"Lilara Olivia, aku kecewa, kamu ternyata sudah tidak perawan!"
Ucapan itu menggema bagaikan petir yang menyambar di dalam kamar sepasang pengantin baru. Malam pertama yang seharusnya indah, panas karena mereka saling mencapai kepuasan itu justru berakhir menyakitkan bagi Lilara.
"A-apa?" tanya gadis cantik dengan rambut panjang yang sudah berantakan. “I-itu tidak mungkin, Mas!”
Tubuh polosnya kini hanya dibalut dengan selimut putih.
Sementara sang suami kini tengah berdiri tanpa sehelai benang pun, tengah menuding. "Jangan sok polos! Lihatlah, tidak ada bercak darah di sana!”
Sang pengantin pria menunjuk ke arah kasur dengan sprei putih yang sedikit terkena cairan, tetapi tidak berwarna merah.
Air mata Lila mengembun, sebab ia merasa difitnah. Dan ini sungguh fitnah yang sangat keji.
“Itu tidak mungkin, Mas! Kamulah yang pertama kali menyentuhku.”
Namun, sekuat apa pun Lila meyakinkan suami yang baru saja merenggut mahkotanya, sang pria tetap memasang wajah garang.
Sambil mengenakan pakaian yang tadi mereka lepas secara sembarang … pria itu kembali berbicara, “Aku akan memulangkanmu, Lila. Pernikahan kita cukup sampai di sini."
Saat itu, hidup Lila bagai dihantam gelombang tinggi. Baru tadi pagi senyumnya merekah sempurna karena telah menikahi pria yang dicintai, tetapi malam ini … kesedihan benar-benar meluluhlantakkan semua.
“Tapi, Mas. Aku berani bersumpah, aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun.” Lila mencoba bersimpuh dengan membawa serta selimut yang menutupi tubuhnya. “Aku yakin, Mas Erik hanya salah paham.”
Sayang, sudah merendahkan diri pun nyatanya sang suami justru mendorongnya dengan tatapan jijik.
“Jadi, kamu mengira aku berpura-pura?” katanya dengan seringai yang menakutkan Lila. Pria itu kemudian berjongkok dan mencengkeram wajah Lila dengan kuat. “Sekarang aku tanya. Apakah kamu merasa kesakitan saat kita tadi berhubungan?"
Lila membulatkan kedua matanya. Di awal mereka bersetubuh tadi, dia memang tidak merasakan sakit luar biasa seperti yang diceritakan teman-temannya soal malam pertama.
Namun, dia kira itu terjadi karena ia menyerahkan dirinya dengan suka rela, pun dengan perlakuan Erik yang begitu memujanya.
Melihat Lila yang terdiam cukup lama, Erik pun kembali berujar, "Tidak, kan? Sudah kuduga!" Erik mendorong tubuh mantan istri satu malamnya itu lagi.
"Kamu yang tidak perawan adalah aib di keluarga Raharja! Bersiaplah, malam ini juga kupulangkan kamu ke rumah orang tuamu!”
Erik yang memang sudah siap dengan pakaiannya itu langsung mendorong koper miliknya, meninggalkan Lila sendirian di dalam kamar hotel mewah tersebut.
Tidak pernah Lila bayangkan, malam pertamanya berakhir dengan dia yang langsung menjadi janda.
**
“Ayah ….”
Lila langsung berhambur ke pelukan ayahnya, begitu pintu rumah orang tuanya terbuka.
Tangisnya terdengar begitu pilu membuat orang tua Lila yang hanya tersisa ayahnya itu bingung.
“Ada apa, Li? Kok, kamu sudah pulang?” tanya pria tua itu dengan suara menenangkan.
Rasanya, Lila tidak sanggup menjelaskan alasan dia dipulangkan di malam pertama. Namun, sejak di jalan dari hotel menuju rumah pun … nampaknya Erik telah bulat pada keputusannya.
"Ayah ... Aku ... Aku ...."
"Lila saya pulangkan kembali ke Anda.” Erik melanjutkan ucapan terpotong istrinya. “Dia sudah tidak perawan! Saya tidak mau menikah dengan barang bekas!”
"Apa? Apa maksudnya, Nak Erik?" tanya Ayah Lila dengan rasa terkejut yang tidak bisa digambarkan.
Lila melepaskan pelukan dan menghapus air matanya yang tak mau berhenti. Wanita itu begitu takut mengecewakan ayahnya, satu-satunya pelindung yang dia punya saat ini.
"Tanyakan saja pada anak Anda yang penipu dan sok polos itu!” tuding Erik lagi.
Ayah Lila kini menatap penuh pada sang anak. “Lila, jelaskan ke Ayah!” katanya dengan tegas.
“I-ini semua salah paham, Yah.” Lila mengangkat pandangannya ke arah ayahnya. Di tengah isakan tangis yang belum reda, ia menjelaskan lagi, “Mas Erik menyangka aku sudah tidak perawan. Aku bersumpah, Mas Erik yang pertama kali menyentuhku, Yah.”
"Semua bukti sudah jelas, Lila.” Pria itu kemudian menaikkan sebelah bibirnya, sinis. “Meski selama 2 tahun pacaran kamu menunjukkan sikap alim, tidak mau disentuh … siapa yang tau, kamu menjajakkan tubuhmu pada pria lain?”
“Ya Tuhan!”
Ayah Lila langsung terduduk sambil memegangi dada kirinya.
“Ayah!” Lila spontan membantu ayahnya, membawanya duduk di sofa. “Jaga omonganmu, Mas Erik! Aku bukan wanita murahan.”
“Benar, Erik. Aku yakin, putriku selalu menjaga kehormatannya.” Meski wajahnya masih pucat, Ayah Lila mencoba membela putrinya.
“Di depan Anda, mungkin dia sok alim. Tapi, kita tidak tahu bagaimana dia di luaran sana.” Erik masih menyahut, tidak peduli pada napas Ayah Lila yang megap-megap. “Aku sudah tahu busuknya Lila. Dan aku merasa ditipu. Untuk itu, selain menggugat cerai, aku juga akan menuntut ganti rugi.”
Bertepatan dengan itu, Erik melemparkan selembar kertas ke arah Ayah Lila. Lembar kertas perjanjian pra-nikah yang dibuat pria itu, yang juga telah disetujui oleh Lila, juga ayahnya.
Dua pasang mata ayah dan anak itu memelotot kaget ketika melihat satu poin janggal …
[Seluruh aset milik keluarga Raharja, termasuk pada aset yang diatasnamakan Lilara Olivia akan jadi jaminan jika suatu saat pihak pria merasa dirugikan.]
“Apa lagi maumu, Mas? Apa kamu tidak puas sudah memfitnahku, juga menyakiti Ayah?!” teriak Lila dengan pandangan menghujam mantan suaminya.
Namun, pria yang memiliki seringai licik itu tidak gentar. Dia justru tersenyum puas melihat detik-detik kehancuran keluarga Raharja.
“Dengar, Lila. Aku ini pebisnis, ayahmu juga. Kurasa kalian paham, jika kerugian harus dibayar setimpal.”
***
"Lila ... Kenapa ini bisa terjadi?" Ayah Lila bertanya dengan suara lemahnya.Usai kepergian Erik, Lila buru-buru membawa ayahnya ke rumah sakit. Penyakit jantung yang dimiliki ayahnya membuat Lila ketakutan luar biasa."Sudah, jangan dipikirkan lagi, Yah.” Lila menggenggam tangan ayahnya dan sesekali menempelkan ke pipinya. “Percayalah bahwa kita tidak bersalah."Air mata turun dari sudut mata sang ayah. Pria tua yang kini terpasang alat rumah sakit, juga selang oksigen di hidungnya itu menatap nanar sang putri.“Tapi kamu akan bercerai, Lila." "Aku tidak apa-apa, Ayah," sahut Lila sembari menghapus lelehan air matanya. “Menjadi janda bukan masalah besar, selama Ayah di samping Lila.”Ayah Lila mengehela napas panjang.Sebagai anak, tentu Lila memahami kegundahan ayahnya. Melihat anak semata wayangnya menjadi janda usai malam pertama, ditambah menantunya menuntut ganti rugi di luar kepala jelas menjadi beban pikiran sendiri untuk ayahnya.Namun, Lila mencoba bersikap tenang, setidak
Usai sidang putusan perceraian, Lila kembali ke rumah. Dia yang sudah lelah fisik dan mental nyatanya belum bisa beristirahat mana kala disambut beberapa pelayan di rumahnya yang telah berbaris rapi di ruang tamu.“Kalian … mau ke mana?” tanya Lila, sebab dia melihat ada jejeran koper tidak jauh dari para pelayan berdiri.Mereka saling lempar pandangan, menyuruh salah satu untuk menjadi juru bicara.Tidak lama berselang, sopir kepercayaan Ayah Lila maju selangkah, lalu berkata, “Maaf sebelumnya, Non.” Pria tua dengan kumis tebal itu memandang rekan-rekannya. “Kami semua sepakat mau mengundurkan diri,” lanjutnya kemudian.“Apa?” Tentu saja Lila terkejut. Sebab, sebelum hari ini, dia tidak menemukan satu tanda pun terkait masalah yang membuat mereka tidak betah. “Tapi, kenapa, Pak?”Pria itu terlihat sedikit ragu, tetapi kemudian tetap melanjutkan … “Kami sudah tidak merasa nyaman bekerja di sini. Apalagi, setelah skandal tentang Nona tersebar,” akunya tanpa berani melihat Lila.Di temp
"Maaf kalau rumah saya kecil, Non."Bi Weni mempersilakan Lila memasuki rumahnya yang asri. Selepas pengusiran oleh Erik yang dengan teganya tidak membiarkan Lila membawa apa pun, termasuk mobil juga baju-bajunya … Weni mengajaknya tinggal di rumah wanita itu.Lila yang dahulu memiliki kemudahan dalam segala hal, kini telah kehilangan semua hanya karena pria licik dan kebodohannya yang terlalu percaya.“Tidak, Bi. Justru aku berterima kasih karena Bibi mau menampungku,” sahut Lila tersenyum tipis. “Dan tolong, jangan panggil aku Nona lagi, Bi. Aku bukan lagi majikan Bibi.”Rasa tidak enak hati Lila bertumbuh pesat. Panggilan Nona dari Weni membuatnya tidak nyaman.“Baiklah, kalau begitu. Semoga Nak Lila bisa betah di rumah Bibi, ya,” sahut wanita tua itu ramah.Lila mengangguk, haru. Dia bersyukur masih ada Weni yang begitu setia meski kini dia tidak memiliki apa-apa.Mulanya, Lila bersikeras menolak penawaran Weni untuk tinggal di rumah wanita itu. Dia takut, jika keluarga Weni terbe
Hari berikutnya mentari bersinar cukup cerah. Lila pun dengan semangat sudah bersiap untuk menuju ke tempat kerjanya. "Huft. Oke. Aku pasti bisa. Di rumah ini aku sudah banyak belajar dari Ibu soal bersih-bersih," gumamnya penuh tekad di depan cermin kecil di kamarnya. Segera saja Lila berpamitan dengan ibu dan ayah angkatnya. "Ibu sudah menghubungi orangnya. Dia mau menemui kamu dan ini alamatnya," ucap wanita itu sembari menyerahkan selembar kertas kecil pada anak angkatnya. "Terima kasih, Bu. Aku nggak akan mengecewakan ibu," ucap Lila dengan senyuman lembutnya. "Iya. Hati-hati di jalan, Lil." Setelah berpamitan, Lila menunggu angkutan umum untuk menuju ke alamat tempat kerjanya yang baru. Kini gadis itu tiba di sebuah apartemen mewah dengan nomor 111. Sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas kecil yang dia bawa. Bel pintu dia tekan agar sang penghuni tahu dirinya telah datang. "Permisi, apa benar ini tempat tinggalnya Pak Davidson?" tanya Lila saat menatap pria berkac
"Ternyata kamu cukup rajin juga, ya?" Farhan memberikan pujian atas kedatangan Lila.Gadis cantik itu tersenyum sopan pada pria yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia pun menilik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit."Selamat pagi, Pak Farhan," sapa Lila ramah."Pagi." Farhan memutar tubuhnya dan dia mulai memencet tombol kombinasi pada pintu apartemen sang bos. "Masuklah. Aku tidak akan berlama-lama di sini," imbuhnya."Baik."Langkah Lila berlanjut sampai gadis itu kembali ditinggalkan di apartemen oleh Farhan. Lila pun meletakkan tas selempang yang dia bawa dan saatnya mulai bekerja.Seperti sebelumnya, Lila mencuci pakaian sang majikan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya. Lagi-lagi gadis itu mencium aroma parfum lembut dari pakaian kotor sang majikan. Ingatannya kembali memunculkan sekelebat bayangan pria yang baru saja dia temui di depan lift."Aroma parfumnya sama, tapi parfum seperti ini kan bisa dibeli oleh orang lain. Mungkin
Perlahan David mendekati gadis yang dia yakini sebagai pembantu barunya. David mengamati tubuh ramping Lila. Jika dia pria jahat, pastilah David akan menyerang gadis tanpa pertahanan diri itu dengan mudah. Namun David bukanlah orang tak bermoral. Pria itu bahkan tak menyukai kehadiran orang lain di sekitarnya kecuali hanya orang-orang yang dia percaya saja.Pria itu memilih segera membersihkan diri. Dia berendam ke dalam bathtub dengan air hangat. Seolah tak peduli ada seorang gadis di luar sana. Dia hanya ingin menenangkan diri setelah suasana hatinya buruk karena harus berhadapan dengan perusahaan rekanan yang bermasalah.Sementara itu, Lila mulai terbangun. Gadis itu membuka perlahan kedua matanya dan dia mulai menegakkan badannya. Tak lupa dia melakukan peregangan pada otot-ototnya yang tegang. Dengan mata menyipit, Lila mendongak memeriksa jam dinding.Kedua matanya langsung membulat saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul empat lebih."Ya ampun ... Aku harus beresin ini dan s
Hari berikutnya Lila kembali ke apartemen nomor 111. Dia tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya. Maka dari itu dia sudah beristirahat dengan cukup di rumah.Saat baru saja tiba di depan pintu nomor 111, dia melihat seseorang sudah menunggu kedatangannya. Kali ini bukan Farhan, namun sang majikan sendiri."Ternyata benar kamu selalu datang lebih awal," ucap David dingin. Kedua netranya menilik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Lila mencoba tersenyum. Dia sendiri tak tahu apakah ucapan sang majikan itu merupakan pujian atau celaan."Se-selamat pagi, Tuan David," sapa gadis itu gugup."Hm," sahut David singkat.Lila menelan ludahnya. Di hari sebelumnya dia bahkan diusir saat hendak pulang. Meski David tidak memecatnya dan masih memberikan kesempatan untuknya."Sekarang kamu boleh melanjutkan kerja di sini. Ini password apartemenku. Dan ingat satu hal, jangan berani berbuat yang tidak-tidak dan taati peraturan!" tegas pria itu dingin.Lila menerim
Kedatangan David yang tiba-tiba membuat dua wanita itu cukup terkejut. Paham kini keberadaannya tidak dibutuhkan, dan tidak seharusnya di sini ... Lila pun undur diri.Lila berjalan pergi sembari membetulkan posisi tasnya yang melorot. Dia meninggalkan apartemen sang majikan dingin bersama ibunya."David, apa kabar, putraku?" Helena memeluk putra tunggalnya dengan hangat."Baik, Mah," jawab sang putra datar.Helena tersenyum lembut. "Kamu masih tak berubah.""Ada apa Mamah ke sini?" tanya David saat sang ibu sudah melepaskan pelukan. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tamu."Kok kamu tanyanya begitu, sih? Mamah kangen sama kamu," jawab Helena masih tersenyum.Sunyi sejenak sebelum David beranjak dari duduknya. "Mamah mau minum apa?" tanya pria itu.Wanita paruh baya itu menahan lengan putranya. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban atas tawaran David."Nggak usah repot-repot, David. Mamah cuma mau berkunjung sebentar."David memilih duduk kembali di samping sang ibu. Wanita itu pun me