“Aku hanya tidak suka kau berbicara seperti ini saat kita sedang bersama,” sambung Ageng mengalihkan pembicaraan.Dari tatap matanya yang sendu cukup memperlihatkan penyesalan mendalam dalam diri Ageng. Ingin rasanya Ageng jujur mengatakan jika dirinya ingin menjalani pernikahan bersama Queen untuk selamanya, bukan hanya sementara seperti perjanjian yang pernah mereka tanda tangani bersama. Namun, tampaknya masih ada gengsi dan harga diri yang coba Ageng pertahankan, dia membutuhkan sebuah alasan yang tepat untuk mempertahankan pernikahan tersebut.Anak, itu adalah solusi terpikirkan di benak Ageng akhir-akhir ini. Dia ingin menghadir anak di dalam pernikahannya dengan Queen. Kehadiran anak di antara Queen dan Ageng tentu akan menjadi kabar yang sangat membahagiakan bagi Laras, selain itu Ageng juga tidak perlu terlalu menjatuhkan harga dirinya di hadapan perempuan yang pernah dia hina dan sepelekan.“Tapi kita tidak bisa mengabaikan keberadaan Davi, meskipun dia tidak berada di sini
Dari informasi yang baru saja dia dengar, membuat gemuruh amarah di dada Surya Wijaya. Pengusaha kaya itu sungguh tidak terima kala mendengar jika Queen telah membuat istrinya menangis di restaurant miliknya sendiri.Semakin membumbung tinggi amarah Surya Wijaya saat melihat sang istri menangis tergugu di atas ranjang mereka. Surya Wijaya mempercepat langkahnya menuju Rania yang saat ini sedang menyeka air mata, berusaha untuk menyembunyikan dari sang suami meskipun sudah sangat terlambat. “Apa yang telah dilakukan anak itu kepadamu?” tanya Surya Wijaya dengan tatap mata penuh luka saat menyaksikan istrinya sedang menangis.Seberapa pun usaha Rania untuk menyembunyikan kehadiran Queen di restaurant miliknya, akan dengan mudah untuk diketahui oleh Surya Wijaya. Pengusaha kaya itu seolah memiliki mata di mana-mana untuk mengawasi istri tercintanya. Cinta pertama yang harus tertunda karena kedua orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka karena perbedaan status sosial, di mana saat i
“Saat ini, aku sudah tidak mempunyai modal lagi untuk menjalankan perusahaan,” ucap Eddy dengan wajah nelangsa di hadapan Miranti. “Aku tahu kamu punya banyak tabungan dan juga asset berharga, jika kamu masih ingin perusahaan yang selama ini menjadi sumber penghasilan kita tetap bisa menghasilkan, aku mohon dengan suka rela kamu memberikannya padauk,” sambung Eddy seperti orang yang sedang mengemis kepada istrinya.Miranti mendengus kasar, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia merasa berat untuk memberikan apa yang diminta oleh suaminya tersebut.“Tidak apa-apa jika kau tidak ingin memberikannya, tapi … aku yakin kau tahu konsekuensinya,” ucap Eddy lirih tetapi terdengar seperti sebuah ancaman. “Kau bisa untuk tetap mempertahankannya, tetapi saat perusahaan hancur, maka kau juga akan hancur. Lambat laun harta yang kau kumpulkan akan habis juga.”“Aku sudah tidak punya apa-apa, semua asset itu adalah milik Rani.” Miranti mencoba mencari alasan agar Eddy tidak meminta harta dan kek
“Sejak awal papa sudah bilang ke kamu, paling tidak kalian punya satu dulu, baru mau nunda untuk memberi adik itu urusan kalian, tapi ini kalian justru sejak awal sudah menunda untuk memiliki momongan, seperti pasangan yang memang tidak ingin memiliki anak,” ujar Arya Suta dengan nada marah dan kecewa di hadapan Ageng, hingga setelah mengakhiri rapat penting dia langsung menyempatkan untuk bicara berdua.Arya Suta yang biasanya hanya diam dan mencoba memahami jalan pikiran anaknya selama ini, akhirnya marah juga saat menjelang satu tahun pernikahan Ageng dan Queen belum juga memberi tanda-tanda akan memberikan cucu kepada mereka.“Seandainya sejak awal kalian tidak menunda untuk memiliki momongan mungkin rumah tangga kalian sudah diramaikan oleh suara tangis bayi. Ya, lebih baik mendengar suara tangis bayi dari pada mendengar suara mamamu yang rewel.”Jika biasanya Ageng akan memberi jawaban sekenanya dan terdengar sebagai guyonan atas keluh kesah kedua orang tuanya yang sudah tidak s
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Rey yang sudah merasa buntu dalam mencari solusi untuk perusahaannya yang sudah berada di ambang kehancuran. “Papa nyerah,” jawab Eddy sambil menyandarkan punggugnya di kursi kebesarannya, kursi yang menemaninya selama ini menjalankan roda perusahaan. Tatap mata Eddy terlihat nanar yang menunjukkan betapa pasrahnya dengan masa depan yang akan menghampiri. “Mungkin ini karma untuk papa,” sambung Eddy yang tanpa sadar meneteskan air mata kala mengingat semua kesalahan yang telah dia lakukan di masa lalu. “Papa tidak boleh nyerah begitu saja. Bagaimana dengan kami, Pa?” Rey tampak sangat kebingungan. Untuk saat ini bukan hanya masalah perusahaan yang menjadi beban hidupnya, tetapi juga banyaknya tagihan yang diakibatkan oleh tindakan istrinya yang sangat konsumtif. Sedangkan untuk diminta kembali sebagai modal usaha sama sekali tidak mau memberi. “Kau sudah menemui Ageng?” tanya Eddy, berharap menantunya itu masih bersedia memberikan ban
Eddy bisa menerima semua syarat yang diberikan oleh Ageng. Dia merasa sudah tua, sudah waktunya menepi dari hiruk pikuk perusahaan, sudah waktunya untuk istirahat setelah sekian tahun lamanya dia bekerja keras. Ya, mungkin ini sudah waktunya dia menyerahkan semua harta yang dimiliki kepada anak-anaknya.Berbeda dengan Rey, sebagai anak laki-laki satu-satunya dan yang selama ini bekerja keras membantu mengelola perusahaan, Rey tidak bisa menerima semua syarat yang diminta oleh Ageng begitu saja. Adalah hal yang sangat wajar jika Rey ingin menguasai perusahaan itu untuk dirinya sendiri karena selama ini hanya dirinya yang memiliki andil besar dalam mengurus perusahaan. Tanpa Rey sadari, jika dirinya juga yang memiliki andil besar dalam kehancuran pada perusahaan milik keluarganya. Bagaimana tidak, dia yang tidak bisa mengendalikan sikap konsumtif sang istri membuatnya harus sering merogoh uang perusahaan hanya untuk membayar berbagai barang belanjaan istrinya yang tidak murah harganya.
Sebenarnya Davianna sudah ingin melangkah meninggalkan restaurant tersebut, tetapi tampaknya kehadirannya sudah ketahuan oleh salah satu kerabatnya. Davianna bergegas menyeka air matanya saat mendengar suara yang sudah lama dia rindukan itu memanggil namanya. Setelah sekian tahun tidak bertemu, kini Davianna kembali diberi kesempatan untuk melihat senyum yang sudah lama dia rindukan.“Oh adikku sayang, lama tidak bertemu,” ucap pria itu sambil memeluk Davianna.Davianna merasakan pelukan hangat itu, tanpa dia sadari dia membalas pelukan tersebut dengan bulir-bulir bening yang membasahi pipinya. Semakin erat Davianna memeluknya, seolah takut jika longgar sedikit saja akan kehilangan pria tersebut, meskipun dia sudah tahu pria itu memiliki istri yang sedang hamil.Sebenarnya berat bagi Davianna untuk melepaskan pelukan tersebut, tetapi kehadiran seseorang di dekat mereka membuat Davianna dengan terpaksa melepaskannya. Bagaimana pun Davianna harus tetap menjaga image baik dirinya selama
“Halo,” sapa Ageng yang terlihat canggung dan ragu-ragu.Sudah cukup lama Ageng dan Davianna tidak berkomunikasi. Ada banyak alasan yang menjadi penyebabnya, selain kesibukan masing-masing dan perbedaan waktu tempat mereka berada, tampaknya ada urusan hati yang menjadi rahasia bagi Ageng dan Davianna.“Ha halo,” jawab Davianna dengan suara yang terdengar tergagap dan bercampur dengan isak tangis.Ageng yang hanya bisa mendengar suara Davianna dari ponselnya menjadi khawatir dan merasa bersalah. Sudah berbulan-bulan dia tidak pernah menghubungi Davianna, meskipun hanya sekedar mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar. Ageng merasa hubungannya dengan Davianna yang dahulu begitu harmonis dan romantis kini sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali di hatinya.Tidak bisa dipungkiri, kebersamaan dengan Queen membuatnya merasa nyaman dan terlena. Entah apa hanya karena hubungan di atas ranjang yang selalu menggelora, atau karena memang ada sisi lain pada diri Queen yang membuatnya mera
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l