamu butuh uang, kan? Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi pacarku. Dan setelahnya kamu harus mau menjadi istri kontrakku selama kurang lebih satu setengah tahun." Dia melanjutkan. "Tapi ... Kenapa?" Bukannya senang, gadis itu malah semakin bingung. David memerhatikan perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Lila. Gadis itu memang berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dia temui sebelumnya. Padahal seharusnya Lila akan menerima tawarannya dengan senang hati. "Kamu hanya perlu menjadi istri kontrakku karena aku tidak mau dijodohkan dengan wanita yang tak kukenal," papar David. Lila terdiam. Bukankah mereka berdua juga baru kenal satu bulan lamanya? "Tidak perlu mengkhawatirkan bayarannya. Aku akan memberikan penawaran sebesar lima milyar jika kamu mau menjadi istriku selama satu setengah tahun." Lima milyar merupakan angka yang fantastis bagi Lila yang memang sudah jatuh miskin. "Dan jika kamu melahirkan anak entah laki-laki atau perempuan, maka aku akan menambahnya menjadi sepuluh milyar." David mengatakan hal tersebut dengan tatapan dingin dan datar. Ucapannya begitu serius dan penuh penekanan. Lila diam sejenak memikirkan jawaban apa yang akan dia berikan. Uang sebanyak itu bisa dia gunakan untuk menyewa pengacara dan detektif. Setidaknya dia bisa mencari bukti-bukti mengenai kelicikan Erik, mantan suaminya yang kini tengah berada di masa jayanya. Tapi .... Lila teringat dengan tawaran kedua. Dia harus memiliki anak dengan majikannya. Ini berarti dalam hubungan pernikahan kontrak itu mereka harus melaksanakan hubungan layaknya suami istri. Dan kemungkinan anak itu akan diambil darinya. "Kamu tidak akan kekurangan. Setelah anak itu lahir, kita akan memproses perceraian dan anak itu akan aku rawat dengan baik." David seolah-olah mengetahui isi kepala Lila. Pria itu kembali menegakkan badannya. Lila merasakan atmosfer yang begitu dingin menyelimuti ruangan. David merupakan orang yang perfeksionis. Di mana pria itu pastilah sudah memperhitungkan rencananya ini. "Kamu tinggal menyetujuinya. Karena uang sepuluh milyar itu akan utuh kuberikan padamu. Untuk biaya hidup dan keperluanmu selama menjadi istriku tidak termasuk," jelas David lagi. Lila tak menyangka bahwa majikannya akan memberikan penawaran yang berat. Dia memang memerlukan uang, namun dia juga masih trauma dengan pernikahannya yang gagal. Gara-gara menikah, kehidupannya menjadi menderita seperti ini. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Baik Lila maupun David sama-sama diam. David diam karena menunggu jawaban dari pembantunya, sementara Lila diam karena pikirannya berkecamuk. "Jika menurutmu uang sepuluh milyar itu kurang, katakan saja. Aku juga tidak akan merugikanmu kelak. Atau kamu punya penawaran lain?" tanya David karena tak tahan dengan kesunyian di antara mereka berdua. Lila menelan ludahnya susah payah. Meski David tidak membentaknya dalam meminta, namun suara berat dan dalam pria itu mampu membuatnya tertekan. Terlebih lagi tatapannya yang begitu tajam seolah pria itu ingin mencabik-cabik dirinya jika tidak memenuhi keinginannya. Tangan ramping Lila meraih selembar kontrak yang disodorkan padanya. Gadis itu mengamati setiap huruf yang tersusun rapi. Setiap kata yang tertulis begitu tegas dan jelas. Di sana juga terdapat dua tawaran yang telah dikatakan oleh David sebelumnya. Juga ada beberapa poin penting sebagai konsekuensi jika terjadi kecurangan di antara keduanya. Lila terdiam membaca kontrak tersebut. Memang tak ada yang merugikan kedua belah pihak. Keduanya sama-sama akan mendapatkan keuntungan masing-masing. "Bagaimana?" tanya David saat Lila menegakkan kepalanya kembali, tanda bahwa gadis itu sudah selesai membaca sampai akhir. Lila menatap wajah tampan David yang masih saja dingin. Lalu gadis itu kembali menunduk. Tak dapat dirinya menatap kedua mata David terlalu lama. "Saya akan mempertimbangkannya. Berikan saya waktu untuk memikirkan tawaran ini, Tuan." Akhirnya Lila membuka suara setelah sekian lama bungkam. "Kamu pikirkan baik-baik tawaranku. Tapi aku anggap kamu setuju. Aku akan memberimu waktu sampai sore ini." David tiba-tiba memberikan keputusan sepihaknya. Lila merasa dijebak. Dia harus memberikan keputusannya dalam waktu yang bahkan kurang dari satu hari. "Kamu tidak bisa menolak. Terima tawaran ini dan pikirkan baik-baik apa yang kamu inginkan sebagai syarat yang harus aku penuhi dan tulis di bagian yang kosong," ucap David sembari menunjuk pada lembar kontrak yang berada di tangan Lila. "Baik, Tuan. Saya akan memikirkannya." Lila tak dapat membantah. "Bagus. Sekarang aku harus pergi. Jadi pikirkan baik-baik. Aku tunggu jawaban baikmu nanti sore." David meraih jasnya. "Jika kamu mau pulang sebelum aku tiba, letakkan kontrak itu di atas meja." Pria itu segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan sang pembantu sendirian di apartemen. Lila kini menatap pintu yang kembali tertutup rapat. ***Hari itu Lila bekerja dengan konsentrasi yang terganggu. Gara-gara tawaran sang majikan yang tiada angin tiada hujan memintanya nikah kontrak, dia harus membuat keputusan secepat mungkin. Dia pun harus memikirkan syarat yang hendak dia ajukan nantinya.'Apa aku minta tolong untuk merebut kembali aset keluargaku, ya? Tapi dengan begitu nanti Tuan David bakalan tahu kalau aku janda ....' cicit Lila gamang.Gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan baik. Kini sebelum waktu pulang, Lila masih punya sekitar setengah jam lagi sebelum jam tiga sore. Lila kembali memikirkan syarat apa yang dia ingin sang majikan penuhi. Sungguh menurutnya David itu aneh. Jika pria itu memaksa, seharusnya dia tak memberikan kesempatan pada Lila untuk membuat syarat, bukan?Pukul empat sore, David pulang dari kantornya. Pria itu berharap syarat kontrak pernikahan sudah selesai diletakkan di atas meja untuk dia periksa. Jika dia melihat dari keadaan Lila, dia tahu bahwa pembantu barunya itu butuh uang. Kar
Hari yang ditentukan telah tiba. David memerintahkan Lila untuk tetap menunggunya setelah selesai bekerja. Malam itu ada undangan makan malam di rumah kedua orang tua David lagi."Jadi ... Tuan meminta saya untuk ikut makan malam?" tanya Lila hati-hati saat majikannya sudah selesai mandi.David dengan rambutnya yang masih basah duduk di hadapan sang pembantu."Ya. Malam ini ada makan malam bersama kedua orang tuaku. Aku sudah memberi tahu mereka untuk membawamu," jelas David.Lila terdiam. Begitu cepat dirinya akan dipertemukan dengan kedua orang tua sang majikan."Tapi ...." Lila tentu saja terkejut lantaran ternyata sang majikan mengajaknya makan malam bersama keluarga tanpa memberi tahu dirinya lebih dulu."Tidak ada tapi-tapian! Ini merupakan tugas pertamamu. Kamu harus mengaku sebagai pacarku dan katakan kita sudah pacaran selama satu bulan," ucap David terdengar seperti perintah bagi Lila.Gadis itu sebenarnya enggan untuk menjadi pasangan sang majikan. Selain karena masih traum
Mobil hitam David segera melaju membelah jalanan kota. Atmosfer di dalamnya begitu dingin. Terlebih langit sudah gelap saat mereka keluar dari salon. Lila memilih memainkan jari-jarinya karena gugup.David sendiri benar-benar bungkam. Pria itu sama sekali tak ada niatan untuk memberikan sekedar pujian ringan pada sang pembantu yang telah menurutinya. Lalu mereka harus berhenti di depan lampu merah di mana kecanggungan akan bertambah lama."Tu-Tuan ...." Lila mencoba mencairkan suasana yang begitu sunyi. Bahkan selama keluar tadi, David sama sekali tak memainkan musik apa pun untuk menemani perjalanan mereka.David hanya menoleh. Membuat Lila semakin gugup dan memilih menghindari bertatapan mata dengannya."Emmm. Maaf, Tuan ... Tapi apakah penampilan saya sudah sesuai dengan harapan Tuan? Sa-saya khawatir jika saya mempermalukan Tuan ...." papar gadis itu dengan suara sedikit bergetar. Dia bertanya dengan rasa takut. Sungguh duduk berdua saja dengan David membuat Lila tak nyaman. Terle
Helena dan Norman saling bertukar pandang. Baru kali ini David tersenyum seperti itu setelah sekian lama."Kalian sudah pacaran berapa lama?" tanya Norman penasaran. Pasalnya sang putra tampak begitu peduli dan lembut pada Lilara. Hal ini tentu berbeda dengan sikap David yang selalu dingin pada siapa saja. Bahkan pada gadis secantik Tiara yang pernah berkunjung ke rumahnya."Baru satu bulan, Om," jawab Lila sembari tersenyum sopan."Satu bulan? Jadi kalian baru pacaran?" Helena menimpali."Ah. Iya, Tante ...." jawab Lila sembari mengangguk pelan.Tiba-tiba saja Lila merasakan jemari panjang yang menyusup menggenggam tangannya. Hangatnya tangan David kini terasa di kulitnya yang halus."Meski kami baru pacaran selama satu bulan, tapi aku benar-benar ingin menikahinya, Pah, Mah." David berdusta sembari menatap wajah Lilara.Lila terdiam kaget saat sang majikan tersenyum lembut padanya. Sungguh hal yang di luar kebiasaan."Satu bulan itu terlalu cepat, David. Kalian bahkan belum saling k
Akhirnya David mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Meski tentu saja Helena akan terus mencari keburukan Lila.'Dasar perempuan murahan. Dia pasti menggoda David agar mau tidur dengannya,' batin Helena saat mobil sang putra sudah keluar dari halaman rumah.David kembali berdua saja dengan sang pembantu cantik. Lila menunduk memikirkan ucapan tuannya yang seenaknya saja mengklaim dirinya hamil."Tuan ... Kenapa Tuan bilang kalau saya hamil? Kita bahkan belum pernah melakukan apa pun," tanya Lila mencoba memberanikan diri. Dia meremat tangannya sendiri yang berada di pangkuan.David terus menatap lurus ke arah jalan di depannya. "Itu lebih bagus supaya pernikahan ini segera terlaksana. Lagi pula perjanjiannya memang kamu harus mengandung anakku," paparnya dingin.Atmosfer kembali menjadi dingin saat David membawa Lilara pulang. Pria itu kembali pada sikap awalnya yang sebenarnya tak mempunyai perasaan pada Lilara."Di mana alamat rumahmu?" tanya David.Lila sedikit tersentak. "Di
Malam itu Lila duduk berhadapan dengan dua orang tua angkatnya. Gadis itu kini sedang diinterogasi oleh Weni mengenai hubungan yang dimaksud oleh pria tampan yang mengantarkannya pulang."Jadi apa benar laki-laki bernama David tadi adalah pacarmu?" tanya Weni."Iya, Bu." Lila menjawab dengan memberikan anggukan pelan."Tapi dia ... majikan di tempat kamu kerja?" Weni bertanya lagi."Iya."Weni menatap penampilan putri angkatnya yang begitu cantik malam ini. Wanita itu seolah melihat mantan nona mudanya kembali. Seperti inilah penampilan Lila sebelum dia mendapatkan musibah yang berkelanjutan."Maaf kalau Ibu lancang, tapi apakah Tuan David tahu kalau kamu pernah menikah?" Weni bertanya dengan hati-hati.Lila mengangguk. "Sudah, Bu.""Lalu?""Dia mau menerimaku. Dan ... Aku berharap dengan pernikahan ini aku bisa membalaskan dendamku pada Erik. Aku mau merebut kembali apa yang menjadi milik keluargaku," papar Lila dengan penuh tekad.Weni bertukar pandang dengan suaminya. Setidaknya wa
Hari Sabtu David mengajak Lila untuk memilih gaun pernikahan. Pria itu menjemput calon istrinya di rumah."Ingat, kita tidak perlu hal yang mewah. Lagi pula pernikahan kita hanya sementara," tegas David saat Lila baru saja duduk di samping kemudi."Saya mengerti, Tuan. Pernikahan kita juga tanpa cinta," sahut Lila. Meski dia sudah tahu konsekuensinya, namun dia tetap merasakan nyeri di hati saat David mengatakannya."Baguslah kalau kamu sadar diri."Mobil David melaju menuju ke butik langganannya. Dia kembali disambut dengan hangat dan kini mereka memilih gaun pernikahan untuk Lila."Saya mau ini saja, Mas," ucap Lila masih merasa kaku memanggil sang majikan dengan panggilan baru.David menatap sebuah gaun putih dengan desain sederhana. Memang gaun itu terlihat sederhana dan harganya pun menurut dia sangat murah. Namun jika mengamatinya dengan saksama, gaun tersebut juga terlihat anggun."Coba pakai!" titahnya sembari mendorong pelan punggung Lila."Saya bantu, Tuan," tawar seorang pe
"Turun!" David memberikan perintah pada pembantu cantiknya dengan dingin.Sungguh jika boleh memilih, Lila tak akan menjadikan David suami dalam kehidupan nyatanya. Gadis itu segera turun dari mobil diikuti David. Kini mereka berdua berada di depan sebuah toko perhiasan terkenal dan terbesar di pulau Jawa.David mengajak Lila masuk untuk membeli cincin pernikahan. Dia tak mau susah payah mengukur cincin Lila dan memilih membawa gadis itu secara langsung.Keduanya disambut dengan hangat. Karena David merupakan tamu istimewa, pria itu langsung menuju ke ruangan khusus. Lila sendiri sebenarnya masih penasaran dengan identitas suaminya. David sang majikan dingin, mau menawarkan uang sebanyak sepuluh milyar untuk pembantu seperti dirinya."Bawakan aku contoh cincin pernikahan yang bagus," ucap David pada sang pegawai.Dengan segera beberapa perhiasan dibawakan untuk sang tamu istimewa. Kini ada beberapa macam cincin pasangan yang tampak berkilau. Mata Lila tak dapat mengelak dari indahnya