Tidak ingin mengecewakan Laras yang sudah menyiapkan makan malam istimewa untuk dirinya, Ku ingin mencoba memaksa untuk menjedakan potong demi potong steak tenderloin ke dalam mulutnya. Hitung-hitung sebagai sumber energi untuk menghadapi badai yang akan ditiupkan oleh sang ibu mertua.Setelah makan malam berakhir kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga, agar perbincangan mereka lebih terasa santai. Ageng selalu memegang tangan Queen, untuk menenangkan dan memberi kekuatan kepada sang istri."Papa sama Mama menekan atau memaksa kalian untuk segera memiliki momongan, hanya hanya saja Papa dan Mama ingin mendengar alasan dari kalian," ucap Arya Suta mengawali perbincangan."Kalau alasan kamu adalah kesibukan di perusahaan, sudah pasti tidak ada habisnya selama perusahaan kita masih tetap berjalan," sahut Laras seolah tidak memberi kesempatan kepada Agung dan Queen untuk mencari alasan."Untuk urusan di Kalimantan sudah di handle dengan baik oleh Danu. Lalu ... apalagi yang menjadi ma
Mungkin untuk sebagian besar istri akan sangat senang dan bahagia saat berangkat kerja diantar oleh sang suami. Namun tampaknya hal itu tidak berlaku pada Queen, Apalagi setelah si Bos mengungkapkan harga mobil yang biasa dibawa Ageng untuk mengantarnya."Queen Tahu nggak kamu?" tanya si Bos saat menghampiri Queen di kubikelnya. "Kalau saya jual semua mobil yang saya punya, itu belum cukup untuk membeli mobil punya suamimu, bahkan untuk yang second sekalipun."Jujur, pengakuan si Bos membuat Queen merasa tidak nyaman. Mulai saat itu, Queen selalu janjian dengan Ageng di tempat yang sedikit jauh dari ruko tempat kerjanya. "Mobil baru, Queen?" tanya si Bos saat melihat mobil mewah yang terparkir di depan ruko miliknya. Dan kebetulan orang di dalamnya menanyakan keberadaan Queen."Katanya kalian sudah janjian buat makan siang bareng," sambung si Bos sambil memperhatikan mobil mewah yang sudah menjadi impiannya sejak muda.Queen mengernyitkan dahinya, karena merasa tidak ada janji dengan
Bagi Queen kata-kata manis yang keluar dari mulut Mike adalah sebuah kebohongan besar. Karena selama ini baik Rania maupun keluarga Surya Wijaya tidak pernah peduli kepada dirinya."Berapa bulan kau menikah dengan Ageng? Dan sekarang perusahaan papamu sudah kembali dalam keadaan kolaps," ucap Mike memberi informasi tentang perusahaan keluarga yang dipimpin oleh Edi Rahmayadi."Mereka masih punya Rani untuk dijual, apa yang mereka takutkan?" tanya Queen yang menunjukkan sikap tidak peduli dengan informasi yang diberikan oleh Mike."Rani?" Mike mengernyitkan dahinya seolah ingin tahu tentang sosok yang namanya baru disebut oleh Queen."Ya, Rani. Anak Papa dengan istri barunya. Sekarang dia sudah kelas tiga SMA, sudah besar lah. Siap untuk dinikahkan.""Queen!" panggil Mike dengan suara yang sendu.Mike mencoba untuk kembali menyentuh tangan Queen, tetapi kali ini dengan sigap Queen menurunkan tangannya hingga ke bawah meja."Tidak ada yang perlu Kak Mike khawatirkan tentang diriku, ak
"Apa yang papa dan Tante Mira lakukan?" tanya Queen dengan tatap mata yang terlihat polos tanpa tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara sang papa dengan sekretarisnya.Selanjutnya Queen hanya terdiam, saat melihat apa yang dilakukan oleh Eddy bersama Miranti di ruang kerja tersebut. Yang Queen tahu sang papa sedang bekerja bersama Miranti, sekretarisnya.Setelah merapikan kemeja dan juga celananya, Eddy berusaha tetap terlihat tenang saat menghampiri Queen. Sementara itu Meranti bergegas membalikkan tubuhnya saat merapikan pakaian. Wanita yang berprofesi sebagai sekretaris itu tidak ingin Queen melihatnya dalam keadaan yang berantakan."Tidak ada apa-apa Queen, papa sama tante Mira sedang ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan," ucap Eddy sambil berusaha menghalangi pandangan Queen agar tidak melihat Miranti yang masih terlihat berantakan dan belum selesai merapikan pakaiannya."Kata Mama, Papa jangan sampai lupa minum obat!" sahut Queen yang ingat dengan baik maks
“Mama!” teriak Queen saat mobil yang dikemudikan Rania hampir saja menabrak pohon di pinggir jalan. “Mama, Queen takut,” sambung Queen yang mulai menangis. Beruntung baik Queen maupun Rania menggunakan sabuk pengaman, sehingga kejadian yang tidak terduga tersebut tidak berakibat fatal. Ibu dan anak itu melampiaskan rasa takut dengan cara yang berbeda. Jika Queen menangis sejadinya, maka Rania justru hanya terdiam. Tatap mata Rania terlihat nanar, tangannya pun masih bergetar dan napas menderu tidak beraturan. Kata demi kata yang baru saja terlontar dari mulut Queen benar-benar membuat Rania sangat kaget dan syok. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan oleh putrinya adalah sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilihat dan tidak boleh diketahui oleh anak yang masih berusia lima tahun itu. "Queen, katakan pada mama jika Apa yang kamu katakan itu tidak benar!" ucap Rania setelah mampu mengendalikan dirinya. Ibu dua anak itu mengguncang pundak putrinya. "Tapi Queen tidak bohong, Ma!" sahut
“Bagaimana kabar Queen?” tanya Miranti sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. “Dia bisa dipercaya kan, Pak?” sambung Miranti yang tetap merasa waswas jika sampai hubungan terlarang yang sedang mereka jalani sampai ketahuan.“Tenang saja,” jawab singkat Eddy sambil merapikan pakaiannya. “Queen itu anaknya penurut, dia tidak mungkin sampai bicara kepada mamanya. Aku sudah memberinya banyak hadiah untuk tutup mulut. Paling juga sebentar lagi dia lupa dengan apa yang telah dia lihat.” Eddy berusaha untuk meyakinkan dan menenangkan hati Miranti.Hubungan terlarang yang terjalin antara Eddy dan Miranti sudah terjalin hampir satu tahun. Tekanan atas pekerjaan membuat keduanya membutuhkan kesenangan untuk menurunkan ketegangan, dan tampaknya atasan dan sekretarisnya itu telah menempuh jalan yang salah.Saat ini perusahaan Eddy sedang berkembang pesat dan memberikan keuntungan yang berlimpah. Hal itu membuat ayah dua anak menjadi lepas kendali, sehingga merasa uangnya tidak akan habi
“Dari mana saja kalian?” tanya Rania yang berusaha tetap tenang meskipun hatinya sedang bergemuruh seperti gunung berapi yang mau meletus. “Aku lihat tadi beberapa kepala divisi sudah kembali dari rapat.”Dari gelagat Eddy dan Miranti yang salah tingkah Rania menduga jika kedua tidak pernah menduga kedatangnya ke kantor tersebut. Bahkan Miranti terlihat menunjukkan sikap yang selalu menghindar untuk beradu tatap dengan dirinya.Rania mendekat ke arah di mana Eddy dan Miranti berdiri berdampingan. Semakin mendekat, Rania semakin mencium harum semerbak sabun dan shampoo dari hotel seperti yang pernah dia dapatkan saat menjalani liburan keluarga. Setelah bekerja sekian jam lamanya, Eddy dan Miranti justru terlihat begitu segar dan cerah seperti habis mandi, dan hal itu tidak luput dari pengamatan Rania.Tatap mata Rania seolah tidak ingin absen dari sang suami dan juga sekretarisnya. Ibu dua anak itu mencoba untuk menguatkan dirinya menghadapi segala kepahitan yang terasa begitu dekat di
“Fitnah keji apa ini?” tanya Eddy mencoba untuk memulai sandiwara untuk menyangkal semua tuduhan yang telah dilontarkan oleh Rania.“Kau mau menuduh Queen memfitnahmu?” tanya balik Rania yang berusaha untuk tetap tegar di hadapan Eddy dan Miranti.“Queen masih kecil, dia tidak tahu apa-apa.”“Dia anakku, dan aku tahu kalau dia tidak berbohong,” sahut Rania dengan tegas.Rania menghela napas dan mengalihkan pandangannya. Dengan gerakan tangan yang terlihat kasar, Rania menyeka air mata yang mulai jatuh bercucuran."Apa kau pikir aku bodoh, yang akan dengan gegabah menuduhmu tanpa mencari bukti terlebih dahulu?” Aku menemukan ini di laci kerjamu, dan aku tahu bukan merk ini yang selama ini kita pakai," ucap Rania sambil menunjukkan kemasan alat pengaman pria yang sudah terbuka dan sepertinya isinya pun sudah berkurang.Eddy terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi cemas. "Rania, biar aku jelaskan ....""Tidak perlu," potong Rania dengan tegas. "Bagiku sudah cukup bukti yang aku liha
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l