"Lila ... Kenapa ini bisa terjadi?" Ayah Lila bertanya dengan suara lemahnya.
Usai kepergian Erik, Lila buru-buru membawa ayahnya ke rumah sakit. Penyakit jantung yang dimiliki ayahnya membuat Lila ketakutan luar biasa.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi, Yah.” Lila menggenggam tangan ayahnya dan sesekali menempelkan ke pipinya. “Percayalah bahwa kita tidak bersalah."
Air mata turun dari sudut mata sang ayah. Pria tua yang kini terpasang alat rumah sakit, juga selang oksigen di hidungnya itu menatap nanar sang putri.
“Tapi kamu akan bercerai, Lila."
"Aku tidak apa-apa, Ayah," sahut Lila sembari menghapus lelehan air matanya. “Menjadi janda bukan masalah besar, selama Ayah di samping Lila.”
Ayah Lila mengehela napas panjang.
Sebagai anak, tentu Lila memahami kegundahan ayahnya. Melihat anak semata wayangnya menjadi janda usai malam pertama, ditambah menantunya menuntut ganti rugi di luar kepala jelas menjadi beban pikiran sendiri untuk ayahnya.
Namun, Lila mencoba bersikap tenang, setidaknya di depan sang ayah. Meski hatinya sakit, juga tidak siap menerima status barunya sebagai seorang janda muda … Lila mencoba kuat dan tegar.
"Tapi semua aset kita ...."
“Ayah, aset bisa dicari. Yang penting sekarang Ayah sembuh dulu, supaya bisa kuatin Lila menghadapi persidangan.” Lila berujar dengan senyum tipisnya.
Dalam hati, Lila bersumpah … jika dia akan berusaha mempertahankan aset milih ayahnya dari makhluk tamak nan licik bernama Erik.
**
“Sebagaimana tuntutan pelapor, maka dengan ini pengadilan mengabulkan permintaan pelapor terkait ganti rugi yang dimintanya.”
Palu hakim diketuk, tepat setelah putusan perceraian dan permohonan ‘perampasan aset’ yang dituntut Erik dikabulkan.
Meski sudah mati-matian melawan, memberikan bukti dan menggunakan pengacara yang konon tidak terkalahkan … nyatanya Lilara Olivia dinyatakan kalah di pengadilan.
Keluar dari ruang sidang dengan tertunduk lesu, Lila melangkah ke toilet. Wanita itu membasuh mukanya, melampiaskan kekecewaan sebab gagal mempertahankan hak, juga gagal membuktikan tuduhan Erik.
“Apa yang harus aku jelaskan pada Ayah?” ujarnya lemah, tertunduk di depan wastafel.
Lila takut membayangkan kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi pada ayahnya. Padahal, kondisi ayahnya sejak terkena serangan jantung usai malam itu masih bisa dikatakan belum pulih seutuhnya.
Namun, mengingat akan kemampuannya yang telah dididik oleh ayahnya sedari kecil, Lila meneguhkan hatinya kembali.
Dia mengingat perkataannya pada sang ayah jika aset bisa dicari lagi.
‘Baiklah.’ Lila kembali menegakkan tubuhnya, menatap pantulan dirinya di kaca dengan tekad barunya. ‘Tidak ada waktu untuk menjadi lemah, Lila.’
Setelah merasa dirinya lebih baik, Lila keluar dari toilet menuju parkiran mobil.
Ketika masih di koridor pengadilan, tiba-tiba dia mendengar suara seorang wanita. "Bagaimana, Sayang? Ideku berhasil, kan?"
‘Suara ini ….’ Lila menghentikan langkahnya kala mendengar suara yang tidak asing itu.
Tidak lama, menyusul kemudian suara tawa menggelegar seorang pria yang Lila pasti ingat sebab pria itulah yang menghancurkan hidupnya, Erik.
"Ya. Kamu memang pintar, Sayang.” Terdengar bunyi kecupan setelahnya, sebelum pria itu melanjutkan, “Wanita itu memang bodoh, dia benar-benar percaya aku mencintai dia yang tidak menarik itu.”
Di tempatnya berdiri, Lila mengepalkan tangan mendengar percakapan Erik dan wanita bernama Sandra yang merupakan sahabatnya.
‘Berengsek kalian!’ Dalam hati Lila memaki.
"Nah, urusan dengan wanita jelek itu sudah selesai. Kamu juga sudah dapat semua hartanya, jadi … kapan dong, kamu akan menikahiku?" tanya sang wanita dengan nada manja yang dibuat-buat.
"Sandra, sabar. Jangan tergesa-gesa.” Suara Erik terdengar lembut, sesuatu yang dulu juga diterima Lila manakala pria itu masih bersandiwara. “Beri sedikit jeda, supaya semua terlihat natural.”
Tidak tahan lagi bersembunyi karena hatinya yang sangat panas … Lila pun memutuskan untuk muncul di hadapan mereka.
Dengan cengkeraman tangan di tasnya yang kuat, serta tatapannya yang dingin menusuk, Lila berujar, "Jadi karena ini kamu menceraikanku? Dasar berengsek!"
Baik Erik maupun Sandra sontak terkejut.
Keduanya kehilangan kata-kata, tetapi Sandra masih sempat bersembunyi di balik tubuh Erik seolah meminta perlindungan.
"Sekarang aku mengerti, kamu memang sudah mengatur semuanya.” Lila tersenyum tipis, membuat auranya bertambah dingin. “Kamu menjebakku dalam pernikahan. Kamu juga memfitnahku tidak perawan, demi merebut seluruh aset keluargaku.”
Pandangan Lila yang semula terfokus hanya pada Erik, kini berganti ke arah Sandra. Seringai tipis juga tatapan menjijikkan kini terlontar dari mata wanita itu.
Satu tangan Lila kemudian merogoh tasnya. Dia mengeluarkan ponsel setelah mengaktifkan kamera dengan format video.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mencoba merekam kami?”
Erik mulai panik sebab kamera milik Lila menyoroti figurnya dan Sandra yang berada di balik bahunya.
“Semua orang harus tahu betapa liciknya kalian, Mas!” ucap Lila tegas. “Lihatlah, suami satu malamku ternyata sudah merencanakan perceraian, dan bahkan dibantu oleh gundiknya yang–”
Prak!
Ponsel Lila jatuh dengan kencang saat tanpa diduga Sandra menerobos dan menepis kasar sorotan kamera tersebut. Terlihat, layar yang semula menyala itu kini mati, dengan retakan yang cukup parah di atasnya.
“Dasar wanita udik! Kamu tidak akan bisa mengambil apa yang sudah kami terima!” teriak Sandra. Sejurus kemudian, dia menarik tangan Erik dan menariknya pergi. “Ayo, Sayang.”
Lagi, Lila yang ditinggal sendiri kini menatap marah kepada dua sejoli itu.
'Aku akan mengumpulkan bukti kebohongan kalian, dan bersumpah akan merebut semua yang kupunya!’ tegas Lila dengan kobaran api kebencian di kedua matanya.
***
Usai sidang putusan perceraian, Lila kembali ke rumah. Dia yang sudah lelah fisik dan mental nyatanya belum bisa beristirahat mana kala disambut beberapa pelayan di rumahnya yang telah berbaris rapi di ruang tamu.“Kalian … mau ke mana?” tanya Lila, sebab dia melihat ada jejeran koper tidak jauh dari para pelayan berdiri.Mereka saling lempar pandangan, menyuruh salah satu untuk menjadi juru bicara.Tidak lama berselang, sopir kepercayaan Ayah Lila maju selangkah, lalu berkata, “Maaf sebelumnya, Non.” Pria tua dengan kumis tebal itu memandang rekan-rekannya. “Kami semua sepakat mau mengundurkan diri,” lanjutnya kemudian.“Apa?” Tentu saja Lila terkejut. Sebab, sebelum hari ini, dia tidak menemukan satu tanda pun terkait masalah yang membuat mereka tidak betah. “Tapi, kenapa, Pak?”Pria itu terlihat sedikit ragu, tetapi kemudian tetap melanjutkan … “Kami sudah tidak merasa nyaman bekerja di sini. Apalagi, setelah skandal tentang Nona tersebar,” akunya tanpa berani melihat Lila.Di temp
"Maaf kalau rumah saya kecil, Non."Bi Weni mempersilakan Lila memasuki rumahnya yang asri. Selepas pengusiran oleh Erik yang dengan teganya tidak membiarkan Lila membawa apa pun, termasuk mobil juga baju-bajunya … Weni mengajaknya tinggal di rumah wanita itu.Lila yang dahulu memiliki kemudahan dalam segala hal, kini telah kehilangan semua hanya karena pria licik dan kebodohannya yang terlalu percaya.“Tidak, Bi. Justru aku berterima kasih karena Bibi mau menampungku,” sahut Lila tersenyum tipis. “Dan tolong, jangan panggil aku Nona lagi, Bi. Aku bukan lagi majikan Bibi.”Rasa tidak enak hati Lila bertumbuh pesat. Panggilan Nona dari Weni membuatnya tidak nyaman.“Baiklah, kalau begitu. Semoga Nak Lila bisa betah di rumah Bibi, ya,” sahut wanita tua itu ramah.Lila mengangguk, haru. Dia bersyukur masih ada Weni yang begitu setia meski kini dia tidak memiliki apa-apa.Mulanya, Lila bersikeras menolak penawaran Weni untuk tinggal di rumah wanita itu. Dia takut, jika keluarga Weni terbe
Hari berikutnya mentari bersinar cukup cerah. Lila pun dengan semangat sudah bersiap untuk menuju ke tempat kerjanya. "Huft. Oke. Aku pasti bisa. Di rumah ini aku sudah banyak belajar dari Ibu soal bersih-bersih," gumamnya penuh tekad di depan cermin kecil di kamarnya. Segera saja Lila berpamitan dengan ibu dan ayah angkatnya. "Ibu sudah menghubungi orangnya. Dia mau menemui kamu dan ini alamatnya," ucap wanita itu sembari menyerahkan selembar kertas kecil pada anak angkatnya. "Terima kasih, Bu. Aku nggak akan mengecewakan ibu," ucap Lila dengan senyuman lembutnya. "Iya. Hati-hati di jalan, Lil." Setelah berpamitan, Lila menunggu angkutan umum untuk menuju ke alamat tempat kerjanya yang baru. Kini gadis itu tiba di sebuah apartemen mewah dengan nomor 111. Sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas kecil yang dia bawa. Bel pintu dia tekan agar sang penghuni tahu dirinya telah datang. "Permisi, apa benar ini tempat tinggalnya Pak Davidson?" tanya Lila saat menatap pria berkac
"Ternyata kamu cukup rajin juga, ya?" Farhan memberikan pujian atas kedatangan Lila.Gadis cantik itu tersenyum sopan pada pria yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia pun menilik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit."Selamat pagi, Pak Farhan," sapa Lila ramah."Pagi." Farhan memutar tubuhnya dan dia mulai memencet tombol kombinasi pada pintu apartemen sang bos. "Masuklah. Aku tidak akan berlama-lama di sini," imbuhnya."Baik."Langkah Lila berlanjut sampai gadis itu kembali ditinggalkan di apartemen oleh Farhan. Lila pun meletakkan tas selempang yang dia bawa dan saatnya mulai bekerja.Seperti sebelumnya, Lila mencuci pakaian sang majikan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya. Lagi-lagi gadis itu mencium aroma parfum lembut dari pakaian kotor sang majikan. Ingatannya kembali memunculkan sekelebat bayangan pria yang baru saja dia temui di depan lift."Aroma parfumnya sama, tapi parfum seperti ini kan bisa dibeli oleh orang lain. Mungkin
Perlahan David mendekati gadis yang dia yakini sebagai pembantu barunya. David mengamati tubuh ramping Lila. Jika dia pria jahat, pastilah David akan menyerang gadis tanpa pertahanan diri itu dengan mudah. Namun David bukanlah orang tak bermoral. Pria itu bahkan tak menyukai kehadiran orang lain di sekitarnya kecuali hanya orang-orang yang dia percaya saja.Pria itu memilih segera membersihkan diri. Dia berendam ke dalam bathtub dengan air hangat. Seolah tak peduli ada seorang gadis di luar sana. Dia hanya ingin menenangkan diri setelah suasana hatinya buruk karena harus berhadapan dengan perusahaan rekanan yang bermasalah.Sementara itu, Lila mulai terbangun. Gadis itu membuka perlahan kedua matanya dan dia mulai menegakkan badannya. Tak lupa dia melakukan peregangan pada otot-ototnya yang tegang. Dengan mata menyipit, Lila mendongak memeriksa jam dinding.Kedua matanya langsung membulat saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul empat lebih."Ya ampun ... Aku harus beresin ini dan s
Hari berikutnya Lila kembali ke apartemen nomor 111. Dia tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya. Maka dari itu dia sudah beristirahat dengan cukup di rumah.Saat baru saja tiba di depan pintu nomor 111, dia melihat seseorang sudah menunggu kedatangannya. Kali ini bukan Farhan, namun sang majikan sendiri."Ternyata benar kamu selalu datang lebih awal," ucap David dingin. Kedua netranya menilik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Lila mencoba tersenyum. Dia sendiri tak tahu apakah ucapan sang majikan itu merupakan pujian atau celaan."Se-selamat pagi, Tuan David," sapa gadis itu gugup."Hm," sahut David singkat.Lila menelan ludahnya. Di hari sebelumnya dia bahkan diusir saat hendak pulang. Meski David tidak memecatnya dan masih memberikan kesempatan untuknya."Sekarang kamu boleh melanjutkan kerja di sini. Ini password apartemenku. Dan ingat satu hal, jangan berani berbuat yang tidak-tidak dan taati peraturan!" tegas pria itu dingin.Lila menerim
Kedatangan David yang tiba-tiba membuat dua wanita itu cukup terkejut. Paham kini keberadaannya tidak dibutuhkan, dan tidak seharusnya di sini ... Lila pun undur diri.Lila berjalan pergi sembari membetulkan posisi tasnya yang melorot. Dia meninggalkan apartemen sang majikan dingin bersama ibunya."David, apa kabar, putraku?" Helena memeluk putra tunggalnya dengan hangat."Baik, Mah," jawab sang putra datar.Helena tersenyum lembut. "Kamu masih tak berubah.""Ada apa Mamah ke sini?" tanya David saat sang ibu sudah melepaskan pelukan. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tamu."Kok kamu tanyanya begitu, sih? Mamah kangen sama kamu," jawab Helena masih tersenyum.Sunyi sejenak sebelum David beranjak dari duduknya. "Mamah mau minum apa?" tanya pria itu.Wanita paruh baya itu menahan lengan putranya. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban atas tawaran David."Nggak usah repot-repot, David. Mamah cuma mau berkunjung sebentar."David memilih duduk kembali di samping sang ibu. Wanita itu pun me
Langit sudah berubah gelap. Sesuai dengan janjinya, David akan mengunjungi kedua orang tuanya di rumah lama. Memang dia sudah lama sekali tak menginjakkan kedua kakinya di sana. Merasa berdosa, David memilih menuruti permintaan sang ibu.Mobil melaju dengan pasti melewati jalanan kota yang cukup padat di malam akhir pekan. David dengan setelan kemeja dan celana hitam menuju kembali ke rumah setelah dia sibuk terlalu lama mengurus perusahaan."Selamat datang, Sayang," sapa Helena ketika putranya benar-benar datang. Wanita itu tampak sumringah karena David menepati janjinya."Selamat datang, Kak David." Sapaan lembut lain datang dari bibir merah seorang gadis muda berusia dua puluh delapan tahunan. Gadis itu berjalan mendekati David dengan langkah yang begitu anggun."Siapa dia, Mah?" tanya David dengan ekspresi datar."Kok siapa? Dia ini Tiara. Yang tadi Mamah kasih lihat fotonya," jelas Helena sembari menarik pelan lengan Tiara agar lebih dekat dengannya.David menatap dengan tatapan