Queen melangkah dengan perlahan tampak ragu-ragu, sekali lagi istri dari Ageng Jati Wardana itu menoleh ke belakang menatap ke arah Surya Wijaya, seolah ingin memastikan jika dirinya memang benar-benar telah diberi izin untuk bertemu dengan Rania.Surya Wijaya hanya mengangguk pelan, pria paruh baya itu sebenarnya ingin menggerakkan bibirnya melengkung ke atas, tetapi tampaknya hal itu tidak mudah dia lakukan di hadapan Queen. Keberadaan Queen dan juga Rey adalah bukti nyata jika wanita yang dia cintai ternyata pernah di jamah oleh pria lain.“Pa, kita ke kantin dulu, sejak kemarin papa belum makan,” ucap Zachary yang ingin memberi kesempatan kepada Queen dan Rania berdua.Surya Wijaya mengangguk lemah lalu melangkah beriringan dengan putra sulungnya. Zachary menatap wajah kuyu sang ayah yang terlihat tidak bersemangat. Tentu hal itu menimbulkan kesedihan di hatinya. meskipun selama ini dia tidak menyukai kehadiran Rania di tengah keluarga Wijaya, tetapi tidak bisa dipungkiri jika keb
“Mengapa Kakak tidak kembali lagi mengurus perusahaan ini bersama-sama?” tanya Mike yang merasa tugas yang diberikan oleh sang papa terlalu berat.“Waktuku tidak banyak, jadi … segera siapkan berkas-berkas yang harus segera ditandatangani oleh papa!” Bukannya memberi jawaban atas pertanyaan yang adiknya lontarkan, Zachary justru memberi perintah kepada adiknya yang baru dua hari ini menggantikan posisinya.Ya, Zachary justru memutuskan meninggalkan posisinya di perusahaan keluarga justru saat mendengar jika Rania jatuh sakit dan harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Hal ini terasa seperti pukulan upper cut yang langsung mengenai rahang bagi Surya Wijaya. Putra sulung yang dia gadang-gadang akan menggantikan posisinya justru meninggalkan dirinya pada saat paling dibutuhkan.“Kak, aku mohon … papa dan perusahaan ini sedang membutuhkan kehadiran Kakak.”“Aku sudah berada di sini untuk membantumu, jadi segera lakukan perintahku!” Tegas dan terdengar tidak ingin di bantah Za
“Saya rasa … Anda tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga saya dengan Ageng,” ucap Queen yang masih enggan memanggil Rania dengan sebutan ‘mama’ seperti dahulu.“Aku mamamu Queen, aku yang telah melahirkan kamu.” Sakit hati Rania saat mendengar ucapan Queen yang terdengar tidak mengindahkan dirinya, bukan hanya tentang dirinya sebagai seorang ibu, tetapi juga pesan yang dia anggap sangat penting untuk masa depan putrinya.“Saya tahu, tetapi apapun itu Anda tetap tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan rumah tanggaku dengan Ageng.”“Dia selingkuh, Queen!” ucap Rania dengan mata berkaca-kaca, mengingat kembali luka hatinya di masa lalu atas pengkhianatan yang telah dilakukan Eddy. “Bukannya Mama ingin ikut campur, mama hanya tidak ingin kau merasakan sakit yang sama dengan apa yang pernah mama rasakan.”“Jika aku harus berpisah dengan Ageng, aku rasa itu tidak akan menjadi masalah yang besar, karena aku pernah merasakan luka yang lebih sakit dalam saat Mama meningga
Jika pada awalnya Surya Wijaya menduga jika Zachary mengambil segala keputusan secara mendadak, kini dia meyakini hal yang sebaliknya. Ya, Zachary telah merencanakan semuanya dengan matang. Bahkan pencurian data penting milik perusahaan Wardana Group adalah ulah Zachary sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi ke Bali.Di tengah kesibukannya mempelajari berkas-berkas penting yang harus segera dia tanda tangani, Surya Wijaya menatap wajah pucat Rania yang sudah kembali terlelap setelah minum obat. Sekelebat wajah Queen menghampirinya, sungguh Surya Wijaya tidak bisa membayangkan bagaimana hancur hati sang istri jika melihat Queen dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.“Zach! Papa mohon jangan lakukan ini!” ucap Surya Wijaya pada dirinya sendiri, tanpa dia sadari air mata menetes membasahi pipinya yang tirus dan keriput.Salah satu penyesalan terbesar Surya Wijaya saat ini adalah, dirinya yang tidak bisa mencintai wanita yang telah dia nikahi dan memberinya dua putra. Memang tidak per
Pintu ruang kerja Arya Suta terbuka secara tiba-tiba, Senyum merekah di bibir pria paruh baya itu kala melihat Arda yang berlari memasuki ruang kerjanya.“Opa!” panggil Ardan yang langsung duduk di pangkuan sang kakek. “Ardan mau jemput papa di bandara, hari ini papa Ardan pulang. Katanya kami akan kumpul bersama lagi,” sambung bocah yang masih sekolah di taman kanak kanak itu dengan penuh semangat.Arya Suta mengusap lembut rambut cucunya, lalu pandanganya teralihkan ke pintu ruangan di mana muncul Arum putri pertamanya. Melihat senyum yang merekah di bibir Arum, tak ayal menjalarkan rasa bahagia di hatinya. Kedua anaknya terlihat sangat bahagia dengan pasangan hidup yang telah mereka pilih.Sejak awal, baik Arya Suta maupun Laras memang membebaskan kedua anak mereka untuk memilih pasangan hidup yang akan menemani dan menjadi pendamping dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sepertinya pilihan tersebut tidak salah, meskipun mereka memilih pasangan dari kalangan yang tidak sama dengan
Ardan langsung berlari saat melihat kedatangan sang ayah di bandara. Arum meneteskan air mata karena tidak bisa menutupi rasa bahagia yang membuncah di hatinya. Kini dia tidak harus jauh-jauh lagi untuk menemui sang suami di kala merasa rindu.Danu langsung menggendong Ardan, bocah yang masih sekolah taman kanak-kanak itu tertawa bahagia saat berada di gendongan sang ayah. Sambil menggendong putra semata wayangnya, Danu bergegas menghampiri Arum. Rasa rindu itu tampaknya lebih lebih dari rasa malunya, sehingga tanpa sungkan dan ragu, Danu langsung melabuhkan kecupan hangat di kening sang istri.“Bagaimana kalau setelah ini kita buat adik untuk Ardan?” bisik Danu terdengar menggoda.Arum menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tersipu malu dengan wajah yang merona. Itu memang sudah menjadi rencananya agar, Danu tidak dikirim lagi ke tempat yang jauh dan bisa lebih fokus pada keluarga kecil mereka di sini, serta menjaga sang ibu yang sudah tua.“Kita pulang ke rumah dulu, ya?” ajak Aru
“Tadi Mbak Arum bilang mau jemput Mas Danu, benar Mas Danu sudah pulang dari Kalimantan?” tanya Queen untuk memastikan kebenaran kabar yang sempat dia dengar.“Ya benarlah, kamu kira Mbak Arum lagi halusinasi karena kangen?” tanya Ageng dengan seulas senyum di bibirnya. “Kalau aku pergi lama, memangnya kamu akan sekangen itu sampai membuatmu halusinasi?” sambung Ageng melontarkan pertanyaan yang dimaksudkan menggoda sang istri.“Memang kamu mau ke mana? Ke London?”Ageng terdiam, binar bahagia yang tadi sempat berpijar dalam sekejap berubah menjadi sendu. Ageng selalu merasa tidak nyaman jika harus membicarakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Davianna, sosok yang masih berstatus kekasih meski saat ini dirinya sudah menikah. Calon penerus Wardana Group itu merasa kini sudah tidak ada getar rasa lagi untuk kekasih yang dahulu menjadi pusat hidupnya, kekasih yang akan dia turuti semua kemauan dan keinginannya.“Jika aku pergi, apa kau akan merindukan aku?” tanya Ageng kembali,
Queen terbangun dari tidurnya, istirahat sejenak dan minum obat pereda nyeri tampaknya cukup ampuh mengurangi rasa sakit yang sebelumnya terasa begitu menyiksa. Queen memasuki kamar mandi selain untuk membersihkan diri, dia juga mengganti pembalut yang terasa sudah sangat penuh dan membuatnya tidak nyaman.Queen keluar dari kamarnya, suasana terasa sunyi dan sepi karena dia tidak menemukan keberadaan Ageng, bahkan saat dia memeriksanya di kamar Ageng sekali pun. Tiba-tiba hatinya merasa berdenyut nyeri saat menyadari jika Ageng tidak ada. Hampa, lalu bagaimana dengan dirinya nanti saat perjanjian pernikahan mereka harus berakhir?Tanpa di sadari, bulir-bulir bening menetes membasahi pipi Queen. Ada rasa tidak rela jika pada akhirnya harus melepaskan Ageng kembali kepada Davianna. Ingin rasanya Queen memiliki Ageng untuk selamanya dan mengabaikan perjanjian yang pernah mereka tanda tangani, Namun yang menjadi ganjalan di hati Queen, apakah Ageng menginginkan hal yang sama dengan diriny
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l