Terbiasa hidup mandiri sejak muda, ditambah tanggung jawab besar yang diberikan Ageng kepadanya, membuat Queen tidak bisa menghabiskan waktu luang hanya dengan bersantai-santai saja.Setelah Ageng pergi, Queen segera menghubungi beberapa orang kepercayaan yang bekerja di perusahaannya. Sebuah masalah yang timbul dalam operasional perusahaan membuatnya terpaksa mengadakan rapat dadakan secara online.Queen duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan fokus yang tajam. Ia mengklik ikon untuk memulai rapat. Satu per satu, wajah para manajer muncul di layar.“Apa yang dilakukan Pak Rey?” tanya Queen, suaranya terdengar tenang namun tegas. Mira, manajer keuangan, terlihat gelisah. “Pak Rey memaksa saya untuk menandatangani pengeluaran sejumlah uang ke rekening pribadi miliknya, Bu,” jawab Mira dengan ragu. “Katanya sudah mendapat ACC dari Bu Queen langsung.”“Sudah ditandatangani?” tanya Queen sambil mengernyitkan dahi.“Belum, Bu. Kami menunggu perintah langsung dari Bu Queen,” jawab M
“Apa yang terjadi pada Queen?” tanya Rania dengan air mata yang bercucuran. Tubuh ringkih itu sudah bersiap untuk turun dari brankarnya, tetapi Surya Wijaya dan Mike segera mencegahnya. Rania, yang baru saja selesai menjalani kemoterapi, tampak begitu rapuh. Kemo telah menguras energinya, membuat kulitnya pucat dan tubuhnya lemah. Namun, kecemasan tentang putrinya, Queen, membuatnya ingin bangkit dari tempat tidur. “Katakan kepadaku apa yang terjadi pada Queen!” pinta Rania dengan suara yang dibarengi tangis, terdengar sungguh menyayat hati. “Kamu tenang dulu, nanti kami akan menjelaskan semuanya kepadamu.” Dengan penuh kelembutan, Surya Wijaya berusaha untuk menenangkan istrinya. Satu hal yang paling ditakutkan oleh Surya Wijaya dari peristiwa ini adalah kesehatan Rania yang bisa saja tiba-tiba menurun saat mendengar Queen pingsang dan sempat mendapat perawatan di rumah sakit. “Queen baik-baik saja, Ma!” Mike pun berusaha membantu sang papa untuk menenangkan ibu sambungnya. “Di
Pesan dari Surya Wijaya benar-benar membuat ketenangan hidup Ageng menjadi terganggu. Setiap kali ia mencoba untuk memahami maksud dari kata-kata itu, hatinya terasa semakin berat. Pikirannya terus berputar, hingga menciptakan skenario-skenario yang terasa sangat buruk baginya.Ageng sadar salah satunya cara untuk mengetahui kebenaran adalah dengan bertanya langsung pada Queen. Tetapi, keberanian itu tidak ada. Ageng merasa dirinya pengecut. Ia tidak mampu menghadapi kemungkinan bahwa Queen mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. Maka, ia memilih jalan yang lain, mengikuti Queen secara diam-diam dan menemukan kebenaran dengan caranya sendiri.Saat memimpin rapat, Ageng sulit berkonsentrasi. Ia duduk di ujung meja, mendengarkan penjelasan dari bawahannya, namun pikirannya melayang pada pesan yang diterimanya. Dalam sekejap, ia melihat ponselnya di bawah meja, berharap ada pesan yang memberinya kepastian bahwa Queen masih berada dalam pengawasannya. Setiap kali layar ponsel menyala, hat
Ingin rasanya Ageng berlari mengejar Queen, agar dia bisa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Hal yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya dan merusak ketenangan hidupnya.“Apa hubungan Queen dengan Mike? Mengapa mereka sering bertemu secara diam-diam?”Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Laras lontarkan kepada Surya Wijaya, tetapi sorot mata tajam suaminya membuatnya langsung terdiam. Wanita paruh baya itu langsung melengos mengalihkan pandangannya, kecewa karena sang suami sangat membatasi dirinya yang ingin mengorek informasi.Surya Wijaya masih terdiam, menunggu suasana tenang dan kondusif untuk menyampaikan tujuannya mengajak bertemu Arya Suta. Awalnya dia hanya ingin bicara dengan Arya Suta sendiri, sungguh tidak menduga jika dia membawa anak, istri serta pengawal juga.Bukan takut, tetapi ada hal lain yang membuat Surya Wijaya merasa tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Dia yang terkenal memiliki kekuatan dan pengaruh dalam dunia bisnis, kini harus menundukkan
Surya Wijaya menundukkan wajah memohon di hadapan keluarga Wardana. Dia tahu, dalam urusan bisnis, mereka adalah pesaing utama, tetapi kali ini demi wanita yang dia cintai, Surya Wijaya memohon, benar-benar merendahkan harga dirinya.“Demi kemanusiaan, saya mohon!” Suara Surya Wijaya terdengar putus asa.Laras menatap Surya Wijaya dengan tatap mata yang dingin. “Saya menolak juga demi kemanusiaan," balas Laras terdengar tegas, penuh keyakinan tanpa rasa ragu sedikit pun.Ruangan itu seketika menjadi hening. Penolakan Laras memupus harapan Surya Wijaya. Untuk sementara, Ageng memilih diam, menenangkan diri. Rasa curiga yang sempat mencekik kini telah terjawab. Dan untuk urusan ke luar negeri, ada sang mama yang bisa dia andalkan.“Saat ini Queen sedang hamil muda. Dan ini adalah kehamilan pertama bagi Queen. Ilmu dan pengalamannya masih sangat kurang, jadi akan sangat riskan jika tidak ada yang mendampinginya. Tentu kita tidak akan mengambil keputusan yang bisa membahayakan calon cucu
Lega, bahagia, itulah yang dirasakan oleh Ageng saat ini. Dengan detail Surya Wijaya memberikan memberikan bukti jika Rania benar-benar ibu kandung Queen. Dari foto-foto masa kecil Queen, hingga akta cerai Rania dengan Eddy.Saat menyaksikannya, Ageng merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia, seharusnya informasi tentang keluarga Queen sudah dia ketahui sejak awal pernikahan mereka, agar tidak terjadi salah paham yang menyiksa dirinya sendiri.“Jangan ngebut! Queen sedang hamil muda,” perintah tegas Laras kepadan Pak Sutar.“Ya, Bu!” jawab Pak Sutar sambil mengangguk patuh. Seingatnya dia tidak pernah ngebut, kecuali saat menjemput saja.Setelah mencium pipi kiri dan pipi kanan Laras, Queen bergegas memasuki mobil, disusul oleh Ageng. Saat Laras melepas anak dan menantunya yang semakin jauh meninggalkan mereka, berbeda dengan Arya Suta yang justru menatap wajah sang istri dengan tatap mata yang sulit diartikan.Wanita paruh baya itu menyadari jika suaminya sedang memperhatikan diri
"Aku mohon jangan bilang kurang!" pinta Ageng sambil mencium punggung mulus Queen.Sebagai pria normal, Ageng sulit untuk menolak pesona istri yang ada di sampingnya. Meski dokter mengatakan jika kehamilan Queen baik-baik saja, tetapi Ageng tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahayakan keselamatan janin yang sudah lama dia nantikan kehadirannya."Aku takut kamu akan mencari pelampiasan ke wanita lain jika aku tidak bisa memuaskanmu," ucap Queen dengan sendu. Ingatan akan masa lalu, bagaimana rumah tangga kedua orang tuanya hancur karena sang papa mencari kesenangan dengan wanita lain, kembali hadir mengganggu benak Queen.Ageng memang terlihat sangat antusias dan bahagia dengan kabar kehamilannya, tetapi Queen merasa ada perbedaan yang sangat mencolok saat Ageng di atas ranjang. Bagi Ageng, dia hanya ingin berhati-hati dan menjaga keselamatan calon bayinya. Tetapi ternyata Queen menangkapnya berbeda, dia merasa suaminya seperti tidak bergairah lagi terhadap dirinya."Membicarak
Surya Wijaya duduk di meja makan, matanya tertuju pada putrinya yang sedang menyantap sarapan dengan enggan. Victoria hanya memainkan roti panggang di piringnya, sesekali mencelupkan ke dalam selai, tapi tak pernah benar-benar menggigit. Surya menarik napas panjang, merasa berat untuk memulai pembicaraan ini.“Papa akan membawa mama untuk berobat ke luar negeri.” Dengan hati-hati Surya Wijaya menyampaikan kabar buruk di hadapan putrinya. “Kemo yang dilakukan mamamu kemarin tidak memberi hasil yang maksimal,” sambung Surya Wijaya dengan nada sedih.Victoria mendengarkan dengan saksama kata demi kata yang diucapkan oleh Surya Wijaya. Remaja itu mengangkat pandangannya, tatap matanya yang kelam menatap lurus ke arah ayahnya.“Bersama Queen?” tanyanya singkat, tanpa embel-embel kakak. Hingga saat ini, dia masih belum bisa menerima kenyataan jika Queen adalah saudara sambungnya.“Tidak, Queen sedang hamil, jadi dia harus banyak istirahat. Kamu mau ikut?” Surya menatap putrinya, berharap me
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l