"Ternyata kamu cukup rajin juga, ya?" Farhan memberikan pujian atas kedatangan Lila.
Gadis cantik itu tersenyum sopan pada pria yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia pun menilik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit."Selamat pagi, Pak Farhan," sapa Lila ramah."Pagi." Farhan memutar tubuhnya dan dia mulai memencet tombol kombinasi pada pintu apartemen sang bos. "Masuklah. Aku tidak akan berlama-lama di sini," imbuhnya."Baik."Langkah Lila berlanjut sampai gadis itu kembali ditinggalkan di apartemen oleh Farhan. Lila pun meletakkan tas selempang yang dia bawa dan saatnya mulai bekerja.Seperti sebelumnya, Lila mencuci pakaian sang majikan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya. Lagi-lagi gadis itu mencium aroma parfum lembut dari pakaian kotor sang majikan. Ingatannya kembali memunculkan sekelebat bayangan pria yang baru saja dia temui di depan lift."Aroma parfumnya sama, tapi parfum seperti ini kan bisa dibeli oleh orang lain. Mungkin saja mereka beli di toko yang sama," gumam Lila sembari memasukkan pakaian kotor sang majikan ke dalam mesin cuci.Kegiatan Lila begitu padat. Selain mencuci pakaian, dia juga harus membersihkan dan merapikan barang-barang yang 'sedikit' berantakan. Majikannya sepertinya merupakan orang yang perfeksionis. Terlihat dari penataan barang-barang yang begitu rapi. Bahkan buku-buku koleksi tertata rapi sesuai dengan jenis dan warnanya.'Pria seperti apa yang tinggal di apartemen mewah seperti ini sendirian?' Gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hati.Tak heran jika Lila ingin tahu bagaimana sosok majikannya. Saat dirinya datang pun bukan sang majikan yang menyambut, melainkan orang kepercayaannya."Bahkan fotonya pun tidak ada. Dia seperti misterius. Apakah Pak Davidson sudah begitu tua, ya?" gumam Lila bermonolog pada dirinya sendiri.Karena hanya bekerja seorang diri, Lila merasa sedikit kesepian. Namun dia tak mau menyerah. Dia yang sudah tak memiliki apa-apa harus mengumpulkan uang demi kehidupannya juga untuk membantu keluarga barunya yang mau menerima dia apa adanya.Sebagai mantan nona muda yang hidup serba berkecukupan, Lila tentu saja kewalahan. Jika Weni bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, Lila membutuhkan waktu dua kali lebih lama.Sesekali Lila menyeka keringat yang bercucuran menuruni keningnya. Setidaknya setiap hari dia akan menjalani pekerjaan seperti itu sampai dia mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan.Ponsel Lila yang diletakkan di atas meja ruang tamu berdering. Segera saja gadis itu menerima panggilan dari Weni."Ada apa, Bu?" tanya gadis itu."Lila. Kamu baik-baik saja? Apa ada kesulitan?" Weni terdengar khawatir.Lila tersenyum. "Aku baik-baik saja, Bu.""Jangan lupa makan pokoknya."Lila tersenyum mendengar ucapan dari sang ibu angkat. Dia baru ingat jika di tempat kerjanya dia bahkan tak boleh memasak. Dia lupa membawa makanan dari rumahnya."Iya, Bu. Sebentar lagi aku juga akan istirahat." Lila terpaksa berbohong. Mungkin hari ini dia tak akan makan siang lagi seperti hari sebelumnya.Waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul dua lebih lima puluh. Lila memeriksa hasil pekerjaannya sendiri sebelum pergi. Setelah dirasa sudah beres semuanya, dia pun segera pergi meninggalkan apartemen mewah tersebut.*Hari demi hari terus berlalu. Lila sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Hingga hari ketujuh pun tiba ... di mana masa pembuktiannya akan berakhir.Namun, entah karena belum terbiasa melakukan pekerjaan rumah secara penuh ... di hari ketujuh ini Lila merasakan tubuhnya jauh lebih letih.
Wajah Lila tampak sedikit pucat, kendati dia tetap berusaha menyelesaikan tugas di hari terakhir uji cobanya."Ya ampun ... Lelah sekali hari ini ...." gumam Lila pada dirinya sendiri. Rasa kantuk bahkan menghinggapi dirinya.Kedua mata Lila mendongak menatap jam dinding di ruang tengah. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Sejenak Lila meregangkan tubuhnya yang baru saja selesai menyeterika pakaian sang majikan.'Sepertinya tidur sebentar tidak apa-apa sebelum pulang,' pikirnya sembari menguap.Kedua mata Lila sudah tak tahan lagi dengan rasa kantuk. Belum juga memasukkan semua pakaian sang majikan, Lila memilih tiduran di samping sofa. Mungkin karena rasa lelahnya karena bekerja tak sesuai kemampuannya, Lila pun langsung terlelap dengan dengkuran halus.Di tempat lain, seorang pria tampan baru saja keluar dari ruang rapat. Langkahnya yang panjang membuat seseorang yang mengejar kewalahan."Pak David!" panggil seorang pria bertubuh lebih pendek dengan tergopoh-gopoh."Pak Davidson!" ulangnya lagi. Namun pria bernama lengkap Davidson Roe Alexander itu tak menghiraukannya."Pak Davidson! Tolong pertimbangan soal hubungan kerja sama ini, Pak," pinta pria itu akhirnya mengatakan maksudnya.David menghentikan langkahnya, tanpa menoleh sedikit pun. "Farhan, antarkan tamu kita ke luar," ujarnya dingin."Silakan ikuti saya, Pak," ucap Farhan sopan. Dia harus mengikuti perintah sang atasan."Pak David?""Aku tidak mau bekerja sama dengan perusahaan yang bermasalah dengan korupsi," tegas David dengan aura dinginnya yang kuat.Pria yang berasal dari perusahaan lain itu diam membeku. Aura menyeramkan dari sang direktur utama perusahaan memang membuatnya tertekan sejak rapat dimulai. Ternyata meski sudah berjuang keras pun Davidson tidak mau menerima kerja sama mereka.Saat Farhan sedang membawa tamu perusahaan keluar, David melanjutkan langkahnya yang tertunda. Pria itu memilih pulang ke apartemennya untuk beristirahat. Beberapa orang karyawan yang berpapasan dengannya pun tak berani untuk sekedar menyapa setelah melihat aura menyeramkan yang terpancar dari wajahnya.David membawa mobilnya menuju ke apartemen miliknya. Kini dia memasuki apartemen nomor 111. Wajahnya yang dingin menatap ruangan yang menjadi tempat ternyaman baginya.'Sudah rapi dengan sempurna kembali,' batin David. Suasana hati pria itu sedikit lebih baik setelah melihat tempat tinggalnya bersih dan rapi.Langkah David begitu tenang saat memasuki ruangan lain. Namun seketika langkahnya terhenti saat melihat sosok asing yang sedang berbaring di dekat sofa, bersebelahan dengan pakaian miliknya yang sudah rapi.***Perlahan David mendekati gadis yang dia yakini sebagai pembantu barunya. David mengamati tubuh ramping Lila. Jika dia pria jahat, pastilah David akan menyerang gadis tanpa pertahanan diri itu dengan mudah. Namun David bukanlah orang tak bermoral. Pria itu bahkan tak menyukai kehadiran orang lain di sekitarnya kecuali hanya orang-orang yang dia percaya saja.Pria itu memilih segera membersihkan diri. Dia berendam ke dalam bathtub dengan air hangat. Seolah tak peduli ada seorang gadis di luar sana. Dia hanya ingin menenangkan diri setelah suasana hatinya buruk karena harus berhadapan dengan perusahaan rekanan yang bermasalah.Sementara itu, Lila mulai terbangun. Gadis itu membuka perlahan kedua matanya dan dia mulai menegakkan badannya. Tak lupa dia melakukan peregangan pada otot-ototnya yang tegang. Dengan mata menyipit, Lila mendongak memeriksa jam dinding.Kedua matanya langsung membulat saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul empat lebih."Ya ampun ... Aku harus beresin ini dan s
Hari berikutnya Lila kembali ke apartemen nomor 111. Dia tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya. Maka dari itu dia sudah beristirahat dengan cukup di rumah.Saat baru saja tiba di depan pintu nomor 111, dia melihat seseorang sudah menunggu kedatangannya. Kali ini bukan Farhan, namun sang majikan sendiri."Ternyata benar kamu selalu datang lebih awal," ucap David dingin. Kedua netranya menilik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Lila mencoba tersenyum. Dia sendiri tak tahu apakah ucapan sang majikan itu merupakan pujian atau celaan."Se-selamat pagi, Tuan David," sapa gadis itu gugup."Hm," sahut David singkat.Lila menelan ludahnya. Di hari sebelumnya dia bahkan diusir saat hendak pulang. Meski David tidak memecatnya dan masih memberikan kesempatan untuknya."Sekarang kamu boleh melanjutkan kerja di sini. Ini password apartemenku. Dan ingat satu hal, jangan berani berbuat yang tidak-tidak dan taati peraturan!" tegas pria itu dingin.Lila menerim
Kedatangan David yang tiba-tiba membuat dua wanita itu cukup terkejut. Paham kini keberadaannya tidak dibutuhkan, dan tidak seharusnya di sini ... Lila pun undur diri.Lila berjalan pergi sembari membetulkan posisi tasnya yang melorot. Dia meninggalkan apartemen sang majikan dingin bersama ibunya."David, apa kabar, putraku?" Helena memeluk putra tunggalnya dengan hangat."Baik, Mah," jawab sang putra datar.Helena tersenyum lembut. "Kamu masih tak berubah.""Ada apa Mamah ke sini?" tanya David saat sang ibu sudah melepaskan pelukan. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tamu."Kok kamu tanyanya begitu, sih? Mamah kangen sama kamu," jawab Helena masih tersenyum.Sunyi sejenak sebelum David beranjak dari duduknya. "Mamah mau minum apa?" tanya pria itu.Wanita paruh baya itu menahan lengan putranya. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban atas tawaran David."Nggak usah repot-repot, David. Mamah cuma mau berkunjung sebentar."David memilih duduk kembali di samping sang ibu. Wanita itu pun me
Langit sudah berubah gelap. Sesuai dengan janjinya, David akan mengunjungi kedua orang tuanya di rumah lama. Memang dia sudah lama sekali tak menginjakkan kedua kakinya di sana. Merasa berdosa, David memilih menuruti permintaan sang ibu.Mobil melaju dengan pasti melewati jalanan kota yang cukup padat di malam akhir pekan. David dengan setelan kemeja dan celana hitam menuju kembali ke rumah setelah dia sibuk terlalu lama mengurus perusahaan."Selamat datang, Sayang," sapa Helena ketika putranya benar-benar datang. Wanita itu tampak sumringah karena David menepati janjinya."Selamat datang, Kak David." Sapaan lembut lain datang dari bibir merah seorang gadis muda berusia dua puluh delapan tahunan. Gadis itu berjalan mendekati David dengan langkah yang begitu anggun."Siapa dia, Mah?" tanya David dengan ekspresi datar."Kok siapa? Dia ini Tiara. Yang tadi Mamah kasih lihat fotonya," jelas Helena sembari menarik pelan lengan Tiara agar lebih dekat dengannya.David menatap dengan tatapan
"Kamu harus menandatangani kontrak ini!"Pagi hari di hari Senin David menyodorkan satu lembar kertas pada Lila.Gadis yang biasanya akan ditinggal sendiri untuk mengerjakan pekerjaan rumah, kini ditunggu oleh sang majikan tampan namun dingin. Dalam hatinya tentu saja Lila bertanya-tanya mengapa sang majikan masih berada di apartemen pada jam mulai kerja? Pria itu bahkan malah duduk saling berhadapan seperti ini dengannya."I-ini kontrak apa, Tuan?" tanya Lila tak mengerti."Kontrak pernikahan kita," jawab David singkat.Lila tentu saja kaget mendengarnya. Melihat sekilas saja sudah dapat dia tebak bahwa sang majikan telah menyusun kontrak satu lembar itu dengan sangat baik."Tinggal tandatangan saja," ucap David lagi."Tapi .. mengapa Anda memberikan kontrak pernikahan ini pada saya?" tanya gadis itu semakin tak mengerti.David menghela napas. Tentu saja pembantu barunya itu akan bingung jika dihadapkan dengan situasi mendadak seperti ini. Pria itu pun menyandarkan punggungnya pada s
Hari itu Lila bekerja dengan konsentrasi yang terganggu. Gara-gara tawaran sang majikan yang tiada angin tiada hujan memintanya nikah kontrak, dia harus membuat keputusan secepat mungkin. Dia pun harus memikirkan syarat yang hendak dia ajukan nantinya.'Apa aku minta tolong untuk merebut kembali aset keluargaku, ya? Tapi dengan begitu nanti Tuan David bakalan tahu kalau aku janda ....' cicit Lila gamang.Gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan baik. Kini sebelum waktu pulang, Lila masih punya sekitar setengah jam lagi sebelum jam tiga sore. Lila kembali memikirkan syarat apa yang dia ingin sang majikan penuhi. Sungguh menurutnya David itu aneh. Jika pria itu memaksa, seharusnya dia tak memberikan kesempatan pada Lila untuk membuat syarat, bukan?Pukul empat sore, David pulang dari kantornya. Pria itu berharap syarat kontrak pernikahan sudah selesai diletakkan di atas meja untuk dia periksa. Jika dia melihat dari keadaan Lila, dia tahu bahwa pembantu barunya itu butuh uang. Kar
Hari yang ditentukan telah tiba. David memerintahkan Lila untuk tetap menunggunya setelah selesai bekerja. Malam itu ada undangan makan malam di rumah kedua orang tua David lagi."Jadi ... Tuan meminta saya untuk ikut makan malam?" tanya Lila hati-hati saat majikannya sudah selesai mandi.David dengan rambutnya yang masih basah duduk di hadapan sang pembantu."Ya. Malam ini ada makan malam bersama kedua orang tuaku. Aku sudah memberi tahu mereka untuk membawamu," jelas David.Lila terdiam. Begitu cepat dirinya akan dipertemukan dengan kedua orang tua sang majikan."Tapi ...." Lila tentu saja terkejut lantaran ternyata sang majikan mengajaknya makan malam bersama keluarga tanpa memberi tahu dirinya lebih dulu."Tidak ada tapi-tapian! Ini merupakan tugas pertamamu. Kamu harus mengaku sebagai pacarku dan katakan kita sudah pacaran selama satu bulan," ucap David terdengar seperti perintah bagi Lila.Gadis itu sebenarnya enggan untuk menjadi pasangan sang majikan. Selain karena masih traum
Mobil hitam David segera melaju membelah jalanan kota. Atmosfer di dalamnya begitu dingin. Terlebih langit sudah gelap saat mereka keluar dari salon. Lila memilih memainkan jari-jarinya karena gugup.David sendiri benar-benar bungkam. Pria itu sama sekali tak ada niatan untuk memberikan sekedar pujian ringan pada sang pembantu yang telah menurutinya. Lalu mereka harus berhenti di depan lampu merah di mana kecanggungan akan bertambah lama."Tu-Tuan ...." Lila mencoba mencairkan suasana yang begitu sunyi. Bahkan selama keluar tadi, David sama sekali tak memainkan musik apa pun untuk menemani perjalanan mereka.David hanya menoleh. Membuat Lila semakin gugup dan memilih menghindari bertatapan mata dengannya."Emmm. Maaf, Tuan ... Tapi apakah penampilan saya sudah sesuai dengan harapan Tuan? Sa-saya khawatir jika saya mempermalukan Tuan ...." papar gadis itu dengan suara sedikit bergetar. Dia bertanya dengan rasa takut. Sungguh duduk berdua saja dengan David membuat Lila tak nyaman. Terle