Ngantuk banget nih pas nulis bab ini. Kalau nggak rame, gak mau dobel up lagi. Mending tidur, ya nggak sih, wkwk.
"Mami benar-benar bangga padamu, Nak." Bumi tersenyum bahagia saat mendapat tepukan pelan di sisi wajahnya dari Delotta. Sebelumnya dia juga mendapat pelukan dari ibu asuhnya itu. Daniel juga terlihat senang melihat keberhasilan Bumi melewati masa sulitnya. "Finally you can achieve what you want, My Son," ujar Daniel seraya memeluk putra asuhnya itu. Dia tidak menyesal sudah menuruti keinginan Delotta membawa Bumi turut pulang ke Jakarta 15 tahun lalu. Bumi menjadi pribadi yang bisa diandalkan. Khususnya ketika pria itu menjadi asisten pribadinya dulu. "Thanks, Mam. Thanks, Pi. Tanpa kalian aku nggak akan bisa seperti ini," sahut Bumi dengan penuh kerendahan hati. Jika dulu dia mengambil bidang ekonomi atas perintah Daniel, kali ini program study yang dia ambil merupakan beasiswa dari kampus sekaligus jurusan yang sangat dia minati. Maka dari itu ketika dikabarkan lolos seleksi beasiswa, Bumi tidak menyiakan kesempatan berharga itu. "Berapa gelar yang akan tersemat di kartu undang
"Tapi aku masih mau di sini, Pi!" "Kamu masih libur semester, belum mulai perkuliahan lagi. Jadi kamu ikut pulang sama papi dan mami."Tidak ikhlas! Ola menjerit dalam hati. Bibirnya mencebik, dan mata sedihnya menatap Bumi. Minta pertolongan."Kamu kan juga belum ke perusahaan. Bukannya kamu janji sama papi mau bantu di perusahaan kalau liburan?" Ola memejamkan mata. Merutuk dalam hati kenapa dulu dia membuat janji seperti itu ke papinya. "Lagian kalau kamu di sini pasti bakal repotin Bumi. Kakak kamu itu orang sibuk. Bebannya akan lebih ringan kalau kamu ikut pulang ke rumah." Kembali Ola melihat Bumi dengan tatapan memohon. "Pi, sebenarnya aku nggak apa-apa kalau Ola mau liburan di sini," ucap Bumi kemudian. Dia tidak tega juga melihat gadisnya terus memohon pertolongan. "Biar Ola di sini, Pi."Namun Daniel menggeleng tegas. "Ola tetap harus ikut pulang ke rumah," putus Daniel final. Tidak mau diganggu gugat. Seandainya Kanina tidak tetap tinggal, mungkin Ola akan dengan rela
Kalau pun Bumi punya banyak hari cuti, dia ingin menghabiskan waktu itu bersama Ola. Bukan dengan wanita lain. Bumi akui Kanina itu cantik. Tipe wanita yang banyak digilai para lelaki dewasa. Memiliki body goal yang sempura dan paras serupa bidadari. Kulitnya yang kadang mengintip di balik pakaiannya yang terbuka tampak bersinar. Lebih dari itu dia memiliki karir yang gemilang di salah satu firma hukum ternama di Indonesia. Bahkan Bumi merasa minder mendengar bibit bebet bobot wanita itu yang Daniel ceritakan.Jelas dirinya yang bukan siapa-siapa ini tak pantas disandingkan dengan wanita dari keluarga terhormat itu. Jangankan Kanina, menjadi kekasih Viola Jagland saja sebenarnya dia merasa tak pantas. Jika tidak ada keluarga Jagland di belakangnya, dia tidak mungkin memiliki power seperti sekarang. "Uhm... Enak!" Bumi mengernyit melihat Kanina berseru saat menikmati pangsit chili oil yang bagi Bumi pedasnya luar biasa itu. "Ayo, kamu juga makan." Wanita itu mengacungkan sumpit ke d
Bumi meraup wajah beberapa kali. Tengah malam dirinya baru sampai apartemen setelah mengantar Kanina pulang ke hotel. Masih ada satu hari lagi, tapi dia sudah merasa lelah. Bumi menghempaskan diri ke atas tempat tidur, lantas membuang napas dalam-dalam. Tangannya yang terlentang mengusap permukaan tempat tidurnya yang dingin. Mendadak dia merindukan gadis kecilnya. Dia yakin gadis itu sudah terbang bersama mimpinya sekarang. Tidak seperti dirinya yang malah tidak bisa mengatupkan mata. Bunyi notif pesan masuk membuat tangannya terjulur merogoh saku celana. Dengan posisi masih terlentang, dia membuka kunci layar ponsel. Sebuah pesan dari Kanina muncul. Kanina : [ Besok kamu masih mau menjemputku, kan? ] Bumi mendesah, tanpa berniat membalas dia melempar tangannya yang menggenggam ponsel. Namun beberapa detik kemudian, bunyi notif pesan terdengar lagi. Dia berdecak malas, tapi tetap membuka kembali layar ponsel. Hampir saja dia menghapus pesan tanpa ingin membacanya sebelum tahu tern
"Iya, Pi. Aku lagi menuju ke sana." Bumi memutar kemudi, masih memperhatikan jalan sementara telinganya mendengar wejangan-wejangan Daniel dari airbuds yang dia kenakan. Ini terjadi lantaran Bumi tidak bisa makan siang bersama Kanina, akibatnya Daniel terus mewanti-wanti dirinya agar selalu stand by di samping wanita itu."Oke, aku tutup dulu, Pi. Sudah sampai." Bumi mendesah. Belum apa-apa tapi dia sudah merasa lelah. Setelah berhasil memarkirkan mobil, langkah besarnya langsung memasuki gedung olahraga. Kanina bilang dirinya ikut jogging sore bersama teman-temannya. Namun, ketika sampai di track jogging dia tidak menemukan batang hidung wanita itu. Bahkan ketika ditelepon, Kanina tidak menjawab hingga nada dering panggilan berakhir. Bumi keluar dari jogging track, dan kembali berjalan di selasar gedunhg sambil terus mencoba menghubungi Kanina kembali. Namun sampai tiga kali panggilan, wanita itu masih belum juga mengangkatnya. "Dia marah?" gumamnya. Ini akan jadi masalah kalau Da
"Terima kasih buat hari ini."Bumi baru saja menghentikan laju kendaraannya di parkir area hotel yang Kanina tempati. "Besok aku udah pulang ke Jakarta. Hm, tapi rasanya kok berat ya," lanjut Kanina, lalu terkekeh kecil. Dia tidak sadar Bumi di sampingnya tengah meremas stir erat-erat. Kanina melepas seatbelt lantas sedikit menyerongkan posisi duduk menghadap Bumi. "Bumi, aku punya sesuatu buat kamu. Bisa kamu ikut aku ke kamarku dulu? Yang akan aku kasih ke kamu ada di sana." Bumi sudah terlalu capek. Dia hanya ingin segera mengakhiri ini. Pria itu mengangguk kecil, yang langsung disambut senyuman bahagia Kanina. Mungkin ini saatnya dia harus bicara pada wanita itu. Bumi tidak mau ini berlarut-larut. "Tunggu sebentar," ujar Kanina saat keduanya sudah sampai di kamar hotel. Dengan kepala penuh tanda tanya, dan tanpa curiga apa pun, Bumi bergerak duduk di salah satu sofa single seat yang ada di ujung kamar. Tidak lama menunggu, Kanina tampak keluar lagi dari arah kamar mandi. Raha
Setelah ini, Bumi yakin ayah asuhnya akan kembali memberinya petuah. Entah harus berapa kali dia menjelaskan kepada Daniel untuk tidak mengurusi perihal jodoh. Bumi benar-benar tidak peduli meski usianya saat ini sudah menginjak kepala tiga.Baru kali ini ada cuti yang membuatnya lelah alih-alih bersemangat. Bumi membuang napas sebelum menekan password pintu apartemen. Dengan gontai dirinya memasuki unit. Namun baru selangkah masuk, dia menemukan sebuah kejanggalan. Keningnya kontan berkerut. Seingatnya sebelum pergi, dia tidak menyalakan lampu unit. Namun kenapa sekarang terang benderang? Bumi memutar badan, dan langsung melirik ke arah lemari sepatu yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Kepalanya meneleng, dan matanya menyipit melihat ujung flat shoes berwarna putih yang mengintip dari balik rak. Apa mungkin...."Kak Bumi!" Teriakan itu membuat Bumi kembali memutar badan. Dia terperanjat dan refleks berseru 'waaa' sambil menangkap tubuh seseorang yang tiba-tiba meloncat k
Akhirnya Bumi bisa tidur nyenyak semalaman setelah dua hari yang melelahkan. Apalagi saat ini ada Ola di sisinya. Dia bangun dari tidur dalam keadaan sedang memeluk gadis itu. Bibirnya mengukir senyum tipis melihat wajah polos Ola ketika terlelap. Bumi akui dulu dia suka mencuri lihat kala Ola tertidur. Dalam keadaan tenang begitu, kecantikan Ola tambah berkali-kali lipat. Wajahnya begitu lugu, tidak akan ada yang menyangka kalau gadis itu pandai membuat masalah dan bikin kepala Bumi pusing tujuh keliling. Bumi terkesiap ketika tiba-tiba kaki Ola bergerak, dan lutut gadis itu menyentuh pangkal pahanya yang mengeras. Please, kalian jangan salah paham. Bagi pria, morning wood itu sesuatu yang normal. Jadi, kalian dilarang menghujat. (mode Bumi tersenyum miring) Ketika pria itu bergeser, lengan Ola malah memeluk lehernya, sementara tungkai panjang gadis itu beralih membelit tubuhnya. Apa gadis itu pikir Bumi itu sebuah guling? "Ola, aku nggak bisa napas. Bangun." Bumi menepuk pelan le
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari